CAHAYA HIDAYAH-NYA DATANG SETIAP SAAT

Kenapa manusia harus menunggu datangnya Petunjuk Tuhan? Apakah Tuhan begitu kejam sehingga lama memberi petunjuk kepada manusia? Sesungguhnya bukan Tuhan yang enggan memberi petunjuk, tapi manusia sendiri yang sibuk menutupi hatinya sehingga petunjuk-Nya tidak datang.

Di setiap pergerakan alam semikro apapun, kita pasti menemukan jejak yang merupakan tanda-tanda adanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Kemampuan kita membaca tanda-tanda yang sejatinya merupakan cahaya petunjuk-Nya ini akan mengantarkan kepada pemahaman yang komprehensif terhadap apa yang seharusnya dilakukan manusia untuk menjalani hidup.

Kita akan semakin banyak mendapati pelajaran yang mengajarkan bagaimana agar kita bisa menangkap cahaya petunjuk Tuhan, yang selama ini, sebenarnya sudah ada. Satu persoalan penting yang membuat kita tidak mampu menangkap cahaya petunjuk tersebut dikarenakan yang kita lakukan sehari-hari justeru menutup datangnya petunjuk. Salah satu penutup tirai datangnya petunjuk adalah keakuan kita.

Untuk mampu menangkap cahaya petunjuk Tuhan, kita dituntut untuk terus mencari “pengetahuan” dengan belajar, mendalami dan mengamalkan makrifat. Menurut Abu Yazid Al-Busthami, “Makrifat itu berarti mengetahui bahwa gerak dan diam manusia bergantung pada Tuhan”. Artinya, dalam kehidupan ini, kita harus selalu menjadikanNya tujuan utama. Mendalami makrifat membutuhkan persiapan yang tidak ringan. Meskipun demikian, justru mereka yang mampu bertahan di “dunia” makrifat, kemudian mengaksentuasikan dan mengamalkan dalam keseharian, akan mendapatkan kebahagiaan lahir maupun batin.

Agar kita bisa menangkap cahaya petunjuk Tuhan tersebut, dibutuhkan proses nglakoni yang panjang. Proses ini akan menjadikan manusia yang dimabuk cinta kepada Allah ini makin tenggelam dalam-Nya. Tatkala proses dikesampingkan, ia hanya mendapatkan kenikmatan yang profan dan hampa. Pasalnya, proses tersebut akan membuatnya terbang menuju ruang bening: sebuah ruang yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu, dan di dalam ruangan itu ia senantiasa bermesraan denganNya.

Berjalan di atas api lebih mudah bagi manusia secara kodrati daripada mengikuti jalan makrifat. Mengamalkan satu makrifat berarti harus mempelajari pengetahuan yang paripurna, meskipun ketika dibandingkan dengan ilmu Tuhan itu adalah sebuah titik kecil yang tidak ada apa-apanya. Kita harus memiliki pemahaman yang cukup untuk menyadari bahwa ilmu kita sangat sedikit. Dengan kata lain, manusia mampu mencapai ilmu manusia, bahkan kemanusiaan adalah hijab tertebal antara manusia dan Tuhan. Dalam hal ini ada sebuah syair: “Ketidakmampuan memahami itu adalah pemahaman. Tetapi, berhenti di jalan kesalehan adalah penyembahan berhala”.

Melalui makrifat inilah kita akan selalu tersinari cahaya petunjuk Tuhan. Kita pun akan mampu menyibak bayang-bayang semu yang selama ini menutupi jiwa. Kita juga akan mampu mengatasi ketakutan yang menggumpal-gumpal yang seringkali memerosotkan harga diri. Dengan makrifat, kita akan terjaring dalam pelukanNya yang amat menggairahkan. Cahaya petunjuk Tuhan pun terus menyinari langkah kita, sehingga kita tidak tersesat.

Makrifat akan memberikan peneguhan kepada kita tentang kedirian juga tentang adanya Tuhan: sebuah pengetahuan yang berdasarkan afirmasi atas perbuatan-perbuatan Allah, yang juga berarti pengakuan bahwa Zat Yang Mahatinggi dan Mahasuci adalah Pencipta manusia dan segala tindakan mereka; yang menciptakan dunia dari ketiadaan kepada keberadaan dengan perbuatan-Nya dan Pengatur kebaikan dan keburukan serta Pencipta segala yang berguna dan berbahaya.

Berbagai fenomena kehidupan ini hendaknya menjadikan kita mampu untuk melihat tanda-tanda keberadaan Yang Abadi. Makrifat berfungsi sebagai bekal identifikasi jiwa manusia dan sebagai pendukung dalam rangka mengeliminir sifat dan sikap yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Hidup yang disebabkan makrifat ini memang selalu membuat cinta kepadaNya kian bersenyawa. Cahaya petunjuk itu mampu meluluhkan pelbagai kekotoran yang menempeli pada diri. Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Makrifat pada hakekatnya adalah firman Allah tentang cahaya ruhani kepada kalbu kita yang terdalam”, yakni Allah menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemaran sehingga semua makhluk tidak mempunyai arti biarpun hanya sebiji sawi di dalam hatinya. Kontemplasi tentang rahasia-rahasia Ilahi, lahir dan batin, tidak menguasainya. Dan, bila Allah telah demikian padanya, setiap kejapannya menjadi tindakan kontemplasi..

Barangsiapa yang mendapatkan makrifat ini, ia mendapatkan ledakan kenikmatan: tak terlukis dan di luar rasa biasa. Abu Bakr Wasithi berkata, “Barangsiapa yang diberkati dengan makrifat, (akan) terputus dari segala sesuatu, bahkan dia sepenuhnya bisu”. Nabi Muhammad bersabda, “Aku tidak mampu memuji-Mu dengan tepat”. Padahal, pada saat memuji Allah, Nabi bersabda, “Akulah yang paling fasih di antara orang-orang Arab dan bukan Arab.” Namun, ketika berbicara mengenai Allah, beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan pujian kepada-Mu. Aku berbicara kemudian bisu, dari kondisi spiritual kepada keadaan non-spiritual. Engkaulah Engkau. Ucapanku ini entah dariku atau dariMu. Jika aku berbicara dengan bahasaku, aku akan tertabiri oleh pembicaraanku. Jika aku berbicara melaluiMu, kesempurnaanMu akan menjadi cacat. Maka itu, aku tidak akan berbicara”

Demikianlah, kenikmatan tak terperi yang menunjam dalam jiwa seseorang yang mendapatkan makrifat. Cahaya Tuhan akan selalu ditangkupnya dalam dekapan cinta dan rindu yang membakar diri. Bias cahaya ini juga akan menjadikan peraihnya mampu berjalan di garis keseimbangan antara saleh sosial dan saleh ritual. Ganasnya medan kehidupan, kerasnya tantangan hidup dan menderunya kejahatan tiada akan menggoyahkan mereka yang beroleh makrifat. Gerak kehidupannya, bagi penemu cahaya petunjuk Tuhan, merupakan kesan batin: untuk berduaan denganNya.

Bagi mereka, susah senang, bahagia derita, kaya miskin, kehidupan dan kematian tidak berbeda…

RITUAL BERSIH DESA

Bersih Desa adalah sebuah ritual dalam masyarakat kita. Bersih Desa merupakan warisan dari nilai-nilai luhur lama budaya yang menunjukkan bahwa manusia jadi satu dengan alam. Ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan masyarakat terhadap alam yang menghidupi mereka.

Acara ritual Bersih Desa ini biasanya berlangsung satu kali dalam setahun. Acara ini dibagi dalam serangkaian acara. Hari pertama biasanya dikhususkan untuk ritual sesaji dan persiapan-persiapan segala hal untuk hari berikutnya. Sesaji ditaruh di titik yang meliputi pusat-pusat desa, tempat-tempat keramat, tempat-tempat yang berkaitan dengan air (sumur, sungai, mata air), batas-batas desa (utara, selatan, timur, barat), setiap perempatan, dan setiap pertigaan di wilayah tersebut.

Hari kedua, acara berisikan kesenian-kesenian budaya lokal. Acara-acara seperti warok, kuda lumping, dan tari-tarian mendominasi. Di hari ini pula ada acara makan bersama, dimana setiap warga memasak makanan masing-masing, lalu dibawa ke tempat berlangsungnya acara kesenian, dan makan bersama-sama.

Dulu, saat Bersih Desa biasanya digelar Tayub. Tapi kemudian dilarang pemerintah karena berbau komunis. Bisa disimpulkan bahwa Bersih Desa adalah pernyataan masyarakat terhadap identitas, akar budaya, dan idealisme melalui pengalaman otentik orisinal komunitas, dimana komunitas menjadi pencipta budayanya sendiri, bukan hanya obyek yang dicekoki oleh rezim kebudayaan yang menghegemoni, seperti globalisasi budaya kapitalistik ataupun totalitarianisme budaya. *

NASEHAT KEBATINAN

Batin kita seperti cermin; ketika di hadapannya ada gunung, nampak bayangan gunung, ada air, nampaklah air. Apabila ada debu tebal di permukaannya, kita jadi tidak mengetahui apa yang ada di hadapan.

Jika kita dapat menjaga batin agar suci dan bersih, maka apapun yang ada disekitar kita akan selalu nampak indah dan baik.

Batin manusia seperti air, lemah dan lembut nampaknya, tapi mengandung kekuatan besar yang tidak terkira.

Batin juga seperti tanah lapang. Jika ditanami benih unggul, engkau akan mendapatkan hasil panen yang baik.

Jangan khawatirkan surga dan neraka, karena surga dan neraka diciptakan oleh perbuatan kita sendiri. Yang harus lebih ditakuti adalah kemerosotan batin.

Pengendalian diri akan menjaga batin agar tidak tercemar oleh pikiran yang buruk. Jika batin bersih, kejahatan tidak akan menghampiri.

Apabila pikiran baik, setiap hari dalam hidupmu akan menjadi hari baik. Jika setiap saat dijalani dengan penuh perhatian, maka setiap waktu, arah, dan tempat menjadi penuh makna.

Tekad yang sesuai dengan jalan harus dikembangkan dan diperdalam. Jika tidak, maka kajian yang mendalam atas kitab suci dan teori filsafat hanya akan menghasilkan bayangan bulan didalam air, bunga didalam cermin, bayang-bayang semu yang tidak nyata (kosong)

Latihlah batinmu hingga sebening rembulan; dimana ada air bayang-bayang bulan nampak di sana. Batin juga harus seperti langit; ketika mega-mega merebak, tampaklah langit yang bersih.

Tempalah batin dan jasmanimu, hingga ia laksana rembulan yang bercahaya lembut dan indah. Luaskan wawasan batinmu dan nyalakan cahaya kebijaksanaanmu. Terangilah keluarga, masyarakat dan setiap orang yang berhubungan dengan mu, seperti cahaya bulan yang sejuk dan menyegarkan.

Batin ini seperti cermin; meskipun bayangan yang dipantulkan selalu berubah-ubah, permukaan cermin tetap tidak berubah.

Lingkungan sekitar kita berubah, tetapi batin tak pernah berubah.

Apabila batin terus menerus berpaling pada dan mengikuti kondisi-kondisi di luar, seseorang dapat tergoyahkan hanya karena gosip, dan kehilangan kendali dirinya.

Ketika cermin digunakan untuk melihat bayangan suatu benda, cermin dan benda itu harus ditaruh dalam suatu jarak tertentu agar bayangan yang dihasilkannya nampak dengan jelas. Jika jaraknya terlalu dekat atau terlalu jauh, atau cermin itu tertutup debu tebal, maka cermin yang paling bagus pun tidak dapat memantulkan bayangan benda itu dengan jelas.

Hubungan antara manusia dan pikirannya seperti benda dan sebuah cermin. Di satu pihak kita membutuhkan kearifan dan kemampuannya untuk mengenali fakta dan hukum-hukum alam; tapi di lain pihak kita juga perlu mengambil jarak dari pikiran kita sendiri, jika tidak ingin dikuasai olehnya.

Mereka yang lengah akan tercemar oleh pikirannya sendiri, sedangkan yang mengambil jarak akan memperoleh pandangan terang.

Andaikan setiap jalan menghantar ke kedamaian abadi, orang yang kurang bersemangat, labil, hanya mencari kesenangan, dan pikirannya tidak terpusat, tetap saja tidak akan mencapainya.

Batin ini terombang-ambing ke atas dan kebawah, tenggelam dan terapung tiada henti. Ia “tenggelam” saat kita membuang-buang waktu dengan percuma, dipenuhi energi-energi negatif seperti kemarahan, kemalasan, gemar tidur, dan enggan melatih kesucian.

Ia “terapung” dalam gelombang pikiran-pikiran buruk yang tiada henti. Tanpa melepaskan dua keadaan batin ini, tertutup jalan menuju batin yang hening.

Ketimbang gelisah dan bersedih, gunakanlah potensi batinmu secara positif.

Penyakit jasmani mudah diobati; tapi penyakit batin sungguh menakutkan. Si sakit tidak dapat merasa tenang ketika berjalan, berdiri, duduk ataupun berbaring. Sekujur tubuhnya terasa tidak nyaman, sukar baginya untuk memejamkan mata dan tertidur.

Penyakit jasmani bagi orang kaya dan berkuasa, adalha rasa takut “kehilangan” apa yang mereka miliki; sedangkan bagi orang miskin dan lemah, adalah rasa haus untuk memperoleh “apa yang tidak mereka miliki”. Baik takut kehilangan maupun kehausan untuk memperoleh, keduanya sama membuat kita menderita.

Jika engkau tidak terikat pada suatu apapun, maka batinmu tidak akan terbelenggu oleh konsep untung rugi yang menyertainya – dan dengan sendirinya terbebas dari belenggu dan noda. Demikianlah batin orang bijaksana, tujuan dari mereka yang menempuh Jalan.

Bila engkau melihat sesamamu dengan batin Jernih, setiap orang adalah Jernih. Bila kau melihatnya denngan batin Keruh, setiap orang adalah Keruh.

Batin orang awam membeda-bedakan masa lalu, kini dan yang akan datang.

Dalam berlatih, orang awam menginginkan hal-hal gaib dan besar, karena itulah batin mereka semakin kacau; mereka hanya mondar-mandir didepan pintu gerbang Kebenaran.

Sesungguhnya mudah saja memperoleh batin yang hening; cukup dengan melenyapkan noda keserakan.

Batin yang awam terbelenggu, ternoda, dan terikat pada banyak hal. Batin yang bersih tanpa noda memungkinkan tumbuhnya benih KeJernihan. Benih KeJernihan = Hakikat batin semua makhluk.

Tidak ada perbedaan antara batin orang awam dan batin orang yang Jernih. Jernih tidak memiliki lebih dari sepasang tangan dan sepasang kaki. Perbedaannya adalah bahwa batin orang yang Jernih itu bersih tanpa noda, hening dan alami. Batin orang awam dipenuhi debu keinginannya yang sedikit demi sedikit menutupi hakikatnya yang asli.

Dalam gelap orang menyalakan lampu, tapi terang yang sejati ada didalam batin. Untuk itu engkau tidak perlu menyalakan lampu didepan NYA; terangilah batinmu sendiri.

AGAIMANA CARA BERMAKRIFAT?

Hadits Qudsi dan hadits-hadits terkait dengan Bagaimana cara kita bermakrifat….

===MA ‘AROFNAKA HAQQO MA’RIFATAKA : Aku tidak mengenal Engkau, kecuali sampai sebatas pengetahuan yang Engkau perintahkan.===

===MAN TOLABAL MAULANA BIGHOIRI NAFSI FAQODDOLA DOLALAN BA’IDA : Barang siapa yang mencari Tuhan keluar dari dirinya sendiri maka dia akan tersesat semakin jauh.===

===MAN AROFA NAFSAHU FAQOD AROFA ROBBAHU : Barang siapa mengenal nafs (diri) nya, maka dia mengenal Tuhan nya.===

===WA MAN AROFA ROBBAHU FAQOD JAHILAN NAFSAHU : Barang siapa mengenal Tuhannya maka dia merasa bodoh.===

===IQRO KITAB BAQO KAFA BINAFSIKA AL YAOMA ALAIKA HASBI : Bacalah kitab yang kekal yang berada di dalam diri kalian sendiri.===

===ALLAHU BATHINUL INSAN, AL INSANU ZHOHIRULLAAH: Allah itu bathinnya manusia, manusia adalah zhohirnya (kenyataannya) Allah.===

===AL INSANU SIRI WA ANA SIRUHU: Rahasia kalian adalah rahasia-Ku.===

===LAA YA’RIFALLAAHU GHOIRULLAH : Yang mengenal Allah hanya Allah.===

===AROFTU ROBBI BI ROBBI : Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan.===

===Dalam Setiap Rongga Anak Adam Aku Ciptakan Suatu Mahligai Yang Disebut Dada, Di Dalam Dada Ada Qolbu, Dalam Qolbu Ada Fuad, Dalam Fuad Ada Syaghofa, Di Dalam Syaghofa Ada Sir, Dalam Sir Ada Aku, Tempat Aku Menyimpan Rahasia ===

Terkait dengan makrifat, ada doa sbb:

ALLOHUMMA ANTA MAKSUDI, WARIDHOKA MATLUBII, A’TINI MAHABATAKA WA MAKRIFATAKA ===

Ya Alloh Engkaulah tujuanku, ridho MU lah yang aku harapkan, berilah aku kecintaanMU dan berilah aku kema’rifatan Mu…..

