KISAH PARA PAHLAWAN ACEH MENANG PERANG: CERDAS, ULET DAN TANGGUH

SINGA MARANTEE

Assalamu ‘alaikum wr, wb…..

Melalui artikel ini, saya SINGA MARANTEE ingin menguak sejarah yang hilang, menurut sejarah yang ditulis Belanda, Aceh adalah daerah yang tidak pernah di taklukkan, prajurit Aceh masa itu daya tahannya luar biasa, sebenarnya yang menjadi spiritnya adalah kalimah LAA ILAAHAILLALLAH dan hikayat PRANG SABI ( perang sabil / sabilillah ) yang dikarang oleh ABU KRUENG KALEE, setiap prajurit akan berangkat perang dibacakannlah syair hikayat prang sabi yang membuat darah pejuang Aceh mendidih, karena berperang mengahadapi KAPHE BEULANDA ( kafir belanda )., makanya spiritnya menguat krn jihad yang jaminannya SYURGA FIRDAUS.

 Adalah umum pada masa itu mereka memiliki ilmu panglimunan ( ilmu menghilang ) , ilmu itu sudah umum dimiliki prajurit Aceh masa itu, dan prajurit Aceh mempunyai pedang yang bisa memotong musuh dalam jarak 300- 500 Meter, ini dicatat dalam sejarah belanda, melalui Koran lokal pada masa Gubernur Abdullah Puteh menjabat sebelum tsunami, pemerintah Belanda pernah memulangkan sebilah pedang berkunci rantai ( PEUDEUNG MEUGUNCI ) dan sebilah SIWAH emas ( mirip rencong tapi bergagang lurus dan panjang )yang menurut cerita milik pejuang dari dataran tinggi Gayo ( milik panglima kumis tembaga gelarnya oleh belanda ).., beliau berjuang seorang diri, tidak pernah mau bergabung dengan kaum prajurit Aceh umumnya kala itu, pedang terkunci tersebut dalam pembutannya setelah ditempa dalam keadaan panas membara lalu disapukan pada ketiak sebagai sepuhan, bukan dalam air seperti membuat pisau atau parang apada umumnya, demikian salahsatu cerita dari pak Kaman / kamaruzzaman di tanah merah gayo, kab. Aceh utara, Nanggroe Aceh Darussalam…

 Untuk sekedsar melestarikan budaya kita, saya ingin tau apakah masih ada pedang semikian dan ahlinya saat ini…?? Ini sebagai rasa penasaran saya bagaimana cara bertempur orang tempoe doeloe menghadapi musuh dengan trik dan peralatan yang lebih canggih masa itu.

 

Sultan Iskandar Muda (1593-1636)

1. Riwayat Hidup

Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu, Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa kejayaan yang sangat gemilang.

Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alamo rang aceh menyebut PO TEUMEURHOM karena menurut orang tua-tua dulu dia adalahseorang pemuda sakti yang jago bela diri yang memenangkan pertarungan melalui sayembara untuk jadi Raja , po = asal kata dari pertanyaan masyarakat waktu itu waktu menyaksikan pertarungan..anak siapa..? atau seupo = siapa..?? TEUMEREUHOM = asal kata dari HOM = entah/ gak tau atau tidak dikenal... karena waktu itu Iskandar muda dating dgn menunggangi gajah putih, Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan. Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1).

Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.

Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.

Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal. Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer. Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan.

Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda dengan kalimat: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Sultan kemudian menjawabnya dengan kalimat berikut: “I am the mighty ruler of the religions below the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)”.

Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.

Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.

2. Pemikiran

Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, maski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti.

Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. Pertama, bidang hukum yang diserahkan kepada syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. Kedua, bidang adat-istiadat yang diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat, bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf.

Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir, hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Qur‘an dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah qiyas dan ijma‘, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan, adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.

Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.

3. Karya

Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James 1 pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk surat terbesar sepanjang sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh sebagai kekuatan utama di dunia.

Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di samping kebijakan reformatifnya, juga ditandai dengan luasnya cakupan kekuasaannya. Pada masanya, wilayah Kerajaan Aceh telah mencapai pesisir barat Minangkabau dan Perak.

Teuku Umar (1854 – 1899)

1. Riwayat Hidup

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.

Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.

Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

2. Pemikiran

Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

3. Karya

Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.

4. Penghargaan

Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Laksamana Keumalahayati (1585-1604)

1. Riwayat Hidup

Laksamana Keumalahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.

Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

a. Riwayat Pendidikan

Ketika menginjak usia remaja, Laksamana Keumalahayati mendapatkan kebebasan untuk memilih pendidikan yang diinginkannya. Ketika itu Kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Setelah menempuh pendidikan agamanya di Meunasah (surau ), Rangkang ( balai pengajian ), dan Dayah ( zawiyyah / pesantren ), oleh karena ia ingin mengikuti karir ayahnya sebagai laksamana, maka ia mendaftarkan diri dalam penerimaan taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Ia diterima di akademi ini dan dapat menempuh pendidikan militernya dengan sangat baik. Bahkan, ia berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan.

Sebagai siswa yang berprestasi, Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia memilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut berlanjut hingga benih-benih kasih sayang terbangun di antara mereka. Mereka berdua akhirnya bersepakat untuk saling memadu kasih dan menyatukan diri ke dalam cinta. Setelah tamat dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya melangsungkan pernikahan.

Setelah menamatkan studinya di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Laksamana Keumalahayati berkonsentrasi pada dunia pergerakan dan perjuangan. Ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604 M) sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Jabatan tersebut merupakan kepercayaan sultan terhadap dirinya, sehingga ia perlu menguasai banyak pengetahuan tentang etika dan keprotokolan.

b. Riwayat Perjuangan

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, meski harus kehilangan dua laksamananya dan ribuan prajuritnya yang tewas di medan perang. Salah satu laksamana yang tewas tersebut adalah suami Laksamana Keumalahayati sendiri yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan tersebut, ia berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski secara sendirian.

Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita-wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Keumalahayati akhirnya dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Ia merupakan wanita Aceh pertama yang berpangkat laksamana (admiral) di Kesultanan Aceh Darussalam. Armada ini awalnya hanya berkekuatan 1000 orang, namun kemudian diperkuat lagi menjadi 2000 orang. Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumlahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa.

Keumalahayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.

Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.

Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).

Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.

Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil. Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumalahayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga berpesan agar Laksamana Keumalahayati memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumalahayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan al-Mukammil.

Laksamana Keumalahayati juga berperan besar dalam menyelesaikan intrik kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).

Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan.

Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana Keumalahayati, Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis.

Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumalahayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.

2. Karya

Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai bentuk tulisan. Namun demikian, segala bentuk perjuangannya dalam melawan kolonialisme dapat juga dianggap sebagai karya-karya nyatanya. Di antara karya-karya dimaksud adalah sebagai berikut:

Ia pernah membangun Benteng Inong Balee dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng menghadap ke laut dengan lebar 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk.

Ia pernah berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah seorang pemimpin kapal Belanda yang pertama kali tiba di Aceh.

3. Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangannya, sebuah serial bertajuk “Laksamana Keumalahayati” telah digarap dengan sutradara Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Adhyaksa Dault. Serial ini berisi 13 episode. Episode perdananya telah diputar di Blitz Megaplex (10 November 2007).

 MENGUAK pertalian Raja-raja Aceh Sejak Kerajaan Perlak Sebuah buku berjudul “Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja Islam di Nusantara,” diterbitkan pelita Gading Hidup Jakarta, ditulis Pocut Haslinda Syahrul Muda Dalam, mencoba menguak pertalian raja-raja di Aceh sejak pra Islam.

dalam suatu forum di Balai Kartini, Jakarta, 16 Nopember 2008 silam. Malam harinya, di gedung yang sama dipentaskan “drama musikal” yang memuat informasi silsilah raja-raja Aceh tersebut serta peranan kaum perempuan Aceh sejak abad VIII dampai abad XXI. Pentas itu disutradari Dedi Lutan berdasarkan nasakah yang ditulis Pocut Haslinda Syahrul MD binti Teuku H Abdul Hamid Azwar, waris Tun Sri Lanang ke-8.

Sebetulnya masih ada tiga buku lain yang dihasilkan Pocut Haslinda dalam waktu bersamaan, yaitu “Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI, Tun Sri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu, dan Dua Mata Bola di Balik Tirai Istana Melayu.”

Untuk menggenapi informasi “Silsilah Raja-Raja Aceh” dan ketiga bukunya itu, Pocut Haslinda, pernah menempuh pendidikan fashion dan model di Paris, Jerman, dan London (1965-1970) membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri.

Buku “Silsilah Raja-Raja Aceh” itu secara sederhana mencoba menarik garis pertautan raja-raja Aceh sejak awal abad ke 8 pada masa Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan lain di Aceh, termasuk persinggungan yang sangat penting dan fundamental dengan Kerajaan Isaq di Gayo, dan pertautan raja-raja Aceh dengan Perak, Johor, Deli-Serdang, Majapahit, Demak, Wali Songo dan sebagainya.

Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman, Pangeran Kerajaan Persia yang ditaklukkan pada zaman Khalifahtur Rasyidin. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 – 651 Masehi. Setelah penaklukkan, sebahagian keluarga kerjaan Persia ada yang pergi ke Asia Tenggara.

Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.

Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, kerajaan Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai Meurah Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Sekudang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.

Syahir Nuwi di kemudian hari menjadi Raja Perlak ( PEUREULAK ) yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purwa (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Sama indra (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan Dinasti Meurah Jeumpa (sekarang Bireuen).

Sementara itu, Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.

Syahir Nuwi yang menjadi penguasa Perlak menyatakan diri masuk Islam, dan menjadi Raja Perlak pertama yang memeluk Islam.Sejak itu, Islam berkembang di Perlak. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dengan 1 Muharram 225 Hijriah.

Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba‘i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba‘i bin Imam Ja‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).

Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah merupakan penugasan dari Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) untuk menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberontakan” kaum Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja‘far Ashhadiq.

Raja Isaq Gayo dan Turunannya

Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulan memiliki tiga putra; Meurah Makhdum Alaiddin Ibrahim Syah, kemudian menjadi Sultan ke-8; Maharaja Mahmud Syah yang kemudian menjadi Raja Salasari Islam I di Tanoh Data (Cot Girek); Meurah Makhdum Malik Isaq (Isak) mendirikan Negeri Isaq I.

Meurah Isaq memiliki putra bernama Meurah Malik Masir yang juga dikenal sebagai Meurah Mersa alias Tok (Tuk) Mersa, diangkat sebagai Raja Isaq II mernggantikan ayahandanya. Tok Mersa memiliki tujuh putra yakni: 1) Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai. 2) Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus. 3) Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu. 4) Meurah Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga. 5) Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya Aceh Barat. 6) Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan. 7) Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.

Dari turununan Meurah Mege lahir Sultan Abidin Johansyah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam (1203-1234) sampai Sultan Daud Sjah (1874-1939). Turunen Meurah Mege lain, Syekh Ali al Qaishar anak dari Hasyim Abdul Jalil hijrah ke Bugis dan menikah dengan putri bangsawan Bugis yang kelak cucu psangan ini bergelar Daeng. Di antara anak-cucunya, ada yang pulang ke Aceh bernama Daeng Mansur atau Tgk Di Reubee dan mempunyai seorang putra bernama Zainal Abidin dan seorang putri bernama Siti Sani yang dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Di tanah Jawa, Turunan Tok Mersa bernama Puteri Jempa nikah dengan Raja Majapahit terakhir kemudian lahir Raden Fattah yang menjadi Raja Demak. Turunen Tok Mersa lain, yakni Fatahillah menyusul ke Jawa menikah dengan adik Sultan Demak. Fatahillah mendirikan kerajaan Cirebon dan anaknya mendirikan Kerajaan Banten. Fatahillah dikenal juga Sunan Gunung Jati menikah dengan Ratu Mas anak Raden Fattah, cucu Majapahit, keturunannya turun temurun menjadi raja dan pembangun Demak, Cirebon, Banten dan Walisongo.

Melihat pertautan raja-raja Aceh itu, jelasnya bagi kita bagaimana sebenarnya hubungan erat satu sama lain. Pada awalnya, mereka berangkat dari “indatu” ( NENEK MOYANG ) yang sama dari Perlak.  (budi/ Harian Serambi Indonesia).

HAKEKAT KEKUATAN: BELAJAR NABI DAUD BIN YUSYA A.S.

Semua terjadi atas ijin Allah SWT. Bila Allah mengijinkan, sekuat apapun seorang raja yang terlatih berperang dan berkelahi dengan beragam senjata akan tewas di tangan seorang bekas penggembala kambing. Hanya dengan sebuah ketapel sederhana ia menewaskan raja tersebut. Inilah kisah sang bekas penggembala kambing, Nabi Dawud A.S.

Kita pasti pernah dengar amalan puasa Daud. Ya, dia adalah salah seorang Nabi Allah yang amalan puasanya sangat disukai Allah, sehingga karena kehebatannya inilah Nabi Muhammad memberitahukannya kepada para sahabat.

Abdullah bin Amr meriwayatkan, “Rasulullah bertanya kepadaku, “saya mendengar kabar bahwa anda selalu berjaga di waktu malam (beribadah) dan berpuasa di siang hari.” “Benar, ya Rasulullah,” jawab saya. Nabi bersabda, berpuasalah dan berbukalah, salatlah dan tidurlah! Karena tubuhmu mempunyai hak terhadapmu, dan tamumu juga mempunyai hak terhadapmu. Cukuplah bagimu berpuasa sebanyak tiga hari pada tiap bulan.”

Abdullah berkomentar, ”Saya bertahan.” Nabi pun bersikeras pula. “Akhirnya saya memberikan alasan: Ya Rasulullah, saya kuat melakukannya. “Kalau begitu, berpuasalah tiga hari setiap minggu,” ujar Nabi. Abdullah berkomentar lagi, “Saya tetap bertahan.” Tapi Nabi bersikeras pula.  Saya berdalih, “Ya Rasulullah, saya masih sanggup.” “Kalau begitu, berpuasalah seperti puasa Nabi Daud, dan jangan melebihi lagi!” sabda Rasulullah memperingatkan dengan keras. “Ya Rasulullah, bagaimana puasa Nabi Daud itu,” tanya saya. “Beliau sehari berpuasa, sehari tidak,” sabda Nabi.” (HR Ahmad dan lain-lain).

Abdullah bin Amr meriwayatkan, “Rasulullah bersabda, “Puasa yang lebih di sukai oleh Allah ialah puasa Daud, dan salat yang paling disukai Allah, ialah salat Daud. Beliau tidur seperdua malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya. Beliau berpuasa satu hari, lalu berbuka satu hari.” (HR Bukhari Muslim).

Kemampuan Nabi Daud berpuasa, ternyata menurun kepada anaknya, Nabi Sulaiman. menurut Ibn Abbas, Nabi Sulaiman berpuasa tiga hari pada awal bulan, tiga hari pada pertengahan bulan dan tiga hari pada akhir bulan. jadi beliau mengawali bulan dengan puasa, menjalani pertengahannya dengan puasa, dan menutupnya dengan puasa pula.

Sebetulnya hampir setiap Nabi memiliki tradisi berpuasa, seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (umat Muhammad) berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar bertakwa.”

Nabi Daud sangat terkenal sebagai Nabi yang memiliki suara yang sangat merdu dan tidak ada yang bisa menandinginya. Inilah karunia dan rahmat Allah atasnya. Apabila Nabi Daud bernyanyi melagukan kitab Zabur yang berisikan petunjuk dan tuntunan dari Allah SWT, maka orang-orang yang sakit menjadi sembuh. Jin dan Manusia serta burung-burung berkumpul di dekatnya untuk mendengarkan nyanyian itu, serta angin pun menjadi tenang, gunung, burung-burung ikut bertasbih memuji kebesaran Allah. Ketika ia memegang besi, maka besi itu menjadi lunak, seperti kertas, dan dapat dijadikan bermacam-macam keperluan hidup tanpa harus dibakar terlebih dahulu dengan api dan tidak perlu di tempa seperti kebiasaan orang pande besi (As-Saba: 10-11).

Nabi Daud AS adalah Rasul yang kuat agamanya dan luas kerajaannya. Ia dapat mempergunakan gunung-gunung untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Burung-burung berkumpul di dekat istananya, berbunyi, bertasbih memuji Allah. Diantaranya ada yang dipergunakan untuk mengantar surat-surat ke daerah yang jauh. Dia seorang ahli hukum, menghukumi manusia dengan seadil-adilnya.

Tatkala Daud bertasbih, memuji kepada Allah SWT pada waktu pagi dan petang, atas perintah Allah gunung-gunung dan burung-burung pun ikut bertasbih bersamanya. Segala burung pada waktu-waktu tertentu datang berkumpul menghadap Nabi Daud.

Allah SWT menurunkan kepadanya Kitab Zabur. Kitab suci ini berisi tasbih dan pujaan kepada Allah SWT serta kisah manusia dan Nabi-nabi terdahulu dan yang akan datang.

Saat Nabi Daud melagukan puji-pujian kepada Allah dengan suaranya yang merdu. Semesta alam pun mendengarnya dengan syahdu. Suaranya yang merdu, indah tak terlukiskan, maka gunung, pohon dan burung-burung pun ikut bertasbih memuja kebesaran Allah SWT bersama Daud (QS. As- Shad; 17-20).

Nabi Daud berpuasa sehari dan berbuka sehari. Sehubungan dengan itu, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya berpuasa (Sunah) adalah puasa Daud. Beliau berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Beliau membaca Zabur dengan 70 suara, beliau melakukan salat di tengah malam dan menangis di dalamnya, dan karena tangisnya, segala sesuatu pun ikut menangis, dan suaranya dapat menyembuhkan orang yang sakit dan orang yang menderita.”

****

Daud memang orang yang dipilih Allah SWT sehingga dia bisa beriman kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Ia mengetahui keimanan kepada Allah SWT adalah hakekat kekuatan di alam semesta ini. Dalam perang, kemenangan baginya bukan semata-mata ditentukan canggihnya sistem persenjataan dan banyaknya jumlah pasukan.

Nabi Daud AS adalah keturunan yang ke 13 dari Nabi Ibrahim AS dari garis keturunan anaknya yang kedua yaitu Nabi Ishak. Beliau menjadi Raja menggantikan Thalut. Sedangkan di masa itu ada raja kafir yang bernama “Jalut.”

Sepeninggal Nabi Musa dan Nabi Harun, berlalulah tahun-tahun yang cukup panjang tanpa ada peristiwa mengejutkan. Bani Israel telah terusir dari negerinya disebabkan mereka ingkar terhadap kitab suci Taurat. Ketika itu mereka tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran kitab Taurat yang merupakan warisan ajaran Nabi Musa AS. Kitab Taurat telah hilang dan tercerabut dari dalam dada mereka.

Keadaan mereka sungguh tragis. Yang tersisa dari mereka hanyalah seorang wanita hamil yang hari-harinya dilalui dengan berdoa memohon kepada Allah SWT agar Dia memberinya seorang anak laki-laki dan menamainya Asymu’il, yang dalam bahasa Ibrani berarti “Allah SWT mendengar Doaku”.

Lalu anak laki-laki itu tumbuh menjadi dewasa. Ibunya mengirimkan dan menyerahkan kepada seorang lelaki saleh agar belajar kebaikan dan ibadah darinya. Anak lelaki itu pun berada dalam asuhan lelaki saleh itu. Pada suatu malam, ketika ia telah menjadi dewasa, dalam tidurnya ia mendengar suara datang dari sisi masjid. Ia bangun dalam keadaan ketakutan dan mengira bahwa gurunya memanggilnya. Lalu ia pergi menghadap gurunya dan bertanya. “Apakah Guru memanggilku?” sambil keheranan gurunya menjawab. “Ya, ya,” pasalnya ia tidak ingin anak asuhnya merasa ketakutan. Lalu ia pun tidur lagi.

Tak lama kemudian, suara itu pun datang lagi. Memanggil untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya hingga ia pun terbangun. Betapa terkejutnya. Saat ia melihat ternyata sumber suara tersebut mengaku sebagai Malaikat Jibril seraya berkata, “Tuhanmu telah mengutusmu kepada kaummu.”

Pada suatu hari, Bani Israel menemui Nabi yang mulia ini (Nabi Samuel, yang nama Aslinya, Asymu’il). Mereka bertanya. “Tidakkah kami orang-orang yang teraniaya?” dia menjawab, “Benar.” Mereka pun berkata, “Tidakkah kami orang-orang yang terusir?” lalu Nabi tersebut membenarkan. Kaumnya berkata lagi. “Kirimkanlah untuk kami seorang Raja yang dapat mengumpulkan kami di bawah satu bendera agar kami dapat berperang di jalan Allah SWT untuk mengembalikan tanah kami dan kemuliaan kami.”

Nabi Samuel berkata kepada mereka. “Apakah kalian yakin akan menjalankan peperangan jika diwajibkan berperang kepada kalian?” mereka menjawab, “Mengapa kami tidak berperang di jalan Allah SWT sedangkan kami telah terusir dari negeri kami. ”Nabi Samuel berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Thalut sebagai penguasa kalian.” Mereka berkata, “Bagaimana ia menjadi penguasa atas kami, sedangkan kami lebih berhak mendapatkan kekuasaan. Lagi pula ia bukan seorang yang kaya, sedangkan diantara kami ada orang yang lebih kaya daripadanya.”

Mendengar keberatan dari kaumnya, Nabi mulia itu pun berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah memilihnya atas kalian karena ia memiliki keutamaan dari sisi ilmu dan fisik. Dan Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki.”

Mereka bertanya, “Apa tanda-tanda kekuasaan-Nya? Jika itu pilihan Allah, kami tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi agar kami yakin, tunjukkanlah kepada kami suatu tanda?” Nabi mulia itu menjawab, “Baik, sesungguhnya Allah telah mengenal watak kalian yang keras kepala, Imanmu tidak di hati, tetapi di kelopak mata. Pergilah kalian ke padang sana. Kitab Taurat yang dirampas musuh kalian akan kembali kepada kalian. Kitab itu akan dibawa oleh para Malaikat dan diserahkan kepada kalian. Itulah tanda-tanda kekuasaan-Nya.”

Para pemuka Israel pun pergi ke padang yang ditunjuk Nabi mereka. Benar saja, di sana Mukjizat tersebut benar-benar terjadi. Di sana mereka melihat peti perjanjian kitab Taurat. Tak ada alasan lagi, mereka pun akhirnya menerima penunjukan Thalut sebagai Raja mereka.