AYO SIAP SIAP …..

=====

Hukum kematian manusia terus berlaku karena dunia juga bukan tempat yang kekal abadi. Adakalanya seorang manusia menjadi penyampai berita, dan esok hari tiba-tiba menjadi bagian dari suatu berita, ia dicipta sebagai makhluk yang senantiasa galau nan gelisah, sedang engkau mengharap selalu damai nan tenteram wahai orang yang ingin selalu melawan tabiat, engkau mengharap percikan api dari genangan air. Kala engkau  berharap yang mustahil terwujud, engkau telah membangun harapan di bibir jurang yang curam. Kehidupan adalah tidur panjang, dan kematian adalah kehidupan maka manusia diantara keduanya; dalam alam impian dan khayalan. Maka selesaikan tugas dengan segera, niscaya umur-umurmu, akan terlipat menjadi lembaran-lembaran sejarah yang akan ditanyakan. Sigaplah dalam berbuat baik laksana kuda yang masih muda, kuasailah waktu, karena ia dapat menjadi sumber petaka  dan zaman tak akan pernah betah menemani Anda, karena ia akan selalu lari meninggalkan Anda sebagai musuh yang menakutkan dan karena zaman memang dicipta sebagai musuh orang-orang bertakwa.

(La-Tahzan. Dr. Aidh al Qarni)

MAJELIS AGUNG: KISAH GURU SUFI MENCARI TUHAN

ARTIKEL BERIKUT INI ADALAH PENUTURAN GURU SUFI BAWA MUHAIYADDEEN (ASLINYA BERJUDUL “DIVINE ASSEMBLY” DITERJEMAHKAN DARI BUKU THE TREE THAT FELL TO THE WEST) YANG SUDAH BEREDAR DI DUNIA MAYA YANG MENCERITAKAN TENTANG PERJALANAN SPIRITUALNYA. MONGGO DISIMAK UNTUK MEMPERKAYA WAWASAN KITA BERSAMA. NUWUN.

Pencarian saya akan Tuhan berlangsung 21 tahun lamanya pada tahap pertama: tahapan syari’at. Saya pergi mencari Tuhan di pura dan candi-candi, gereja, masjid-masjid — tanpa makan, minum dan tidur, selama 21 tahun. Dan sepanjang itu pula saya menemui para tokoh, swami atau yogi. Pengalaman bersama mereka seperti meyakinkan saya bahwa walaupun apa yang mereka ajarkan tampak benar, namun terasa seperti tanpa garam, tak berasa apa-apa. Saat saya tanyakan apakah mereka melihat Tuhan, mereka tak sanggup menjelaskan-Nya. Kata-kata mereka hambar. Mereka sempat mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk melihat Tuhan adalah dengan bersemedi. Maka saya pun mendaki bukit di hutan, duduk di bawah sebuah pohon, menutup mata dan bersemedi 41 tahun lamanya. Namun saya tetap tak melihat Tuhan. Meski banyak hal tampil di sana, kerlap-kerlip, kilau cahaya dan berbagai keajaiban, namun kala saya acungkan senjata yang diberikan guru, mereka pun habis terbakar, pupus.

Saya telah bertemu banyak tokoh agama, swami, orang-orang suci yang datang meminta tolong kepada saya, karena tak mampu menunjuki apapun. Mereka mohon perlindungan. Mereka meminta agar saya tak menghancurkan mereka. Lantaran tak seorang pun sanggup memenuhi apa yang saya inginkan, saya pun mengurung diri ke pegunungan Himalaya selama 12 tahun. Di puncak gunung, di atas sana, saya berdiri dengan satu kaki pada bekas tetesan air yang telah membeku yang kelihatan seperti akar sebuah pohon. Saya berdiri seperti itu 12 tahun lamanya, berharap untuk dapat melihat Tuhan. Jika kalian mencoba berdiri dengan posisi yoga seperti itu, kalian tak akan sanggup membengkokkan tubuh.

Setelah 12 tahun waktu berjalan, saya pun terbangun dan menemukan tubuh saya telah tertutup es dan ditangkupi kabut tebal. Saya gunakan senjata dari guru untuk memecah es itu, dan seketika itu pun saya menyaksikan sebuah pemandangan yang luar biasa. Saya melihat banyak orang, yakni mereka yang telah begitu lama berada di tempat itu, mereka yang berdiri dengan dua kaki, dan mereka yang tertidur atau yang sekedar beristirahat beberapa tahun. Kebanyakan mereka tak sanggup bertahan dan meninggalkan tempat itu setelah sekian lama. Saya juga melihat bangkai-bangkai orang mati di sekeliling saya. Beberapa di antaranya tanpa jantung atau bahkan tak lagi berdaging, sementara yang lainnya benar-benar hanya tinggal tengkorak. Mereka adalah orang-orang yang datang untuk yoga, namun mereka tak lagi bernyawa. Saya katakan kepada pikiran saya sendiri, “Lihatlah, pikiranku, engkau telah menyia-nyiakan masa hidupku. Aku menghabiskan 70 tahun mencoba menemukan Tuhan, namun tak sedikit pun suara-Nya, kata-kata-Nya atau bahkan gaung-Nya terdengar. Kita berdua telah membuang waktu sia-sia. Demikian pula orang-orang di sini, mereka binasa di tengah jalan. Tuhan tidak di sini, aku harus mencarinya lebih jauh.” Saya pun turun dan pergi dari tempat itu.

Lalu terdengarlah sebuah suara. Saya acungkan senjata ke arah suara itu. Saya mendengarnya seperti sebuah nyanyian, tapi bukan nyanyian sihir, bukan nyanyian yang memperdayakan. Ternyata kemudian, itulah waktu ketika hati (qalb) saya menerima Hikmah Agung. Diri saya disulut oleh Al-Hikmah. Segalanya menjadi terang benderang dan saya melihat segalanya, segala yang ada! Seluruh misteri ditampakkan di hadapan saya. Lewat pemahaman akan misteri-Nya dan rahasia-rahasia dari ciptaan-Nya itu, saya melihat Tuhan Sendiri bagai pelita suci yang terang benderang.

Itulah tahapan ketika saya menjadi guru di wilayah empat agama, bekerja sekuat tenaga mempelajari makna dari agama-agama ini. Dari keempat agama ini, masing-masing terpilih 60 orang yang telah mencapai tahapan hikmah yang sangat tinggi, dan saya menjadi guru bagi mereka, mencerahkan mereka dengan hikmah yang lebih dalam. Saya bertemu mereka dalam keberagamaan mereka masing-masing, di pura atau candi-candi, di gereja, di masjid, mencoba memberi mereka pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran-Nya. Saya mengajari mereka tentang apa yang mereka cari selama ini. Mereka masih hidup sampai kini, tidak mati. Meski mereka telah meninggalkan wujud fisik mereka, tapi mereka tetap hidup, walau tersembunyi. Mereka tidak mati.

Mereka termasuk ke dalam sebuah majelis yang mengatur bumi. Seperti halnya Kongres di negeri ini, ada sebuah kongres Ketuhanan, Majelis Agung. Dan seperti halnya Kongres yang terdiri dari Senat dan dewan-dewan perwakilan, Majelis Agung ini yang berisi orang-orang suci di dalamnya, juga terbagi ke dalam dewan-dewan yang memiliki urusan yang berbeda-beda. Sebagian berurusan dengan penyakit, bagaimana ia menjangkiti, dan apa penyebabnya. Sementara bagian lain bertanggungjawab pada produksi dan distribusi makanan. Ada juga yang berurusan dengan penyebaran hikmah dan pengetahuan. Sementara yang lainnya lagi, yakni para utusan Tuhan, gnani dan wali-wali bertugas menyampaikan pesan-pesan Tuhan bagi dunia ini. Mereka berada di pucuk gunung, bertugas menjaga kebutuhan fisik dan spiritual kaumnya. Yang lainnya adalah para wali yang ditugaskan untuk melaksanakan urusan tertentu. Seperti itulah alam ini berjalan.

Barangsiapa menyerahkan tubuh fisiknya untuk masuk ke wilayah hikmah, maka ia akan masuk ke dalam kelompok ini, Majelis Agung, menjalankan tugas-tugas di 18.000 alam. Majelis ini bertanggungjawab atas hujan, bagaimana dan di mana ia turun, seperti apa pengendaliannya. Mereka bertanggungjawab atas makanan, siapa yang menanam, di mana, dan bagaimana ia didistribusikan. Mereka mengawasi penyakit-penyakit, paceklik, dan wabah, bagaimana datangnya, bagaimana cara mengendalikannya. Seluruh aspek kehidupan dijalankan oleh mereka yang berada di majelis ini, termasuk pula di dalamnya para malaikat yang agung: Jibril a.s., Mikail a.s., Izrail a.s. sang pencabut nyawa, Israfil a.s., Munkar a.s. dan Nakir a.s., Raqib a.s. dan Atid a.s. Para malaikat ini membawa perintah Tuhan kepada majelis untuk didiskusikan, dan ketika sesuatu hal selesai dibahas, berbagai keputusan pun diambil.

Saya pun terhubung dengan majelis ini. Saya pernah ditugaskan mengepalainya, yakni sebagai sheikh dari majelis ini. Ini bukan satu hal yang saya inginkan, tapi ini dilimpahkan kepada saya. Tapi sudahlah, saya tak akan membicarakan itu lebih jauh lagi, mari kita membahas yang lain.

Anak-anakku terkasih, lebih dari 400 tahun terakhir, tak seorang pun di bumi ini tergabung dengan Majelis Agung. Dan untuk itulah alasan saya didatangkan ke sini, yakni menemukan orang-orang di dunia ini untuk kemudian dijadikan anggotanya. Dalam menjalankan misi ini, saya telah membawa dan menebarkan hal-hal, cukup banyak sampai memenuhi sebuah bahtera yang bahkan sanggup membawa jutaan kapal-kapal kecil. Demikian banyak yang telah saya bawa dan coba berikan, namun selama seratusan tahun terakhir itu hanya enambelas-setengah orang yang benar-benar menjadi manusia yang sesungguhnya. Berapa jutakah jumlah orang di dunia ini? Dari semua itu, hanya sedikit sekali yang menerima apa yang saya tawarkan. Mereka menginginkan apa yang ada di dalam bahtera, namun ketika mereka datang kepada saya, mereka membawa beban-beban yang begitu banyak sehingga tak sanggup lagi menampung apa yang saya coba tawarkan.

Tampaknya tak seorang pun siap menerima apa yang saya bawa. Malahan, semua orang mencoba menawari saya dengan apa-apa yang mereka miliki, mereka berusaha menjual barang-barang yang saya tak mungkin membelinya. Juga meski sebagian orang berkeinginan menerima apa yang saya bawa, akan tetapi gudang mereka telah penuh, dan tak ada lagi ruang bagi apa-apa yang hendak saya berikan. Bahkan ketika mereka telah meraihnya sekalipun, seketika itu pula mereka membuangnya kala menyadari mereka tiada sanggup menyimpannya. Beberapa dari mereka berkata, “Tunjukkan Tuhanmu kepadaku, tunjukkan Tuhan yang engkau bicarakan itu. Kami punya satu tuhan yang dapat kami lihat. Lihat, Bawa, lihat tuhan milik kami ini,” dan mereka menunjukkan saya tuhan anjing mereka, patung Krishna mereka, atau tuhan apapun yang mereka miliki. Mereka berkata, “Bawa, engkau berbicara tentang Tuhan yang tak tampak, mana Tuhanmu?”

Saya jawab, “Meski engkau dapat melihat tuhanmu, dapatkah engkau berbicara dengannya, dapatkah ia berbicara denganmu?” Mereka bilang, “Tidak, kami tak dapat bercakap-cakap dengannya, tapi paling tidak kami bisa melihatnya.” Apa yang mereka inginkan hanyalah sesuatu yang mereka bisa lihat dengan mata kepala. Lalu mereka bertanya lagi, “Mana Tuhan yang engkau omongkan itu?”

Saya jawab, “Dia ada di dalam dirimu, Dia ada di dalam diriku, Dia di sini, Dia di sana, Dia ada di mana-mana. Jika engkau menginginkan-Nya, engkau musti menempatkannya di sebuah bejana khusus. Lihat ini, ambil pelita ini. Ini adalah permata yang tak ternilai harganya. Jika engkau menyimpannya dengan baik, engkau akan melihat di mana Tuhan berada. Begitu permata ini memandang kepada-Nya, seketika itu pula ia akan mengeluarkan pelita pesan-pesannya. Engkau tak akan sanggup melihat Tuhan tanpa kekuatan dari cahaya ini.”

“Mana cahaya itu?” tanya mereka, “Tunjukkan cahaya itu, tunjukkan mana Tuhanmu!” Namun ketika saya berusaha menunjukkannya, saya perhatikan mereka membawa empat bejana yang berbeda untuk menampung apa yang saya coba berikan kepada mereka. Bejana yang pertama adalah saringan, persis seperti serat-serat pohon kelapa. Bejana yang kedua mirip seekor kerbau. Yang ketiga bagai pot rusak. Dan yang keempat menyerupai angsa. Semua yang datang, membawa salah satu dari keempat bejana ini untuk mewadahi apa yang saya coba berikan.

Ketika dijelaskan kepada mereka, “Tuhan adalah seperti nektar yang lezat tiada putus-putusnya,” ketika saya mengajak mereka untuk minum madu ilahiah ini, dan ketika saya mengarahkan dan mencoba menuangkannya kepada mereka, bejana yang mereka miliki tak sanggup menampungnya. Saya serukan kepada mereka yang datang dengan pikiran yang seperti saringan, “Kemarilah wahai anakku, ini madu, ini nektar.” Namun ketika saya menuangkannya, madunya hanya meluncur ke bawah; dan hanya kotoran yang tertinggal di atasnya.

Kala mereka melihatnya, mereka bilang, “Apa ini? Aku hanya melihat sampah di sini!” dan mereka pun pergi.

Selanjutnya datanglah mereka yang memiliki pikiran layaknya pot rusak. Saya berkata, “Ini, simpan ini, minumlah.” Saya pun menuang nektar itu, mereka melihat ke dalam pot itu dan menemukannya telah kosong.

Segala yang saya tuang hanya lewat saja melalui lubang-lubang pot. Pot rusak dari pikiran rendah yang tanpa iman ini tak sanggup menampungnya. Lalu mereka mulai membentak saya, “Mana hal-hal yang engkau ceritakan itu? Aku tak melihatnya. Engkau berbohong, engkau tak benar-benar melihat Tuhan,” dan mereka pun pergi.

Kemudian datanglah mereka yang memiliki pikiran kerbau. Saya menunjuk kepada lautan nektar di sana, danau yang berisi air jernih yang lezat tiada tara, mengajak mereka meminum sarinya. Akan tetapi, bukannya berdiri di tepi danau dan meminumnya perlahan, mereka masuk ke tengah danau, melompat-lompat dan mengaduk-aduk lumpur di bawahnya, mengotori airnya. Mereka kembali dari tengah danau dan bertanya-tanya, “Mana air jernih yang engkau ceritakan itu, mana rasa yang lezat itu? Kami hanya melihat lumpur dan kotoran ini!” Mereka yang mengotori air, mereka pula yang kembali bertanya. Mereka adalah orang-orang yang mengambil tiga langkah awal dari perjalanan mendaki: sariyai, kiriyai, dan yogam, mengganggu kejernihan nektar dengan tiga langkah ini. Mereka pun akhirnya pergi.