****

Tanpa menunggu lama, Thalut segera mempersiapkan diri, setelah pengangkatannya sebagai Raja, ia lalu memanggil putra-putra Israel yang cinta kemerdekaan untuk menjadi tentara. Ia membentuk sebuah pasukan tentara yang kuat untuk memerangi Jalut, yakni seorang penguasa yang gagah perkasa dan tak seorang pun yang dapat mengalahkannya.

Salah seorang dari tentara itu adalah Daud. Usianya masih belasan tahun. “Negara membutuhkan tenaga kalian, anak-anakku. Pergilah kalian berjuang membantu Raja Thalut. Tetapi kamu berdualah yang bertempur. Adapun adikmu, Daud, biarlah ikut untuk melayani keperluan kalian berdua. Ia akan membawa persediaan makanan untuk kalian, serta mengirim berita kepadaku!” kata Yusha, ayah Daud, berpesan kepada tiga orang putranya.

Maka pergilah ketiga bersaudara itu bergabung dengan tentara Raja Thalut. Sesuai dengan pesan ayahnya, Daud hanya berada di garis belakang. Tentara Thalut sudah tersusun rapi, mereka terdiri dari para pemuda dan orang-orang pilihan yang kuat. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai tanggungan, sebab hanya orang-orang seperti itulah yang dapat memusatkan diri pada pertempuran.

Berangkatlah pasukan itu ke medan perang. Mereka membawa segala macam senjata yang dapat dipergunakan untuk berperang. Tentara itu sangat sederhana jika dibandingkan dengan tentara Jalut yang jauh lebih maju. Sekalipun sudah menjadi tentara pilihan, Thalut ingin menguji ketaatan tentaranya pada perintahnya. Sebab masih ada orang-orang yang belum mau menerimanya sebagai Raja.

Tatkala hendak menyebrangi sungai, setelah berjalan dalam waktu yang cukup jauh dan melewati gurun dan Gunung sehingga mereka merasa kehausan, Thalut berkata, “Kita akan menyebrangi sungai itu. Ingatlah, tidak boleh minum air sungai itu lebih dari dua teguk, sekedar untuk membasahi kerongkongan. Barang siapa yang meminum air sungai itu sampai dahaga terobati, dia bukanlah tentaraku yang kupercaya. Kita memang sudah berjalan jauh, kita haus, sementara matahari sangat terik. Tetapi ingat, pertempuran yang akan kita hadapi lebih berat lagi daripada sekedar menahan haus. Kalau menahan haus saja kalian tidak sanggup, apalagi untuk memenangkan peperangan!”

Alangkah kecewanya Thalut, ketika tentaranya menyebrangi sungai, sebagian besar tidak mengindahkan larangannya, hanya sebagian kecil yang patuh. Sadarlah Thalut, kekuatannya tidak seperti yang dibayangkannya. Namun jalan mundur sudah tidak ada, apapun yang terjadi, ia harus menjalankan kewajibannya. Biarpun tentaranya tinggal beberapa orang ia tetap bertekad untuk meneruskan peperangan. Thalut ingat akan kata-kata Nabi mereka, Allah akan selalu melindunginya, mengkaruniai kemujuran dan kemenangan.

Akhirnya tentara Thalut bertemu dengan tentara Jalut yang gagah perkasa. Jumlah mereka jauh lebih banyak, senjata mereka juga lebih lengkap, semua di lindungi oleh baju besi. Pimpinan mereka bernama Jalut, seorang yang gagah perkasa. Badannya tegap, tingginya mencapai kurang lebih tiga meter. Sudah sangat terkenal, dalam setiap peperangan Jalut selalu mengamuk dengan ganasnya, tak seorang pun dibiarkan lolos dari sergapannya.

Kedua pasukan tentara yang saling berhadapan itu segera membuat pertahanan masing-masing. Melihat kekuatan tentara Jalut, tentara Thalut mulai berkecil hati. “Kami tidak sanggup menghadapi tentara Jalut. Mereka lebih banyak dan lebih lengkap peralatanya.”

Tetapi sekelompok kecil tentara Thalut tetap pada pendirianya. Mereka ini adalah pasukan yang tidak melanggar perintah Thalut tatkala mereka menyebrangi sungai itu. Mereka berkata, “Sudah sering terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak, dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar (Al-Baqarah: 249).

Sementara itu, Jalut si pemimpin pasukan yang perkasa itu terdengar berteriak-teriak. Suaranya menggelagar jauh melintasi gurun, menggema dari lembah ke lembah, membuat takut burung-burung. Jalut berteriak menantang, siapa jagoan dari tentara Thalut untuk berduel satu lawan satu.

Suara Jalut terdengar jelas, sekalipun cukup jauh. Tetapi tidak ada seorang pun tentara Thalut itu yang berani maju menantang Jalut. Meskipun ejekan dan hinaan datang bertubi-tubi dari Jalut, tentara Tahlut diam ketakutan.

“Siapakah orang yang berani menjawab tantangan Jalut ini? Sesungguhnya ini adalah kesempatan baik untuk memenangkan peperangan ini. Sebab jika Jalut kalah, tentara musuh itu pasti mudah dikalahkan. Mereka akan lari ketakutan. Sedangkan kalau peperangan melawan mereka semuanya, belum tentu akan menang!” pikir Thalut di dalam kemahnya.

Timbul keinginan ia sendiri yang akan menghadapi Jalut. Tetapi kalau ia gugur, tentaranya akan lari tunggang-langgang karena tidak ada yang memimipin.

****

Ketika Thalut sedang resah, masuklah menghadap seorang anak, badannya tegap, matanya bercahaya, wajahnya tampan, suaranya pun merdu, dialah Daud bin Yusya. “Saya ingin menutup mulut Jalut yang sombong itu!” kata Daud kepada Thalut.

“Di seluruh tentara yang banyak ini, hanya kau yang berani, tetapi kau masih anak-anak,” kata Thalut sambil menatap mata Daud dalam-dalam. Hatinya mengatakan, anak yang berdiri dihadapannya ini bukanlah manusia biasa. “Mungkinkah Allah telah mengirimkan anak ini kepadaku untuk memenangkan peperangan ini?” Pikir Thalut sambil membandingkan dirinya yang tadinya juga hanya seorang gembala, sama dengan Daud. Tetapi karena Allah SWT menghedaki, saat ini ia menjadi Raja.

“Beberapa hari yang lalu saya telah menangkap seekor singa karena ia hendak menerkam dombaku. Sebelum itu saya juga pernah membunuh seekor beruang ganas!” kata Daud meyakinkan.

Mendengar kata-kata Daud itu, Thalut tidak bimbang lagi, Daud di izinkan maju ke gelanggang. Maka di berikanlah Daud baju Zirah, pedang dan perisai. Namun ia menolak mengenakan baju besi, topi baja dan senjata yang diberikan kepadanya. “Saya tidak bisa menggunakan itu semua,” kata Daud.

Tetapi Jalut mengenakan baju perang dan bersenjata lengkap. “Kau memakai senjata apa?” tanya Thalut. “Saya pakai ini saja!” sahut Daud. Ia memperlihatkan sebuah tongkat, sebuah ketapel, dan beberapa batu kerikil. “Kau yakin akan menang dengan senjata itu saja,” tanya Thalut keheranan.

“Allah telah menyelamatkan diriku dari terkaman singa dan beruang ganas, kenapa Ia tidak menolongku dari pedang Jalut yang durhaka itu? Bukankah ia telah menghina Tuhan, Allah SWT?” kata Daud bersemangat.

Daud lalu berangkat, di iringi doa oleh Thalut, kemudian diarak keluar barisan tentara. Daud maju ke gelanggang dengan senjata apa adanya. Di sana Jalut sudah menanti seraya berkoar petentang-petenteng.

“Hai, bocah cilik! Apakah engkau sudah bosan hidup? Mana pedangmu, hah? Tongkatmu itu? Untuk memukul anjingkah itu? Atau untuk bermain dengan teman sebayamu? Sayang betul, engkau masih muda akan mati dulu. Kalau kau tetap menentangku juga, dagingmu akan menjadi makanan burung dan binatang buas!” kata Jalut berteriak-teriak menyombongkan diri.

Tetapi Daud tidak gentar, ia terus maju mendekat. Melihat Daud maju terus, Jalut mulai waspada. Ia mendekati tombak panjangnya yang dipancangkan beberapa buah tak jauh darinya.

“Jalut engkau boleh menyombongkan diri dengan tombak dan pedangmu. Boleh merasa aman dilindungi baju zirah dan topi bajamu. Tetapi percayalah, semuanya itu takkan mampu melindungimu. Ketahuilah, aku datang ini atas nama Tuhan, Allah SWT, yang menciptakan langit dan bumi serta seisinya, yang telah kau hina dan kau ejek selama ini. Sebentar lagi akan kita buktikan, pedang atau tombakmu yang menghabisi nyawaku, atau kehendak Tuhan yang berlaku atas dirimu!” sahut Daud menjawab tantangan Jalut.

Mendengar kata-kata Daud itu, Jalut amat marah sekali. Disambarnya tombaknya, lalu dilemparkannya ke arah Daud, tapi Daud menghindar dengan gerakan yang sangat tangkas. Berkali-kali Jalut melemparkan tombaknya, tapi tak satupun yang mengenai Daud, sebab ia selalau bisa menghindar.

“Sekarang giliranku!” teriak Daud. Daud mengambil ketapelnya, dengan batu kerikil sebagai pelurunya. Dengan gerakan yang sangat cepat, ketapel itu di tembakkan ke muka Jalut. Batu kerikil itu menancap diantara kedua alisnya. Darah mengalir membasahi matanya. Jalut tidak dapat melihat dengan jelas. Ia berteriak-teriak, meraung-raung kesakitan seperti seekor singa yang terluka.

Daud tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, batu kedua dan ketiga dilepaskannya, keduanya mengenai kepala Jalut. Penglihatan Jalut berkunang-kunang. Dunia terasa berputar. Akhirnya, Jalut yang bersenjatakan lengkap dan selalu di agung-agungkan itu tersungkur jatuh mencium tanah. Tak lama kemudian, dia pun mati, dengan cara yang sangat sederhana, dengan senjata ketapel.

Lalu Daud mengambil pedang Jalut. Sementara hampir seluruh pasukan lawan lari tunggang langgang karena ketakutan. Namun masih ada sisa-sisa tentara Jalut yang terpaksa bertahan, dan peperangan pun terjadi antara kedua pasukan itu.

Tentara Thalut di bawah pimpinan Daud bersorak sorai, kemenangan di pihak mereka. “Mereka mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan Daud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 251).

Bangsa Israel pun kembali memasuki kampung halamannya. Nama pahlawan Daud harum semerbak. Setiap orang membicarakannya, setiap orang mengisahkan keberaniannya, kegagahannya, kepintarannya. Namun tak kurang pula yang membicarakan ketampanan wajahnya.

Seluruh rakyat menghormati Daud, tidak hanya karena kepahlawanannya, tetapi juga budi pekertinya yang mulia, sifat-sifatnya yang terpuji, serta suaranya yang amat merdu. Segalanya menjadi bahan pujian yang tak habis-habisnya. Raja Thalut pun tak luput memujinya. Ia mencintai dan menghormati Daud. Ia lalu diangkat menjadi penasehatnya. Selain itu, Daud juga diserahi tugas untuk memimpin tentara sekaligus dijadikan menantu Raja, menjadi suami putri Raja yang paling cantik.

Namun Daud tidak begitu senang dengan semua itu. Ia pergi ke gurun dan gunung. Ia merasakan kedamaian di tengah-tengah makhluk yang lain. Di saat mengasingkan diri, Daud bertobat kepada Allah SWT dan memuliakan-Nya. Allah mengangkat Daud sebagai seorang Nabi dan memberinya Kitab Zabur. “Dan kami berikan Kitab Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra: 55).

 

****

Ketika Allah mencintai seorang hamba, dia jadikan manusia juga mencintai mereka. Begitu pula yang terjadi pada Daud. Manusia mencintai Nabi Daud sebagaimana burung-burung, hewan-hewan dan gunung-gunung pun mencintainya.

Sungguh nama Daud menjadi pujaan seluruh negeri, ia tetap rendah hati, ia tidak pernah menyombongkan diri, bahkan tidak pernah menceritakan kepahlawanannya. Meski begitu, melihat hal demikian, timbul rasa cemburu dalam hati Raja Thalut, ia khawatir suatu saat, tak lama lagi, menantunya Daud akan mengambil tahta darinya. Padahal Daud tidak pernah berpikir untuk menjadi Raja. Bahkan ia tidak ingin di puja-puja, rakyatnya sendirilah yang memperlakukan demikian.

Maka, tatkala melihat perubahan sikap ayah mertuanya, ia sangat heran. Daud mencoba mawas diri, apa sesungguhnya kesalahan yang telah diperbuatnya. Mengapa Thalut sering bermuka masam terhadapnya? Daud tidak menemukan jawabannya. Ia merasa tidak melakukan kesalahan kepada Rajanya, tetapi tingkah laku Thalut semakin menjadi-jadi. Maka di tanyakanlah hal itu kepada istrinya.

Menurut sang istri, ayahnya merasa iri kepada Daud. Kecintaan kepada Daud yang semakin meluas dikalangan rakyat sudah melebihi kecintaan mereka kepada Rajanya. Hal itu sangat mencemaskan Thalut.

“Ayahku khawatir, karena semakin tinggi wibawamu, semakin merosot pula wibawa ayahku. Sungguh, semula ayahku seorang petani miskin, tetapi sekarang ia sudah merasakan nikmat menjadi orang yang berkuasa. Beliau tidak rela tahta yang di dudukinya diambil alih orang. Ayahku sudah lupa, ia menjadi Raja atas kehendak Allah SWT. Sebaiknya kita menyingkir saja dari sini.” Kata istri Daud seraya menangis.

Malam sudah larut, Daud tidak bisa memejamkan matanya. Akhirnya Daud menyerahkan semua persoalan itu kepada Allah SWT. “Jika Allah menghendaki, apapun bisa terjadi!” bisik Daud dalam hati, dengan pasrah dan tawakkal, Daud pun tertidur.

Keesokan harinya, tanpa di duga, seorang utusan datang memberi tahukan, ia dipanggil menghadap Raja, “Baik saya segera datang!” sahut Daud tanpa ragu. Tidak lama, Daud sudah berdiri di hadapan sang Raja.

****

“Daud!” kata Raja dengan muka manis yang dibuat-buat, “Belakangan ini hatiku selalu dibuat risau, soalnya musuh kita bangsa Kan’an, telah mempersiapkan tentaranya yang sangat kuat, mereka akan menyerbu kita. Mula-mula saya ragu untuk menugasimu. Kau tahu aku sangat menyayangimu, lagipula kau adalah menantuku. Tapi sekarang tidak ada pilihan lagi, tugas negara jauh lebih penting. Pimpinlah tentara kita ke luar kota, hadapi musuh di luar daerah kita. Hancurkan mereka, saya hanya ingin mendengar berita kemenangan!”

“Perintah Raja saya laksnakan! Jika Allah mengizinan, saya pasti kembali dengan bendera kemenangan!” sahut Daud dengan keyakinan penuh. Daud merasa ada tipu muslihat di dalam perintah itu, namun ia tidak ragu menjalankan perintah itu.

Memang sesungguhnya Thalut sedang mengatur rencana jahat. Ia mengharapkan Daud gugur dalam pertempuran itu. Ia tahu tentara musuh sangat kuat, sedangkan tentara yang dibawa Daud hanya sedikit jumlahnya. Thalut ingin memperoleh dua keuntungan sekaligus, Daud gugur, sedangkan musuh ikut binasa.

Tetapi apa yang terjadi? Daud memimpin tentaranya menyerbu ke tengah-tengah musuh yang sangat banyak jumlahnya. Seperti ada tentara malaikat yang membantunya turun dari langit. Tentara musuh di halaunya. Tentara musuh di hancurkan, sisanya lari tunggang langgang. Maka kembalilah Daud dengan bendera kemenangan. Sepanjang jalan Daud di elu-elukan rakyat. Kegagahannya di medan perang makin kesohor. Keharumanya sebagai pahlawan tiada tandingannya.

Thalut sangat kecewa ketika Daud kembali dengan kemenangan yang gilang gemilang. Maka timbullah rencana paling keji di hati Raja itu. Ia akan membunuh Daud dengan tangannya sendiri. Raja Thalut yang dulu alim itu, sekarang benar-benar dikuasai iblis. Namun rencana itu di ketahui oleh istri Daud yang telah memasang mata-mata di segenap sudut istana. “Sekarang kita harus menyingkir, ayah sudah mengatur rencana serapi-rapinya. Kau akan di bunuh, tidak akan bisa lolos jika kita tidak menyingkir terlebih dahulu!” kata istri Daud.

Pagi harinya, saat Thalut sudah tahu bahwa Daud telah lari, ia sangat marah, kesal dan kecewa bercampur rasa malu, karena rencana jahatnya telah bocor. Sekarang perselisihan dengan Daud sudah semakin terbuka dan hal itu diketahui oleh rakyatnya.

****

Tentara dan rakyat tahu bahwa Daud keluar dari Istana, desas-desus tersiar luas, Raja Thalut hendak membunuh panglima perang dan menantunya itu, Daud. Raja iri hati, dengki, takut kalau-kalau Daud semakin dicintai rakyatnya.

Mendengar hal itu, rakyat dan tentara bukannya menjauhi Daud, mereka tahu bahwa Daud adalah panglima perang gagah perkasa yang telah mengangkat derajat mereka. Ia telah menyelamatkan mereka dari ancaman musuh. Rakyat dan tentara pun berbondong-bondong pergi keluar kota. Mereka mencari Daud, saat menemukannya, mereka menyatakan kesetiaannya kepada Daud.

Raja Thalut semakin geram melihat pengaruh Daud. Sekarang sudah jelas Daud mempunyai tentara dan rakyat sendiri. Tentara dan rakyat hanya taat kepada Daud. Mereka tidak lagi mengakui kekuasaan Thalut. Tentu saja hal ini semakin membuat Thalut marah dan kalap. Ia ingin membinasakan Daud. “Apapun resikonya Daud harus dilenyapkan!”

Pada suatu hari Thalut memimpin  pasukannya langsung untuk menghancurkan Daud. “Saya tidak ingin berperang kalau tidak karena terpaksa. Karena itu, sebaiknya kita mencari tempat bersembunyi,” kata Daud kepada para pengikutnya saat di laporkan kepadanya bahwa Thalut sedang bergerak maju.

Dipimpin oleh Daud sendiri, akhirnya mereka menemukan sebuah tempat perlindungan dalam gua batu-batu. Sangat sulit menemukan tempat yang aman itu. Sementara Daud memerintahkan tentaranya untuk menyusun siasat, tujuannya agar dapat mengelabui Raja Thalut dan tentaranya.

Benar saja, setelah berhari-hari Thalut dan tentaranya tidak berhasil menemukan persembunyian Daud, akhirnya Thalut memerintahkan agar semua tentaranya beristirahat karena kecapaian. Mereka pun terlelap tidur dengan cepat.

Para pengintai melaporkan kepada Daud, bahwa Raja Thalut dan semua prajuritnya sedang tidur kecapaian, tak jauh dari tempat persembunyian mereka. “Sekarang saatnya kita menghancurkan Thalut,” kata para pengikut Daud mendesak. Tetapi diluar dugaan, Daud menolak desakan para pengikutnya. “Belum waktunya kita menghancurkan mereka, saya yang akan memberikan pelajaran kepada Thalut”. Kata Daud.

Diiringi beberapa orang tentaranya, Daud mendatangi tempat Thalut dan pasukannya tidur, Daud mengambil sendiri Lembing Thalut yang diletakkan dekat kepalanya. Suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak mengenal rasa takut.

Bukan main terkejutnya Thalut saat terbangun dari tidurnya, dimana ia kehilangan senjata andalannya semua prajurit dan pengawal yang ditanyai tidak ada yang tahu. Keadaan gempar. Tiba-tiba muncul seorang utusan Daud.

“Lembing tuan tidak hilang, tetapi diambil oleh Daud selagi tuan tertidur lelap. Saya disuruh mengembalikannya. Daud tentu dapat membunuh tuan jika mau, namun beliau hanya ingin menyadarkan tuan, agar kembali insyaf. Hendaklah tuan segera bertobat kepada Allah SWT serta menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk, dengki serta berburuk sangka,” kata utusan itu menyampaikan pesan Daud seraya menyerahkan lembing kepada Thalut.

Gemetar sekujur tubuh Thalut. Mukanya pucat. “Katakan kepada Daud, aku mengakui bahwa ia lebih adil dan lebih baik dari aku. Ia telah menunjukkan jiwa besarnya serta keluhuran budi yang luar biasa,” kata Thalut.

Di puncak bukit Daud dan beberapa pengikutnya tampak berdiri. Thalut memandangnya dengan terharu, marah, kesal bercampur malu. Berbagai perasaan bercampur baur dalam hatinya. Pikiran dan perasaannya benar-benar tidak menentu. Thalut pulang dengan perasaan kecewa.

Tetapi Thalut bukannya bertobat, malah semakain sakit hatinya. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu menghajar Daud. Lagipula kedudukannya tidak akan aman selagi Daud masih hidup. Lebih-lebih tentaranya sudah lebih dari dua pertiga bergabung dengan Daud.

Pada suatu hari Thalut kembali memimpin tentaranya, jumlahnya lebih besar, dengan peralatan yang jauh lebih hebat dan lengkap. Para pengintai melaporkan kedatangan Thalut kepada Daud, segera setelah itu, Daud memerintahkan tentaranya untuk bersembunyi demi menghindari perang saudara.

Maka dibagilah tentara Daud menjadi beberapa kelompok untuk mengelabui Raja Thalut dan tentaranya. Strategi Daud berhasil, mereka tidak menemukan persembunyiannya. Di lain pihak, Thalut dan tentaranya kelelahan dan istirahat hingga tertidur kelelahan. “Mereka semuanya telah tidur, kalau kita menyerang mereka, niscaya binasalah mereka, termasuk Thalut,” kata seorang prajurit pengintai melaporkan.

Daud dan beberapa pengikutnya yang paling setia lalu mendatangi Thalut dan tentaranya yang sedang tertidur lelap. Daud melangkahi beberapa prajurit musuh. Setelah sampai di dekat Thalut, ia mengambil senjata dan kendi berisi air yang di letakkan di dekat kepala Thalut. Kemudian dari atas bukit, tidak jauh dari tempat itu, Daud berseru sekuat suaranya.

“Lihatlah ini panah dan kendi Raja Thalut yang telah saya ambil sendiri dari dekat lehernya. Silahkan ambil kesini. Saya tidak bermaksud membunuh Raja Thalut, tetapi untuk memberikan peringatan yang kedua kali, agar tidak menuruti kata-kata iblis yang telah menguasai dirinya. Jika saya mau, tentulah saya dapat membunuhnya. Thalut, sadarlah…!”

Teriakan Daud itu terdengar sangat agung, seperti bukan suara manusia biasa. Kata-kata Daud itu amat berkesan di hati Thalut. Sekarang ia sadar, iblislah yang mendorongnya untuk merencanakan pembunuhan terhadap  Daud. Thalut sekarang benar-benar insyaf, ia menyesal dan menangis, mencucurkan air mata, minta pengampunan Allah SWT.

Dengan langkah tertegun-tegun ia pulang ke Istananya. Setibanya disana, ditanggalkannya semua baju kebesarannya. Sekarang pikiran dan tujuan hidup satu-satunya hanyalah minta pengampunan Allah SWT. Ia ingin bertobat, menebus dosa-dosanya.

Tengah malam ia keluar dari Istananya, tidak seorang pun yang mengetahui kemana ia pergi. Ia pergi dan tak pernah kembali. Ia mengembara melepaskan rindu di hati. Rindu kepada pengampunan Allah SWT. Tak lama setelah kepergian Thalut itu, Daud dinobatkan sebagai Raja. Itulah yang menjadi kehendak Allah SWT.

Allah SWT memperkuat kerajaan Daud, dan selalu menjadikannya menang ketika melawan musuh-musuhnya. Allah menjadikan kerajaannya sangat besar, sehingga diakui oleh musuh-musuhnya meskipun tidak dalam peperangan.

Allah menambahkan nikmat-Nya kepada Daud dalam bentuk hikmah dan kemampuan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan. Maka sempurnalah kenabian yang Allah berikan kepada Daud.

****

Bagaimanapun juga meskipun Daud seorang nabi namun dia hanyalah manusia biasa. Suatu ketika dia berdoa kepada Allah SWT agar diuji dengan ujian berat sebagaimana para nabi yang lain sehingga maqomnya bisa mendaki ke tingkat tertinggi pendakian spiritual. Dan Allah pun mengabulkan permohonan Daud.

Pada suatu hari, datanglah Iblis dalam bentuk burung yang sangat indah memasuki istananya yang bertingkat. Daud tertarik dan berusaha menangkapnya. Burung itu terbang dan hinggap di jendela. Saat mendekati jendela itulah, Daud melihat seorang perempuan sangat cantik molek yang sedang telanjang mandi di sebuah kamar mandi di rumah di bawah gedungnya.

Timbullah nafsu dan Daud kepada wanita itu. Disuruhnya para perwira kerajaan kepercayaannya untuk mencari informasi siapa wanita yang sedemikian menggairahkan tersebut. Ternyata diketahui, dia adalah isteri dari seorang seradadu tentaranya yang sedang maju ke medan perang.

Padahal saat itu daud sudah mempunyai istri berjumlah 99 orang. Nafsunya membuat keinginannya muncul untuk memperisteri wanita itu. “Ada baiknya menggenapkan jumlah isteriku menjadi menjadi 100 orang,” ujarnya dalam hati. Namun hatinya gundah, betapa tidak..si wanita menggairahkan tersebut sudah punya suami.

Daud memutar otak dan mencari cara agar suami wanita tersebut mati. Ketemu caranya: Suami wanita tersebut dipanggil dan diutus maju perang. Akhirnya dia pun tewas di tangan musuh. Wanita cantik molek menggairahkan tersebut kemudian dinikahinya.

Dosa tetaplah sebuah dosa. Kesalahan tetaplah sebuah kesalahan. Daud pun terkena hukum alam tersebut dan Allah SWT tidak akan menyalahi janjinya. Tuhan pun mengutus dua Malaikat ke Istana Daud. Pada suatu hari Nabi Daud berada di Mihrabnya melaksanakan salat dan beribadah.

Ketika memasuki kamarnya, ia memerintahkan para pengawalnya untuk tidak mengizinkan seseorang pun masuk menemuinya atau mengganggunya saat ia salat. Tiba-tiba dua orang laki-laki tak dikenal masuk ke kamarnya. Kedua tamu tak undang itu mengatakan bahwa mereka akan minta hukum yang adil dari Raja. Raja Daud heran, bagaimana kedua laki-laki itu masuk. Bukankah pintu gerbang dijaga ketat oleh para pengawal istana?

Daud pun bertanya, “Apa masalahnya?” laki-laki yang pertama berkata, “Saudaraku ini mempunyai 99 kambing betina, sadangkan aku hanya mempunyai seekor, ia telah mengambilnya dariku untuk menggenapkan miliknya menjadi 100 ekor. Ia mengajukan beribu macam alasan, sehingga sulit bagiku untuk menolaknya, lagipula ia memang lebih pintar berdebat denganku,” kata salah seorang laki-laki itu.

“Benarkah apa yang dikatakan oleh saudaramu itu? Tanya Nabi Daud kepada laki-laki yang seorang lagi. “Benar,” kata orang itu. “Kalau benar demikian, sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya.

Daud terkejut ketika tiba-tiba dua orang itu menghilang dari hadapannya. Akhirnya, tahulah Daud bahwa kedua lelaki itu adalah Malaikat yang diutus oleh Allah SWT kepadanya untuk memberikan pelajaran dengan cara menyindir perlakuan Daud yang telah membunuh suami dari wanita cantik molek tadi. Padahal harusnya seorang raja justeru harus mengambil keputusan hukum yang adil dan melindungi nyawa rakyatnya.

Peristiwa memalukan itu membuat Daud merasa bersalah seumur hidup. Ia tunduk jatuh tersungkur kepada Allah SWT dan minta ampun kepada-Nya (QS. As-Shad: 25). Allah SWT mengirimkan Jibril untuk memberi perintah kepada Daud agar mendatangi arwah suami wanita tadi di kuburan dan memintanya untuk memaafkan dosa yang telah diperbuatnya. “Astaghfirullahaladzim, arwah tersebut tidak mau memaafkan saya dan dia hanya diam saja tidak mau mengikhlaskan kesalahanku” ujar Daud sambil menangis menjadi jadi.

Sejak mendapat teguran itu, Daud sangat malu kepada Allah SWT. Ia merasa kesombongannya sebagai raja sudah sangat melampaui batas dan harus dipupuskan dengan bertaubat nasuha.

“Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah, yang demikian adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.

Pantaskah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS Shad: 17-28).

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan, kata “Al-Ayad” berarti kekuatan dalam ketaatan, maksudnya adalah kekuatan dalam beribadah dan beramal salih. Sedang Qatadah mengemukakan, Nabi Daud diberi kekuatan beribadah dan diberi taufik dalam memegang keyakinannya, sebagaimana telah disebutkan, Daud senantiasa melakukan “Qiyamul Lail” (salat Tahajud) dan mengerjakan puasa Dahr (puasa sepanjang tahun, sehari puasa, sehari tidak).

Sulaiman anaknya

Tuhan Maha berkehendak. Dia mengangkat derajat siapa saja yang dikehendakinya. Nah, dari isteri sang wanita cantik molek tadi, Nabi Daud beroleh seorang anak yaitu Nabi Sulaiman. Ia adalah anak yang cerdas, dan kecerdasannya itu tampak sejak masih kecil. Seperti biasa Daud duduk dan memberikan keputusan hukum kepada rakyatnya dan menyelesaikan persoalan mereka. Seorang lelaki pemilik kebun datang kepadanya disertai lelaki lain. Pemilik kebun itu berkata kepadanya,

“Tuanku wahai Nabi, sesungguhnya kambing laki-laki ini masuk ke kebonku dan memakan semua anggur yang ada di dalamnya. Aku datang kepadamu agar engkau menjadi hakim bagi kami. Aku menuntut ganti rugi.”

Daud berkata kepada pemilik kambing. “Apakah benar bahwa kambingmu telah memakan kebun lelaki ini? Pemilik kambing itu berkata, “Benar wahai tuanku.” Daud berkata, “Aku telah memutuskan untuk memberikan kambingmu sebagai ganti dari apa yang telah di rusak oleh kambingmu.”

Lalu Sulaiman yang saat itu baru berusia 11 tahun, berkata, “Aku memiliki hukum yang lain, wahai ayahku.” Daud berkata, “Katakanlah wahai Sulaiman.”

Sulaiman berkata, “Aku memutuskan agar pemilik kambing mengambil kebun laki-laki ini yang buahnya telah dimakan oleh kambingnya. Lalu hendaklah ia memperbaikinya dan menanam disitu sehingga tumbuhlah pohon-pohon anggur yang baru. Dan aku memutuskan agar pemilik kebun itu mengambil kambingnya sehingga ia dapat mengambil manfaat dari bulunya dan susunya serta makan darinya. Jika pohon anggur telah besar dan kebun tidak rusak atau kembali seperti semula, pemilik kebun itu dapat mengambil kembali kebunnya, dan begitu juga pemilik kambing pun dapat mengambil kambingnya.”

Daud berkata, “ini adalah keputusan yang hebat, wahai Sulaiman. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberimu hikmah ini. Engkau adalah Sulaiman yang benar-benar bijaksana.” (Al-Anbiya: 78-79).

Daud memerintah selama 40 tahun. Pemerintahannya mendatangkan kemakmuran, keadilan serta kesentosaan bagi rakyatnya. Ia meninggal dalam usia lanjut. Dalam kemuliaan dan kebesaran, putranya Sulaiman telah dipersiapkan sebagai penggantinya. Sulaiman pun kemudian mewarisi sang ayahanda: menjadi Raja dan juga sebagai Nabi yang termasyhur karena ketaatan,  kekuatan, kekayaan dan kekuasaannya.

@@@ SUMBER: Majalah Alkisah nomor 21 / 10-23 Okt 2005 dan beberapa sumber lain di internet.

BERITA MISTIK: BERMODAL JIMAT AIR MANI GAJAH, NARAPIDANA GAET MILYARAN RUPIAH

Sumber: detikcom, Senin (21/1/2013).

legi-kotagede-012Mendekam dalam Lapas Rajabasa, Bandar Lampung, tidak menghalangi Mulyadi melakukan aksi penipuan. Bermodal jimat warisan keluarga, terpidana kasus perkosaan tersebut berhasil menipu hampir dua milyar rupiah. Uniknya tidak satu pun dari para korban penipuan itu yang pernah ditemuinya langsung.

Jimat seperti apa yang Mulyadi warisi itu? “Pada saat digeledah, di dompet Mulyadi ditemukan potongan kulit harimau yang dibaluri air mani gajah,” kata Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Lampung, Kombes Johanes Widodo, kepada detikcom, Senin (21/1/2013).

Menurutnya, kepada polisi yang mencokoknya di sel Mulyadi menyebut potongan kulit harimau berbalur air mani gajah tersebut sebagai jimat warisan keluarga. Dia memperoleh jimat unik itu dari orang tuanya yang juga memperolehnya secara turun temurun.

“Katanya cukup sekali ngobrol dengan dia, orang langsung percaya,” tutur Johanes. Dia enggan berspekulasi apakah benda tersebut yang membuat korban mudah diperdaya.

Mulyadi merupakan napi kasus perkosaan yang menerima vonis 11 tahun penjara. Warga Natar, Lampung Selatan ini baru menjalani massa kurungan 3 tahun dari vonis yang dijalankan.

mani-gajahPolisi menangkapnya Minggu (20/1) di Lapas Rajabasa, setelah sehari sebelumnya menangkap Windarto, warga Bandar Lampung, yang menjadi kaki tangan tersangka. Windarto ditangkap saat akan menggambil uang hasil penipuan di sebuah ATM di RS Immanuel, Bandar Lampung, Sabtu (19/1).

Selain itu, polisi juga menemukan hasil rekapan penipuan korbannya. “Ada rekap yang disetor korban kepada tersangka, totalnya itu Rp 1,6 milyar sekian,” ungkap Johanes.

Pihak kepolisian terus mengembangkan kasus tersebut. Beberapa korban telah melaporkan aksi penipuan tersebut ke Polda Lampung.

“Ada yang menyetor sampai Rp 400 juta, terakhir perempuan yang menyetor Rp 87 juta, katanya dia (tersangka) merupakan perwira yang mau dimutasi,” papar Johanes.

JADI,  WASPADALAH WASPADALAH WASPADALAH…

CAHAYA KEWALIAN SYAIKH ABU HASAN ASY SADZILI

“SIAPA YANG INGIN BERSAHABAT DENGAN ALLAH, MAKA SEHARUSNYA IA MEMULAI DENGAN MENINGGALKAN SEGALA SYAHWAT DIRI. SANG HAMBA TIDAK AKAN SAMPAI KEPADA ALLAH, JIKA MASIH ADA PADA DIRINYA SEGALA KESENANGAN DIRINYA. DAN TIDAK JUGA SAMPAI, JIKA DALAM DIRINYA ADA SEGALA KEINGINAN.”

 Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili lahir Ghumarah, Maroko, 1197 – wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.

 Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili Al-HasaniSyekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri tarekat Syadziliah. Nasab Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Nabi Muhammad SAW. Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya’, bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Muhammad, bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW

 Sebagian besar sumber yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili sepakat bahwa dia lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah dekat kota Sabtah (sekarang kota Ceuta, di Afrika Utara). Dia tumbuh di desa ini. Dia menghapal Al Quran Al-Karim dan mulai mempelajari ilmu syariat. Kemudian dia pergi ke kota Tunis ketika masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah. Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun dia tidak berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis al-Qamus. Ada juga yang mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut karena dia tekun beribadah di sana.

 Asy-Syadzili berkulit sawo matang, berbadan kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang, dan lidahnya fasih serta perkataannya baik. Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaian yang indah setiap kali memasuki masjid. Dia tidak pernah terlihat memakai baju-baju bertambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi. bahkan selalu mengenakan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan menungganginya. Dia selalu menasihatkan untuk bersikap moderat.

 Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau.

 Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

 Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.

 Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.

 Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.

 Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

 Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

 Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.

 Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.

 Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”

 Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

 Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

 Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.

 Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

 Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

 Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”

 Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”

 Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.

 Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.

 Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

 Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

 Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :

  1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
  2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
  3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
  4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
  5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
  6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
  7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
  8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
  9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
  10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
  11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari
  12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
  13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
  14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
  15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
  16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
  17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
  18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
  19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
  20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

 Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.

 Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

 Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”

 “Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menjadikan engkau seorang Quthub.”

 Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

 Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘

 Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

 Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

 Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

 Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

 Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

 Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluan beliau.

 Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

 Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.

 Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untukKu dan demi cinta kepada-Ku.”

 Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

 Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

 Kalau dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati sebuah nama yang memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut adalah nama yang dia peroleh dalam perjalanan ruhaniah.

 Dalam hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : “Ketika saya duduk di hadapan Syekh, di dalam ruang kecil, di sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata, “Wahai, Abu al–Hasan, kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya Syekh tersenyum dan berkata, “Dia telah menjawab pertanyaanmu”.

 Selanjutnya Syekh Abdussalam memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili –padahal pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal dengan nama tersebut-.

Sebelum berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata, “Ingatlah Allah, bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat, kerjakanlah amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap Allah, maka kamu akan memperoleh derajat orang yang wara’. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan doa, “Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal ‘awaaridhi min qibalihim wanajjinii min syarrihim wa aghninii bi khairika ‘an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati min bainihim innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir”.

 Selanjutnya sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniah kali ini dia banyak mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan cobaan tersebut justru semakin menambah tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih.

 Sesampainya di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan muridnya menuju gua yang berada di Gunung Za’faran untuk munajat dan beribadah kepada Allah SWT. Selama beribadah di tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki keramat dan tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan yang tinggi.

 Pada akhir munajat-nya ada bisikan suara , “Wahai Abu al-Hasan turunlah dan bergaul-lah bersama orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu, kemudian beliau berkata: “Ya Allah, mengapa Engkau perintahkan aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu” kemudian dijawab: “Sudahlah, turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka” kemudian beliau berkata lagi : “Kalau aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka? Suara itu kembali menjawab : “Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizik dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.

 Dalam dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili padahal dia bukan berasal dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: “Aku tidak menyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu adalah syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan mencintaiku”.

 Dialog ilahiyah yang sarat makna dan misi ini membuatnya semakin mantap menapaki dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang dituju wali agung ini.

 Di Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut banyak para ulama dan para sufi. Di antara mereka adalah karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.

 Popularitas Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai terdengar di telinga Qadhi al-Jama’ah Abu al-Qasim bin Barra’. Namun aroma ini perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan kepada Sultan Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi.

 Sultan meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan dan Qadhi Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa kemampuan Syekh Abu al-Hasan.

 Banyak pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan di depan umum. Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi’i, dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru semakin semerbak memenuhi berbagai lapisan masyarakat.

 Qadhi Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban as-Syadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin bertambah, kemudian dia berusaha membujuk Sultan dan berkata: “Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan menurunkanmu dari singgasana”.

 Ada pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari singgasana. Sultan demi mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama’ fikih untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam istana.

 Kabar penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya. Dengan penuh rasa prihatin si karib berkata, “Orang-orang membicarakanmu bahwa kamu telah melakukan ini dan itu”. Sahabat tadi menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, “Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan adab syara’ maka aku akan keluar dari sini –seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung terbelah, kemudian Syekh berkata kepadaku: “Ambilkan aku satu teko air, sajadah dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa hanya sehari saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan bertemu lagi”.

 Tunis, kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu al-Hasan menuju negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar mencerminkan antara seorang mursyid dan murid.

 Adapun sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, “Aku bermimpi bertemu baginda Nabi, beliau bersabda padaku : “Hai Ali… pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut kepadaku”.

 Di Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Semasa di Mesir beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung ini. Di antara mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri, Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak di jalan Al-muiz li Dinillah.

 Selama berada di Tunisia, beliau bersahabat dan banyak berdiskusi dengan para Ulama dan kaum Sufi besar disana. Di antara mereka terdapat :

  • Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf As Syazili
  • Abu Abdullah Al Shabuni
  • Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Paituni
  • Abu Abdillah Al Binai Al Hayah
  • Abu Abdillah Al-Jarihi

 Sedangkan diantara murud-murid beliau di Tunisia, dimana sebagian mereka adalah para Ulama kenamaan’ yaitu :

  • Izzudin bin Abdul Salam
  • Taqiyudin bin Daqiqi’id
  • Abul Adhim Al-Munziri
  • Ibnu Shaleh
  • Ibnu Hajib
  • Jamaluddin Usfur
  • Nabiuddin bin Auf
  • Muhyiddin bin Suraqah
  • Ibnu Yasin

 Diantara kemuliaan beliau, sebagaimana kesaksian sahabat seperjalanannya, bahwa diutusnya Syekh Abul Hasan Ali As Syazili oleh gurunya agar berangkat menuju Iskandaria, karena di kota itu telah menunggu 40 Waliyullah untuk meneruskan pelajaran kepada beliau.

 Dasar-dasar Pemikiran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

  • Seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah.
  • Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :

  1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
  2. Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah swt )
  3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
  4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
  5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
  6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
  7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )

 Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibadah haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa minyak wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, “Di Jurang Humaistara (di propinsi Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal. Beliau wafat pada tahun 656 H / 1258 M di Homaithira, Mesir. Hingga kini makamnya masih selalu diziarahi, baik oleh pengikut tarekat Syaziliyah atau bukan; yang menganggapnya sebagai waliyullah.

 Karya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

  • Majmu’atul Ahzab ( Kumpulan Hizib-wirid )
  • Mafakhirul ‘Aliyah
  • Al Amin
  • As Sirrul Jalil fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil
  • Hizbus Syadzili ( partai terkenal di Afrika )

 Karomah Sayyidi Syekh Imam Abul Hasan Ali Asy Syadzili

 Sulthonul Auliya’ Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra adalah seorang yang dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara lain adalah :

Allah SWt menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma, sehingga seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau (untuk menulis ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan ilmu beliau belum habis.

Beliau adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah secara langsung kepada beliau.

Beliau didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi) ketika beliau baru berusia enam tahun.

Beliau bisa mengetahui batin isi hati manusia

Beliau pernah berbicara dengan malaikat dihadapan murid-muridnya

Beliau menjaga murid-muridnya meskipun di tempat yang jauh

Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan ka’bah dari negara Mesir

Beliau tidak pernah putus melihat/menjumpai Lailatul Qodar semenjak usia baligh hingga wafatnya beliau. Sehingga beliau berkata : Apabila Awal Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 29, Awal Puasa pada hari Senin Lailatul Qodarnya malam 21, Awal puasa pada hari Selasa Lailatul Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari Rabu Lailatul Qodarnya malam 19, awal puasa pada hari Kamis Lailatul Qodarnya malam 25, awal puasa pada hari jum’at maka Lailatul Qodarnya pada malam 17, sedangkan bila awal puasa pada hari Sabtu maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 23.

Barang siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya

Doa Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT)

Beliau tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama 40 tahun)

Beliau dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku murid-murid yang masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya tersebut berukuran sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang yang langsung baiat kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa beliau sampai dengan akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut thoriqohnya) diberi karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra sungguh telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang melihat beliau dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan celaka.

Beliau menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan syafaat di akhirat)

Beliau berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan tiap-tiap wali Qutub sesudah beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan thoriqohnya. Dan Allah telah mengabulkan Do’a beliau tersebut. Maka dari itu wali Qutub sesudah masa beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan pengikut beliau.

Syaikh Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra”.

Syaikh Syamsudin Al-Hanafi ra mengatakan bahwa pengikut thoriqoh syadziliyah dikaruniai kemulyaan tiga macam yang tidak diberikan pada golongan thoriqoh yang lainnya :

  1. Pengikut thoriqoh Syadziliyah telah dipilih di lauhil mahfudz
  2. Pengikut thgoriqoh syadziliyah apabila jadzab/majdub akan cepat kembali seperti sedia kala.
  3. Seluruh Wali Qutub yang diangkat sesudah masa syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra akan diambil dari golongan ahli thoriqoh Sadziliyah.

Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar saja, sudah akan terbuka hijab.

Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang tidak bisa terhitung nilainya.

Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan ‘kutukan’ ini saudara Sultan yang termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.

Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, “Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, “Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara , “Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama’ dan para penguasa.

Suara itu berkata kepadaku, “Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama’, maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu”.

Di antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, “Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin (setiap huruf)”.

Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata, “Bagaimana seorang Syekh menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud di dunia”.

Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, “Pakaian kamu ini adalah pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu. Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan terjaga dari meminta-minta”.

Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili seraya berkata, “Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh”. Rupanya hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, “Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan khusnul khatimah”.