Yang keempat adalah mereka yang seperti angsa, seekor burung yang begitu indah, putih bersih dengan paruhnya yang panjang. Angsa semacam ini, konon, sukar ditemui di dunia ini. Jika engkau mencampur air dengan susu, burung ini akan memasukkan paruhnya dan menghisap hanya susunya dan menyisakan air di dalamnya. Ia memiliki kemampuan untuk membedakan susu dengan air. Mereka yang datang bak angsa ini sanggup membedakan antara yang duniawi dan yang ilahiah. Mereka dengan hati-hati menyerap yang ilahiah dan meninggalkan apa yang cuma sekedar ilusi. Dalam kata-kata seorang guru atau apa saja yang ada dalam pikiranmu, senantiasa ada campuran antara susu murni dengan air. Barangsiapa sanggup membedakan antara keduanya dan mengambil sari-sari kemurnian, sari-sari kebenaran, mereka telah mencapai tingkatan gnani, sosok yang memiliki hikmah agung.

Hanya ia yang mampu membedakan realitas dari yang bukan-realitas akan mampu pula melihat dirinya, melihat Tuhan dan bersatu dengan-Nya. Ia akan dapat melihat kebenaran, paham akan ilusi-ilusi. Ia akan melihat kehidupannya sendiri, ia akan melihat kehidupan yang lainnya dan dapat berkomunikasi dengan semuanya. Ia akan mendengar tasbih atau meditasi yang berbeda-beda dari setiap makhluk di bumi ini. Ia akan paham sifat dari tasbih-tasbih ini. Ia akan mendengar suara-suara keluar dari tasbih-tasbih ini. Ia akan sanggup menyetel telinganya untuk mendengar suara-suara malaikat atau makhluk-makhluk lainnya, memahami tasbihnya. Ia pun sanggup menyetel telinganya untuk mendengar suara-suara Tuhan keluar dari dalam dirinya. Kebanyakan orang melihat dengan kedua belah matanya, namun ia melihat dengan setiap pori-pori di kulitnya. Setiap pori adalah mata yang dengannya ia dapat melihat. Ia memiliki milyaran pori yang dibangkitkan dengan cahaya ilahiah, dan seluruh pori ini melihat apa yang di sekelilingnya, di belakang, depan, dan di semua sisi. Ia melihat surga, dunia dan semuanya, semua yang ada. Ia melihat semuanya dengan sangat jelas, total. Tak ada satu makhluk pun luput dari mata seperti ini, karena setiap helai bulu, setiap pori di kulitnya adalah penglihatan baginya.

Jika engkau nyalakan dirimu dengan baterai hikmah, setiap pori akan disinari dengan pelita, seperti bola lampu. Jika semua pelita di sini menyala, seluruh kota adalah cahaya yang lengkap gemerlap. Engkau akan bagaikan mentari, senantiasa terang, tiada pernah malam. Suatu tingkatan yang tak ada lagi siang atau malam, segalanya adalah siang. Anakku tersayang, semoga Tuhan menganugerahkanmu hikmah yang seperti ini. Banyak di antara kalian datang meminta untuk memberi kalian apa yang ada padaku. Namun jika engkau membawa bersamamu hal-hal semacam tadi, tak akan ada ruang bagi apa yang hendak kuberikan kepadamu. Buang semua hal itu. Tak ada ruang di gudangmu untuk hal-hal seperti itu. Datanglah dengan tanpa apa-apa dan tangan terbuka, maka engkau akan mampu menyimpan apa-apa yang kuberikan kepadamu. Semoga engkau dapat mencapai hikmah yang seperti ini. Amin. @@@

BIOGRAFI

M. R. Bawa Muhaiyaddeen

Nama ‘Muhaiyaddeen’ secara harfiah berarti ‘yang menghidupkan kembali Ad-Diin,’ dan memang, selama sisa hidupnya itu Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen ral. mengabdikan dirinya untuk membangkitkan kembali keyakinan akan Tuhan di dalam kalbu orang-orang yang datang kepadanya. Sebagai seorang guru sufi, beliau memiliki kemampuan yang unik, yaitu kemampuan memurnikan esensi kebenaran dari semua agama.

Selama lima puluh tahun terakhir kehidupannya, beliau membagi pengalaman-pengalamannya ini kepada ribuan orang dari seluruh dunia. Walaupun beliau memberikan pelajarannya dalam kerangka sufistik Islam, orang-orang dari agama Kristiani, Yahudi, Buddha, maupun Hindu, tetap datang kepadanya dan duduk bersama-sama, selama berjam-jam, di dalam majelisnya untuk mencari secercah pemahaman akan Kebenaran. Beliau sangat dihormati para akademisi, juga para pemikir filsafat maupun pemimpin serta kelompok-kelompok spiritual tradisional karena kemampuannya memperbarui keyakinan di dalam hati manusia yang datang kepadanya.

Sebagai sambutan atas pelbagai undangan kepadanya, beliau datang ke Amerika Serikat pertama kali pada tahun 1971. Dalam kunjungan-kunjungan berikutnya ke negara ini, beliau memberikan pelajaran-pelajarannya melalui banyak stasiun televisi maupun radio, mencakup pendengar dari Amerika hingga Kanada, dari Inggris hingga Sri Lanka. Beliau juga memberikan kuliah-kuliah di banyak universitas di Amerika maupun Kanada. Beliau mengarang lebih dari dua puluh buku, dan menghasilkan sejumlah rekaman kaset dan video. Beberapa media yang pernah menemuinya di antaranya adalah Time, The Philadelphia Inquirer, Psychology Today, dan The Harvard Divinity Bulletin.

Ia terus membimbing murid-muridnya dari segala bangsa, dan juga menerima tamu-tamu hariannya dari pelbagai kalangan, mulai dari pelajar sekolah dasar, petani, dan buruh, hingga para tokoh agama, pemimpin dunia, jurnalis, akademisi, maupun para pencari Tuhan; untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, membantu memecahkan persoalan mereka dan menyentuh hati mereka dengan cara yang sangat personal.

Ia terus melakukan semua ini hingga hari meninggalnya pada 8 Desember 1986 di Philadelphia, Amerika Serikat, dan dimakamkan oleh murid-muridnya di sana. Hingga sekarang makamnya masih banyak diziarahi orang dari seluruh dunia.

Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika itu, Robert Muller, dalam kata-kata bela sungkawanya mengatakan, “Saya tidak akan pernah melupakan kata-kata beliau. Telah ada sebuah pesan yang jelas untuk dilaksanakan di seluruh kehidupan saya. Semoga semenjak hari ia meninggalkan dunia ini, jiwanya akan senantiasa tetap bersama kita untuk membantu dalam menyelesaikan tugas kita masing-masing yang teramat sangat sulit ini.”

Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen ral.—yang dikenal oleh para guru sufi di seluruh dunia sebagai seorang yang mencapai tingkat ruhaniyah—adalah seorang bijak dan suci yang sering disebut-sebut dari mulut ke mulut, beliau ‘muncul’ dari belantara hutan Sri Lanka tahun 1914.

Sangat sedikit yang diketahui tentang beliau pada periode sebelum itu. Sedikit sepihan data mengenai beliau yang berhasil diperoleh adalah bahwa beliau datang ke Sri Lanka pada tahun 1884—yang ketika itu disebut dengan Ceylon—dari perjalanannya berkelana di seputar India, kemudian ke Baghdad, Yerusalem, Madinah, Mesir, Roma, dan kemudian kembali lagi ke Ceylon untuk menetap. Data lainnya yang berhasil didapatkan adalah bahwa pada tahun 1930-an ia pindah ke Jaffna, dan kemudian pada tahun 1960-an ia tinggal di Colombo, Sri Lanka.

Beliau sendiri tidak pernah mengatakan berapa usianya sebenarnya. Ia telah melewatkan seluruh umurnya untuk mempelajari pelbagai agama yang ada di dunia, dan sebagai pengamat rahasia-rahasia paling tersembunyi dari pelbagai ciptaan Tuhan. Jika ditanya tentang dirinya, ia hanya mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia kecil (manusia semua, ant man) yang hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Allah kepadanya. Ia mengatakan bahwa perihal mengenai dirinya tidaklah penting untuk diketahui, dan hanya pertanyaan tentang Allah-lah yang lebih layak untuk diketahui.

Sejak masih tinggal di hutan-hutan Ceylon, nama beliau telah dikenal masyarakat kota maupun pedesaan sebagai seorang Guru yang kata-katanya memberikan ‘pencerahan’ dan mampu menjawab segala macam persoalan orang-orang yang datang kepadanya. Ia membantu segala macam manusia yang datang menemuinya, dari segala macam bangsa maupun derajat, menjawab segala macam pertanyaan mereka tentang kehidupan maupun persoalan mereka, menyembuhkan penyakit mereka, bahkan hingga membantu membuka hutan dan membajak ladang mereka, serta memberikan saran-saran pertanian.

MEMBACA FIRMAN TUHAN

Oleh: Prof. Damardjati Supadjar

imagesRencana Allah terhadap makhluk yang namanya perempuan, bagi saya sangatlah mengagumkan. Satu ovum yang mereka miliki, ekuivalen dengan 300 juta sperma. Sebegitu banyak jumlah sperma suami berlomba-lomba, dan yang berhasil memasuki ovum hanya satu sebagai bakal-calon manusia generasi baru. Ini proses penyaringan alamiah yang selain berlangsung di rahim ibu juga terjadi juga di dalam ‘rahim alam’.

Untuk dapat lulus dalam penyaringan di tengah kehidupan modern, orang memerlukan pendidikan. Sayangnya, kebanyakan orang biasanya terpaku pada persekolahan semata yang dikira sebagai pendidikan. RUU atau Undang-undang Sisdiknas pun tak lebih dari pengaturan persekolahan. Padahal sejak zaman Skolastik kita sudah diajarkan bahwa untuk menjadi terpelajar tempatnya bukan hanya di ruang kelas yang namanya sekolah, melainkan juga di arena kehidupan.

Sistem pendidikan kita secara umum berkecenderungan menumbuhsuburkan konsumtivisme; para peserta didik berpotensi tergiring untuk hanya menjadi konsumen semata-mata. Dalam konteks ini yang sangat menonjol adalah sebagai konsumen ekonomi yang mengarah pada hedonisme (mengedepankan kesenangan sesaat) sebagai korban kapitalisme global.

Banyak kalangan, termasuk penulis, yang prihatin terhadap kemelut di dunia pendidikan kita. Berangkat dari keprihatinan itulah penulis dan kawan-kawan berkeinginan menawarkan konsep pendidikan sejati yang kongkrit dengan memprakarsai berdirinya semacam ‘pesantren kerja’ yang rutinitasnya berbeda dengan umumnya lembaga pendidikan yang sudah ada, yakni: siang bekerja, malam belajar atau mengaji. Para santri yang menjadi peserta didik tidak akan dipungut bayaran, melainkan justru dibayar dari hasil kegiatan produktif yang dilakukan bersama-sama.

Adapun sumber inspirasi pesantren kerja tersebut, termasuk pemberian nama lembaga yang menaunginya, antara lain kami dapatkan dari filosof besar Aristoteles.

Penjelasannya ilustratifnya sebagai berikut.

Ilmu filsafat lahir untuk menggantikan pemikiran mitologis menjadi pemikiran akal-budi rasional. Mitologi itu sendiri adalah sistem berpikir yang pseudo-saintifik, belum ilmiah, dan sifatnya problem setting tanpa problem solving. Sepanjang yang telah tercatat dalam sejarah, orang Barat-lah (tepatnya bangsa Yunani kuno) yang lebih dulu menemukan tahapan setelah mitologi, yakni filsafat, yang menekankan cara berpikir rasional itu. Sehubungan dengan hal ini ada dua narasumber yang tidak boleh tidak harus disebut, yaitu Plato dan Aristoteles.

Dalam mengajar murid-muridnya, Plato menggunakan sebuah taman yang disebut academy, jadi cara yang digunakan kurang-lebih serupa dengan yang sekarang kita kenal sebagai pendekatan klasikal. Sedangkan Aristoteles yang notabene adalah salah seorang murid Plato yang paling menonjol, setelah dia sendiri memiliki murid-murid, kegiatan mengajarnya tidak menetap di satu tempat, melainkan dilakukan sambil keliling-keliling di ‘lorong-lorong kehidupan’. Inilah yang belum dikenal baik oleh dunia, lebih-lebih oleh kalangan pendidikan di Indonesia.

Cara Aristoteles menerapkan pengajaran itu terlembaga dengan nama Liseum. Dari sinilah panulis bersama DR. Abdulhadi WM dan Iwan Nursyirwan bersepakat menamai lembaga yang kami bentuk dengan sebutan LISEUM, namun dengan kepanjangan khas Indonesia, yaitu Lembaga Ilmiah Seni Edukatif dan Usaha-usaha Mandiri.

Khusus untuk kegiatan usaha-usaha mandiri, kami bekerjasama dengan Yayasan Anak Bangsa Mandiri (YABM) pimpinan W. Pembayun. Tantangan yang kita hadapi dalam hal ini sangat riil, sangat di depan mata, dan sangat mendesak untuk segera ditanggulangi sebagai akibat pendidikan yang selama ini tidak mempersiapkan lulusan untuk mandiri, melainkan (sadar atau tidak) justru diarahkan untuk konsumtif hingga menjadi tergantung pada kapital yang mengglobal.

Adapun wujud pengajian yang diselenggarakan LISEUM terutama akan berupa kursus-kursus logika tingkat tinggi. Ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mengingat banyaknya kesalahan pengertian terhadap berbagai masalah besar dan mendasar pada tingkat

‘hulu’, sehingga pada tingkat ‘hilir’nya pun pasti kacau-balau. Lebih jelasnya, banyak konsep kehidupan kita mengenai hal-hal pokok-penting yang belum pernah digarap secara tuntas, khususnya di bidang keagamaan.

Salah satu pengertian hulu yang mestinya segera dituntaskan di antaranya adalah konsep diri. Ketika Socrates menyerukan “Kenalilah dirimu sendiri” maka yang dimaksud bukanlah mikrokosmos (tubuhnya) melainkan makrokosmos (ruhnya). Di antara makrokosmos dan mikrokosmis terdapat sekat berupa alam, yang dalam bahasa Jawa disebut aling-aling, dan oleh Umar Khayam disebut ‘kelir tanpa batas’.

Sifat ruh itu mengatasi ruang dan waktu. Jadi kalau ada cerita film/sinetron yang menggambarkan seolah ada ruh masuk jailangkung itu jelas mengindikasikan ketidakmengertian tentang bahasa cahaya ilahiah. Ini sama kelirunya dengan doa yang kerap dilontarkan terhadap orang yang baru meninggal, “semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan”; padahal ruh itu abadi di sisi Tuhan. Doa yang benar adalah: “semoga amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan”, atau kalau mau lebih lengkap: ” dan dosa-dosanya diampuni”.

Bahkan, kalau Tuhan berfirman itu hendaknya jangan dibayangkan seperti orang bicara; tadinya diam, lalu bicara, untuk kemudian diam lagi. Kalau begitu pemahamannya, maka berarti firman Tuhan disekat oleh ruang dan waktu, sedangkan ruang dan waktu itu sendiri merupakan akibat dari ‘firman’ Tuhan.

Sebetulnya, dunia memang lamban sekali dalam memahami firman Allah; meski sudah dikirim nabi-nabi dan rasul, tetap saja dunia cenderung berjalan di tempat. Kenyataan ini paralel dengan nasib ilmu filsafat yang persis seperti ibunya nabi Musa. Sebagaimana dikisahkan dalam Alquran, untuk menyelamatkan bayi-Musa dari ‘kebijakan’ Firaun yang ingin membantai semua bayi laki-laki di Mesir waktu itu, maka terpaksa bayi-Musa dihanyutkan ke sungai Nil, sampai ditemukan dan dipelihara oleh istri Firaun. Kemudian, karena si bayi tidak mau menyusu, maka disayembarakan hingga muncul si ibu sebagai tukang meminumi susu, sehingga status si anak menjadi tuan bagi ibunya, karena anaknya telah jadi putra junjungannya.