 Rasulullah saw memberikan izin bagi orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan bertawasul kepada Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili.

 Pendapat Ulama tentang Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

  • Al-Manawi berkata : ketika ditanya orang siapa Syekh nya; Syekh Abu Hasan Ali menjawab : “Adapun pada masa lalu, Syekh Abdus Salam Masyisy, sekarang aku minum dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan lima di bumi.”
  • Al-Mursi berkata : “Allah swt pernah membukakan tabir pemandanganku, maka Ku lihat Syekh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan pertanyaan :

”Berapa banyak ilmu anda?”

Dia menjawab :”71”

Aku bertanya lagi : “Apa Jabatanmu?”

Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7 wali Abdal

Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan

Asy-Syazili?”

Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia

Adalah samudera tidak bertepi.”

  • Abu Abdullah As-Syatibi berkata : “ Aku setiap malam mengadakan hubungan dengan Syekh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat kepada Allah swt, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan Allah swt. Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku bertanya kepada beliau :

 ”Wahai Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan. Aku selalu bermohon kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, ternyata doa’ ku makbul. Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?

 Beliau bersabda :

 “Abu Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah bagian dari Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti sesungguhnya berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah swt dengan perantaraan Syekh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah memohon kepada Allah swt dengan perantaraanku.”

 Wasiat dan Nasihat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

  • Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu : Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.
  • Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.
  • Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.
  • Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.
  • Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah swt melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.
  • Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas beragama

Dasar-dasar ajaran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili bahwa seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah. Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :

  1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
  2. Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah SWT )
  3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
  4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
  5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
  6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
  7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian ).

Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili wafat pada tahun 656 H / 1258 M di Homaithira, Mesir. Hingga kini makamnya masih selalu diziarahi, baik oleh pengikut tarekat Syaziliyah atau bukan; yang menganggapnya sebagai waliyullah. Karya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili • Majmu’atul Ahzab ( Kumpulan Hizib-wirid ) • Mafakhirul ‘Aliyah • Al Amin • As Sirrul Jalil fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil • Hizbus Syadzili (partai terkenal di Afrika)

 Pendapat Ulama tentang Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili • Al-Manawi berkata : ketika ditanya orang siapa Syekh nya; Syekh Abu Hasan Ali menjawab: “Adapun pada masa lalu, Syekh Abdus Salam Masyisy, sekarang aku minum dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan lima di bumi.”

  • Al-Mursi berkata : “Allah SWT pernah membukakan tabir pemandanganku, maka Ku lihat Syekh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan pertanyaan : ”Berapa banyak ilmu anda?”  Dia menjawab :”71” Aku bertanya lagi : “Apa Jabatanmu?” Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7 wali Abdal Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan Asy-Syazili?” Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia adalah samudera tidak bertepi.”
  • Abu Abdullah As-Syatibi berkata: “ Aku setiap malam mengadakan hubungan dengan Syekh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat kepada Allah SWT, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan Allah SWT. Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku bertanya kepada beliau : ”Wahai Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan. Aku selalu bermohon kepada Allah SWT dengan perantaraan beliau, ternyata doa’ ku makbul. Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?

Beliau bersabda : “Abu Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah bagian dari Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti sesungguhnya berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah SWT dengan perantaraan Syekh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah memohon kepada Allah SWT dengan perantaraanku.” Wasiat dan Nasihat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

  • Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakan pada dirimu : Sesungguhnya Allah SWT menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.
  • Kembalilah dari menentang Allah SWT, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.
  • Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah SWT dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.
  • Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah SWT, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.
  • Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah SWT melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah SWT. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.
  • Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT dan ikhlas beragama.

 Sulthonul Auliya’ Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra adalah seorang yang dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara lain Allah SWT menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma, sehingga seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau (untuk menulis ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan ilmu beliau belum habis.

 Beliau adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah secara langsung kepada beliau.

 Beliau didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi) ketika beliau baru berusia enam tahun.

 Beliau bisa mengetahui batin isi hati manusia, Beliau pernah berbicara dengan malaikat dihadapan murid-muridnya, Beliau menjaga murid-muridnya meskipun di tempat yang jauh, Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan ka’bah dari negara Mesir, Beliau tidak pernah putus melihat/menjumpai Lailatul Qodar semenjak usia baligh hingga wafatnya beliau. Sehingga beliau berkata : Apabila Awal Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 29, Awal Puasa pada hari Senin Lailatul Qodarnya malam 21, Awal puasa pada hari Selasa Lailatul Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari Rabu Lailatul Qodarnya malam 19, awal puasa pada hari Kamis Lailatul Qodarnya malam 25, awal puasa pada hari jum’at maka Lailatul Qodarnya pada malam 17, sedangkan bila awal puasa pada hari Sabtu maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 23.

 Barang siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya, Doa Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT),

Beliau tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama 40 tahun), Beliau dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku murid-murid yang masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya tersebut berukuran sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang yang langsung baiat kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa beliau sampai dengan akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut thoriqohnya) diberi karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra sungguh telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang melihat beliau dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan celaka.

 Beliau menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan syafaat di akhirat). Beliau berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan tiap-tiap wali Qutub sesudah beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan thoriqohnya. Dan Allah telah mengabulkan Do’a beliau tersebut. Maka dari itu wali Qutub sesudah masa beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan pengikut beliau.

 Syaikh Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra”. Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar saja, sudah akan terbuka hijab. Rasulullah saw memberikan izin bagi orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan bertawasul kepada Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili.

Nah demikian sekilas gambaran sosok sang syaikh. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pembelajaran bagi kehidupan kita sekarang. Terakhir mari kita berefleksi: “Jika engkau telah berusia empat puluh tahun, maka segeralah untuk memperbanyak amal shaleh siang maupun malam. Sebab, waktu pertemuanmu dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin dekat. Ibadah yang kau kerjakan saat ini tidak mampu menyamai ibadah seorang pemuda yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Bukankah selama ini kau sia-siakan masa muda dan kekuatanmu. Andaikata saat ini kau ingin beramal sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi.

 Oleh karena itu beramallah sesuai kekuatanmu. Perbaikilah masa lalumu dengan banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yang lebih mudah dari dzikir. Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit. Dzikir adalah ibadah yang paling mudah. Rasulullah saw bersabda : Dan hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah SWT. Bacalah secara berkesinambungan doa’ dan dzikir apapun yang mudah bagimu. Pada hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah SWT adalah karena kebaikannya. Ia akan mengaruniamu. (Ibnu ‘Atha illah Askandari)

 “Ketahuilah, sebuah umur yang awalnya disia-siakan, seyogyanya sisanya dimanfaatkan. Jika seorang ibu memiliki sepuluh anak dan sembilan diantaranya meninggal dunia. Tentu ia akan lebih mencintai satu-satunya anak yang masih hidup itu. Kamu telah menyia-nyiakan sebagian besar umurmu, oleh karena itu jagalah sisa umurmu yang sangat sedikit itu.

Demi Allah, sesungguhnya umurmu bukanlah umur yang dihitung sejak engkau lahir, tetapi umurmu adalah umur yang dihitung sejak hari pertama engkau mengenal Allah SWT. (Ibnu ‘Atha illah Askandari)

 “Seseorang yang telah mendekati ajalnya (berusia lanjut) dan ingin memperbaiki segala kekurangannya di masa lalu, hendaknya dia banyak membaca dzikir yang ringkas tetapi berpahala besar. Dzikir semacam itu akan membuat sisa umur yang pendek menjadi panjang, seperti dzikir yang berbunyi: Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya, (kalimat ini kuucapkan) sebanyak jumlah ciptaan-Nya, sesuai dengan yang ia sukai, seberat timbangan Arsy-Nya dan setara dengan jumlah kata-kata-Nya.

Jika sebelumnya kau sedikit melakukan shalat dan puasa sunah, maka perbaikilah kekuranganmu dengan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw.

 Andaikata sepanjang hidupmu engkau melakukan segala jenis ketaatan dan kemudian Allah SWT bershalawat kepadamu sekali saja, maka satu shalawat Allah ini akan mengalahkan semua amalmu itu. Sebab, engkau bershalawat kepada Rasulullah sesuai dengan kekuatanmu, sedangkan Allah SWT bershalawat kepadamu sesuai dengan kebesaran-Nya. Ini jika Allah SWT bershalawat kepadamu sekali, lalu bagaimana jika Allah SWT membalas setiap shalawatmu dengan sepuluh shalawat sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadits Shahih?

Betapa indah hidup ini jika kau isi dengan ketaatan kepada Allah SWT, dengan berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada Rasulullah SAW.”

( Ibnu ‘Atha illah Askandari )

MENGKAJI ULANG MAHAGURU SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN MADURA

ALLAHUMMA SHOLLI ’ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN TAJ’ALUNAA BIHAA MIN AHLIL ’ILMI DZOOHIRON WABAATHINAN. WATAHSYURUNAA BI’IBAADIKAS SHOOLIHIINA FII DUNYAANAA WA UKHROONAA WA’ALAA AALIHII WASHOHBIHII WASALLIM.  (1 X)

Semoga rahmat ta’dzim dan salam senantiasa atas junjungan kita sayyidina Muhammad yang dengan shalawat tersebut semoga Engkau jadikan kami termasuk dari golongn ahli ilmu baik dzohir maupun bathin. Dan semoga Engkau kumpulkan kami bersama hamba-hambaMu yg sholeh baik di dunia maupun di akhirat. Dan semoga shalawat senantiasa atas para keluarga Nabi dan para sahabatnya

WA MA TILKA BIYAMINIKA YA MŪSÁ QALA HIYA `AŞAYA ‘ATAWAKKA’U `ALAYHA WA ‘AHUSHSHU BIHA `ALÁ GHANAMI WA LIYA FIHA MA’ARIBU ‘UKHRÁ QALA ‘ALQIHA YA MŪSÁ FA’ALQAHA FA’IDHA HIYA ĤAYYATUN TAS`Á QALA KHUDH/HA WA LA TAKHAF SANU`IDUHA SIRATAHA AL-‘ŪLÁ WA AĐMUM YADAKA ‘ILÁ JANAĤIKA TAKHRUJ BAYĐA‘A MIN GHAYRI SŪ‘IN ‘ĀYATAN ‘UKHRÁ LINURIYAKA MIN ‘ĀYATINA AL-KUB. (1x)

Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? Musa berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (dedaunan) dengannya untuk kambingku, dan aku (juga) memiliki keperluan yang lain dengannya.  Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu, hai Musa!  Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular naga yang merayap dengan cepat.  Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.

YA JABBARYA QAHHAR  1000 x

Yang Maha Perkasa Yang Menundukkan

FAQULTU ISTAGHFIROO RABBAKUM INNAHU KANA GHAFFARAN YURSILI ALSSAMAA AAALAYKUM MIDRARAN WAYUMDIDKUM BIAMWALIN WABANEENA WAYAJAAAL LAKUM JANNATIN WAYAJAAAL LAKUM ANHARAN  (1 x)

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai

ASTAGHFIRULLAHALADZIM  1000 x

 

#####

Di atas adalah rangkaian amalan dari KH KHOLIL, mulai dari Sholawat yang biasa dilantunkan beliau, ditambah AYAT 17-23 QS THAHA dan asmaul husna serta ayat 10-12 QS NUH diakhiri dengan Istighfar.

 BIOGRAFI KH KHOLIL

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).

KH Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.

Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.

Kyai Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu. Yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.

Karomah lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.

***

Hari Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil.

Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

  1. Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.

Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.

Akan tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Kemandirian Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.

Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.

 ***

Pada masa hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di Madura. Kiai Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini ada silsilah bahwa Kiai Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan — ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.

Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.

Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.

Peran Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS THAHA

As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil. Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

 ***

Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Kholil tersebut.

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua, selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.  K.H. Muhammad Kholil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Kholil

***

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada se­orang kiai yang sangat sakti mandra­guna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Sema­ngat untuk menimba ilmu itu begitu meng­gebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bang­kalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintang­an berarti, meski harus berjalan kaki.

Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tem­pat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah ha­rapannya untuk mewujudkan cita-cita­nya berguru kepada kiai yang mempu­nyai ilmu tinggi tersebut.

Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kho­lil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Da­rin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil te­ngah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.

Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan ke­padamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pe­santren itu. Subhanallah.

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber­usaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bang­kalan, sementara si calon santri di te­ngah Alas Roban, Batang, Pekalongan.

Menurut cerita si calon santri yang ber­nama Muhammad Amin, ia berang­kat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Ma­dura, untuk berguru kepada Kiai Kho­lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, ser­ta thithikan, alat pemantik api yang ter­buat dari batu.

Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.

Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu be­sar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na­mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsa­nya kalau melawan.

Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tem­pat untuk tidur, tiba-tiba muncul se­sosok laki-laki. Namun karena tampang­nya biasa-biasa saja, mereka tidak me­naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi­an bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.

Namun setelah benda itu dipegang­nya, ia mengatakan bahwa batu itu ter­lalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasuk­kan batu tersebut ke mulutnya lalu meng­gigitnya se­hingga pecah menjadi dua.

Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara me­reka, menjawab, “Kalau barang-ba­rang kami diambil, kami tidak bisa me­lanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.

Tersentak laki-laki itu, seperti pem­buru tergigit ular berbisa. Wajahnya pu­cat pasi,  bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber­samaan. Mereka gembira karena me­rasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua ba­rangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kali­an tidur saja di sini, dan aku akan men­jaga kalian semalaman.”

Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaring­kan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema­laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hu­tan ini agar tidak diganggu oleh peram­pok lain,” jawabnya tampak ramah.

Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu ber­kata. “Sebenarnya kalian akan aku ram­pok, dan menjual kalian kepada onder­neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah­kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”

Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja un­tuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemim­pin pesantren tersebut.

Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.

Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.

Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.

Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.

Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.

Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.

Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.

Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil bangkalan.

Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

            Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.

Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.

Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.

Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.

“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.

Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.

Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.

Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.

Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.

Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.

Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.

Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang dihajatkan.

Karomah lain KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya : “Sampean ada keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak. Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.

Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

Karomah lain Kyai Kholil terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.

Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada keperluan apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.

Tiba-tiba Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” “Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan. “Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan.

Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.

Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.  Mari kita sampaikan untuknya…. AL FATIHAH…………..

PENGALAMAN RITUAL UANG GOIB HABIS 16 JUTA, UTANG TETAP MENUMPUK

Supriyanto di Kota Kediri

Sharing pengalaman Dulur..Saya membaca postingan dari sederek SATRIA JAYALAKSANA,apa yg dialami oleh sdr.SATRIA JAYA LAKSANA ( SJL ) saat ini juga tengah saya alami,meski kami masih bisa sedikit bergerak.Kami terlilit hutang ratusan juta di beberapa bank dan juga pada beberapa orang,awalnya usaha kami lumayan lancar,kami juga rajin bersedekah bahkan tiap bulan petugas yayasan yatim mandiri rutin mengambil dana sedekah di rumah kami,yg jelasnya jumlah yang kami keluarkan tiap bulan lebih dari 2,5% penghasilan kotor kami ( maaf bukan bermaksud riya’,kami hanya ingin berbagi pengalaman ).

Sholat mm utuk saya lumayan bolong2 tapi istri dan anak2 saya rajin melakukan semua lima waktu, Alhamdullillah. Mulai awal tahun 2013 ini mm usaha yang saya rintis mulai seret,dan akhirnya kami hanya bisa restruktur hutang2 kami ke bank.

Karena pikiran saya juga sudah buntu,serta istri dilanda stress berat(bahkan pernah beberapa kali mencoba gantung diri),akhirnya saya tergoda juga untuk menarik dana secara ghoib.Saya memang mendatangi seorang pinisepuh di wilayah kabupaten kediri untuk meminta pertolongan,dari situ saya di minta untuk menyiapkan sejumlah dana untuk upacara ritual di beberapa tempat ( maaf tidak etis saya sebutkan,untuk yg ingin memberi saran lebih lanjut mohon hubungi hap saya) yang mana semua biaya itu juga tidak sedikit jumlahnya.

Setelah melakukan ritual sebanyak 8x, dengan jarak tiap ritual sepasar (lima hari), dana yang katanya memnjadi jatah saya belum juga menampakkan hasilnya..Hingga saat ritual yang ke 9x berada di halam belakang rumah saya, muncul pusaka yang sebesar sapu lidi, setelah saya di minta di tarik oleh pembimbing ritual,pusaka itu berupa keris yang katanya OMYENG JIMBE,dengan panjang sekitar 35cm, lurus, dengan beberapa ukiran diatasnya timbul..dengan bagian bawah keris ada seperti anak kecil duduk beradu punggung dengan saling menengadahkan tangan ( ato membawa wadah,seperti posisi meminta )yang di tengahnya ada ukiran seperti pohon beringin.

Menurut pembimbing ritual jatah saya masih ada di belakang rumah itu dan akan di ambil di saat ritual berikutnya. Setelah itu kami ritual lagi sampai dengan 3x ( jadi total ritual 12x ). Saat ritual terakhir pembimbing ritual itu berkat bahawa jatah uang saya sudah tidak ada di tempat dan ritual di hentikan. Lemas sudah seluruh badan saya,karena total biaya ritual yang saya keluarkan sebanyak kurang lebih 16 jutaan dan itu semua uang yang saya dapatkan dari meminjam kanan kiri.

Menurut pembimbing ritual itu bahwa jatah uang saya sudah di gantikan oleh pusaka omyeng Jimbe tsb yang katanya bisa mendatangkan uang secara ghaib. Saat saya menulis ini telah 2 Minggu saya memiliki Omyeng Jimbe ini tapi sampai saat ini belum ada tanda2 akan adanya uang ghoib yang katanya bisa datang dengan sendirinya. Mohon Bantuan kepada sodara2 semua bagaimana cara menggunakan dan cara kerja keris OMYENG JIMBE yang saya miliki ini,karena terus terang saya awam soal perkerisan seperti ini, dan saya juga kecewa kepada pembimbing ritual saya karena terus terang yang saya butuhkan adalah uang tunai bukan Keris..

Mohon untuk sodara2 saya butuh masukan ,alamat  saya di desa Ngancar Kec.Ngancar Kabupaten Kediri Jawa timur. Saya sangat mengharap bantuan sodara2 semua. Mohon sms dulu karena untuk nomor baru jarang yang saya angkat telfonya karena saya takut itu dari para penagih hutang.

TERIMA KASIH

KUATNYA RIYADHOH SUFI BESAR ASSYBLI

Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan kelaparan menjadi jalan hidupnya….

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Sufi besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis:

“Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata:

“Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”

Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab:

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga

Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

***

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:

“Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang. @@@

Sumber: Majalah Alkisah Nomor 09 / 25 April – 8 Mei 2005

DIALOG SYEKH ABDUL QADIR AL JAELANI DENGAN ALLAH SWT

INI ADALAH DIALOG BATINIAH ANTARA ALLAH SWT DAN SULTHANUL AULIA SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI, YANG DITERIMA MELALUI ILHAM QALBI DAN PENYINGKAPAN RUHANI [KASYF MA’NAWI] DIMUAT DALAM RISALAH AL GHAUTSIYYAH. BERIKUT DIALOG TERSEBUT…

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Sang Penghapus Duka. Shalawat atas manusia terbaik, Muhammad. Berkatalah sang penolong agung, yang terasing dari selain Allah dan amat intim dengan Allah.

Allah SWT Berkata : “Wahai penolong agung! (nama panggilan kepada SYEKH ABDUL QADIR AL JAELANI RED.) ”

Aku menjawab : “Aku mendengar panggilan-Mu, Wahai Tuhannya si penolong.”

Dia Berkata : “Setiap tahapan antara alam Naasut dan alam Malakut adalah syariat; setiap tahapan antara alam Malakut dan Jabarut adalah tarekat; dan setiap tahapan antara alam Jabarut dan alam Lahut adalah hakikat.” 1

Lalu Dia berkata kepadaku : “Wahai penolong agung ! Aku tidak pernah mewujudkan Diri-Ku dalam sesuatu sebagaimana perwujudanKu dalam diri manusia.”

Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau memiliki tempat ?”, Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Akulah Pencipta tempat, dan Aku tidak memiliki tempat.”

Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau makan dan minum ?”, Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, makanan dan minuman kaum fakir adalah makanan dan minuman-Ku.”2

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, dari apa Engkau ciptakan malaikat ?”. Dia Berkata kepadaku : “Aku Ciptakan malaikat dari cahaya manusia, dan Aku Ciptakan manusia dari cahaya-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan manusia sebagai kendaraan-Ku, dan Aku jadikan seluruh isi alam sebagai kendaraan baginya.”3

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, betapa indahnya Aku sebagai Pencari ! Betapa indahnya manusia sebagai yang dicari ! Betapa indahnya manusia sebagai pengendara, dan betapa indahnya alam sebagai kendaraan baginya.”4

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah Rahasianya. Jika manusia menyadari kedudukannya di sisi-Ku, maka ia akan berucap pada setiap hembusan nafasnya, ‘milik siapakah kekuasaan pada hari ini ?’.”5

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidaklah manusia makan sesuatu, atau minum sesuatu, dan tidaklah ia berdiri atau duduk, berbicara atau diam, tidak pula ia melakukan suatu perbuatan, menuju sesuatu atau menjauhi sesuatu, kecuali Aku Ada [Berperan] di situ, Bersemayam dalam dirinya dan Menggerakkannya.”6

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tubuh manusia, jiwanya, hatinya, ruhnya, pendengarannya, penglihatannya, tangannya, kakinya, dan lidahnya, semua itu Aku Persembahkan kepadanya oleh Diri-Ku, untuk Diri-Ku. Dia tak lain adalah Aku, dan Aku Bukanlah selain dia.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jika engkau melihat seseorang terbakai oleh api kefakiran dan hancur karena banyaknya kebutuhan, maka dekatilah ia, karena tidak ada penghalang antara Diri-Ku dan dirinya.”7

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, janganlah engkau makan sesuatu atau minum sesuatu dan janganlah engkau tidur, kecuali dengan kehadiran hati yang sadar dan mata yang awas.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa terhalang dari perjalanan-Ku di dalam batin, maka ia akan diuji dengan perjalanan lahir, dan ia tidak akan semakin dekat dari-Ku melainkan justru semakin menjauh dalam perjalanan batin.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, kemanunggalan ruhani merupakan keadaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Siapa yang percaya dengannya sebelum mengalaminya sendiri, maka ia telah kafir. Dan barang siapa menginginkan ibadah setelah mencapai keadaan wushul, maka ia telah menyekutukan Allah SWT.”8

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa memperoleh kebahagiaan azali, maka selamat atasnya, dia tidak akan terhina selamanya. Dan barang siapa memperoleh kesengsaraan azali, maka celaka baginya, dia tidak akan diterima sama sekali setelah itu.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan kefakiran dan kebutuhan sebagai kendaraan manusia. Barangsiapa menaikinya, maka ia telah sampai di tempatnya sebelum menyeberangi gurun dan lembah.”9

Lalu Dia Berkatak kepadaku : “Wahai penolong agung, bila manusia mengetahui apa yang terjadi setelah kematian, tentu ia tidak menginginkan hidup di dunia ini. Dan ia akan berkata di setiap saat dan kesempatan, ‘Tuhan, matikan aku !’.”10

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, semua makhluk pada hari kiamat akan dihadapkan kepadaKu dalam keadaan tuli, bisu dan buta, lalu merasa rugi dan menangis. Demikian pula di dalam kubur.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, cinta merupakan tirai yang membatasi antara sang pencinta dan yang dicintai. Bila sang pencinta telah padam dari cintanya, berarti ia telah sampai kepada Sang Kekasih.”11

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Melihat Ruh-ruh menunggu di dalam jasad-jasad mereka setelah ucapanNya, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu ?’ sampai hari kiamat.”

Lalu sang penolong berkata : “Aku melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa bertanya kepadaKu tentang melihat setelah mengetahui, berrti ia terhalang dari pengetahuan tentang melihat. Barangsiapa mengira bahwa melihat tidak sama dengan mengetahui, maka berarti ia telah terperdaya oleh melihat Allah SWT.’”12

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang fakir dalam pandangan-Ku bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang fakir adalah ia yang memegang kendali atas segala sesuatu. Bila ia berkata kepada sesuatu, ‘jadilah !’ maka terjadilah ia.”13

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Tak ada persahabatan dan kenikmatan di dalam surga setelah kemunculan-Ku di sana, dan tak ada kesendirian dan kebakaran di dalam neraka setelah sapaan-Ku kepada para penghuninya.”14

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Yang Paling Mulia di antara semua yang mulia, dan Aku Yang Paling Penyayang di antara semua penyayang.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidurlah di sisi-Ku tidak seperti tidurnya orang-orang awam, maka engkau akan melihatKu.” Terhadap hal ini aku bertanya : “Wahai Tuhanku, bagaimana aku tidur disisi-Mu ?”. Dia Berkata : “Dengan menjauhkan jasmani dari kesenangan, menjauhkan nafsu dari syahwat, menjauhkan hati dari pikiran dan perasaan buruk, dan menjauhkan ruh dari pandangan yang melalaikan, lalu meleburkan dzatmu di dalam Dzat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada sahabatmu dan pencintamu, siapa di antara kalian yang menginginkan kedekatan dengan-Ku, maka hendaklah ia memilih kefakiran, lalu kefakiran dari kefakiran. Bila kefakiran itu telah sempurna, maka tak ada lagi apapun selain Aku.”15

Lalu Dia Berkata : “Wahai penolong agung, berbahagialah jika engkau mengasihi makhluk-makhluk-Ku, dan beruntunglah jika engkau memaaafkan makhluk-makhluk-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada pencintamu dan sahabatmu, ambillah manfaat dari do’a kaum fakir, karena mereka bersama-Ku dan Aku Bersama mereka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Bersama segala sesuatu, Tempat Tinggalnya, Pengawasnya, dan kepada-Ku tempat kembalinya.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jangan peduli pada surga dan apa yang ada di sana, maka engkau akan melihat Aku tanpa perantara. Dan jangan peduli pada neraka serta apa yang ada di sana, maka engkau akan melihat Aku tanpa perantara.”16

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para penghuni surga disibukkan oleh surga, dan para penghuni neraka disibukkan oleh-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sebagian penghuni surga berlindung dari kenikmatan, sebagaimana penghuni neraka berlindung dari jilatan api.”17

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa disibukkan dengan selain Aku, maka temannya adalah sabuk [tanda kekafiran] pada hari kiamat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang-orang yang dekat mencari pertolongan dari kedekatan, sebagaimana orang-orang yang jauh mencari pertolongan dari kejauhan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya Aku Memiliki hamba-hamba yang bukan nabi maupun rasul, yang kedudukan mereka tidak diketahui oleh siapapun dari penghuni dunia maupun penghuni akhirat, dari penghuni surga ataupun neraka, tidak juga malaikat Malik ataupun Ridwan, dan Aku Tidak Menjadikan mereka untuk surga maupun untuk neraka, tidak untuk pahala ataupun siksa, tidak untuk bidadari, istana maupun pelayan-pelayan mudanya. Maka beruntunglah orang yang mempercayai mereka meski belum mengenal mereka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, engkau adalah salah satu dari mereka. Dan di antara tanda-tanda mereka di dunia adalah tubuh-tubuh mereka terbakar karena sedikitnya makan dan minum; nafsu mereka telah hangus dari syahwat, hati mereka telah hangus dari pikiran dan perasaan buruk, ruh-ruh mereka juga telah hangus dari pandangan yang melalaikan. Mereka adalah pemilik keabadian yang terbakar oleh cahaya perjumpaan [dengan Tuhan].”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang yang haus datang kepadamu di hari yang amat panas, sedangkan engkau memiliki air dingin dan engkau sedang tidak membutuhkan air, jika engkau menahan air itu baginya, maka engkau adalah orang yang paling kikir. Bagaimana Aku Menolak mereka dari rahmat-Ku padahal Aku Telah Menetapkan atas Diri-Ku, bahwa Aku Paling Pengasih di antara yang mengasihi.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tak seorang pun dari ahli maksiat yang jauh dari-Ku, dan tak seorangpun dari ahli ketaatan yang dekat dari-Ku.”18

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang dekat kepada-Ku, maka ia adalah dari kalangan maksiat, karena ia merasa memiliki kekurangan dan penyesalan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, merasa memiliki kekurangan merupakan sumber cahaya, dan mengagumi cahaya diri sendiri merupakan sumber kegelapan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli maksiat akan tertutupi oleh kemaksiatannya, dan ahli taat akan tertutupi oleh ketaatannya. Dan Aku Memiliki hamba-hamba selain mereka, yang tidak ditimpa kesedihan maksiat dan keresahan ketaatan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sampaikan kabar gembira kepada para pendosa tentang adanya keutamaan dan kemurahan, dan sampaikan berita kepada para pengagum diri sendiri tentang adanya keadilan dan pembalasan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli ketaatan selalu mengingat kenikmatan, dan ahli maksiat selalu mengingat Yang Maha Pengasih.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Dekat dengan pelaku maksiat setelah ia berhenti dari kemaksiatannya, dan Aku Jauh dari orang yang taat setelah ia berhenti dari ketaatannya.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Menciptakan orang awam namun mereka tidak mampu memandang cahaya kebesaran-Ku, maka Aku Meletakkan tirai kegelapan di antara Diri-Ku dan mereka. Dan Aku Menciptakan orang-orang khusus namun mereka tidak mampu mendekati-Ku dan mereka sebagai tirai penghalang.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada para sahabatmu, siapa di antara mereka yang ingin sampai kepada-Ku, maka ia harus keluar dari segala sesuatu selain Aku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah dari batas dunia, maka engkau akan sampai ke akhirat. Dan keluarlah dari batas akhirat, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah engkau dari raga dan jiwamu, lalu keluarlah dari hati dan ruhmu, lalu keluarlah dari hukum dan perintah, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”

Maka aku bertanya : “Wahai Tuhanku, shalat sepert apa yang paling dekat dengan-Mu ?.” Dia Berkata : “Shalat yang di dalamnya tiada apapun kecuali Aku, dan orang yang melakukannya lenyap dari shalatnya dan tenggelam karenanya.”19

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, puasa seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Puasa yang di dalamnya tiada apa pun selain Aku, dan orang yang melakukannya lenyap darinya.”

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, amal apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Amal yang di dalamnya tiada apa pun selain Aku, baik itu [harapan] surga ataupun [ketakutan] neraka, dan pelakunya lenyap darinya.”

Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tangisan seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tangisan orang-orang yang tertawa.” Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tertawa seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tertawanya orang-orang yang menangis karena bertobat.” Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tobat seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Tobatnya orang-orang yang suci.” Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, kesucian seperti apa yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Kesucian orang-orang yang bertobat.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, pencari ilmu di mata-Ku tidak mempunyai jalan kecuali setelah ia mengakui kebodohannya, karena jika ia tidak melepaskan ilmu yang ada padanya, ia akan menjadi setan.”20

Berkatalah sang penolong agung : “Aku bertemu Tuhanku SWT dan aku bertanya kepada-Nya, ‘Wahai Tuhan, apa makna kerinduan [‘isyq] ?’, Dia Menjawab : ‘Wahai penolong agung, [artinya] engkau mesti merindukan-Ku dan mengosongkan hatimu dari selain Aku.’” Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jika engkau mengerti bentuk kerinduan maka engkau harus lenyap dari kerinduan, karena ia merupakan penghalang antara si perindu dan yang dirindukan.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau berniat melakukan tobat, maka pertama kali engkau harus bertobat dari nafsu, lalu mengeluarkan pikiran dan perasaan buruk dari hati dengan mengusir kegelisahan dosa, maka engkau akan sampai kepada-Ku. Dan hendaknya engkau bersabar, karena bila tidak bersabar berarti engkau hanya bermain-main belaka.”

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin memasuki wilayah-Ku, maka hendaknya engkau tidak berpaling kepada alam mulk, alam malakut, maupun alam jabarut. Karena alam mulk adalah setannya orang berilmu, dan malakut adalah setannya ahli makrifat, dan jabarut adalah setannya orang yang sadar. Siapa yang puas dengan salah satu dari ketiganya, maka ia akan terusir dari sisi-Ku.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, perjuangan spiritual [mujahadah] adalah salah satu lautan di samudera penyaksian [musyahadah] dan tela dipilih oleh orang-orang yang sadar. Barangsiapa hendak masuk ke samudera musyahadah, maka ia harus memilih mujahadah, karena mujahadah merupakan benih dari musyahadah dan musyahadah tanpa mujahadah adalah mustahil. Barangsiapa telah memilih mujahadah, maka ia akan mengalami musyahadah, dikehendaki atau tidak dikehendaki.”21

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para pencari jalan spiritual tidak dapat berjalan tanpa mujahadah, sebagaimana mereka tak dapat melakukannya tanpa Aku.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya hamba yang paling Ku Cintai adalah hamba yang mempunyai ayah dan anak tetapi hatinya kosong dari keduanya. Jika ayahnya meninggal, ia tidak sedih karenanya, dan jika anaknya pun meninggal, ia pun tidak gundah karenanya. Jika seorang hamba telah mencapai tingkat seperti ini, maka di sisi-Ku tanpa ayah dan tanpa anak, dan tak ada bandingan baginya.”22

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, siapa yang tidak merasakan lenyapnya seorang ayah karena kecintaan kepada-Ku dan lenyapnya seorang anak karena kecintaan kepada-Ku, maka ia tak akan merasakan lezatnya Kesendirian dan Ketunggalan.”

Dia juga Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin memandang-Ku di setiap tempat, maka engkau harus memilih hati resah yang kosong dari selain Aku.” Lalu aku bertanya : “Tuhanku, apa ilmunya ilmu itu ?.” Dia Menjawab : “Ilmunya ilmu adalah ketidaktahuan akan ilmu.”

Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, berbahagialah seorang hamba yang hatinya condong kepada mujahadah, dan celakalah bagi hamba yang hatinya condong kepada syahwat.”

Lalu aku bertanya kepada Tuhanku SWT tentang mi’raj. Dia Berkata : “Mi’raj adalah naik meninggalkan segala sesuatu kecuali Aku, dan kesempurnaan mi’raj adalah pandangan tidak berpaling dan tidak pula melampauinya [ QS 53 : 17].” Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidak ada shalat bagi orang yang tidak melakukan mi’raj kepada-Ku.”23

Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang yang kehilangan shalatnya adalah orang yang tidak mi’raj kepada-Ku.”

KETERANGAN :

1. Alam Naasut adalah alam manusia, di dalamnya yang tampak adalah urusan-urusan kemanusiaan yang lembut dan bersifat ruhaniah. Alam Malakut adalah alam dimana para malaikat berkiprah melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Allah SWT. Alam Jabarut adalah alam gaib tempat urusan-urusan ilahiah yang menunjukkan hakikat daya paksa, kekerasan, kecepatan tindak pembalasan, dan ketidakbutuhan kepada segala sesuatu. Alam Lahut adalah alam gaib yang di dalamnya hanya tampak urusan-urusan ilahiah murni.

2. Yang dimaksud fakir disini bukanlah orang yang membutuhkan harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT.

3. Kendaraan di sini berarti sarana untuk menyampaikan seseorang kepada tujuan. Untuk tujuan tertentu, Allah SWT memanfaatkan manusia sebagai saranaNya, sementara manusia memanfaatkan alam sebagai sarana untuk mencapai tujuannya.

4. Allah SWT sebagai pencari sarana, memilih manusia – makhluk yang paling mulia – sebagai kendaraanNya. Betapa Agungnya Dia dan betapa terhormatnya manusia yang telah dipilihNya. Dan merupakan keagungan pula bagi alam karena telah dijadikan oleh manusia sebagai kendaraan yang membawanya kepada tujuannya.

5. Jika manusia mengetahui secara hakiki betapa tinggi kedudukannya dan betapa dekat ia dengan Allah SWT, maka ia akan merasa bahwa suatu saat nanti – karena kedekatan itu – Allah akan memberikan kekuasaanNya kepadanya. Karena itulah ia akan senantiasa menanti, kapan saat penyerahan itu tiba, dengan kalimat : “Milik siapakah kekuasaan pada hari ini ?.”

6. Allah SWT selalu berperan dalam setiap gerak dan diamnya manusia.

7. Orang yang telah menyadari kefakiran dan kebutuhannya di hadapan Allah SWT, berarti ia telah memahami posisi dirinya terhadap Tuhannya. Sehingga tiada lagi penghalang antara dirinya dan Allah SWT.

8. Penyatuan ruhani antara makhluk dan Khaliq tidak akan dapat diungkapkan dengan kata-kata. Jika seseorang belum mengalaminya sendiri, maka ia akan cenderung mengingkarinya. Dan orang yang mengaku telah mengalaminya padahal belum, maka ia telah kafir. Orang yang telah mencapai keadaan ini, tiada yang ia inginkan selain perjumpaan dengan Allah. Jika ia menginginkan hal lain, meski itu berupa ibadah sekalipun, dalam maqam ini, ia dianggap telah menyekutukan Allah dengan keinginannya yang lain.

9. Kefakiran dan kebutuhan merupakan sarana yang membawa manusia kepada kesadaran akan jati dirinya dan kebesaran Allah SWT. Orang yang telah sampai pada kesadaran semacam ini berarti telah sampai pada posisinya yang tepat tanpa harus menempuh perjalanan yang berliku-liku.

10. Kematian merupakan saat disingkapkannya hakikat segala sesuatu, dan perjumpaan dengan Tuhan adalah saat yang paling dinantikan oleh orang yang merindukanNya.

11. Cinta tiada lain kecuali keinginan sang pencinta untuk berjumpa dan bersatu dengan yang dicintai. Bila keduanya telah bertemu, maka cinta itu sendiri akan lenyap, dan keberadaan cinta itu justru akan menjadi penghalang antara keduanya.

12. Yang dimaksud mengetahui adalah melihat dengan mata hati. Jadi, di sini melihat sama dengan mengetahui.

13. Fakir dalam pandangan Allah SWT bukanlah orang yang tidak memiliki harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT, dan tidak memiliki perhatian kepada apapun selain Allah SWT. Orang seperti ini, kehendaknya sama dengan kehendak Allah SWT, sehingga apa yang ia inginkan untuk terwujud akan terwujud.

14. Keinginan dan kenikmatan terbesar manusia di alam akhirat itu hanyalah perjumpaan dengan Allah SWT. Maka kenikmatan di dalam surga dan kesengsaraan di dalam neraka tidak akan terasa jika dihadapkan pada kenikmatan perjumpaan dengan Allah SWT, meski itu hanya dalam bentuk sapaan belaka.

15. Kefakiran adalah suatu keadaan butuh. Jika seseorang tidak membutuhkan apa pun selain Allah, maka kefakirannya telah sempurna. Baginya, Yang Wujud hanyalah Allah SWT, tak ada selainNya.

16. Ini seperti ungkapan Rabi’ah Al Andawiyah : “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga atau takut akan neraka, melainkan karena Dia memang layak untuk disembah dan karena aku mencintai-Nya.”

17. Penghuni surga berlindung dari kenikmatan agar mereka tidak terlena sehingga lupa akan kenikmatan yang paling besar, yakni perjumpaan dengan Allah SWT.

18. Maksudnya, walaupun seseorang termasuk ahli maksiat, Allah tetap dekat dengannya sehingga jika ia mau bertobat, Allah pasti menerimanya. Dan janganlah seorang yang taat menyombongkan diri atas ketaatannya, karena dengan begitu ia justru akan semakin jauh dari Allah. Memiliki perasaan kekurangan dan penyesalan itulah yang menyebabkan seseorang dekat kepada Allah.

19. Lenyap dari shalat bermakna bahwa niat dan perhatian si pelaku shalat hanya tertuju kepada Allah SWT. Fokusnya bukan lagi penampilan fisik maupun gerakan-gerakan, melainkan kepada makna batiniah shalat itu.

20. Ilmu yang sesungguhnya adalah yang ada di sisi Allah SWT, sementara ilmu yang kita miliki hanyalah semu dan palsu. Selama manusia tidak melepas kepalsuan itu, ia tidak akan menemukan ilmu sejati. Ilmu sejati tidak akan berlawanan dengan perbuatan. Setan adalah contoh pemilik ilmu yang perbuatannya berlawanan dengan ilmu yang dimilikinya.

21. Mujahadah adalah perjuangan spiritual dengan cara menekan keinginan-keinginan jasmani, nafsu, dan jiwa, agar tunduk di bawah kendali ruh kita. Musyahadah adalah penyaksian akan kebesaran dan keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda keagungan-Nya di alam ini.

22. Kecintaan seseorang kepada anak atau orang tua semestinya tidak melebihi kecintaannya kepada Allah SWT. Ia harus menyadari bahwa orang tua maupun anak adalah anugerah Allah SWT yang bersifat sementara, dan cepat atau lambat ia akan berpisah dengan mereka. Maka seharusnya perpisahan itu tidak membuatnya gundah dan gelisah mengingat hal itu terjadi karena kehendak Allah SWT [ QS 80 : 34-37]

23. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW berkata : “Shalat adalah mi’raj kaum mukmin.” Mi’raj berarti naiknya ruh menghadap Allah SWT meski jasad kita tetap berada di alam ini. Jika shalat seseorang belum membawanya kepada keadaan seperti ini, berarti ia belum melakukan shalat dengan sempurna.

Wawasan Mistik Nusantara: FENOMENA KERAWUHAN

Artikel berikut ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita terkait berbagai fenomena mistik yang ada di tanah air yaitu kerasukan (kerauhan). Apa sesungguhnya kerauhan itu? Silahkan disimak artikel berjudul: KERAUHAN DALAM RITUAL AGAMA HINDU DI BALI yang ditulis oleh I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M.Fil.H, Dosen Filsafat dan Teologi IHDN Denpasar.

KERAUHAN KOSKerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Kerauhan berbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhan ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada factor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.

Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.

I. Pendahuluan

Sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki sebuah kepercayaan, adat-istiadat dan praktek-prektek religi tersendiri yang banyak relevan dengan adat istiadat dan kebudayaan Hindu, sehingga agama Hindu sangat mudah di terima Bangsa Indonesia. Agama Hindu tidak didasarkan dogma yang dikotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme terlepas dari kefanatikan agama, sehingga dikenal dengan sanatana dharma, yaitu agama yang abadi, yang akan ada selamanya (Donder, 2006: 19). Berdasarkan hal tersebut Agama Hindu juga mengajarkan kepercayaan terhadap roh, masyarakat nusantara pun memiliki kepercayaan yang sama, yaitu percaya terhadap roh-roh yang menghuni bagian-bagian tertentu dari alam yang kemudian disebut sebagai animisme. Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka masyarakat nusantara sangat mempercayai roh-roh dapat mempengaruhi pikiran manusia ataupun masuk dalam tubuh manusia.

Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, memiliki sebuah tradisi, yaitu kesurupan dalam setiap pelaksanaan ritualnya sebagai unsur yang memantapkan pelaksanaan ritual tersebut. Kesurupan berasal dari kata “surup” yang berarti masuk. Jadi kesurupan adalah fenomena masuknya roh lain ke dalam tubuh manusia, yang kemudian mengendalikan kesadarannya. Namun demikian di Bali, kesurupan disebut Kerauhan, asal katanya dari “rauh”, berarti datang. Kedatangan energi Dewa inilah, dibeberapa desa di Bali, sampai sekarang masih diwarisi, sebagai bentuk Tuhan turun ke dunia membina umatnya.

Masyarakat Indonesia memiliki ciri bersifat majemuk, ditandai dengan adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Demikian pula dengan tradisi yang ada di daerahnya memiliki perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat memunculkan berbagai isu yang tidak jelas tentang Kerauhan. Ada yang mengatakan Kerauhan adalah orang yang kemasukan setan atau orang yang dimasuki roh jahat. Dengan munculnya isu tersebut menimulkan persepsi negatif di masyarakat atau umat lain tentang Kerauhan.

Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu lengkap, sempurna, atau kurang. Walaupun demikian masing-masing desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khusunya di Bali melihat masalah fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan megatur ritual mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian. Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada orang Kerauhan itu adalah roh dewa.

Datangnya kekuatan roh para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut Catur Marga, antara lain Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak mengharapkan balasan), Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan tekun dan disiplin), Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan) dan Bhakti Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih setulus-tulusnya). Dengan memahami Catur Marga umat Hindu mampu menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma

Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam wujud pikiran maupun kata-kata. Bagi mereka yang pemahamannya sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar, maha penyayang dan lain sebagainya. Ajaran Hindu adalah ajaran yang universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati keberadaan Tuhan,

Ajaran Hindu memberikan jalan Karma Marga dan Bhakti Marga kepada umat Hindu yang tingkat pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat sederhana, dalam kerangka dasar agama Hindu kondisi umat seperti ini lebih didorong atau ditekankan untuk melaksanakan ritual dibanding dengan Jnana Marga dan Raja Marga. Hal ini sangat nyata terlihat pada tata cara keagamaan umat Hindu di Indonesia, terutama umat Hindu di Bali. Dengan pelaksanaan Upacara para dewa berwujud pratima dilinggihkan pada jempana yang diempon masyarakat. Kehadiran para dewa dalam Upacara secara sakala (nyata) bermakna menambah rasa persatuan dan persaudaraan antara masyarakat, karena dalam keseharian komunikasi masyarakat sangat kurang, hal ini disebabkan masyarakat umat Hindu khususnya generasi muda banyak merantau keluar daerah. Secara Niskala (alam gaib) hadirnya kekuatan para dewa membawa fibrasi kesucian dan kekhidmatan. Itulah yang menyebabkan ritual keagamaan penting untuk dilestarikan.