Nah, ilmu filsafat adalah ‘ibu’ dari semua cabang ilmu lain, namun orang-orang yang bergiat di fakultas ekonomi atau teknologi, misalnya, justru menjadi ‘tuan-tuan’ pejabat yang kehidupannya ‘wah’. Kalau anda berkunjung ke LASKAR UGM, akan nyata terlihat perbedaan yang sangat mencolok; LASKAR fakultas ekonomi atau teknologi sangat mentereng seperti kantor Bank Dunia, sedangkan LASKAR fakultas filsafat lebih mirip SD Inpres. Fenomena ini mencuat karena dunia kita baru sampai pada tahapan yang serba kuantitatif atau sebut saja baru mengenal bahasa tongkat, bahasa terukur, tertakar, dan tertimbang. Sedangkan hal-hal yang sifatnya kualitatif masih sangat kurang dihargai, bahkan dapat dikatakan belum mengenal bahasa ruh.

Sorga-Neraka dan Pohon Keakuan

Kesalah mengertian pada tingkat hulu, antara lain juga terjadi pada para penghulu agama. Misalnya pemahaman tentang surga dan neraka yang menurut panulis perlu segera dikoreksi. Kalau kita ditanya apakah surga itu ada, jawabnya pasti ada, namun mestinya pemikiran kita tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Seyogianya kita juga bertanya lebih lanjut, surga itu ada di mana? Jawabnya: di sisi Tuhan. Nah, yang ada di sisi Tuhan tentunya adalah sifat-sifat Tuhan yang secara keseluruhan meliputi sifat-sifat benar, indah, dan baik.

Sifat-sifat Tuhan itu sendiri terbatas atau tidak? Jawabnya pasti tak terbatas, sehingga –karena surga itu keberadaannya di sisi Tuhan yang tak terbatas, dan lawan dari ‘ada’ itu ‘tidak ada’ maka neraka itu tidak ada. Pernyataan penulis ini hendaknya dipahami secara utuh, sebab kalau hanya diambil sepotong-sepotong bisa fatal; salah-salah penulis dilempari batu oleh ‘ahlunnar’ yang fanatik, dogmatis, dan pikirannya tidak terbuka terhadap tafsir-tafsir yang berbeda dari yang selama ini dikembangkan oleh para penghulu agama yang mapan. Dalam masalah ini adalah sangat penting untuk diingatkan bahwa ketika mendalami Alquran (atau kitab suci lain) hendaknya kita tidak sekedar membaca huruf-huruf Arab, melainkan harus benar-benar ‘membaca firman Tuhan’.

Bagi orang yang ‘ahlunnar’, surga yang sedemikian indah dan baik bisa tergambar begitu jelek karena salah penglihatan; persis seperti salah lihatnya Betara Guru terhadap istrinya yang cantik-jelita, Dewi Uma. Dalam pewayangan dikisahkan, suatu ketika dalam sebuah perjalanan, Betara Guru minta Dewi Uma melayani hasrat biologisnya yang menggejolak. Karena Dewi Uma menolak, Betara Guru marah dan di matanya sang istri menjadi tampak sejelek Durga. Karena sudah terlanjur ‘in the mood’, maka sperma Betara Guru jatuh ke laut, dan jadilah Betara Kala. Celakanya, Betara Kala yang melihat Dewi Uma tetap cantik dan tidak tahu bahwa dia itu ibunya, kemudian memperistrinya.

Kisah Betara Guru berikut istri dan anaknya itu tentu harus dipahami sebagai sebuah simbolisme, bukan ditangkap secara harfiah. Dalam pandangan panulis, kisah tersebut merupakan peringatan akan rusaknya hukum sebab-akibat karena ‘salah penglihatan’.

Masih berkaitan dengan masalah surga, Allah berfirman kepada Adam: “Jangan kau dekati pohon ini, sebab kalau kau mendekati pohon itu engkau dzalim.” Ini sebuah peringatan, sebuah larangan yang mestinya menggugah kecerdasan spiritual kita. Pertanyaannya adalah: masa di surga ada larangan, masa di surga ada setan, masa di surga ada kedzaliman?

Yang terjadi adalah, Adam bukan hanya mendekati pohon itu, melainkan malah memakan buahnya. Penulis berani mengambil kesimpulan bahwa pohon larangan itu adalah pohon keakuan; begitu kita mengaku-aku, maka Tuhan jadi engkau. Padahal, atas dasar apa kita meng-engkau-kan-Nya? Tuhan itu pada hakekatnya tidak mungkin di-engkau-kan ataupun di-dia-kan.

Sedangkan buah yang dimakan Adam pun merupakan buah keakuan yang tak lain adalah ‘rasa milik’; begitu kita merasa memiliki sesuatu, maka kita diterkam oleh rasa kepemilikan kita, dan kita diperdaya oleh setan. Maka, sekali lagi kita harus bertanya, apa iya di surga ada setan? Keberadaan pohon dan buah keakuan itu dengan sendirinya tidak mungkin ada di sisi Allah, dan karena Adam diperdaya oleh setan, maka sebutan setan harus diartikan sebagai fungsi menjauhi Allah. Fungsi itu mengakibatkan Adam terpelanting ke dunia (dalam bahasa Chairil Anwar: aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang), dan Allah menambahkan firman, “Tunggu petunjuk dari sisi-KU”.

Manakala Allah berkenan memotret situasi dunia, kepada segenap makhluk di alam semesta kedirian-Nya ditawarkan. Semua takut menerimanya karena khawatir kalau sampai mengkhianati keakuan Illahiah; hanya Adamlah yang mengaku-aku sepihak, maka ‘aku mengaku-aku’ (dalam bahasa agama: semua sujud kepadaku).

Ketika Adam mengaku-aku itulah, semua sujud kepada Adam (kepadaku), kecuali iblis. Iblis itu artinya ‘yang ingkar’ atau dalam konteks sujud berarti yang tidak sujud. Kalau kita menggunakan logika inklusif seperti yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid, maka dapat dikatakan: “semua sujud kepadaku, kecuali aku”. Jadi iblis itu sebenarnya tak lain adalah aku atau kita selagi tidak mau bersujud.

Simpul Islam

Sebagai warga dari sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan tercatat sebagai negara dengan jumlah muslimin-muslimah terbesar di dunia, tentu layak jika kita memiliki cita-cita untuk membuat simpul Islam yang lebih bermutu daripada yang sudah dikembangkan bangsa Arab. Alasan yang lebih penting adalah, dulu dunia Arab berangkat dari alam pikiran jahiliyah, sedangkan kita tidak; sewaktu ajaran Islam datang ke Nusantara, nenek moyang kita sudah mengenal alam pikiran yang diwarnai berbagai kearifan dalam memandang dunia, salah satunya dalah konsep hamemayu hayuning bawono.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, pada tingkat dunia dapat ditempuh melalui Forum Komunitas Muslim Sedunia yang berkedudukan di Wina, tentu oleh para tokoh kita yang telah dianggap mendunia. Sementara penulis dan kawan-kawan biarlah hanya menyapa lewat pesantren kerja sebagai konsep pendidikan yang penulis anggap lebih sejati. Yang penting suatu saat kelak Indonesia dapat menjadi ‘tamansari’nya dunia.

Tamansari adalah sebutan bagi pertamanan yang ada di setiap kerajaan. Lebih dari sekedar untuk memperindah pemandangan di lingkungan kraton, keberadaan tamansari sebenarnya memiliki makna spiritual. Itulah sebabnya di taman Surakarta terdapat tradisi memutari taman Sriwedari yang disebut ‘maleman sriwedari’ yang dilakukan setiap malam menjelang 21 Ramadhan untuk menyongsong Lailatul Qadar. Dalam pemahaman penulis, lailatul qadar itu tak lain adalah ilmu untuk mencapai nafsu muthmainah.

Dalam kisah wayang (sekali lagi harus ditangkap makna simbolisnya), yang berhasil mengitari Taman Sriwedari adalah tokoh Sumantri atas jasa-bantuan adiknya, Sukrosono. Atas keberhasilannya itu Sumantri kemudian diangkat menjadi Patih Maospati, sebagai simbol naiknya derajat kemuliaan orang yang mendapatkan Lailatul Qadar. Sedangkan dalam konteks kekinian, setidaknya dalam persepsi penulis, orang yang berpotensi ‘mengelilingi taman sriwedari’ adalah ‘santri plus’ yang mulia, dan ini pulalah yang pertama-tama memperkuat motivasi penulis mengembangkan pesantren kerja. Lewat kursus-kursus logika tingkat tinggi, antara lain diharapkan para pesertanya dapat memperoleh kearifan-kearifan yang mengantarkannya ke derajat nafsu muthmainah.

Hal itu penulis turunkan pula dari nasehat Bung Karno bahwa Allah menyatakan dirinya dalam dua gaya, yakni lewat nabi-nabi/rasul dan lewat alam semesta dengan segala hukum alamnya yang kita kenal sebagai sunnatullah. Pernyataan Illahi lewat nabi/rasul disebut teofani, karena sebetulnya diri mereka sudah dikembalikan kepada Allah; namanya nafsu muthmainah, karena hanya nafsu muthmainah-lah yang dapat mendengar sapaan Allah.

Selain nafsu muthmainah, ajaran Islam juga mengenalkan kita pada nafsu amarah dan nafsu lawwamah. Nafsu amarah itu penuh masalah, dan dalam Alquran Allah menggambarkan dengan sangat bagus lewat kisah tentang Zulaiha yang menggoda Yusuf. Nenek moyang kita sendiri dengan sangat arif jauh-jauh hari telah mengingatkan tentang pentingnya mengendalikan nafsu amarah dengan ungkapan “Sesal kemudian tak berguna”. Sedangkan mengenai nafsu lawwamah diungkapkan dalam penggal paribahasa “Sesal dahulu pendapatan”.

Kalau diibaratkan sebagai alat penerang, maka nafsu amarah adalah semacam lentera atau teplok (lampu semprong); fungsinya harus sangat dijaga karena kalau minyaknya kotor dapat menimbulkan jelaga (aib), dan kalau tidak hati-hati semprongnya mudah pecah (dan ini boleh ditafsirkan sebagai merusak diri sendiri). Terangnya lentera tentu tak sebanding dengan lampu listrik (nafsu lawwamah) yang sudah mengenal hakekat asal-usul atau “awal-akhir lahir-batin”. Terangnya lampu listrik itu pun tak bisa dibandingkan dengan matahari (nafsu muthmainah) yang dapat mengantarkan manusia ke tingkat makrifat. Jadi, nafsu muthmainah itu adalah satu-satunya diri yang mendengar sapaan Tuhan, dan itulah lambang orang yang mendapat ‘matahari abadi’.

Menurut penulis, bangsa Indonesia sebenarnya sejak awal memiliki bakat makrifat, buktinya hanya kita yang menamai sumber cahaya galaksi kita dengan sebutan ‘matahari’. Lalu, dalam keseharian ada pula istilah-istilah seperti mata-hati, mata-pisau, mata-anggaran, dan sebagainya.

Menyatu dengan Firman Tuhan

Dulu kala, ketika agama Hindu menyebar ke Nusantra, nenek moyang kita menyaring dengan saringan yang sangat lembut. Firman Tuhan yang ditonjolkan waktu itu adalah keindahannya; namanya Pradnya Paramitha yang dipersonifikasi dengan sosok Roro Jonggrang. Bagi Bandung Bondowoso, untuk memperistri Roro Jonggrang (ini hendaknya diberi tafsir sebagai simbol keinginan menyatu dengan firman Tuhan) harus membuat seribu patung (melipatgandakan dirinya seribu kali) untuk menyamakan gelombang atau frekuensi sapaan Tuhan.

Kesamaan ‘frekuensi’ itu hanya bisa dicapai jika ruh telah mendominasi raga, dan Bondowoso telah gagal (diibaratkan dengan kesiangan), sehingga tidak berhasil menangkap gelombang ruhani firman Tuhan. Ini berarti, untuk sampai kepada firman Tuhan, seseorang harus menjadi ‘Hindu-plus’.

Sambil lalu penulis ingin mengemukakan sebuah temuan kecil yang sangat bermanfaat. Anak saya yang masih TK, pada saat tidur dan saya gendong ternyata lebih berat dibanding ketika dalam keadaan sadar. Ini membuktikan bahwa ruh itu memang ada, dan hubungan gelombang kita dengan ruh sewaktu tidur terputus sementara. Hal yang sama pun berlaku pada mayat: orang yang baru meninggal juga beratnya lebih dibanding sewaktu hidup.

Setelah mengenal Hindu, nenek moyang kita juga mendalami agama Budha yang sudah membawa berita pencerahan, namun toh ‘ksatria’nya masih terkurung dalam sangkar, jadi belum membebaskan sepenuhnya. Candi Borobudur yang menjadi simbol termegah agama Budha, nama aslinya adalah Candi Seribu Ksatria Terkurung dalam Sangkar.

Di candi Borobudur, stupa-stupa yang ada di bagian bawah lubang cahayanya dibuat dengan melubangi batu utuh, sedangkan pada bagian atasnya terbuat dari dua batu utuh yang dipertemukan dan menghasilkan lubang cahaya alami. Hal ini merupakan maklumat dari nenek moyang tentang pentingnya sadar diri untuk mengalami pencerahan.

Oleh karena itu, adalah tugas umat Islam untuk menyempurnakan pencerahan itu. Sayangnya, ketika pertama kali Islam datang, yang lebih ditonjolkan justru masalah surga yang digambarkan secara terlalu realis dan sangat sensual; makan tinggal makan, minum tinggal minum, tidur tinggal tidur ditemani bidadari, bercinta tinggal bercinta, dan seterusnya. Sedangkan nenek moyang kita semula mendeskripsi surga sebagai tan keno kinoyongopo langgeng tan ono susah tan ono bungah (tak bisa digambarkan, langgeng, tak ada sedih tak ada gembira). Terlepas dari benar-salahnya penggambaran surga yang terkesan sensual itu, mestinya yang lebih disyiarkan adalah semangat penyempurnaan akhlak dengan mengembangkan nafsu muthmainah.

Selama ini terdapat fenomena yang dalam pandangan penulis sangat menyedihkan, yakni kecenderungan untuk hanya ‘mengais recehan’ dari keberadaan candi Borobudur. Ada pula niatan membuat miniatur tujuh keajaiban dunia, yang lagi-lagi motifnya hanya mengkomersilkan semata.

Demi kebaikan perikehidupan di Indonesia dan dunia pada umumnya, penulis memandang adalah sangat mendesak untuk menghimpun tokoh-tokoh agama Hindu, Budha, Kristen, ataupun Islam agar dapat saling bertukar pikiran untuk menemukan jalan bagi pencerahan umat manusia dengan bersama-sama menggapai ruh Tuhan. Bagi ajaran Islam, menurut penulis jalannya sudah sangat jelas, yakni dengan memahami dan menghayati Lailatul Qadar sebagai ilmu untuk mencapai nafsu muthmainah agar dapat menangkap sapaan Tuhan.

Masalah tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, kita tidak akan mampu secara berkualitas menyaring teknologi modern yang notabene merasuk ke dalam kehidupan kita melalui penjajahan. Ini merupakan peringatan, yang kalau tidak hati-hati maka lagi-lagi kita akan terjajah oleh ilmu dan mekanisme kemajuan kita sendiri.

Masalah itu sebetulnya telah dilihat oleh nenek moyang berupa sosok kanibalis yang bernama Dewatacengkar (dewa = cahaya, cengkar = kebalikannya); jadi dia adalah sosok dzalim yang makan sesama orang. Sosok ini berhadapan dengan Ajisaka, orang yang menegakkan nilai-nilai adiluhung dan abadi yang mengenakan udheng (ikat kepala). Udheng itu sendiri berasal kata mudheng yang berarti mengerti, paham, sadar; jadi barang siapa mengenakan udheng dapat disimbolkan sebagai orang yang mengerti.

Dikisahkan bahwa dalam peperangan Ajisaka mengibaskan udheng ke tubuh Dewatacengkar hingga berubah ke wujud aslinya sebagai Bajul (buaya) putih. Dalam konteks kekinian, kisah ini dapat ditafsir sebagai kritik atas kecenderungan kita yang gemar mencontoh orang kulit putih tapi hanya sampai pada kulitnya.

Sampai batas itu, karsa penulis dan teman-teman mendirikan pesantren kerja berikut kursus logika tingkat tinggi boleh dianggap sebagai bentuk sikap kritis terhadap dunia LASKAR. Masalahnya, justru para lulusan LASKAR itulah yang paling potensial menjadi ‘bajul putih’ itu.***

CV:

*) Prof.Damardjati Supadjar adalah Guru Besar Filsafat pada Fakultas Filsafat UGM dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. bELIAU terlahir di Yogyakarta, 30 Maret 1940, ini juga dikenal sebagai aktifis budaya yang telah menulis sejumlah buku dan artikel ataupun makalah, penceramah di berbagai forum keagamaan dan PENASEHAT SPIRITUAL KRATON YOGYAKARTA.