Pada upacara piodalan di masing-masing pura sejak pagi hingga malam iring-iringan pratima didatangkan terus menerus. Dengan diiringi tabuh gamelan dan pelengkap upacara lainya seperti tedung, lontek, pasepan dan lain sebagainya serta dituntun oleh Tapakan Kerauhan yang jumlahnya lebih dari satu orang. Orang yang Kerauhan itu membawa sarana benda-benda tajam berupa: keris, trisula, tombak dan lain sebagainya sambil menikam-nikam dadanya dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, sebagai pertanda bahwa Ida Bhatara yang merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, telah hadir diiringi oleh para rencang-Nya yang diyakini sebagai pusat kekuatan para dewa. Dalam iring-iringan itu, umat Hindu sebagai pengempon pura maupun masyarakat umum yang sedang melewati iring-iringan Ida Bhattara/Bhattari segera turun dari kendaraan dan duduk bersila ataupun jongkok sebagai wujud hormat dan bhakti kehadapan Ida Battara/bhattari sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada saat Iring-iringan Ida Batara dari pura, Tapakan Kerauhan terus menerus menancapkan senjata tajam yang telah dipasupati ke dadanya. Hal ini disambut oleh para pemangku dengan ritual penyamblehan, yang dilakukan oleh Tapakan Kerauhan. Pada peristiwa itu tiba-tiba Tapakan Kerauhan melakukan perilaku di luar kemampuan manusia biasa, seperti: makan api, makan ayam hidup, makan kelapa utuh atau belum dikupas, serta gerakan-gerakan lainya yang tidak dapat dirasiokan. Tapakan Kerauhan tersebut tidak merasa takut, tubuhnya kebal dibakar api, kebal terhadap senjata tajam dan memiliki kekuatan luar biasa. Berdsarkan hal tersebut kekuatan yang dimiliki Tapakan Kerauhan, merupakan sifat-sifat kemaha kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa, tentunya ada beberapa fenomena yang dapat menjelaskan hal tersebut.

II. Pembahasan

Tinjauan atau analisis fenomena Kerauhan difokuskan kepada lima hal, yaitu pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana Kerauhan). Kelima hal ini membuktikan kekuatan suci Tuhan benar-benar hadir dalam setiap proses ritual yang dilaksanakan. Dengan pembuktian ini masyarakat dalam menghayati keberadaan Tuhan merasa dekat dan merasakan kemahakuasaan-Nya, sehingga dengan pembuktian tersebut akan menambah sikap sradha dan bhakti masyarakat dalam melaksanakan setiap ritual keagamaan. Kelima hal tersebut sebagaimana uraian di bawah ini:

2. 1 Pura Tempat Kerauhan

Kehidupan masyarakat di Bali, khususnya di masing-masing Desa Pakraman pastilah memiliki sebuah tempat suci/pemujaan yang disebut Pura. Istilah “Pura” berasal dari kata Sansekertha, yang berarti “kota” atau “benteng” yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata “pura” untuk menamai tempat suci atau tempat pemujaan digunakan kata kahyangan atau hyang. Pada zaman Bali kuna yang merupakan data tertua ditemukan dalam Prasasti Sukawana A 1 Tahun 882 M. Dalam prasasti Trunyan A 1 tahun 891 M, ada disebutkan ……..…”Sanghyang di turunan“ yang artinya “tempat suci di Trunyan” Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun), disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda, yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda (Titib, 2000:91).

Selain itu Pura juga sebagai sarana umat menyampaikan rasa bhakti dan syukur bahkan unek-unek umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Rasa bhakti dan syukur masyarakat umat Hindu di Bali khususnya di Desa Pakraman diwujudkan dalam bentuk pembangunan tempat suci yang disebut Pura Kahyangan Tiga yang merupakan warisan Mpu Kuturan. Sebab pada zaman tersebut Mpu Kuturanlah yang memprakasai terbentuknya Desa Adat/Pakraman, sehingga lebih mudah mengatur tatanan kehidupan masyarakat Bali. Setelah dibentuk Desa Adat/Pakraman agar dapat menunjang keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka di setiap Desa Adat/Pakraman dibuatkan tempat pemujaan/Kahyangan Tiga sebagai wujud bhakti kehadapan Tri Murti yaitu Dewa Brahma sebagai dewa pencipta diistanakan di Pura Desa/Bale Agung, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara di istanakan di Pura Puseh dan Dewa Siwa sebagai dewa pelebur di istanakan di Pura Dalem.

Selain Pura Kahyangan Tiga di masing-masing Desa Pakraman, biasanya memiliki pura-pura besar lainya yang disungsung di sebuah Desa Pakraman. Hal ini tergantung dari historis masing-masing Desa Pakraman tersebut. Pura merupakan tempat suci yang dihormati oleh setiap pengemponnya. Pendirian pura tidak mudah didirikan, sebab tidak sembarang tempat dapat dijadikan kawasan membangun pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum, yang gingsing dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal membangun pura adalah seperti yang dikutip dari bhavisya purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka”, tempatnya tentu sangat indah dan memancarkan fibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91).

Disamping itu, pendirian pura memerlukan sarana upacara, seperti pemlaspasan, mepadagingan atau upacara paling sederhana Ngambe, serta melarang mereka masuk pura akibat cuntaka, salah satunya ada upacara kematian, wanita haid, pertumpahan darah dan semua yang telah diatur dalam agama Hindu, jika itu dilanggar, maka wajib dibuatkan upacara penyucian ulang. Pada waktu upacara piodalan Ida Sang Hyang Widhi, para dewata, roh leluhur, beserta manifestasi-Nya dimohon untuk hadir, sebagai tamu agung yang patut menerima ritual persembahan, berupa upakara, tari-tarian dan lain sebagainya, setelah kehadiran para dewa dalam upacara piodalan, maka seluruh umat diberikan anugrah sesuai wujud bhakti dalam menjalani kehidupanya.

Begitu sulitnya mendirikan pura, setelah upacara pemlaspasan keberadaan pura mesti dijaga kesucianya. Hal ini telah diatur lembaga Hindu dengan menetapkan kawasan suci dibatasi dengan beberapa aturan yang telah ditetapkan, seperti Pura Kahyangan jagat, areal kawasan sucinya sepanjang 5 km, mesti bebas dari berbagai kekotoran yang disebabkan oleh manusia, sehingga secara nyata lingkungan sekitar pura dapat menyeimbangkan ekologi yang selama ini mulai rusak. Sebab Pura diibaratkan atau dipercaya sebagai replica kahyangan tempat para Dewa. Jadi semuanya mesti indah dan ditata sebagai tempat Dewa di dunia, oleh karena itu diperlukan perlindungan, agar kesucian pura tetap terjaga, sehingga para dewa berkenan hadir dan memberikan waranugraha kepada para umatnya.

Setelah upacara pemlaspasan dan keberadaan pura dijaga kesucianya, berdasarkan bhakti masyarakat, tentu mengembangkan rasa cipta, rasa dan karsa dalam menjaga eksistensi pura masing-masing, sehingga terwujudlah tradisi yang berlaku sampai hari ini. Salah satu tradisi unik sebuah pura yaitu adanya tradisi Kerauhan, dimana Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di pura tersebut dihadirkan pada waktu piodalan, sebagai wujud kehadiran beliau, para dewa menunjukan kemahakuasaan dengan merasuki tubuh seseorang dengan kekuatan sucinya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak seperti manusia biasa, yaitu kebal terhadap senjata tajam yang sengaja ditancap-tancapkan ke dalam tubuhnya, atau bermain-main dengan api tanpa ada rasa sakit sedikitpun, membuka kelapa dengan gigi dan lain sebagainya.

Demikian keberadaan pura yang dibuat umat Hindu dengan sejarahnya masing-masing dan sangat disakralkan serta dijaga kesuciannya, sampai melahirkan tradisi unik yang tetap dilaksanakan sampai hari ini, sehingga apabila seseorang Kerauhan di pura (tempat suci), yang merasuki tubuhnya tiada lain adalah perwujudan tuhan dan manifestasi-Nya, bukan makluk lainnya, berbeda halnya jika seseorang trance diluar pura, seperti di sekolah, tempat hiburan dan lain sebagainya. Orang kerasukan tersebut perlu dipikirkan apakah yang merasuki tubuhnya adalah kekuatan dewa atau kekuatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, dibawah ini akan dipaparkan sebuah pura yang memiliki tradisi Kerauhan dalam ritual agamanya

PURA PETILAN KESIMAN

Pura ini terletak lebih kurang 4 km arah timur Kota Denpasar, di wilayah Desa Kesiman dan sangat mudah dijangkau dengan transportasi baik pribadi maupun umum. Pura ini dikenal dengan upacara‘Ngerebong’, suatu tradisi yang melibatkan seluruh penyungsung pura yang mengalami ‘Kerauhan’ dengan menusukkan ‘keris’ ke dadanya sambil mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali. Di pagi hari berlangsung ‘tabuh rah’ yang merupakan bagian ritual upacara. Piodalan di Pura ini berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan kalender Bali), yaitu Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.

Bertepatan dengan puncak upacara ratusan masyarakat mengeremuni areal pura. Upacara berlangsung dengan meriah karena upacara sangat unik, khususnya di Kota Denpasar. Pada awalnya Upacara Pengrebongan merupakan salah satu rangkaiaan pujawali di Pura Dalem Kesiman yang berlangsung pada hari Wraspati Wage Wuku Sungsang yang bertepatan dengan hari Sugian Jawa. Pura Dalem Kesiman merupakan pura tempat pemujaan keluarga kerajaan Kesiman. Setelah Upacara di Pura Dalem Kesiman dilanjutkan dengan upacara di Pura Petilan. Prosesi upacara di Pura ini berlangsung pada hari Umanis Galungan, adapun upacara yang dilaksanakan antara lain Upacara Panyekeban, Nyanjan, Pemendakan, Nuwur, Mider Bhuwana, Mider Gita, Nanda (Nyapu Jagat), Mawayang-wayang, melanang-lanang, mebrata dan sebagai penutup Upacara Penyimpenan semua rangkaian upacara diikuti semua prasanak pura Petilan.

Pada hari soma Paing Wuku Langkir dilaksanakan Upacara Pemendakan di Pura Petilan. Seminggu kemudian dilaksanakan Upacara yang terkenal dengan Upacara Pengerebongan. Upacara ini sangat terkenal dan dinanti seluruh masyarakat, khususnya di wilayah kesiman. Upacara Pengerebongan merupakan Upacara Butha Yadnya, biasanya dilaksanakan pukul 09.00 dengan pelaksanaan Upacara Tabuh Rah dengan tiga pasang adu ayam, tujuanya untuk menetralisir kekuatan negative agar menjadi kekuatan positif, sehingga prosesi upacara dapat berjalan dengan lancer dan masyarakat diberikan kebahagiaan dalam melasakan upacara atau setelah Upacara berlangsung. Acara dilanjutkan dengan hadirnya manca dan prasanak pangerob Pura Petilan dengan pelawatan Barong dan Rangda yang diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti Upacara Pangerebongan, sebelumnya dilaksanakan terlebih dahulu Upacara di Pura Musen sebelah timur Pura Petilan di pinggir Barat Sungai Ayung, setelah kembali dari proses penyucian, barulah Upacara Pengerebongan dimulai.

Upacara Pengerebongan diawali dengan Upacara Nyanjan dan Nuwur Ida Bhattara, tujuanya menghadirkan kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari dari kahyangan untuk dihadirkan di alam manusia, khususnya ke para manca dan prasanak pangerob. Pada Upacara Nyanjan atau nuwur inilah pengusung Rangda dan pepatih mulai menunjukan perilaku Kerauhan. Selanjutkan pelawatan Rangda dan Barong beserta para pepatih menunjukan perilaku Kerauhan diarahkan ke kori agung kemudian mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali melaksanakan prosesi prasawia, yaitu Ida Bhattara/Bhattari beserta para pepatih mengelilingi wantilan dari timur, kemudian ke utara, barat, selatan dan kembali ke timur sebanyak tiga kali. Pada saat Prasawia inilah pepatih yang Kerauhan menunjukan perilaku diluar logika manusia, yaitu seluruhnya melakukan gerakan Ngurek, yaitu senjata yang beraneka macam ragam ditikam-tikam ke dadanya, tanpa ada luka di kulitnya, semuanya tampak ada kekuatan gaib yang merasuki tubuh para pepatih tersebut, sambil berteriak-teriak tubuh terus ditikam dengan senjata tanpa ada rasa sakit sedikit pun, semakin alunan gamelan bersuara, maka semakin keras tusukan-tusukan senjata di bagian tubuhnya, bahkan ada yang menancapkan keris tajam di mata, kedua kening dan lain sebagainya, tanpa ada sakit.

Setelah prosesi tersebut para pepatih yang Kerauhan kembali ke gedong agung dengan Upacara Pengeluwur, serta para pepatih yang Kerauhan disadarkan hanya dengan percikan air suci yang telah dipersiapakan, para Jro Mangku di Pura tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa telah hadir dan membuktikan kepada umat-Nya dengan kekuatan merasuki tubuh para pepatih berupa trance Ngurek, berarti kekuatan suci yang dihadirkan melalui upacara penyanjan telah berhasil dilaksanakan tanpa kesalahan, yaitu dibuktikan dengan kebalnya para pepatih dari serangan senjata tajam, yang merupakan salah satu ciri kemahakuasaan Tuhan.

Upacara tidak berlangsung hanya demikian, sebab setelah Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dipersilakan untuk dilinggihkan, Upacara dilanjutkan dengan Upacara Maider Bhuwana, yaitu Para Ida Bhattara/Bhattari kembali mengelilingi wantilan berupa Pradaksina, yaitu kebalikan dari Prasawia, dimulai dari arah timur, kemudian ke selatan, ke utara dan kembali ketimur sebanyak tiga kali, upacara ini dilaknsakan sebanyak tiga kali bertujuan mengantar beliau dari alam bhur loka, menuju alam bwah loka dan terakhir kealam swah loka tempat para dewa berstana. Dalam upacara ini para pepatih atau umat kembali mengalami Kerauhan atau trance. Hal ini menunjukan kekuatan suci Ida Bhattra/Bhattari yang akan diantar kembali kealam Swah Loka benar-benar hadir dan kembali kealam para dewa. Pada saat prosesi ini suasana dalam areal pura berlangsung hidmat ditambah suara gambelan dan teriakan para pepatih sambil senjata terus tertancap-tancap dalam tubuhnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

2.2 Waktu Kerauhan

Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu pada waktu Nedunang Ida Bhattara, Nglungang Ida Bhattara dan Ngwaliang Ida Bhattara. Sedangkan waktu khusus dapat juga dibagi menjadi 3 yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktu puncak upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.

Pengertian tentang Nedunang Ida Bhattara berarti menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura. Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai persembahan. Tanpa syarat itu Upacara Nedunang tidak dapat dilaksanakan. Pada waktu Upacara Nedunang sangat terasa suasana yang sangat sakral, dimana upacara ini diawali dengan persiapan upacara di seluruh Pelinggih, kemudian dilaksanakan Upacara Pemendakan dengan diturunkanya jempana dan arca-arca. Pada waktu ini suasana semakin khusuk dengan suara baleganjur, suara genta, kul-kul, lelontekan, tedung, kidung dan pengempon pura seluruhnya menyiapkan perlengkapan upacaranya. Dalam keadaan yang khusuk ini secara spontan Tapakan Kerauhan berteriak secara histeris dan meminta senjata yang telah dipasupati, tentunya Tapakan Kerauhan yang hadir lebih dari satu orang. Ketika Tapakan Kerauhan telah Trance sambil menikam-nikam dadanya dan beberapa lagi merangkak, merayap dan diam seperti seekor macan, ular dan kuda, maka upacara dilanjutkan dengan melaksanakan proses purwa daksina mengelilingi areal Pura, prosesi ini diiringi dengan gong baleganjur dan beberapa atribut seperti tedung, lelontekan, jempana dan pengiring dari pura bersangkutan. Setelah Upacara Purwa Daksina para pemangku menyiapkan Upacara Pemendakan, yang mana sarana upacara ini antara lain kelapa, api takep, dupa, arak berem, ayam hitam dan putih, serta beberapa sesayut yang dirangkai begitu rupa semua sarana tersebut dialasi dengan tikar. Sedangkan jempana dan arca-arca berdiri di depan sarana ritual tersebut, kemudian para Tapakan Kerauhan mengambil sarana dan berperilaku diluar pikiran manusia yaitu memakan api, dupa, ayam yang masih hidup dan beberapa lagi berebut kelapa yang masih utuh, tanpa rasa sakit ataupun panas. Fenomena ini terjadi selama 30 menit dan merupakan ciri bahwa Upacara Nedunang Ida Bhattara telah berhasil dengan hadirnya kekuatan yang memasuki Tapakan Kerauhan.

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida Bhattara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di istanakan di sebuah jempana yang dibuat khusus dengan kayu pilihan untuk diiring ke pesucian, prosesi inilah yang disebut Nglungang Ida Bhattara. Prosesi Nglungang ini diikuti oleh para pengempon pura, penabuh gamelan dan beberapa Tapakan Kerauhan. Prosesi ini diawali dengan membuka barisan berjajar dua, yang masing-masing membawa pecanangan, tedung, lelontekan, pasepan, diikuti suara genta dan gamelan beleganjur. Menjelang keberangkatan menuju pesucian, disinilah Fenomena karauhan terjadi lagi bahkan lebih banyak dibanding Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jarak yang ditempuh iringan ini beraneka ragam ada yang dekat dan ada pula yang jauh, tergantung tempat pesucian di masing-masing pura. Prosesi Nglungang Ida Bhattara ke tempat pesucian berlangsung dengan suasana sakral, terlebih lagi Tapakan Kerauhan berteriak-teriak sambil menikam-nikam dadanya berada di barisan terdepan, begitu pula Tapakan Kerauhan merangkak dari pura bersangkutan menuju beji/tempat pesucian tanpa rasa sakit dan payah, Ketika Upacara Nglungang berlangsung suara genta dan gamelan bertalu-talu, asap dupa mengepul dengan bau wewangian menebar ke seluruh alam semesta ini, sehingga pertanda bagi masyarakat sekitar bahwa Ida Bhattara/Bhattari telah hadir menuju beji. Mendengar iring-iringan menuju beji, masyarakat sekitar akan berkumpul di jalan yang akan dilalui, sambil duduk dan mencakupkan tangan, tanda memberi hormat. Setelah tiba di beji iring-iringan disambut dengan upacara pemendakan yang dilaksanakan oleh para pemangku di jaba (luar) Pura Beji. Upacara Pemendakan berupa Api takep atau bara api, ayam hidup, kelapa masih utuh dan minuman berupa arak berem. Dengan spontan Tapakan Kerauhan memakan dan menikmati bara api yang sangat panas dan segempok dupa, begitu pula sarana-sarana lainya. Dengan tibanya iring-iringan di Pura Beji dan menikmati sarana upacara para Tapakan Kerauhan disadarkan oleh Pemangku, dengan diperciki Tirtha (air suci) dari kekuatan Ida Bhattara/Bhattari.

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Ngwaliang/Mapamit Ida Bhattara/Bhattari dari Pura Beji. prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara/Bhattari telah menyucikan bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan diakhiri persembahyangan bersama, maka Ida Bhattara/Bhattari akan kembali ke parhyangan masing-masing. Prosesi ini pastinya diawali dengan suara genta, gemalan dan jempana dipundut serta berbagai atribut kelengkapan beriringan membentuk barisan berjajar dua. Tentunya kembali secara spontan Tapakan Kerauhan mulai menunjukkan fenomena Kerauhan dengan perilaku menuju parhyangan masing-masing. Setelah tiba di parhyangan dilaksanakan Upacara Pemendakan dan Tapakan Kerauhan pun seperti biasa menunjukkan kekuatan suci Ida Bhattara yang telah merasuki dirinya dan disadarkan dengan diperciki tirtha (air suci) dari Pura tersebut. Sedangkan Ida Bhattara/Bhattari yang telah dihadirkan akan diistanakan selama beberapa hari atau diistilahkan Nyejer, agar umat dapat melaksanakan persembahyangan.

Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau nasehat kepada para umat. Jika dalam pelaksanaan ritual agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-tiba Kerauhan dan memberikan nasehat atau arahan kepada umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam, bukan asal membuat upacara saja. Orang pula Kerauhan sambil menyampaikan pewisik atau nasehatnya pada umat yang hadir dalam prosesi itu, agar jangan coba-coba mengadu ilmu dengan kekuatan alam semesta, sebab yang namanya manusia sering mengaku diri paling sakti dan kuat. Sehingga tak heran masyarakat yang merasa sakti mencoba mengadu kekuatan Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dalam ritual keagamaan di sebuah pura.

2.3 Jenis-Jenis Kerauhan

Fenomena Kerauhan memang sangat menarik untuk disimak, karena mampu menjawab pertanyaan yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran. Sebab Manusia kadang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan terlebih lagi di zaman Postmodern, teologi mulai tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang sekaligus rasional dan bermakna. Selain itu kehausan religius masyarakat modern untuk mendapatkan keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena tidak dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, teologi mengalami masanya yang paling sulit (Ray, 2005:17).

Menyimak pandangan seperti itu, masyarakat yang pola hidupnya semakin berubah di zaman modern memandang teologi hanya sebagai pelengkap hidup. Sebab zaman dulu teologi dipercaya membawa kesejahteraan masyarakat, tapi sekarang teologi sudah tenggelam oleh ilmu yang realitas membawa kesejahtaraan seperti, ilmu ekonomi dan teknologi. Tapi dalam ritual agama, keyakinan masyarakat justru meningkat begitu pula dengan teologi lokalnya. Karena dalam ritual agama memperlihatkan kekuatan alam semesta yang merasuk dalam tubuh manusia, sehingga orang itu Kerauhan.

Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu merangkak (tubuh menyentuh tanah), ngurek, menari-nari dan diam. Pada fenomena Kerauhan dengan gerakan merangkak yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari, ketika gerakan Ngurek yang merasuki adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari adalah widyadara/ widyadari sedangkan yang diam adalah Ida Bhattara/Bhattari sendiri.

Menurut teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan disimbolkan memiliki berbagai macam manifestasi yang dipercaya berdasarkan kekuatan maupun sakti seperti para dewa, Bhattara, sesuhunan dan sebutan lain yang menjadi teologi lokal. Dalam kitab suci Weda disebutkan binatang-binatang suci tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudannya, ada juga berfungsi sebagai wahana para dewa. Di atas binatang-binatang atau burung-burung itu para dewa dan dewi duduk mengendarainya, seperti Wisnu di atas Garuda, Brahma di atas Angsa, Dewi Durga di atas seekor singa, Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraan, Ganapati kendaraanya seekor tikus. Indra atau Sasta di atas gajah, Sani berupa burung merak, Yama berupa seekor kerbau, Dewi Gangga seekor buaya, Yamuna seekor kura-kura, Vayu seekor kijang, Surya keretanya ditarik tujuh ekor kuda, Dewi Candi kendaraanya seekor harimau, Nerti kendaraanya seekor anjing, Waraha seekor ular, Rati burung kakatua, Gauri seekor biawak, Kubera kendaraannya manusia dan Hewanta seekor kuda (Titib, 2000:385).

Begitu pula Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di sebuah Pura, hampir seluruhnya memiliki binatang suci yang disebut ancangan. Hal ini dapat kita perhatikan ketika Ida Bhattara/Bhattari melaksanakan Prosesi Ndunang, nglungan, ngwaliang ida bhattra, ada sedikit yang berbeda gerakan salah satu orang Kerauhan yaitu merangkak dari Pura menuju Pura Beji. Posisi merangkak seperti ini Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi adalah ancangan Ida Bhattara yang sifatnya lebih rendah, tapi berbeda dengan Butha, sebab ancangan lebih suci. Posisi merangkak ini selalu menyentuh ibu pertiwi (tanah) dan gerakanya seperti binatang. Fenomena Kerauhan merangkak biasanya berwujud Macan Gading, naga, ancangan kuda putih dan lain sebagainya. Fenomena tersebut bisa disimpulkan bahwa gerakan yang merangkak dan posisi seluruh tubuh menyentuh tanah dipercaya sebagai ancangan (binatang suci) yang menjaga areal suci sebuah pura.

Ketika upacara telah dipersiapkan, Tapakan Kerauhan merasakan melihat beberapa wujud binatang yang aneh, yang bentuknya tidak seperti binatang pada umumnya. Seperti ular bertanduk, kuda putih yang bersayap, macan gading, putih dan masih banyak lagi ancangan beliau. Kemudian ancangan terasa mendekat, setelah itu tidak bisa menahan kekuatan gaib masuk dalam tubuhnya, sehingga gerakan seperti binatang tidak bisa dikendalikan, tapi masih bisa melihat orang sekitar. Ketika Upacara Pemendakan, yang mempersiapkan penyamblehan, api takep dan arak berem. Pada waktu itu secara total tidak sadar, sehingga setelah diperciki air suci, di mulut sudah ada bulu-bulu ayam atau bekas bara api, tapi sama sekali tidak merasakan mual.

Selain binatang suci fenomena Kerauhan berikutnya adalah jenis ngurek. Ngurek berasal dari akar kata “urek” yang artinya melobangi atau tusuk, sehingga ngurek diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan tombak, keris dan alat lainya saat berada pada kondisi Kerauhan (trance). Namun sesunguhnya ngurek merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan suatu keadaan terentu dari seseorang yang diyakini dirasuki roh tertentu, sehingga Kerauhan kemudian menusuk dirinya dengan keris, tombak dan alat lainya (Swadiana, 2007:2).

Menurut Swadiana ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: ngurek yang berpola, ngurek yang tak berpola dan ngurek untuk pertunjukan. ngurek yang berpola maksudnya berlangsung dengan teratur dan terkendali, karena merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan Upacara Piodalan. Umumnya ngurek dilakukan oleh pepatih (patapakan, iringan Ida Bhattara). ngurek yang tak berpola ialah ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada setiap ritual keagamaan, dalam hal ini hanya sebagai pembuktian. Sedangkan ngurek jenis ketiga yaitu sebagai pertunjukkan maksudnya ngurek tidak hanya kebutuhan acara ritual keagamaan saja melainkan bahan tontonan dan hiburan (Swadiana, 2007: 43-47).

Tapakan Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah diupacarai dengan upacara pemasupatian. Menurut Jro Mangku Jenar beliau menjelaskan ada pantangan bagi Tapakan Kerauhan yang biasanya ngurek ialah tidak diperkenankan makan daging sapi, sebab jika itu dilanggar senjata itu akan menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.

Dari beberapa pengalaman Kerauhan yang terbiasa ngurek. Jro Mangku I Wayan Dana mengatakan tidak merasa sakit ketika senjata itu menikam-nikam dadanya dan kesadaran tetap ingat serta melihat manusia sangat kecil, tubuh terasa besar dan sangat terasa ada kekuatan lain yang menggerakan, sehingga tak terkendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat LK. Suryani bahwa orang Kerauhan itu dimana seseorang diambil alih kemampuanya oleh spirit, roh ataupun atmanya sendiri atau energi lain di luar pemikirannya, pada saat seperti itu orang tetap sadar cuma kalau tidak dilatih memang dia tidak bisa mengendalikan keadaannya. Jadi akan mungkin sekali kalau ada orang Kerauhan dengan mental tetap berfungsi hanya saja orang itu dikuasai oleh energi lain. Ia tetap ingat namun tidak bisa menguasai keadaanya. (Swadiana, 2006:28)

Tapakan Kerauhan dalam perilaku ngurek, biasanya yang memasukinya adalah kekuatan para pepatih dari Ida Bhattara yang berstana di sebuah pura. Dalam Teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan atau manifestaNya diibaratkan sebagai seorang raja yang memiliki pepatih, penasehat, menteri dan lain sebagainya untuk mengatur kehidupan umat-Nya, seperti Dewa Indra dipercaya raja dari para Dewa penghuni Sorga (Titib, 2003:176).

Fenomena Kerauhan berikutnya adalah menari-nari. Tapakan Kerauhan ataupun orang secara spontan berteriak sambil menggerakan tanganya dan gerakanya sangat indah sambil menari-nari tapi mata tetap terpejam. Pada Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari pastilah diawali dengan Kerauhan berperilaku menari-nari, kemudian ngurek, terakhir merayap. Pada waktu Kerauhan dengan gerakan menari-nari dipercaya yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah sebuah kekuatan berwujud cantik atau tampan yang memasuki tubuhnya, terkadang dirinya berada di kabut awan. Kerauhan ini sangat berbeda dengan ngurek, dimana keadaanya sama sekali tidak melihat manusia, tapi hanya awan putih yang indah.

Keadaan Kerauhan dengan gerakan menari-nari merupakan fenomena kemasukan kekuatan gaib yang dipercaya sebagai widyadara dan widyadari yang ada di kahyangan. Pada waktu Upacara berlangsung widyadara/widyadari dihadirkan untuk menyambut kehadiran para Ida Bhattara/Bhattari. Fenomena Kerauhan ini memang sulit dikendalikan, justru jika dilawan gerakanya akan jelek atau mengada-ada. Oleh karena itu Tapakan Kerauhan jenis ini biasanya melemaskan tubuhnya dan biarkan kekuatan gaib menguasainya, sehingga orang yang sama sekali tidak bisa menari, tiba-tiba sangat anggun dan cantik bak seorang bidadari yang sedang menari-nari di kahyangan.

Menurut Agni Purana XV, disebutkan nama Kinnara yaitu dewa-dewi sebagai penari dan pemusik di kahyangan. Kinnara ini digambarkan memegang wina sejenis gitar di tangannya. Jadi fenomena Kerauhan jenis menari-nari pada ritual keagamaan, disebabkan kemasukan kekuatan gaib berwujud para Widyadara/widyadari dari kahyangan.

Sedangkan fenomena Kerauhan jenis diam atau meneng, biasanya sangat dinanti-nanti oleh umat, terutamanya pada puncak upacara. Dimana Kerauhan jenis ini oleh Tapakan Kerauhan yang biasa dirasuki oleh kekuatan Beliau, Tapakan Kerauhan merasakan sungguh sangat berat dan tubuh ini terasa terinjak gajah, sehingga ketika beliau hadir walaupun singkat, tubuh ini sama sekali tidak dapat bergerak tapi merasakan kebahagiaan luar biasa.

Fenomena Kerauhan jenis ini ialah hadirnya Ida Bhattara/Bhattari sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa yang merupakan sumber kekuatan atau sakti dari sebuah Pura. Ketika beliau hadir dalam situasi apapun, seluruh aktifitas masyarakat akan berhenti dan suara gamelan, serta kul-kul bertalu-talu. Beliau hadir biasanya tidak lebih dari 5 menit dan orang yang memegang Tapakan Kerauhan akan merasakan tubuh yang sangat berat, sehingga beliau segera disadarkan dengan wangsupada Ida Bhattara.

2.4 Pengaruh Kerauhan

Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan pada ritual agama diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan, seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.

Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : (1) suara gamelan, (2) kul-kul, (3) genta, (4) kidung dan (5) mantra. Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal sampai akhir upacara. Apabila salah satu dari suara tersebut tidak disuarakan biasanya Tapakan Kerauhan akan memberitahu umat untuk menyuarakan panca nada ini. Menurut Ev.Andreas Christanday musik memiliki tiga bagian penting yaitu: (1) beat, (2) ritme dan (3) harmony. Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa dan harmony mempengaruhi roh. Contoh beat mempengaruhi tubuh adalah konser musik rock, dimana orang akan menjingkrak-jingkrak, kepala berputar-putar dan tubuh mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Bukti ritme mempengaruhi jiwa ialah jika hati sedang susah atau gundah cobalah mendengar suara yang indah, yang memiliki ritme yang teratur, tentu perasaan kita akan enteng. Di luar negeri pasien di rumah sakit disembuhkan dengan lagu-lagu indah, sedangkan harmony mempengaruhi roh adalah ketika kita mendengar musik pada film horor tentu ada rasa menyayat dalam hati. Dalam ritual keagamaan juga banyak digunakan harmoni yang mampu membawa roh manusia masuk ke dalam alam persembahan (Swadiana, 2000:48-49).

Musik gamelan Bali, terutama gong memiliki rentang frekuensi yang sangat rendah dan rentang nadanya memang cukup terbatas, tetapi irama, tempo atau beat musik gamelan tidak kalah variatifnya dibandingkan musik klasik meskipun lebih condong untuk monoton. Namun monotonic beat bisa berlaku seperti pembuka jalan ke arah mental state trance bagi pendengarnya. Inilah sebabnya mengapa Kerauhan di Bali banyak berhubungan dengan aktifitas ritual keagamaan dimana didalamnya banyak diperdengarkan musik gamelan (Swadiana, 2000: 50).

Menurut Gusti Jelantik yang merupakan Tapakan Kerauhan, beliau mengatakan pada waktu menjelang Nedunang Ida Bhattra/Bhattari, dirinya sudah merasa tidak tenang, walaupun sedang duduk bersila. Tapi ketika gamelan dimulai tubuhnya merasa bergetar dan terus bergetar sampai tidak bisa dikendalikan, terlebih lagi suara gamelan iramanya sangat cepat yaitu pada gamelan baleganjur. Tiba-tiba saja badan terasa gatal sehingga tubuh tidak terasa sakit walaupun senjata tajam menikam-nikam tubuhnya

Kekuatan Ida Bhattara/Bhattari memasuki tubuh Tapakan Kerauhan tersebut merasa gembira dan sangat senang melihat umatnya melaksanakan Upacara. Sehingga ancangan, pepatih, widyadara/widyadari menari-nari dan meluapkan kebahagiannya untuk menyambut jamuan atau pesta besar yang akan dilaksanakan. Jadi suara gamelan yang begitu meriah membuat hati para penghuni sorga merasakan kesenangan dan menunjukkan kekuatan Beliau untuk menambah keyakinan umat. Dengan Beliau merasa bahagia, maka apapun yang menjadi keinginan kita pastilah terpenuhi. Tapi perlu dipertegas suara gamelan hanya sebagai sarana dalam upacara yang mengiringi proses upacara bukan membuat orang Kerauhan. Ini bisa dibuktikan ketika suara gamelan berhenti orang yang telah Kerauhan tetap saja menari-nari, menikam-nikam dada dan gerakan lainnya.

Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang Kerauhan dalam keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu, pewisik atau mimpi. Menurut Gusti Jelantik mengatakan sehari sebelum ngayah Kerauhan, biasanya sudah ada petunjuk lewat mimpi, bahwa saya harus ngayah Kerauhan pada Upacara di pura. Oleh karena itu harus mempersiapkan diri seperti keramas dan melukat dengan wangsupada. Di samping itu perlu juga menjaga fisik dan stamina, karena ngayah Kerauhan memerlukan tenaga yang banyak. Jadi dengan tahu bahwa dirinya akan ngayah Kerauhan, maka pemangku di Pura harus mempersiapkan juga upacara pembersihan. Tapakan Kerauhan di sebuah Pura orangnya hanya itu-itu saja, sebab mereka yang ngayah Kerauhan tentu dipilih berdasarkan upacara khusus dan biasanya turun temurun. Dengan hadirnya Ida Bhattara yang disungsungnya lewat mimpi atau bisikan lainnya merupakan sebuah pesan agar ketika ngayah Kerauhan benar-benar siap dan mantap.

Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi memiliki batin yang sangat bersih. Intuisi ini memberi kesempatan untuk memperoleh tujuan terutama bila kita tidak mengetahui bagaimana kita dapat ke tujuan itu. Cara memperoleh pengetahuan demikian adalah melalui sesuatu yang mirip dengan kewaspadaan yang terdapat pada diri orang-orang yang memiliki keahlian gaib. Yang termasuk dalam golongan intuisi yang bersifat supraintelektual adalah wahyu, pewisik, kasjf dan ilmu (Suryadipura, 1993:204).

2.5 Material Kerauhan

Material Kerauhan dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan. Pada waktu dulu setiap Pura yang tergolong Pura Sakti telah dipersiapkan berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan. Adapun senjata tersebut telah dilaksanakan upacara terlebih dulu yaitu Upacara Prayascita dan Pemasupatian, diharapkan dengan upacara ini antara senjata dengan Tapakan Kerauhan dapat bersatu. Dengan bersatunya senjata dengan Tapakan Kerauhan, maka segala sesuatu yang ditakuti, seperti terluka dapat dihilangkan.

Senjata yang telah dipersiapkan bukanlah untuk menakuti umat, melainkan memiliki simbol yaitu sebagai penghancur segala kekotoran atau yang sifatnya negatif. Dalam agama Hindu para dewa juga disimbolkan membawa senjata yang disebut Ayudhadevata. Ayudha berarti “yang dibawa waktu perang”. Senjata para dewa itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:

1. Praharana : senjata yang dipakai memukul seperti tombak dan pedang.

2. Panimukta : Senjata yang ditembakan atau dilemparkan seperti cakram.

3. Yantramukta : senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur.

Didalam kitab Purana disebutkan pasukan dewa juga dewi membunuh asura dan raksasa yang menghancurkan kahyangan para dewata dan umat manusia. Pada kenyataan penderitaan manusia disebabkan oleh raksasa dan roh-roh jahat sebagai alasan turunya para dewa dan dewi dalam berbagai wujud. Sang Hyang Siwa dalam berbagai lilamurti, Dewa Wisnu dengan berbagai Awatara dan inkarnasi dari para sakti, semuanya ini adalah untuk menghukum yang jahat dan memberikan pahala kebaikan bagi yang saleh (Titib, 2000: 378).

Kekuatan para raksasa tersebut dihancurkan dengan senjata para dewa yang masing-masing memiliki simbol untuk menunjukan identitas dewa tersebut, seperti sankha dan cakram untuk arca Wisnu, trisula dan damaru untuk arca Siwa, parasu, ankusa dan pasa untuk Ganesha, tombak sakti (Vela) untuk Subramanyu, Vajra untuk Indra, pasa untuk Varuna, Dhanurbana (busur dan panah) untuk Sri Rama dan Kadga (pedang) untuk Kalki Awatara.

Ayudhadevata mengandung makna simbolis kedewataan, seperti : Trisula merupakan kesatuan dari Triguna. Parasu melambangkan kekuatan gaib dari Tuhan Yang Maha Esa. Pasa (tali atau jerat) melambangkan dunia atau maya yang menjerat kehidupan spiritual seseorang. Sankha (terompet kerang) melambangkan waktu (proses) penciptaan. Cakra, agni atau khadga (pedang). Menggambarkan simbol proses kehancuran jagat raya (samhara). Iksudandha (tongkat berupa batang tebu) melambangkan kemanisan spiritual yang dirasakan oleh seseorang yang mempraktekkan hal tersebut dalam gejala duniawi. Padma melambangkan karunia dan kemahakuasaan. Ankusa melambangkan prinsip dasar melepaskan ikatan pengendalian diri (Titib, 2000:381).

Pada sebuah ritual keagamaan di pura, Tapakan Kerauhan biasanya memakai senjata berupa Trisula, pedang dan pisau kecil yang terus ditancap-tancapkan pada dadanya tanpa ada rasa sakit sedikit pun. Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi, senjata yang dipergunakan pada waktu Upacara merupakan simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang menghancurkan kekuatan jahat yang ada pada diri seseorang, agar para Butha tidak mengganggu proses yadnya yang besar ini. Disamping itu Tuhan menunjukan kepada umatnya bahwa beliau kebal terhadap senjata, tidak terbakar api dan tidak basah oleh air. Berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan merupakan senjata-senjata yang sangat disakralkan, tapi senjata tersebut tidak mutlak dipergunakan pada waktu upacara, suatu ketika Tapakan Kerauhan dapat mengambil senjata di sembarang tempat.

Demikian Fenomena Kerauhan yang terjadi pada ritual keagamaan di Bali, yang sampai kini tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat di Bali.

III. Penutup

Pada bagian akhir ini merupakan bagian simpulan yang berupa ringkasan pada uraian-uraian yang dikemukakan terlebih dahulu, sehingga dengan pembahasan tersebut dapat disimpulkan:

Fenomena Kerauhan dalam ritual agama merupakan sebuah tradisi dan budaya masyarakat di Bali. Fenomena ini mencakup beberapa aspek yang menjadi bagian dari sebuah fenomena Kerauhan ini, yaitu Pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan dan material Kerauhan. Masyarakat Desa Pakraman Muncan, memiliki berbagai macam kelompok Pura yang jumlahnya ratusan. Beberapa Pura tersebut terdapat Tapakan Kerauhan yang sering Kerauhan pada waktu upacara. Tapakan Kerauhan akan menunjukan perilaku di luar pikiran manusia seperti makan bara api, menikam-nikam dadanya dengan senjata dan makan ayam yang masih Hidup. Fenomena ini terlihat ketika para pemangku sedang melaksanakan Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari, Nglungang Ida Bhattara dan Ngawaliang Ida Bhattara menuju Pura Beji. Pada Prosesi ini Tapakan Kerauhan yang banyak jumlahnya, menunjukkan tingkah laku yang berbeda-beda secara umum ada yang merangkak, ngurek, menari-nari dan diam. Menurut kepercayaan masyarakat di Bali, menganggap Kerauhan dengan gerakan merangkak dipercaya kerangsukan ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara sedangkan ngurek kerasungsukan para pepatih-pepatih Ida Bhattara, menari-nari kerangsukan widyadara/widyadari dan dalam posisi terdiam kerasngsukan kekuatan Ida Bhattara/bhatari yang menjadi sumber kekuatan. Pada waktu upacara dimulai para Tapakan Kerauhan akan menunjukkan fenomena Kerauhan apabila mendengar bunyi gamelan atau pula mendapat pewisisk atau bawos sebelumnya. Pada Fenomena ini Tapakan Kerauhan menggunakan senjata tajam yang telah dipasupati terlebih dahulu, kemudian senjata itu menikam-nikam dadanya, tapi tusukan senjata itu tidak terasa sakitnya. Senjata ini dipercaya masyarakat untuk menghilangkan kekuatan buruk yang dibawa para Butha pada waktu upacara.

* Hasil penelitian yang telah dimuat dalam Jurnal Penelitian

PEMABUK CINTA: ABU MAHFUDZ MA’RUF

Ya Allah …. Jika aku jatuh cinta,

Cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan

Cintanya pada-Mu

Agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu.

Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,

Jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu

Ya Allah … jika aku jatuh cinta,

Ijinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu

Agar tidak jatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbana …. Jika aku jatuh cinta,

Jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari-Mu

Ya Rabbul Izzati… jika aku rindu,

Rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.

Ya Allah…jia aku rindu,

Jagalah rinduku padanya agar tidak lalaui aku merindui syurga-Mu.

Ya Allah…jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,

Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan

Indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-Mu.

Ya Allah…jika aku jatuh hati pada kekasih-mu,

Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam

Perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu

Ya Allah…jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,

Jangan biarkan aku melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi

Hanya kepada-Mu

Ya Allah…Engkau mengetahui bahwa hati ini

Telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa

Dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu,

Telah berpadu dalam membela syari’at – Mu.

Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya, kekalkanlah cintanya.

Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini

Dengan Nur-Mu yang tiada pernah padam.

Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan

Keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu

Dia adalah salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.

Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Cinta Ilahiah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”

Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.

“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”

“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.

Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.

Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”

Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”

Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya

TRADISI SAPARAN: YAQOWIYU DI KLATEN JAWA TENGAH

 

Jatinom adalah nama suatu kecamatan di Klaten Jateng sekaligus kota pusat pemerintahannya. Jatinom terletak pada jalur utama yang menghubungkan antara Klaten dan Boyolali. Di Jatinom setiap bulan Sapar diadakan “SEBARAN APEM” atau Yaqowiyyu. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Jumat di bulan Sapar yang berada di dekat masjid besar Jatinom. Orang Jatinom biasa menjadikan momen ini sebagai ajang bersilahturahmi ke sanak saudara, sehingga dapat dikatakan sebagai belaran orang Jatinom. Pada saat itu, setiap rumah membuat kue apem, yang nantinya disajikan kepada tamu yang datang. Tradisi ini konon bermula dari cerita tentang Ki Ageng Gribig yang ingin memberikan kue apem kepada muridnya, tetapi jumlahnya hanya sedikit sehingga agar adil maka kue apem tersebut dilemparkan ke muridnya untuk dibagi.

Dari Jatinom anda dapat melihat pemandangan Merapi dan Merbabu yang sejajar. Di kecamatan Jatinom terdapat sumber mata air bawah tanah yang dingin dan jernih yang dapat digunakan untuk mandi. Selain itu Anda dapat melihat deretan gua yang letaknya di dekat sungai. Gua di sana tidak ada stalaktitnya. Biasanya gua tersebut ramai dikunjungi pada bulan Sapar.

SEJARAH

Kyai Ageng Gribig ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Sewaktu berada di Mekkah mendapat apem 3 buah yang masih hangat, kemudian dibawa pulang untuk anak cucunya, ternyata sampai di Jatinom apem tersebut masih hangat. Dengan bersabda “APEM YAQOWIYU” artinya kata yaa qowiyyu itu ialah Tuhan Mohon Kekuatan. Berhubung apem buah tangan itu tidak mencukupi untuk anak cucunya, maka Nyai Ageng Gribig diminta membuatkan lagi agar dapat merata.

Kyai Ageng Gribig juga meminta kepada orang-orang Jatinom; di bulan Sapar, agar merelakan harta bendanya sekedar untuk zakat kepada tamu. Oleh karena orang-orang semua tahu bahwa Nyai Ageng Gribig sedekah apem, maka kini penduduk Jatinom ikut-ikutan sama membawa apem untuk selamatan. Sekarang ini orang-orang Jatinom membawa apem untuk diserahkan ke Panitia Penyebaran Apem, dan sesudah sholat Jumat disebarkan di lapangan.

Menurut kepercayaan warga, apem tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.

Jumat siang, ribuan orang memadati lapangan di dekat Masjid Ageng Jatinom Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten untuk berebut kue apem yang disebar, yaa qowiyyu yang dirayakan pada setiap hari Jumat bakda sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar ini telah ada sejak jaman sejarah Kyai Ageng Gribig.

Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom.

Pada Kamis siang sebelum apem disebar pada hari jumat, apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Gunungan apem ini lalu akan diarak dari Kantor Kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng Jatinom yang sebelumnya telah mampir terlebih dahulu ke Masjid Alit Jatinom. Arak-arakan ini diikuti oleh pejabat-pejabat kecamatan, kabupaten, Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati (atau yang mewakili), Disbudparpora (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga) dari Klaten. Arak-arakan jalan kaki ini juga dimeriahkan oleh marching band, reog, seni bela diri dan Mas Mbak Klaten yang terpilih.

Setelah kedua gunungan apem sampai di Masjid Ageng Jatinom maka gunungan apem tersebut dimalamkan di dalam Masjid untuk diberi doa-doa. Pada hari Jumat setelah sholat Jumat, apem tersebut disebar oleh Panitia bersama dengan ribuan apem sumbangan dari warga setempat.

Banyak orang berpendapat bahwa apem yang ada di gunungan dan telah dimalamkan di Masjid Ageng itulah apem yang paling “berkhasiat” atau manjur. Menurut banyak warga sebenarnya dari ribuan apem yang disebar apem yang telah dimalamkan di Masjid tersebut adalah apem yang benar-benar punya berkah. Tapi meskipun demikian tidak berarti ribuan apem lain yang disebar tidak membawa berkah, masyarakat percaya bahwa apem-apem yang disebar itu punya berkah. Menurut para sesepuh Jatinom, gunungan apem itu mulai diadakan sejak 1974, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman Masjid Gedhe ke tempat sekarang. Sebelumnya, acara sebaran apem tidak menggunakan gunungan.

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.

Ada perbedaan antara gunungan lanang dan wadon. Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig.

Kota Jatinom penuh sesak adanya beribu-ribu orang yang ada disitu meminta berkah kepada Kyai Ageng Gribig yang dimakamkan di Jatinom itu. Tetapi hendaknya kita selalu sadar bahwa: Mintalah sesuatu itu hanya kepada Allah semata.

Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Sekarang ini, sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung.

Di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa: Gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro-Oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro-Oro Tarwiyah.

Adapun Oro-Oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah.

CATATAN

Apem yaaqowiyuu artinya DOA kepada Tuhan untuk mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Yaqowiyu diambil dari doa Kyai Ageng Gribig sebagai penutup pengajian yang berbunyi : Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin, yang artinya : Ya Tuhan berikanlah kekuatan kepada kita segenap kaum muslimin, doa tamu itu dihormati dengan hidangan kue roti. Sekarang pada malam Jumat dan menjelang sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar, Doa Kyai Ageng Gribig itu dibacakan dihadapan hadirin, para pengunjung kemudian menyebutkan Majelis Pengajian itu dengan sebutan nama : ONGKOWIYU yang dimaksudkan JONGKO WAHYU atau mencari wahyu. Kemudian oleh anak turunnya istilah ini dikembalikan pada aslinya yaitu YAQOWIYU.

#Sumber Suara Merdeka/Merawati Sunantri.

KISAH SUFI DZUN NUN AL MISHRI

Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M. Banyak guru-guru yang telah diikuti Dzun Nun dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya di negeri Arab dan Syria. Pada tahun 214 H/829 M, Dzun Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/861 M. Kuburan Dzun Nun sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang ahli al-kimia yang mempunyai kekuatan-kekuatan ghaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. Serangkaian syair dan risalat diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakannya masih diragukan.

KISAH PERTAUBATANNYA

Mengenai pertaubatan Dzun Nun si orang Mesir dikisahkannya sebagai berikut:

Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri:

“Wahai tubuh, bantulah aku dalam mentaati perintah Allah. Kalau tidak, akan kubiarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan”.

Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanya lah ia:

“Siapakah itu yang telah menaruh belaskasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?”

Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya: “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?”

“Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah”, jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain”.

Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.

Si pertapa melanjutkan: “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat terjadi?”

“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!” kataku kepadanya.

“Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih daripadaku?”, tanyanya kepadaku. “Ya”, jawabku.

“Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Di situlah engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan.

Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukkannya. Di sana kujumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkutung putus dan dilemparkan ke luar, cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian kutanyakan perihal dirinya.

Si pertapa berkisah kepadaku: “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruang pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan: ‘Setelah mengabdi dan mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syaitan dan mengejar seorang wanita lacur?’. Karena menyesal kupotonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini”.

Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.

Seseorang mengisahkan kepadaku: “Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya”.

Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barangsiapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati: “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”

Seketika itu juga si burung melompat turun. Dengan mematuk-matukkan paruhnya, dicungkilnya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang yang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran meyaksikan keanehan tersebut. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa-raganya dan benar-benar bertaubat kepada Allah.

Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. EH sana mereka menemukan sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas dan permata-permata

tersebut di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya meminta: “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!”.

Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya: “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan!”

Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut pula sebagai berikut ini.

Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sebuah sungai, di situ kulihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang ke loteng villa itu. Di atas balkon sedang berdiri seorang dara jelita. Karena ingin mempertegasnya aku pun bertanya: “Upik, siapakah engkau ini?”

Si dara menjawab: “Dzun Nun, dari kejauhan kukira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat kukira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.”

Aku bertanya: “Mengapakah engkau berkata demikian?”

Si dara menjawab: “Seandainya engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikis pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain dari Allah”.

Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia .telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku. Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai.

Sesampainya di pantai, aku melihat orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksa dan memperlakukan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru:

“Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu!” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan masing-masing membawa sebuah permata di mulutnya.

Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzun Nun (“Manusia Ikan”).

DZUN NUN DITANGKAP

Dzun Nun telah mencapai tingkat keluhuran yang tinggi tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di negeri Mesir bahkan sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala perbuatannya kepada khalifah al-Mutawakkil. Mutawakkil segera mengirim para perwiranya untuk membawa Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana khalifah, Dzun Nun berkata: “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari seorang wanita tua dan sikap satria tulen dari seorang kuli pemikul air”.

“Bagaimana?”, tanya mereka kepadanya.

Dzun Nun menjawab: “Sesampainya di istana khalifah dan menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan pelayan yang hilir mudik di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baik-nya seandainya terjadi sedikit perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita tua dengan sebuah tongkat di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan tajam ia berkata kepadaku: ‘Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau hadapi, karena mereka dan engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar. Kecuali apabila dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadapmu”.

“Di tengah perjalanan tadi aku bertemu dengan seorang pemikul air. Aku diberinya seteguk air yang menyegarkan. Kepada seorang teman yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan sekeping uang dinar kepadanya. Tetapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima uang itu dan berkata kepadaku: ‘Engkau adalah seorang yang terpenjara dan terbelenggu. Bukanlah suatu kekesatriaan yang sejati apabila menerima sesuatu dari seseorang yang terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang terbelenggu’ “.

Setelah itu diperintahkan supaya Dzun Nun dijebloskan ke dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya ia mendekam dalam kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya mengantarkan sekerat roti yang telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan memintal benang. Ketika Dzun Nun dibebaskan, ditemu-kan empat puluh potong roti di kamar kurungannya dan tak satu pun di antara roti-roti itu yang telah disentuhnya. Ketika saudara perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi sangat sedih.

“Engkau tahu bahwa roti-roti itu adalah halal dan tidak kuperoleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau tidak mau memakan roti-roti pemberianku itu?”

“Karena pinggannya tidak bersih”, jawab Dzun Nun. Yang dimaksudkannya dalah bahwa pinggan tersebut telah terpegang oleh penjaga penjara.

Ketika keluar dari penjara itu, Dzun Nun tergelincir dan dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak mengeluarkan darah tetapi tak setetes pun yang mengotori muka, rambut maupun pakaiannya. Setiap tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap dengan izin Allah.

Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap khalifah. Ia diharuskan menjawab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka dijelaskannyalah doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawakkil menangis tersedu-sedu sedang menteri-menterinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun. Khalifah menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.

DZUN NUN DAN SEORANG MURID

Dzun Nun mempunyai seorang murid yang telah bertapa selama empat puluh kali, masing-masing selama empat puluh hari. Empat puluh kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh tahun ia telah mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang menghadap Dzun Nun dan berkata:

“Semua itu telah kulakukan. Tetapi untuk semua jerih payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dan tidak pernah memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau memperlihatkan keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu kukatakan bukan untuk memuji diriku sendiri, aku semata-mata menyatakan hai yang sebenarnya. Aku telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh diriku yang malang ini. Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku hanya menyatakan hai yang sebenarnya bahwa aku telah mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya menyampaikan kisah sedih dari nasibku yang malang ini, kisah ketidakberuntungan diriku ini. Semua itu kukemukakan bukan karena hatiku telah jemu untuk mematuhi Allah. Aku kuatir jika masa-masa mendatang aku mengalamt hai yang sama. Seumur hidup aku telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban. Sangat berat bagiku untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib bagi orang-orang yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang suci, sembuhkanlah duka citaku ini”.

“Malam ini niakanlah dengan sepuas-puasnya”, kata Dzun Nun menasehati “Tinggalkanlah shalat ‘Isa dan tidurlah dengan nyenyak sepanjang malam. Dengan demikian jika Sang Sahabat selama ini tidak memperlihatkan diri-Nya dengan kebajikan, maka se tidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu. Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu dengan kasih sayang maka Dia akan memandangmu dengan kemurkaan”.

Si murid pun pergi dan pada malam itu ia makan dengan sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat ‘Isa hatinya tidak mengizinkan. Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun tidur. Malam itu di dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya:

“Sahabatmu mengucapkan salam kepadamu. Dia berkata: ‘Hanya seorang malang yang lemah serta bukan manusia sejatilah yang datang ke hadirat-Ku dan cepat merasa puas. Inti permasalahan adalah hidup lurus tanpa keluhan’. Allah Yang Maha Besar menyatakan: ‘Telah Kuberikan empat puluh tahun keinginan kepada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau akan memperoleh segala sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala keinginanmu itu. Tetapi sampaikan pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia bajingan dan suka berpura-pura itu. Katakanlah kepadanya. wahai manusia pen-dusta yang suka berpura-pura, jika tidak Aku bukakan malumu kepasa seluruh penduduk kota, maka Aku bukanlah Tuhanmu. Awas, janganlah engkau sesatkan kekasih-kekasihku yang malang dan janganlah engkau jauhkan mereka dari hadirat-Ku”.

Si murid terjaga dari tidurnya lalu menangis. Kemudian ia pergi kepada Dzun Nun dan mengisahkan segala sesuatu yang disaksikan dan didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata ‘Tuhan mengirim salam dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang suka berpura-pura’, ia pun berguling-guling kegirangan dan menangis penuh kebahagiaan.

KISAH-KISAH DZUN NUN

Dzun Nun mengisahkan: Ketika aku sedang berjalan-jalan di gunung, terlihat olehku sekumpulan orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada mereka: “Apakah yang telah terjadi terhadap kalian?”

Mereka menjawab: “Di dalam pertapaan yang terletak di tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun sekali ia keluar dari pertapaannya, meniup orang-orang ini lalu semuanya sembuh. Setelah itu ia pun kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian barulah ia keluar lagi”.

Dengan sabar aku menantikan si pertapa itu ke luar dari dalam pertapaannya. Ternyata yang kusaksikan adalah seorang lelaki ber-wajah pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku gemetar karena kagum memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa memandangi orang banyak itu, kemudian menengadahkan pandangannya ke atas. Setelah itu semua orang-orang yang menderita sakit itu ditiupnya beberapa kali. Dan semuanya sembuh dari penyakitnya.

Ketika si pertapa hendak kembali ke dalam pertapaannya, aku segera meraih pakaiannya dan berseru:

“Demi kasih Allah engkau telah menyembuhkan penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit di dalam batinku ini”.

Sambil memandang diriku si pertapa berkata:

“Dzun Nun lepaskanlah tanganmu dariku. Sang Sahabat sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika Dia lihat berapa engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti Dia akan meninggalkan dirimu bersama orang itu maka celakalah engkau di tangan orang itu”.

Setelah berkata demikian ia pun kembali ke dalam pertapaannya.

ooo

Suatu hari sahabat-sahabatnya mendapati Dzun Nun sedang menangis.

“Mengapa engkau menangis?”, tanya mereka.

“Kemarin malam ketika bersujud di dalam shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat olehku Allah dan Dia berkata kepadaku: ‘Wahai Abul Faiz, Aku telah menciptakan semua makhluk terbagi dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan harta kekayaan dunia. Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka Aku berikan surga. Semuanya berpaling kepada surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tonjukkan neraka. Semua lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh harta kekayaan dunia, tidak mendambakan surga dan tak takut pada neraka. Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?’ Semuanya menengadahkan kepalanya sambil berseru: “Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang kami kehendaki!”.

ooo

Pada suatu hari seorang anak lelaki menghampiri Dzun Nun lalu berkata: “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin menyumbangkan uang ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku ini dapat digunakan oleh murid-muridmu dan para guru sufi”.

“Apakah engkau sudah cukup umur?”, tanya Dzun Nun. “Belum”, jawab anak itu.

“Jika demikian engkau belum berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Bersabarlah hingga engkau cukup dewasa”, Dzun Nun menjelaskan.

Setelah dewasa, anak itu kembali menemui Dzun Nun. Dengan pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan semua uang dinar emas itu diberikannya untuk para guru sufi, sahabat-sahabat Dzun Nun.

Suatu ketika para guru sufi itu mengalami kesulitan sedang mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis dipergunakan.

Anak lelaki yang telah menyumbangkan uangnya itu berkata: “Sayang sekali, aku tak mempunyai uang seratus ribu dinar lagi untuk membantu manusia-manusia berbudi ini”. Kata-kata ini terdengar oleh Dzun Nun, maka sadarlah ia bahwa anak tersebut belum menyelami kebenaran sejati dari kehidupan rrristik karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak itu dipanggil Dzun Nun dan berkata kepadanya:

“Pergilah ke tabib Anu, katakan padanya bahwa aku menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu dirham kepadamu”.

Si pemuda segera pergi ke tabib itu dan tak lama kemudian ia telah kembali lagi.

“Masukkanlah obat-obat itu ke dalam lumpang dan tumbuklah sampai lumat”, Dzun Nun menyuruh si pemuda.. “Kemudian tuangkanlah sedikit minyak sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian kepal-kepallah ramuan itu menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum lobangilah ketiga-tiganya. Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaku”.

Si pemuda melaksanakan seperti yang diperintahkan kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada Dzun Nun. Butir-butir tersebut diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian ditiupnya, tiba-tiba butir-butir itu berubah menjadi tiga buah batu mirah delima dari jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata kepada si pemuda:

“Bawalah permata-permata ini ke pasar dan tanyakanlah harga-nya, tetapi jangan engkau jual”.

Si pemuda membawa batu-batu permata itu ke pasar. Ternyata setiap butirnya berharga seribu dinar. Si pemuda kembali untuk mengabarkan hai ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata: “Sekarang masukkanlah permata-permata itu ke dalam lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah itu lemparkanlah ke dalam air”.

Si pemuda melakukan seperti yang disuruhkan, melemparkan tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun berkata kepadanya: “Anakku, para guru sufi itu bukan lapar karena kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri”.

Si pemuda bertaubat lalu jiwanya terjaga. Dunia ini tak berharga lagi dalam pandangannya.

ooo

Dzun Nun berkisah sebagai berikut:

Selama tiga puluh tahun aku mengajak manusia untuk bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah dengan segala kepatuhan. Beginilah peristiwanya:

Pada suatu hari sewaktu aku berada di ‘pintu sebuah masjid, seorang pangeran beserta para pehgiringnya lewat di depanku. Kuucapkan kata-kata: “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat me la wan si kuat”.

Si pangeran bertanya kepadaku: “Apakah makna kata-katamu itu?”

“Manusia adalah makhluk yang lemah, tetapi ia bergulat melawan Allah Yang Maha Kuat”, jawabku.

Wajah si pangeran remaja itu berubah pucat. Ia bangkit lalu meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya ia kembali menemuiku dan bertanya: “Manakah jalan menuju Allah?”

“Ada jalan yang kecil dan ada jalan yang besar, yang manakah yang engkau sukai?. Jika engkau menghendaki jalan yang kecil, tinggalkanlah dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu kecuali Allah lalu kosongkanlah hatimu”.

“Demi Allah akan kupilih jalan yang besar”, jawab si pangeran.

Esoknya ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi seorang manusia suci.

ooo

Kisah berikut ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far yang bermata satu.

Aku bersama Dzun Nun dengan sekelompok murid-muridnya berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan bahwa sesungguhnya manusia dapat memerintah benda-benda mati,

“Inilah sebuah contoh”, kata Dzun Nun, “bahwa benda-benda mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci. Jika kukatakan kepada sofa itu ‘menarilah mengelilingi rumah ini maka ia pun menari”.

“Belum lagi Dzun Nun selesai dengan kata-katanya, sofa itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik ke tempatnya semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat menahan ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.

ooo

Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Dzun Nun dan berkata:

“Aku mempunyai hutang tetapi aku tidak mempunyai uang” untuk melunasinya”,

Dzun Nun memurigut sebuah batu. Batu itu berubah menjadi zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia membawa-nya ke pasar dan menjualnya dengan harga empat ratus dirham kemudian ia melunasi hutangnya.

ooo

Ada seorang pemuda yang seringkali mencemoohkan kaum sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya kemudian memberikan cincin itu kepada si pemuda sambil berkata:

“Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah dengan harga satu dinar”.

Si pemuda membawa cincin itu ke pasar tetapi tak seorang pun mau menerimanya dengan harga di atas satu dirham. Si pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.

“Sekarang bawalah cincin ini kepada pedagang permata dan t any akan harganya”, Dzun Nun berkata kepada si pemuda.

Ternyata pedagang-pedagang permata menaksir harga cincin itu seribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun berkata kepadanya:

“Engkau hanya mengetahui kaum sufi seperti pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini”.

Si pemuda bertaubat dan ia tak mau lagi mencemooh para sufi.

ooo

Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun ingin memakan Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya. Kebetulan esok hari adalah hari raya dan batinnya berkata: “Bagaimana jika esok engkau memberi kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”

“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau kehendaki, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat al-Qur’an di dalam shalat sunnat dua raka’at malam nanti”.

Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu tidak disentuhnya; ia segera melakukan shalat.

“Apakah yang telah terjadi?”, seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.

“Barusan, hatiku berkata kepadaku”, jawab Dzun Nun. ‘Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku!’, tetapi segera kujawab: ‘Demi Allah, keinginanmu tidak akan tercapai’ “.

Yang meriwayatkan kisah ini me ny at akan bahwa begitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang yang membawakan semangkuk sekbaj ke hadapannya dan berkata:

“Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri, tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk persoalannya kepadamu. Aku mencari nafkah sebagai seorang kuli padahal aku mempunyai beberapa orang anak, Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan untuk itu aku telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku: ‘Jika engkau ingin me lihat ku di hari berbangkit nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dan katakan kepadanya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara dapat berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekedarnya”.

“Aku taati”, sahut Dzun Nun sambil menangis.

ooo

Ketika Dzun Nun terbaring menunggu ajalnya, sahabat-sahabatnya bertanya:

“Apakah yang engkau inginkan pada saat ini?”

Dzun Nun menjawab: “Keinginanku adalah walau untuk sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya”. Kemudian Dzun bersyair:

Takut telah meletihkan diriku,

Hasyrat telah membakar diriku,

Cinta telah memperdayakanku,

Tetapi Allah telah menghidupkan aku kembali.

Pada suatu hari “ketika Dzun Nun tidak sadarkan diri. Pada malam kematiannya, tujun puluh orang telah bertemu dengan Nabi Muhammad di dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkari bahwa di dalam mimpi itu Nabi berkata: “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut kedatangannya”.

Ketika Dzun Nun meninggal dunia, orang-orang menyaksikan tulisan berwarna hijau di dahinya: “Inilah sahabat Allah. Ia mati di dalam kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah dengan pedang-Nya”.

Ketika orang-orang mengusung mayatnya ke pemakaman, matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Burung-burung turun dari angkasa dan dengan sayap-sayap mereka meneduhi peti mati Dzun Nun sejak dari rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu seorang muadzin menyerukan adzan. Sewaktu si muadzin mengucapkan kata-kata syahadah, dari balik kain kafan terlihat jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas.

“Ia masih hidup!”, orang-orang berseru kaget.

Mereka menurunkan usungan itu. Memang jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka mencoba namun mereka tak dapat membenarkan jarinya yang mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar hal ini, mereka semua merasa malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan, di atas kuburan Dzun Nun telah mereka lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

@sumber: kitab tadzkiratul awlia