ILMU AL-SYATAR DAN CARA MENCAPAI DARJAT WALI

SALINAN PERKATAAN ALMARHUM AYAHANDA TUAN GURU HJ.MAHMUD NASRI OTHMANI

MENGENAI ILMU AL-SYATAR DAN CARA MENCAPAI DARJAT WALI

BERTARIKH 17 RABIUL AWAL 1388H

Iaitu Pada Masa Nama Wali Sebelum Nama Nabi, Sebelum Nama Rasul. Kata Rasulullah Maka Ilmu Syatar Yang Diturunkan Pada Hati Aku Ini Mentahkikkan Aku Pada Ilmu Aku Mengenai Hakikat Al Hakikat Al Haqoaq Dan Hakikat Al Asbaq [Hakikat Segala Perkara Yang Maujud Hadith Samaada Ia Baharu Atau Qadim Dan Juga Wujud Hakiki Daripada Masa Azali Hingga Beberapa Masa Yang Panjang Ke Hadapan.

Maka Dikata Ulama Hujatul Muhaqiqin

Bahawasanya Mereka Yang Berkehendakkan Menuntuti Maqam Wali Yang Ali Lagi Azom Disisi Allah Swt Itu Hendaklah Berusaha Melalui Al Syatar Iaitu Ilmu Yang Dicampakkan Atau Yang Dipertaruhkan Kepada Hati Sanubari Tiap-Tiap Mereka Yang Dipilih Khas Oleh Allah Sebagaimana Ia Pertaruhkan Ke Dalam Hati Sanubari Adam Alaihissalam Seperti Mafhum Firmannya

Terakhir Ertinya Allah Telah Mengajar Adam Nama-Nama Tiap-Tiap Benda Itu`. Ilmu Ini Tangga Pertama Bagi Tiap-Tiap Nabi [Puncak Yang Tinggi Bagi Darjat Wali Dan Permulaan Darjat Nabi] Tangga Keenam Bagi Menuntuti Darjat Iman. [Tangga Bagi Manusia Biasa Yang Menuntuti Darjat Iman Yang Kamil Mukamil].

Adapun Tangga Pertama Kedua Dan Ketiga Itu Bagi Nabi Dan Bagi Rasul. [Iman Al Makhda Al Makhda Al Makhda] Iman Jamu Al Jamu Iman Lailatul Mikraj] Tangga Yang Pertama Itu.

[Iman Al Makhda Al Makhda Al Makhda] Darjat Iman Yang Keenam Ialah Tangga Wali Ali Lagi Azom. [As-Sidiquun]

Maka Menuntuti Wali Itu Daripada Tangga Pertama Hingga Keenam Dan Ketujuh Kesempurnaan Bagi Wali Itu Darjat Imannya. Tangga Keenam Pada Bab Iman Dengan Itu Tahkiklah Segala Wali Itu Dengan Ilmu Dan Makrifatnya Akan Haqiqah Al-Haqiqatul Haqaiq Dan Haqiqatul Al Ashya Dengan Sekira-Kiranya Wali Dan Mertabatnya.

Maka Mereka Yang Menuntuti Menjadi Wali Pada Zahir Dan Batin Itu Hendaklah Melazimkan Dengan Babnya Supaya Tiada Mardud [Tiada Rasukan] Tiada Bersusah Payah Dengan Ilmu Dan Amal Yang Banyak Dan Jauh-Jauh.

1. Mengaku Menjadi Murid Syeikh Wali Yang Ali Lagi Azim.

2. Mempernamakan Dirinya Pada Zahir Dan Batin Dengan Nama Syeikhnya Seumpama Oleh Syeikh Abdul Razak [ Syeikh Yusuf] Anak Sulung Bagi Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir Jailani Dengan Nama Baginya Dengan Cara Demikian Jadilah Dia Menerima Pusaka Wali Agama Islam Diatas Makna Sekeliannya Juzuknya Pada Zahir Dan Batin Daripada Bapanya. Kemudian Dikuburkan Bapanya 3 Hari Iaitu Dia Pergi Pada Hujung Kaki Bapanya Serta Memberi Salam Dan Menuntuti Pusaka Itu Daripada Bapanya.

3. Maka Menjawab Oleh Bapanya, Hendaklah Kamu Berhenti Seberapa Masa Kerana Mengambil Pusaka Wali Agama Islam Daripada Aku. Maka Aku Pohonkan Kepada Allah Mengurniakan Pusaka Wali Agama Islam Itu Kepada Engkau Diatas Makna Sekeliannya Dan Juzuk-Juzuknya Selapis Ke Selapisan Hingga Hari Qiamat. Dan Hendaklah Melazimi Pada Bab Aku Berkhlawat Dengan Menuntuti Pusaka Wali Agama Islam Daripada Aku. Aku Wasiat Akan Dikau Bahawa Hendaklah Engkau Menyampaikan Kepada Tiap-Tiap Mereka Yang Hendak Mengambil Pusaka Wali Agama Islam Daripada Aku Hendaklah Melazimkan Bab Khlawat Pada Bab Aku Mengaku Murid Bagi Aku Hingga Seberapa Banyak Dosa Dan Kesalahan Sekalipun Nescaya Aku Menerima Akan Dia.

Maka Setengah Daripada Adab Melazimkan Pada Bab Aku Hendaklah Berhadap Kiblat Mengucap Dua Kalimah Syahadat Bebrapa Kali Pohon Menerima Iman Islam Ihsan Daripada Allah.

Beralih Ke Pihak Masyrik, Mengucap Syahadat Beberapa Kali, Pohon Menerima Segala Rezeki Rohani Jasmani, Banyak Dan Seberapa Banyak Mudah Dan Seberapa Mudah., Luas Dan Seberapa Luas Daripada Segala Pihak Alam Allah Dengan Tiada Galangan Dan Halangan.

Beralih Semula Ke Pihak Maghrib Mengucap Syahadat Beberapa Kali, Pohonkan Ibu Terima, Bapa Terima, Aku Terima [Syeikh Muhiyydin], Allah Dan Rasul Terima, Kemudian Pohonlah Apa-Apa Hajat Daripada Allah Dengan Berkata Aku Sekira-Kira Pada Pandanganmu Bahawa Aku Pada Pihak Kanan Atau Hadapanmu Di Al Pabatul Arasil Alazim. Rasulullah Dihadapan Aku, Nabi Allah Khidir Dan Mereka Yang Menjadi Murid Bersama-Sama Denganmu Atau Dibelakangmu. Atas Nama Aku Pada Zahir Dan Batin. Kemudian Hilangkan Sekeliannya Itu Pada Ahadiah Allah. Dan Kekalkanlah Diatas Kelakuan Itu Selama-Lamanya Diantara Aku Dan Rasulullah Itu Seperti Mana Antara Mata Putih Dan Mata Hitam. Maka Adab Dengan Murid Sepeti Tersebutlah Boleh Mencapai Darjat Wali Yang Istiqamah Dan Nyata Beberapa Keramat Dan Kelebihan Yang Menyamai Mukjizat Rasulullah S.A.W.

Adapun Menuntuti Wali Dengan Jalan Berusaha Membanyakkan Ibadat Yang Sunat Seperti Sembahyang, Sunat Rawatib Dan Seumpamanya Dan Juag Memperbanyak Serta Menperluaskan Ilmu Fardu Kifayah Itu Walhal Dengan Tidak Melazimkan Bab Tersebut Hanya Ibadat Dan Ilmu Inilah Sahaja Atau Terus Maju Ke Dalam Istiraj Daripada Allah. Dan Mereka Yang Beribadat Sedikit Atau Banyak, Sedikit Ilmu Atau Banyak Ilmu Tetapi Melazimkan Bab Guru Wali Seperti Tersebut Nescaya Dapat Jadi Wali Dengan Kemudahan. Terlindung Daripada Pandangan Awam Dan Ahli-Ahli Ilmu Bersembang Dengan Banyak Ilmu Dan Amal. Dan Menggantikan Guru Yang Wali Itu Pada Menyertakan Alam Allah Sekira-Kira Ketinggian Maqam Walinya Disisi Allah Dengan Limpah Kurnia Daripada Allah Atas Tangan Syeikhnya Yang Wali Itu.

Dan Segala Batang Tengkok Mereka Yang Bersembang Dengan Banyak Beribadat Dan Banyak Ilmu Dan Juga Mereka Yang Lain Itu Dibawah Tumit Syeikhnya Yang Wali Ialah Dibawah Tumitnya. Tidaklah Naik Mertabat Wali Umpama Syeikhnya Atau Umpama Dirinya Nisbah Mereka Dengan Dirinya Atau Dengan Syeikhnya Itu Hanya Khadam Atau Qalam Dengan Tuannya Sahaja. Maka Memadailah Bagi Kami Dan Bagi Kamu Dengan Ini

Tersebut di dalam kitab Manhalush Shafi karangan Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathani bahawa tiada perkara yang lebih besar daripada bahaya kufur melainkan bahaya bid’ah yang dilaknat oleh Allah S.W.T. akan orang-orang yang berbuat akan dia”. Seperti mana sabda Nabi S.A.W.:

ِﻟﻠﻪا ُةَنْعَل ِهْيَلَعَف اًثَدَح َثَدْحَأ ْنَم

Maksudnya:

“Barangsiapa mengada-ngadakan sesuatu pekerjaan yang tiada ia pada agama, maka Allah S.W.T. melaknat keatasnya”.

Maka pada ketika itu telah melihatlah oleh beliau akan berbagai-bagai macam ragam ilmu, amalan wirid dan jampian yang diada-adakan yang tiada pada asal agama, sebab telah menyangka mereka itu dengan jahilnya bahawa boleh memberi bekas oleh segala sesuatu yang lain daripada Allah Ta`ala dengan waham dan khayal yang fasiq, dengan istidraj Allah Ta`ala akan mereka itu bahawa boleh memberi manfaat akan dia supaya mencapai kehendak mereka itu akan perkara mencarik adat di dalam perkara agama bagi mereka itu, antara perkara-perkara yang diada-adakan ialah umpama lahirnya beberapa kumpulan yang mengadakan kaedah atau petua mengikut logik akal (tahsinul aqli) antaranya :

a. Mengadakan Petua atau satu kaedah bersumpah atau Mubai’ah bertujuan mencari kekuatan atau hikmah yang mencarik adat.

b. Mengadakan petua atau kaedah yang disertakan dengan pantang larang yang menepati hukum syara’ samada harus atau haram.

c. Mengadakan petua atau kaedah marah atau dimarahi bagi menzahirkan sesuatu perkara hikmah luar biasa atau mencarik adat.

d. Mengadakan petua atau kaedah yang mesti berpegang kepada kebesaran ayat, wirid, jampian doa, azimat, tangkal dan lain-lain yang zahir semata-mata atau berpegang kepada mana-mana I’tiqad Qadariah, Jabariah,  Mu’tazilah atau istilah baru sekularisme, orientalisme, kapitalisme dan sosialisme.

e. Mengadakan sesuatu perkara yang tiada tahu akan asal usulnya dari mana, di mana dan ke mana.

Menyedari betapa gemarnya kehendak umat Melayu kepada kekuatan dan kebenaran Islam itu sendiri sepertimana firman Allah Ta`ala:

اْوُهَتْناَف ُهْنَع ْمُكَهَن اَمَو ُهْوُذُخَف ُلْوُسَّرلا ُمُكَتَأ آَمَو

Mafhumnya:

“Dan apa jua suruhan yang dibawa oleh Rasullullah kepada kamu maka ambillah akan dia serta amalkan, dan apa jua yang dilarangnya kamu melakukannya maka patuhilah larangannya”. (Al-Hasyar ayat 7)

Gerak Seni Silat Abjad diperkenalkan adalah sebagai ganti nama kepada Amalan Khalifah Pusaka Wali Agama Islam, yang diwarisi daripada gurunya Sheikh Yusuf Al-Kenali Al-Kelantani, serta menerima latihan Ilmu Rahsia dan Petua Hikmah Langkahan Hulubalang Khalifah Allah, daripada gurunya Sheikh Muhammad Taib bin Tuan Guru Haji Abdul Rahman Jabat yang berwasilah rabitah kepada Nabi Muhammad S.A.W. iaitu yang sampai kepada Hakikat Tauhid serta yang sah i’tiqadnya dan muafakat pula i’tiqadnya itu bagi Ahli Sunnah dan berjalan pada zahirnya dengan Syariat yakni muafakat

pada zahir dengan Syariat Muhammadiah dan batin pula dengan Tariqat Ahmadiah yang dikehendaki di sini ialah perjalanan yang mengikut perjalanan yang bercontoh dengan Nabi Muhammad S.A.W. hingga merdeka ia daripada segala barang yang lain daripada Allah dan kepada Allah Ta`ala jua.

Adapun bagi setiap mereka yang bersilat itu ataupun bagi sesiapa yang mempelajari Gerak Seni Silat Abjad mestilah menerima talqin ucapan Dua Kalimah Syahadah serta mem-fardhukan Islam ke atas diri bertujuan memelihara segala anggotanya pada gerak dan diam barang yang di antaranya dan di antara suruhan Allah Ta`ala.

Maka lahirlah kekuatan ke atas dirinya bagi menjaga maruah agama, diri, keturunan, harta benda dan tanah air. Maka bagi setiap persilat itu sudah tentu ia tolak atau buang akan lima perkara yang diada-adakan, yang tiada pada asal agamanya umpama lima perkara yang telah disebut terdahulunya dan ia akan berusaha dengan bersungguh-sungguh tumpuan menegakkan lima perkara berikut:

a. Iman yang teguh serta beradab mukmin.

b. Sejahtera diri, keluarga, masyarakat dan tanah air.

c. Melazimkan ihsan pada rohani jasmani di setiap tempat, waktu dan masa.

d. Menjadi umat yang diterima.

e. Mati dalam kebajikan (husnul khatimah).

Dan hendaklah ia melazimkan akan lima perkara:

a. Membuat kaifiat adab sebelum melaksanakan apa-apa kerja atau amalan atau latihan.

b. Mengambil langkahan Sunnah atau langkahan hulubalang mempertahankan diri.

c. Membaca Al-Quran, solat sunat, puasa sunat atau apa-apa zikir, wirid yang telah disusun oleh ‘ulama muk-tabar yang ahli pada babnya sebagai zikir taqarrub.

d. Membaca Al-Fatihah hadiah sebagai tabarruk.

e. Menghadiri majlis pengajian agama Islam dengan rupa mengajar, belajar, mendengar, muzakarah, muta-la’ah, muraja’ah dengan mereka yang ahli pada babnya sekiranya ada masalah yang dihadapi atau di musykili.

Banyak barang tiruan dalam pasaran,

Barang asli dalam rumah ahli,

Dapat beza dalam majlis tandingan,

Datang benar hancur binasa yang bathil,

Benar tetap benar, bathil tetap bathil,

Datanglah kepada kami jika mahu barang yang asli,

Tiada menjadi korban pengorbanan,

Tiada dimahkotakan pahlawan,

Nafsu tujuh rupa tujuh martabat,

Taulannya di luar diatas, rupanya baik atau jahat,

Tiap-tiap bergerak ditanya guru asal,

Dosa pahala dikira melaluinya,

Tiada guru syaitan mengaku jadi guru,

Ahli Sufi palsu berbagai ragam ratib jampian,

Lumrah insan kalah pakai menang beli.

Wahai Saudara,

Pesananku jadikan kepercayaan dan jaminan,

Jalan segera dekat selamat,

Terima dan amal wasilah rabitah asal barang yang seumpamanya,

Tiada bicara barang mana permainan atau aurad lisan jangan menyimpang daripada jalan,

Pasti pangkat yang sama atau yang lebih tinggi,

Hadir majlis pengajian mahir serta beramal ilmu asas,

Mengaku murid bagi Muhyiddin, Khidir dan Rasullullah,

Tiada perlu takut, syak, zhon dan waham walau diatas barang mana alasan,

Yang demikian wasilah rabitah a`la hadratutullah,

Setiap waktu masa berjalan,

Pertolongan segera daripada kejip mata selagi tiada maqtuq

Semua cair beku jadi bala tentera taat serta sujud,

Jika lautan api dihadapan,

Lautan bisa di kanan,

Lautan salji beracun di kiri,

Ribut taufan melanda dari belakang,

Air bah keluar dari bawah,

Gunung masyriq Maghrib di atas kepala,

Musuh disegenap jihak menerpa,

Bilangan mereka seumpama pasir di pantai buih di laut,

Jangan gentar tiada mudharat walau apa kelakuan,

Jadi sia-sia hancur binasa sebelum kejip mata,

Tiada hisab umpama biasa di akhirat,

Walau beberapa banyak dosa tiada taubat,

Maha nyata berkat keagungan mereka melimpah rata-rata,

Bertuah selagi berpegang teguh tiada lekang mengaku murid bagi mereka,

Pekerjaannya Pekerjaan mereka ialah pekerjaan Allah,

Tiap-tiap lulus baginya lulus bagi mereka,

Al-kaun dan mukawwin kepercayannya

Hidup merdeka bahagia sepanjang masa,

Jika cuba jahat adab walau dalam apa jua,

Akan dikaram dalam lautan angan-angan tipu daya syaitan,

Mati seumpama sekam padi dimakan api atau garam kena air mutlak.

Maqtu’ wasilah dengan mereka dan maha agung,

Semua pemberian dirampas iman dicabut,

Selagi tiada dirujuk dan memperbaharui talqin dan taubat nasuha,

Tiada kurnia seperti ini daripada rabbul ‘alamin,

Melainkan yang mengaku murid,

Menjalani jalan mereka dan hilang mazmumah.

ينملعلا بر ﻟﻠﻪدملحاو ينعجمأ هبحصو هلأ ىلعو دممح انديس ىلع ﻟﻠﻪا لصو

AULIYA’ ALLAH TA`ALA

Qutub Iaitu Ketua

Ialah satu perkataan yang dibuat panggilan kepada sese-orang itu yang dia juga sentiasa berada di dalam perhatian Allah Ta`ala pada setiap masa dan zaman, dia itu yang dianu-gerahkan oleh Allah Ta`ala akan Ilmu Laduni. Dia dapat bergerak ke segenap penjuru alam seperti roh atau nyawa seseorang itu bergerak keseluruh anggota badannya. Pergera-kan itu secara zahir ataupun secara batin.

Adapun neraca yang dapat dibuat pertimbangan dengan-nya iaitu pengetahuan secara Laduni itu. Pengetahuan itu adalah mengikut pengetahuan Allah Ta`ala. Maka dengan itu apa yang dikatakan dan apa yang diteroka olehnya adalah benar dan berlaku.

Qutub ini bukan hanya seorang sahaja malah ia banyak dan ia adalah mengikut pergantian banyaknya jenis wali dan mengikut pergantian zaman dan dia juga dinamakan dengan Al-Ghaus.

QUTUB AL-AQTHAB

Ketua Dari Segala Ketua

Ialah satu perkataan yang dibuat panggilan daripada batin kenabian Muhammad S.A.W., tiada penyudah bagi kewalian dan tiada Qutubul Aqtab melainkan tertentu kepada bathin kenabian Muhammad S.A.W. sahaja. Dialah juga yang dinamakan Qutbiyatul Kubra iaitu qutub yang teragung.

WALI AL-AUTAD

Paku/Paku Alam

Ialah satu panggilan ibarat untuk empat orang wali yang berada pada empat penjuru alam, Autad Utara, Autad Selatan, Autad Timur, Autad Barat. Tiap-tiap seorang dari mereka mempunyai tugasnya masing-masing di bahagian yang tersebut dan salah seorang dari mereka adalah dari Wali Qutub (ketua).

WALI BUDALA/AL-ABDAL

Ganti

Ialah satu panggilan ibarat untuk sembilan orang wali yang kesemuanya mempunyai kesempurnaan dan kelebihan yang tetap dalam musyahadah akan Alah Ta`ala. Mereka telah keluar dan lepas dari garis-garis waham dan khayal. Kata setengah ulama`, mereka sebanyak empat puluh orang, mana-kala setengah ulama` yang lain pula mengatakan mereka ini sebanyak tiga puluh orang dan salah seorang daripada mereka adalah Wali Qutub (ada seorang ketua). Andaikata sekiranya mati salah seorang daripada mereka, maka kematiannya tidak dapat diketahui oleh manusia awam (kebanyakan) dan Allah Ta`ala akan menggantikan pula dengan yang lain tiada dijadi kurang.

WALI AN-NUJABAK

Yang Terpuji Dan Yang Termulia

Ialah satu panggilan ibarat kepada orang yang berperibadi mulia, dia berperangai dengan perangai ketuhanan ‘Akhlak Ilahiyah’ ertinya perangainya sudah dijamin dan diakui oleh Allah Ta`ala iaitu akhlak ‘mahmudah’. Mereka bertugas menanggung beban makhluk dan bencana mereka. Andainya satu mala petaka yang diturunkan atau yang akan diturunkan kepada makhluk, maka merekalah orang yang pertama berdoa kepada Allah Ta`ala supaya bencana itu diangkat dan dihindarkan. Mereka terdiri daripada manusia yang berperibadi mulia serta mendapat Ma’rifah (pengenalan) yang bersih.

Mereka tiada mengharap kepada yang lain dan hati mereka tiada memandang kepada yang lain hanya kepada Allah Ta`ala semata-mata. Mereka ini bekerja memerahkan tenaga dengan doa dan sebagainya adalah untuk kepentingan orang lain, bukan untuk diri mereka dan mereka terkenal dengan banyak sabar dan redha.

WALI AN-NUQABAK

Ketua Kecil @ Jawatankuasa

Iaitu satu panggilan ibarat daripada orang yang sudah keluar daripada tekanan nafsu keji (amarah bissu’) disebabkan oleh kuat mujahadah, banyak beribadat, zuhud dan mengo-songkan hati daripada memandang adanya usaha tenaga sendiri. Bilangan mereka ini ialah sebanyak tiga ratus orang dan mereka terkenal dengan banyak tawakkal kepada Allah Ta`ala di dalam segala urusan. Tiap-tiap satu nama wali itu masing-masing mempunyai Qutub (Ketua). Andainya mati sa-lah seorang dari semua jenis wali-wali itu, maka Allah Ta`ala ganti dengan yang lain pula yakni hilang seorang, ganti seorang dan begitulah berkekalan seterusnya, tetapi tiada seorang pun yang tahu atau kenal wali ini melainkan sesama mereka sahaja.

AL-IMAMAIN

Dua Imam/Dua Ikutan

Mereka ini ialah dua orang sahaja. Mereka bertugas selaku setiausaha yakni yang satu bertugas di pihak kanan Qutub dan yang satu lagi bertugas di pihak kiri Qutub.

Adapun yang di pihak kanan Qutub tugasnya ialah sentiasa melihat pada alam malakut (alam ghaib) dan dialah yang menggantikan Qutub dalam urusan yang bersangkut paut dengan alam di sebelah sana.

Adapun yang disebelah kiri Qutub itu tugasnya sentiasa melihat memerhati alam syahadah (alam nyata/alam kebendaan) dan dialah sebagai pengganti Qutub di dalam urusan yang bersangkut paut dengan alam di sebelah sini.

RIJAL AHLILLAH

Lelaki Yang Terpuji/Ketua Daerah

Iaitu satu panggilan ibarat kepada orang yang telah keluar dari tingkatan nafsu keji (amarah bissu’) disebabkan oleh kuat mujahadah, zuhud dan banyak beribadat serta mengkosongkan hati daripada memandang adanya usaha tenaga dirinya. Rijalullah ini bilangannya ialah sebanyak tujuh puluh ribu orang dan mereka terkenal dengan banyak tawakkal kepada Allah Ta`ala. Segala urusan dan setiap mereka mempunyai Wilayah atau Daerah masing-masing yakni setiap satu Rijalullah satu Daerah baginya. Nama Rijalullah ini dipanggil Qutub Wilayah tetapi tiada seorang pun yang tahu atau kenal Rijalullah ini melainkan sesama mereka sahaja.

PENGERTIAN WALI

Iaitu mereka yang diperintahkan segala pekerjaan dan alamat wali itu ialah mereka yang lemah lembut lidahnya, baik perangainya, manis mukanya, murah nafsunya, sedikit perbantahannya, menerima keuzuran orang yang salah kepadanya dan sempurna kasih sayang atas segala makhluk Allah Ta`ala. Kata Muhammad Ibnu Sahl Ibnu Athoillah Rahimahullah Ta`ala alamat wali itu empat perkara:

a. Memelihara Sir antaranya dan diantara Allah Ta`ala.

b. Memelihara segala anggotanya daripada barang yang antaranya dan diantara suruhan Allah Ta`ala.

c. Menanggung kesakitan barang yang diantaranya dan diantara segala makhluk Allah Ta`ala.

d. Meraikan segala makhluk atas kadar bersalah-salahan akal mereka itu.

SIAPA KEKASIH ALLAH

Bahawasanya harus diketahui bahawa segala wali itu ada empat maqam atau pangkat:

a. Pangkat pengganti Nabi (Khilafah An-Nubuwwah)

Mereka ini terdiri daripada golongan ‘Ulama.

b. Pangkat pengganti Rasul (Khilafah Ar-Risalah)

Mereka ini terdiri daripada golongan wali-wali Abdal.

c. Pangkat pengganti Ulul ‘Azmi (Ulul ‘Azmi)

Mereka ini terdiri daripada golongan wali-wali Autad.

e. Pangkat pengganti Ulul Isthifa’ (Ulul Isthifa’)

Mereka ini terdiri daripada golongan wali-wali Qutub.

Bahawasanya harus diketahui juga susunan pemerintahan para-para Auliya`(ahli rohani) ini tiada adalah kurangnya dengan susunan pemerintahan dunia ini malahan lebih teguh dan kuat lagi kerana lantaran pada alam rohani lebih banyak musuh-musuh daripada alam kenyataan ini.

Pemerintahan mereka juga mempunyai Perdana Menteri, Menteri Kabinet, Setiausaha-Setiausaha, Wakil-Wakil dan Ahli Jawatankuasa. Masing-masing mereka menyusun tugas men-dirikan dunia bumi sebagai sebuah Negara. Mereka ini menjual diri, harta, tenaga, masa dan hidup mereka seluruhmya dan juzu’-juzu’nya kepada Allah Ta`ala dan Rasulnya Nabi Muham-mad S.A.W sebagai Pengorbanan untuk Melaksanakan dan Menegakkan Kedaulatan Kerajaan Iman, Islam, Ihsan, Pengor- banan Diri dan Harta bagi menjaga kemuliaan (maruah) Agama Islam, Diri, Keturunan, Harta Benda dan Tanah Air mengikut ajaran Allah Ta`ala di atas muka bumi Allah Ta`ala yang fana ini.

Begitulah susunan pemerintahan Auliya’ Allah Ta`ala (para-para ahli rohani) yang terdiri dari Qutubul Aqtab, Autad, Abdal, Nujabak, Nuqabak, Imamain dan Rijalullah. Mereka semua menyusun untuk mentadbir serta mentarjihkan segala tariqat dan mentashih segala wirid, jampian serta doa dan susunan langkahan dan usaha kerja buat makhluk manusia semuanya untuk menunaikan hak-hak kehambaan ke arah mengenal dan musyahadah akan Allah Ta`ala dalam semua tempat dan zaman dan mentadbirkan dunia bumi sebagai sebuah negara terlaksana sepenuhnya di dalamnya, masyara-katnya, kedaulatan kerajan Iman Islam Ihsan Pengorbanan Diri dan Harta kepada Allah S.W.T. semata-mata.

Mereka sentiasa mengawasi gangguan-gangguan yang datang daripada musuh-musuh hati yang terdiri daripada maha-raja nafsu dan profesor iblis yang sentiasa mencari peluang untuk merubahkan kota akal dan hati jiwa.

Kita atau sesiapa juga akan dapat mencapai akan nikmat kelazatan di dalam musyahadah akan Allah Ta`ala sekiranya kita mahu untuk mencapainya. Akan tetapi percayalah bahawa nikmat kelazatan musyahadah akan Allah Ta`ala itu tiada dapat digambarkan oleh pengetahuan semata-mata dan tiada dapat dilukis oleh mana-mana pena dan tiada dapat diisyaratkan oleh apa-apa perkataan. Sesungguhnya ia akan dapat dirasai oleh sesiapa yang telah berusaha untuk sampai kepadanya (musya-hadah akan Allah Ta`ala) itu dengan perasaan dalam ilmu dan amalnya kerana tiada diperolehi akan ilmu pengetahuan yang banyak itu dengan tiada belajar.

Inilah perkara yang pernah dibangkitkan oleh Imam Al-Ghazali dengan katanya: “hakikat ini jika aku nyatakan kepada mereka, maka mereka akan memberi ta’wil kepadaku, dengan ta’wil kafir, yakni mereka tiada akan percaya”. Sebab itu Imam Al-Ghazali berkata kepada muridnya sebagai tolol, lantaran muridnya bertanya kepadanya tentang hakikat ini, akan tetapi beliau telah membuat perbandingan semula dengan mengata- kan bahawa bukankah tolol namanya jika seseorang itu berta-nya tentang bagaimana kelazatan jima’, kerana jika hendak tahu hendaklah dirasai dengan sendiri, sebab jika diberitahu itu bukanlah hakikat kelazatan namanya, bahkan ia hanyalah se-kadar pengetahuan sahaja, sedang orang yang mengetahui itu tiada sama dengan orang yang pernah merasai.

Ya! Jika sekiranya seseorang itu telah putus azamnya untuk sampai ke situ (musyahadah kepada Allah Ta`ala), insya Allah ia akan dapat merasainya. Akan tetapi dengan adanya pada diri syarat berikut:

Hendaklah ia menjalani tariqat, iaitu jalan yang telah dilalui ahli sufiah yang muktabar yang benar-benar soleh dan mempu-nyai wasilah dan robitah kepada Baginda Nabi Muhammad S.A.W. semata-mata.

Andainya kita telah menjalani tariqat yang telah dipelajari dari guru yang mempunyai susunan wasilah yang muktabar dalam ilmu dan amalan robitah kepada Rasullullah S.A.W. serta dengan adanya susunan zikir-zikir dan wirid-wirid yang tertentu, maka bererti kita telah mempunyai perhubungan dengan guru dikalangan ahli Sufi yang mempunyai wasilah mengikut susunan sufiah kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Mereka itu yang akan memandu muridnya untuk sampai kesana. Murid amat perlu kepada guru untuk mengasuhnya dan membimbingnya kerana pada perjalanan itu banyak sekali musuh-musuh yang akan mengganggu. Maka perhubungan dengan gurunya yang ahli pada babnya itulah yang dikatakan tawassul.

Sebagaimana kita ingin menemui sultan, sedangkan kita adalah orang kampung yang tiada tahu akan peraturan dan adat istiadat istana, maka pada ketika itu amatlah perlu kita kepada seorang pemimpin yang boleh membawa kita untuk menemui sultan tersebut dan jika sekiranya tiada orang untuk memandu, nescaya banyaklah masalah pada perjalanan itu serta berkemungkinan akan ditimpa halangan buruk yang boleh menyebabkan tiada sampai kita kepada menyatakan hasrat atau tiada dapat mengadap sultan tersebut.

Sekiranya seseorang itu mempunyai keazaman yang kuat untuk bermujahadah kepada Allah Ta`ala, sudah tentu ia akan mencari jalan yang sebenarnya yang boleh menyampaikan ia kepadanya dan ketika itu ia akan berusaha dengan sepenuh tenaga yang ada padanya untuk mencapainya dengan mengambil jalan yang paling selamat. Maka usaha pisah untuk mencapainya itulah yang dinamakan murid.

Dari sinilah seseorang murid itu akan menempuh ber-bagai-bagai percubaan dan merasai berbagai-bagai kelakuan serta melazimi beberapa perkara untuk menjalankannya seperti mengetahui dengan sebenar-benarnya kaedah-kaedah yang telah ditetapkan umpamanya taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, sabar, fana dan lain-lain lagi perkara yang mesti diikuti dan dilalui oleh seseorang murid itu.

PENGERTIAN MURID

Murid atau Salik ertinya ialah yang berjalan atau yang berkehendak. Apabila dikatakan Murid atau Salik, maka pada istilah ahli sufiah ialah orang yang dikurniakan oleh Allah Ta`ala untuk berusaha pisah-pisah akan hatinya buat menjalani kepadanya dan untuknya. Sebab itu orang yang ingin sampai hatinya kepada musyahadah akan Allah Ta`ala hendaklah melatih hatinya dengan menafikan segala kemahuan yang dibangsakan kepada dunia kebendaan.

Kemudian langsung menyembunyikan dirinya untuk beribadah, berzikir dan sebagainya bagi menyampaikan dirinya kepada Allah Ta`ala secara zauq (perasaan) dan tiada lagi secara pengetahuan iaitu beredar-edar ia disekitar Allah itu tiada ada menyerupai suatu kuasa dan lain-lain lagi sedangkan secara zauq (perasaan) tiada ada padanya, akan tetapi bagi mereka yang menjadi murid itu telah mengikuti apa yang telah diterangkan oleh Imam Al-Ghazali Rahimahullahu Ta`ala Anhu dan mereka itu (murid) telah merasai apa yang dinamakan Bab Al-Asma’ iaitu merasai akan kelazatan dalam zikrullah, usaha dan latihan mereka itu (murid) untuk musyahadah kepada Allah Ta`ala dengan melalui kenikmatan berzikir, beribadat serta pisahan hati.

MAJZUB @ MURAD

Seperkara lagi yang perlu kita ketahui bahawa ada juga setengah manusia yang diangkat terus sampai ke sana dengan semata-mata limpah kurnia Allah Ta`ala. Tiada dengan pisahan usaha dan tiada pula dengan bimbingan gurunya (ahli-ahli kerohanian) yang tertentu. Orang itu dinamakan majzub ataupun murad, perbandingannya ialah seperti ia di temui oleh sultan itu sendiri dengan memegang tangannya lalu membawa kehadapannya tetapi orang ini selalunya akan menerima kesukaran atau kepayahan tatkala menurun nanti. Andainya ia tiada mengawasi, maka ia akan menerima bencana ketika ia bermohon diri kelak.

PENGAKUAN

Pengakuan saya sendiri selaku penulis tiada pernah merasai segala-galanya itu dan boleh dikatakan saya juga ketinggalan kiranya kerana kelazatan zikir pun belum dirasai inikan pula kelazatan musyahadah akan Allah Ta`ala, akan tetapi walaupun demikian saya yakin akan Allah Ta`ala maha luas rahmatnya dan sama-samalah kita berusaha dan berdoa supaya kita ini menjadi murid kepada mereka (ahli-ahli kerohanian) yang benar-benar soleh serta nyata wasilah dan robitah dengan ilmu dan amalnya yang menyampaikan tambatan hati muridnya kepada Baginda Nabi Muhammad Rasullullah S.A.W. dan diterima akan kita menjadi muridnyaserta berada di dalam jamaahnya buat selama-lamanya. Amin ya Robbal a`lamin.

KELAKUAN MENJALANI DIRI

Oleh itu marilah kita membicarakan fasal kelakuan yang mesti dilalui dan percubaan yang harus di tempuhi serta yang mesti dialami dan dilalui oleh seseorang murid yang ingin sam-pai kesana untuk menjadi kekasih Allah Ta`ala.

Di samping itu kita juga perlu mengetahui akan syarat-syarat bagi seseorang murid itu untuk menjalani diri kepada Allah Ta`ala. Ketahuilah bahawa segala tunjang bagi mencapai kebahagian dunia dan akhirat itu adalah berpusing di sekitar sejauh mana bagi seseorang murid itu membina taqwa.

Taqwa adalah asas dan pokok serta jalan atau permulaan pekerjaan ibadat dunia dan akhirat. Sesungguhnya kebajikan dan kebaikan dunia dan akhirat tiada akan dapat dicapai begitu juga dengan kejahatan dan kebinasaan tiada akan dapat ditolak melainkan dengan adanya taqwa.

PENGERTIAN TAQWA

Taqwa adalah satu wasiat iaitu satu pesanan dari Allah Ta`ala kepada manusia seluruhnya. Manusia dahulu, sekarang dan akan datang serta banyak lagi keterangan dari ayat-ayat Allah Ta`ala yang telah memberi jaminan kepada orang-orang yang bertaqwa. Firman Allah dalam Surah hujurat ayat 13.

ْمُكاَقْتَأ ِﻟﻠﻪاَدْنِع ْمُكَمَرْكَا َّنِا

Mafhumnya:

“Sesungguhnya semulia-mulia kamu disisi Allah Ta`ala itu adalah orang yang lebih taqwa kepadanya”.

Allah Ta`ala telah menjadikan ukuran serta membuat penilaian kemulian seseorang itu diatas kekuatannya, tiada pada keturunannya, tiada pada harta kekayaan, tiada dengan ilmu, tiada dengan kemegahan atau tiada dengan segala perkara yang pernah dibuat penilaian oleh kebanyakan manu-sia pada zaman ini. Sebab itu kemulian yang dibina di atas asas taqwa ianya tiada boleh dirosakkan dan tiada dapat dijejaskan oleh pemutaran zaman atau perubahan masa.

Bagi memastikan seseorang murid itu menjadi seseorang yang benar-benar bertaqwa, ia mestilah meninggalkan segala jenis dosa, serta menghalangkan diri dari segala jenis kema-huan nafsu disamping mengawasi diri daripada tipu daya syaitan.

KEMAHUAN NAFSU

Andainya seseorang murid itu sentiasa menurut kemahuan nafsunya, maka sampai bila pun dia tiada akan dapat kebahagiaan kerana mengikut kemahuan nafsu adalah pokok bagi segala kejahatan dan kebinasaan. Inilah yang paling ditakuti oleh Rasullullah S.A.W sepertimana di dalam sabdanya yang bermaksud: “seperkara yang paling ditakuti sekali pada umatku ialah mengikut kemahuan nafsu, panjang angan-angan. Kerana pada mengikuti kemahuan nafsu itu adalah menjadi sebesar besar dinding diantara hamba dan Allah S.W.T dan panjang angan-angan adalah melupakan hari pembalasan”.

Dan tipu daya syaitan adalah merupakan perkara kedua yang mesti diawasi kerana dialah sebagai pendukung nafsu. Syaitan dapat masuk menyelinap kedalam badan manusia seperti nafsu juga sepertimana yang diterangkan oleh nabi Muhammad S.A.W didalam sabdanya yang bermaksud: “sepertimana keinginan nafsu yang bercampur dengan darah daging dan urat nadi manusia, maka demikianlah juga syaitan itu dapat berjalan mengikut aliran darah serta bergerak masuk kedalam daging seterusnya kejantung hati manusia”. Jadi, untuk mengawasi dan menjaga kedua-dua musuh itu dan untuk mendapat hakikat taqwa yang sebenarnya, maka perlulah bagi murid itu berada pada ketiga-tiga jalan ini.

JALAN MENUJU KEPADA ALLAH S.W.T

Pertama : Syariat Kedua : Tariqat Ketiga : Hakikat

Maka ketiga tiga jalan ini yang mesti menjadi landasan utama bagi seseorang murid itu (iaitu orang yang berjalan untuk sampai menuju kepada Allah S.W.T). Ahli-Ahli Kerohanian atau Ulama`-Ulama` Sufi Muktabar telah membuat perbandingan tentang ketiga-tiga perkara itu dengan katanya:

“Syariat adalah seperti kapal dan tariqat itu adalah seperti lautan manakala hakikat itu adalah seperti permata yang dicari”.

Maka sesiapa sahaja atau mana mana murid yang mahu dan berkehendakkan kepada permata tersebut, maka terpak-salah ia mengharungi lautan seperti menempuh gelombang ombak dan bahtera atau kapal adalah pokok utama yang mesti disediakan bertujuan untuk mengharungi lautan yang besar itu.

Demikianlah juga bagi mana-mana murid atau sesiapa sahaja yang mahukan Hakikat untuk sampai kepada Makrifah Allah, maka terpaksalah mengharungi Lautan Tariqat dan tiada dapat berada di Lautan Tariqat melainkan setelah sempurna syariatnya. Maka, marilah kita mempelajari apakah dia Syariat, Tariqat Dan Hakikat yang dikehendaki oleh Allah S.W.T.

PERTAMA : SYARIAT

Syariat ialah mengikutkan agama Allah S.W.T iaitu Islam sepertimana yang dibawa datang awal oleh Nabi Muhammad S.A.W dengan erti kata menunaikan segala perintah dan suruhannya dan menjauhi serta meninggalkan segala larangannya.

Maka di dalam perkara menunaikan segala perintah inilah menjadi sebab menentukan hukuman keatas manusia dan jin didalam Islam apabila sempurna akal, sihat ceria, terima seruan Nabi Muhammad S.A.W dan sampai had taklif syara’ (baligh) wajib mengucap Dua Kalimah Syahadah dengan menyem-purnakan rukunnya, syarat serta sahnya dan mengetahui ia akan perkara-perkara yang membatalkannya bagi memfardhu-kan Islam keatas dirinya untuk memelihara serta menjaga kemuliaan (Maruah) Agama Islam, Diri, Keturunan, Harta Benda Dan Tanah Air. Sepertimana firman Allah S.W.T:

Baqarah ayat 138

َنْوُدِبَع ُهَل ُنْحَنَو ُةَغْبِص ِﻟﻠﻪا َنِم ُنَسْحَأ ْنَمَو ِﻟﻠﻪا ُةَغْبِص

Mafhumnya:

“Katakanlah wahai orang-orang yang beriman: agama Islam yang kami telah sebati dengannya ialah celupan Allah (yang mencorakkan seluruh kehidupan kami dengan corak

Islam)! Dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah? (Kami tetap percayakan Allah) dan kepadanya jualah kami beribadat”. Iaitu Syariat yang sampai pada Maqam Hakikat Tauhid serta yang sah i’tiqadnya itu bagi Ahli Sunnah dan berjalan pada zahirnya jalan Syariat yakni muafakat zahir dengan Syari-at Muhammadiah dan batinnya dengan Tariqat Ahmadiah (yang dikehendaki disini ialah perjalanan yang bercontohkan kepada Nabi Muhammad S.A.W pakaian zahir Uswatun Hasanah, Rahmatun Lil Alamin, Makarimul Akhlak, Khuluqil Adzim hingga merdeka ia daripada segala yang lain daripada Allah kepada Allah Ta`ala semata mata.

Setelah murid itu menjalani akan jalan Syariat, dan sekarang marilah pula kita mempelajari serta mengharungi Lautan Tariqat pula.

KEDUA : TARIQAT

Tariqat ialah bagi memilih jalan yang lebih selamat pada segala amalan dan segala pekerjaan serta meninggalkan perkara-perkara yang dianggap menjadi kesamaran seperti hendaklah kita memilih jalan Wara`. Wara` di sini bukanlah bererti seseorang itu asyik memegang tasbih sahaja sehingga tiada mahu ia berusaha dan bekerja sepertimana yang dikehen-dakki oleh Syariat akan tetapi Wara` yang dikehendaki di sini ialah sepertimana yang telah dijelaskan oleh ulama. Imam Al-Ghazali telah membahagikan Wara` itu kepada empat bahagian iaitu:

a. Wara` Orang Kebanyakkan. Iaitu Wara’ bagi orang yang meninggalkan segala perkara yang diharamkan oleh Allah Ta`ala dan ini adalah Wara` orang yang sedang berada pada darjat Syariat.

b. Wara` Orang Yang Soleh. Iaitu Wara` bagi orang yang meninggalkan segala perkara yang samar-samar hukumnya (syubhat) perkara ini jika dikerjakan tidaklah menjadi salah bagi orang yang berada pada darjah Syariat akan tetapi menjadi salah bagi orang yang berada pada darjah Tariqat.

c. Wara’ Orang Yang Muttaqin (takut pada Allah Ta`ala) Iaitu Wara’ bagi orang yang meninggalkan barang yang tiada mengapa jika dikerjakan tiada jadi makruh dan tiada pula Khilafu Aula ini adalah kerana takut luput (hilang) barang yang diantaranya dan diantara Allah Ta`ala daripada nur dan cahaya yang berada pada mata hatinya.

d. Wara’ Orang Yang Siddiqin (orang-orang yang benar)

Iaitu Wara’ bagi orang yang meninggalkan segala perkara yang menyebabkan terasing diantaranya dan di antara Allah Ta`ala daripada segala jenis perkara yang membinasakan agama Allah Ta`ala dan hatinya.

KETIGA : HAKIKAT

Apabila seseorang yang menjadi murid itu sampai kepada tujuan makrifah Allah Ta`ala iaitu Musyahadah akan Nur Tajalli Allah. Imam Al-Ghazali menerangkan bahawa Tajalli itu barang yang nyata bagi hati seseorang itu daripada cahaya Alam Ghaib dan di sana dia dapat faham hakikat segala perkara, seperti musyahadah akan Asma’ Dan Sifat dan juga Zat Allah Ta`ala dan dapat memahami rahsia Al-Quran dan mendapat yang tidak boleh dapat dengan usaha dan belajar.

Ketiga-tiga perkara itu tiada boleh terasing sama sekali iaitu Syariat, Tariqat Dan Hakikat kerana Tariqat Dan Hakikat tiada boleh betul dan boleh didapati dengan tiada adanya Syariat. Begitu juga dengan Syariat, tiada akan adanya nilai sekiranya tiada ada Tariqat Dan Hakikat.

Inilah sebabnya Ulama Muhaqqiqin berwasiat dengan katanya:

“Syariat dengan tiada adanya Tariqat adalah kosong manakala Tariqat dan Hakikat dengan tiada adanya Syariat adalah tiada sah”

Seorang yang beriman itu meskipun tinggi darjatnya dan dia sudah naik ke pangkat wali, maka tiada akan gugur daripa- danya undang-undang Syariat. Dia wajib melaksanakan setiap perkara yang difardhukan ke atas dirinya sepertimana yang ter-kandung dalam ucapan Dua Kalimah Syahadah.

Sesiapa yang menyangka bahawa apabila seseorang itu telah menjadi wali atau telah sampai hatinya kepada Hakikat Musyahadah akan Allah Ta`ala lalu digugurkan baginya segala undang-undang Syariat, maka sesungguhnya sangkaan yang demikian itu adalah sangkaan orang yang sesat dan ia menye-satkan pula orang lain.

Sesungguhnya Nabi-Nabi pun tiada gugur perintah Syara’ daripadanya, masakan pula wali-wali yang darjahnya lebih ren-dah daripada Nabi-Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam itu sendiri.

Setelah mengetahui serba sedikit berkenaan dan kedudu-kan Syariat, Tariqat Dan Hakikat, sekarang marilah kita menge-tahui pula apakah perkara yang mesti dilakukan oleh seseorang murid itu dan sesungguhnya perkara yang tiada asing lagi bagi murid itu, terpaksalah ia mengikuti dan menghiasi dirinya dengan segala perkara undang-undang Syariat kerana dengan itu akan bercahayalah hatinya dan hilanglah kegelapan yang bertapak di jiwanya lantaran ditutupi oleh najis maksiat.

Dan ketahuilah bahawa segala rupa kedurhakaan kepada Allah Ta`ala itu adalah maksiat dan maksiat itu adalah satu kegelapan iaitu zulmah dan zulmah itu akan mengalir masuk (meresap) dan bertapak di hati. Begitulah juga dengan taat ia itu segala perkara rupa Bakti kepada Allah Ta`ala itu adalah satu cahaya yang juga dapat mengalir masuk dan bertapak dihati manusia.

Andainya cahaya Syariat sudah ada pada hati murid itu, maka hati murid itu akan bercuaca dan ketika itu amat layaklah bagi murid itu masuk dan berada di atas jalan (Tariqat) untuk menuju dan sampai kepada Hakikat (iaitu Musyahadah akan Allah Ta`ala) atau sampai kepada Allah Ta`ala.

Oleh yang demikian bolehlah difahami bahawa masuk kepada Tariqat itu adalah bererti seseorang murid itu sedang di dalam perjalanannya menuju kepada hakikat makrifat Allah Ta`ala dan sesungguhnya bagi mereka yang telah sampai hatinya dan amalan hidupnya kepada Allah Ta`ala itu baginya adalah mempunyai Tariqat (jalan) yang tersendiri. Tariqat itu ada namanya yang bermacam-macam dan berbagai-bagai lagi diantaranya ialah:

a. Ada setengah orang yang hatinya sampai kepada Allah Ta`ala dengan melalui wirid-wirid atau beribadat dengan ibadat sunat.

b. Ada setengah orang yang lain pula hatinya sampai kepada musyahadah akan Allah Ta`ala dengan menjadi khadam gurunya yakni ahli-ahli Sufi atau berguru kepada ahli-ahli sufi yang melazimkan pada babnya.

c. Setengah orang pula yang hati mereka sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala dengan berusaha bekerja menggunakan tenaga fikiran dan hasilnya peker-jaan itu diletakkan semata-mata mengabdikan diri kepada Allah Ta`ala serta dimanfaatkan pula kepada yang memerlukannya.

d. Setengah orang pula hatinya sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala melalui mengajar, mendi-dik, menunjukkan manusia dengan ilmunya yang benar-benar faham diatas Aqidah, Akhlak, Pengorbanan Diri dan Harta serta membina manusia mengikut contoh Nabi Muhammad S.A.W. dalam ilmu dan amalnya baik dari segi hak-hak kehambaan mahupun hak-hak ketuhanan dan bermacam-macam lagi akan tetapi yang akhir inilah yang paling utama kata Imam Al-Ghazali Rahimahullahu Ta`ala ‘Anhu.

Orang yang termasyhur dikalangan penghuni langit dengan nama Azhima (iaitu mempunyai darjat kebesaran dan keutamaan) kerana ianya tiada ubah seperti matahari lantaran dirinya bercahaya (cerah) dan memberi cahaya kepada orang lain atau dengan kata perumpamaan yang lain ialah tiada ubah ia sepertimana kasturi lantaran dirinya sudah harum dan mengharumkan orang lain pula.

JALAN YANG DEKAT MENUJU KEPADA ALLAH TA`ALA

Oleh itu marilah kita mengetahui pula apakah jalan yang dekat (Tariqat) untuk kita sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala mengikut kaedah Ahli-Ahli Sufi yang lazim pada babnya.

Pada ghalibnya bagi seseorang itu hendaklah memper-baiki dirinya mengikut asal kejadian alam dan manusia sebagai Khalifah Allah Ta`ala diatas bumi, iaitu bermula dari permulaan noktah (tempat memulakan sesuatu) iaitu yang sempurna mukallaf serta menerima talqin ucapan Dua Kalimah Syahadah dan menfardhukan Islam keatas dirinya serta sedia ia menjaga memelihara dan mempertahankan kemulian (maruah) Agama, Diri, Keturunan, Harta Benda dan Tanah Airnya daripada segala seterunya dan seteru Allah Ta`ala.

Pada ghalibnya seseorang murid yang benar-benar men-jalani tariqat untuk menyampaikan dirinya kepada Haqiqat sana itu akan menempuh sembilan perkara, yang menjadi pokok peraturannya dan tiada dapat tiada bagi sesiapa jua yang ingin hatinya sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala perlu menempuh kesembilan-sembilan pokok peraturan ini dan sesi- apa jua yang berjaya menempuhnya insya Allah Ta`ala ia akan sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala dengan dibuka oleh Allah Ta`ala akan pintu-pintu pengertian dan diterangkan dadanya dengan cahaya Ilmu-Ilmu umpama ilmu Iman, Islam, Ihsan, Yakin, Lathoif, Israr, Makrifah, Khasyaf, Mukafahah, Karamah yang hakiki. Maka dengan itu akan nyata segala perkara-perkara yang boleh memperbaiki diri dan akhlaknya untuk menaiki tangga Musyahadah dan Muraqabah akan Allah Ta`ala bagi setiap waktu, masa dan ketika semasa hidupnya.

PERTAMA : TAUBAT

Al-Taubah tanda awal sebagai kembali dari perangai yang tercela disisi Syara’ untuk menuju kearah perangai yang terpuji. Taubat yang dimaksudkan di sini ialah dengan menunaikan segala rukun-rukun syarat yang telah ditetapkan bagi taubat itu. Andainya syarat-syarat serta rukun-rukun bagi taubat itu tidak ada, maka taubat itu hanya pada rupa sahaja dan ianya bukanlah taubat yang keluar dari hati yang putih bersih serta menolak dengan putus azam tiada kembali lagi pada dirinya segala maksiat dan kufur, maka yang tinggal pada dirinya hanyalah iman dan taat semata-mata. Taubat yang tiada menyempurnakan syarat dan rukunnya itu seolah-olah memper sendakan Allah Ta`ala malah perkara sebaliknya yang akan berlaku jika sekiranya taubat yang tiada pada menyempurnakan syarat dan rukunnya itu dimana Allah Ta`ala akan mengakibat- kan orang yang bertaubat itu sendiri akan menerima bencana daripada kecuaiannya.

Syarat dan rukun taubat Itu empat perkara:

a. Dengan Adanya Penyesalan.

(1) Menyesal di atas segala rupa apa-apa yang telah dilakukan daripada segala jenis maksiat atau dosa dan segala perkara yang menyalahi Syara’.

(2) Menyesal diatas kecuaian di dalam menunaikan perintah Allah Ta`ala.

(3) Menyesal sepenuhnya di atas masa yang lampau yang terbuang dengan sia-sia.

b. Dengan adanya keazaman (ketetapan dihati) yang putus dengan bahawa tiada mahu diulangi lagi segala maksiat atau dosa atau kedurhakaan atau kecuaiannya buat kali yang kedua.

c. Berhenti Dari Pekerjaan Maksiat. Hendaklah berhenti dari melakukan pekerjaan maksiat buat selama-lamanya pada ketika datang akan penyesalan dengan penuh azam tidak akan mengulangi lagi dan terus menunaikan segala perintah Allah Ta`ala yang diazamkan itu.

d. Lepaskan tanggungan daripada hak-hak yang bersangkutan dengan anak adam. Syarat ini hanya khas untuk dosa pekerjaan yang bersangkut dengan anak Adam sahaja sepertimana mencuri, menyamun, mengum-pat, mencela dan sebagainya. Ertinya hendaklah barang yang dicuri dan disamun itu hendaklah dikembalikan atau diganti balik kepada yang empunyanya juga hendaklah meminta maaf daripada yang empunyanya barang terse- but diatas perbuatan tercela yang pernah dilakukannya.

Ulama` telah membahagikan taubat ini kepada tiga darjah iaitu:

a. At-Taubah. Sesiapa yang bertaubat kerana takut-kan siksaan Allah Ta`ala, maka taubat tersebut adalah dikatakan Sohibu At-Taubah (Al-Taibiin).

b. Al-Inabah. Sesiapa yang bertaubat kerana berke-hendakkan kepada balasan Allah Ta`ala seperti syurga dan nikmat-nikmatnya, maka taubat tersebut adalah dikatakan Sohib Al-Inabah (Al-Munibiin).

c. Al- Awwabah. Sesiapa yang bertaubat kerana tiada takutkan siksaan dan tiada mengharapkan balasan pahala, malah taubat itu adalah semata-mata adalah kerana menunaikan hak-hak kehambaan kepada Allah Ta`ala, maka taubat tersebut adalah dinamakan Sohibu Al-Awwabah (Al-Awwabiin).

Dan banyak ayat-ayat Allah Ta`ala dan hadis yang menun- jukkan bahawa taubat ini, mendapat tempat yang utama di dalam pemerhatian Allah Ta`ala.Ini bererti bahawa kita telah masuk ke pintu keredhaannya. Dengan tertunai satu syarat untuk sampai kepada Allah Ta`ala iaitu taubat.

KEDUA : QANA’AH

Memadai atau mencukupi dengan apa yang ada, ini bukan lah bererti meninggal akan segala ikhtiar dan usaha mencari saraan hidup tetapi apa yang dimaksudkan di sini ialah mahu adanya perasaan redha dan mencukupi pada hati dan jiwa kita dan juga tiada ada keluh kesah di atas kekurangan pada kebendaan.

Sekiranya keperluan hidup agak terhimpit, maka hatinya tenang tetapi ikhtiar usahanya diteruskan berjalan seperti biasa dan tiada berperasaan mengkritik di atas qada’ dan qadar Allah Ta`ala. Hatinya juga tiada perasaan megah dengan adanya pakaian, harta, tempat kediaman, jawatan dan sebagainya.

Mencintai kekayaan, kemewahan dan jawatan kedudukan dengan serba ada adalah jauh sekali dari hati orang yang memiliki sifat qana’ah ini. Sebab itu qana’ah adalah menjadi salah satu punca untuk mencapai ketenangan jiwa iaitu perasaan yang tiada terburu-buru oleh nafsu dan iblis malahan ianya tenang sahaja. Andainya dia sudah tenang, maka mudahlah hati dan jiwanya dimasuki Nur Makrifah (Cahaya Pengenalan) sebaliknya pula jika qana’ah tiada ada pada hati seseorang itu, maka tiada ada bezanya diantara dia dengan si tamak yakni memburu dunia (Maliku Dunia).

Justeru itu haruslah ditinggalkan segala rupa amalan dan pekerjaan yang tiada mendatangkan faedah dan tiada ada pertaliannya dengan akhirat supaya dengan ini membolehkan seseorang itu sampai kepada kedudukan Musyahadah akan Allah Ta`ala.

KETIGA : ZUHUD

Ini juga bukanlah bermakna mesti meninggalkan segala harta serta daya usaha untuk saraan hidup, tetapi hakikat sebenarnya ialah tiada ia bergantung hati pada segala rupa harta kekayaan, usaha tenaga serta tiada ada pula tumpuan dengan sepenuhnya, iaitu hati tiada condong kepada yang fana bererti memiliki dan melaksanakan pekerjaan itu hanya semata-mata pemberian dan perintah dari Allah Ta`ala.

Sekiranya seseorang itu kaya dan mewah tetapi hatinya tiada bergantung dengan harta kekayaan dan kemewahan itu, maka ianya adalah seorang yang Zahid.

Tiada bergantung hati itu bukanlah bermaksud tiada mempedulikan dengan sepenuhnya malahan harta-harta ter- sebut wajib diuruskan dengan betul mengikut Syara’ dan undang-undang adat yang berkaitan dengannya.

Sekiranya seseorang itu miskin dan hatinya penuh dengan angan-angan dan daya usahanya tiada lain melainkan bertu-juan untuk mencapai kekayaan dan kemewahan dunia semata-mata, maka itu bukanlah namanya Zahid.

Zahid itu ialah urusan hati yang tiada boleh dicampur adukkan dengan urusan jasmani. Sebab itu ‘ulama mengatakan “Zahid olehmu akan dunia ini dengan menghilangkan tumpuan hati kepada kebendaan” Tiada bererti tiada ada harta barulah dinamakan Zahid kerana Nabi Allah Sulaiman bin Daud Alaihi-mussalam adalah sebagai manusia diatas muka bumi ini tetapi ia adalah antara Zahid dan Muzahidnya.

Zahid adalah sebesar-besar jalan untuk menyampaikan hati seseorang itu kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala, sesiapa yang tiada Zahid di dunia ini, ia adalah orang yang dianggapkan seperti orang yang mabuk atau orang yang dikaramkan dilautan dan dia tiada dapat berjalan dengan betul dan tiada selamat daripada tenggelam dengan tercengang ia berkata “manakah jalan yang betul, dan manakah kapal yang dapat memberi pertolongan ini?”.

Sudah dikatakan bahawa Zahid adalah sebagai tariqat untuk kita sampai kepada Musyahadah akan Allah Ta`ala. Sepertimana kapal yang menjadi alat utama untuk kita mengambil permata di lautan yang dalam. Bagaimana jika seseorang itu hampir lemas di lautan baru ditanya pula akan kapal pada hal sebelum itu dia tidak menyediakan kapal untuk dia berjalan di lautan menuju kesana atau untuk keselamatan bagi menempuh gelombang lautan.

Zahid mempunyai beberapa syarat dan tanda iaitu:

a. Bersedia memaaf kepada manusia yang berlaku kasar terhadapnya lantaran mereka tiada mengetahui akan hukum Syara’.

b. Tiada menyakiti mereka dan tiada juga mencela di atas kejahilan mereka itu.

c. Putus harap yakni tiada berharap kepada pemberian manusia atau dengan lain perkataan ialah tiada mengharapkan ihsan (belas kasihan) dari orang lain.

d. Murah yakni selalu menderma dan selalu memberi pertolongan dengan apa saja yang ada padanya seperti harta benda, tenaga, fikiran dan sebagainya.

Andainya kita telah melakukan keempat-empat perkara tersebut, maka kita akan sejahtera daripada kebinasaan dan akan dikasihi disisi manusia serta diangkat disisi Allah Ta`ala.

KEEMPAT : BELAJAR ILMU SYARAK

Belajar ilmu syara’ juga adalah merupakan salah satu daripada sembilan perkara yang mesti dilalui.Ilmu yang dimaksudkan di sini ialah tiga perkara iaitu:

a. Ilmu Yang Memperbetulkan Ibadat – Feqah.

b. Ilmu Yang Memperbetulkan I’tiqad – Usuluddin.

c. Ilmu yang memperbetulkan Akhlak dan memperbaiki hati serta pengorbanan (Jihad) - Tasauf Dan Sufi

Sesiapa juga yang beramal dengan tiada ilmu, maka amalannya ditolak dan tiada diterima sama sekali. Oleh itu perlu sekali bagi seseorang itu mengetahui akan ketiga-tiga ilmu yang tersebut dan perlulah ia menjadi murid kepada mana-mana guru yang ahli pada babnya. Dengan yang demikian dapatlah ia mengetahui akan sempadan dan tauladannya pada membicarakan baik dan jahat dalam ilmu dan amal dalam kehidupan sesama manusia dan di sisi Allah Ta`ala supaya setiap amalannya diterima menjadi amalan yang soleh.

Oleh itu setiap murid hendaklah yakin bahawa agama Islam ialah suatu agama khusus dari Allah Ta`ala yang diturunkan kepada seluruh manusia daripada Nabi Adam sampai hari kiamat melalui Nabi-Nabi Rasul-Rasul alaihimus solatu wassalam dengan disertakan kitab-kitab panduan.

Al-Quran diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad S.A.W. iaitu Nabi akhir zaman. Islam bukanlah agama ciptaan manusia atau kebijaksanaan pemikiran manusia. Dan apabila sampai kepada nabi kita Nabi Muhammad S.A.W., Agama Islam dikembangkan melalui ucapan Dua Kalimah Syahadah sebagai batas perbezaan diantara orang yang sudah menerima dan beramal dengan agama Islam dengan orang yang tiada menerima dan beramal dengan agama Islam.

Sebab itu menjadi khilaf pada ulama di dalam menetapkan hukum ke atas manusia Islam yang apabila sampai had taklif Syara’ bagi manusia lelaki dan perempuan maka diwajibkan mengucapkan Dua Kalimah Syahadah sekali seumur hidup bagi menfardhukan Islam ke atas dirinya. Selain dari itu adalah menjadi sunnah mengucap Dua Kalimah Syahadah pada mana-mana waktu walau beberapa banyak sekalipun kecuali di dalam solat dan dikala seseorang itu menjadi murtad.

Sebab itu telah menjadi peraturan mana-mana murid yang ingin menjalani tariqat hendaklah ia belajar dan mempelajari akan Ilmu Syara’ Iaitu Feqah, Tauhid dan Tasauf dimana sekarang ini telah berlaku kepincangan di dalam masyarakat manusia yang diperakui Muslim di dalam perkara pokok ilmu dan amal yang berkaitan dengan Aqidah, Syariat, Akhlak Pengorbanan Diri dan Harta adalah berpunca dari kehilangan permata ilmu (dikalangan Guru-Guru yang Mursyid mengikut Tobaqat Sufiyyah Susunan Auliya’ Ma’dudin) semenjak berakhirnya pemerintahan Khalifah Uthmaniah dan kerajaan Melayu Islam Asia Tenggara. Oleh itu adalah menjadi hak kepada setiap murid yang hendak menjalani jalan Tariqat, mestilah berada kekal di dalam Aqidah, Syariat, Akhlak, Pengorbanan Diri dan Harta di atas aliran Ahli Sunnah di semua tempat, waktu dan masa selari dengan kedudukan manusia salaf dan manusia khalaf.

KELIMA : MENGHORMATI SUNNAH NABI MUHAMMAD S.A.W.

Iaitu mengikut menjaga adab-adab yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. dan menjadikan Uswatun Hasanah, Rahmatan Lil ‘Alamin, Makarimul Akhlak, Khuluqil ‘Adzhim itu sebagai contoh dan tauladan samada di dalam perkataan, perbuatan, iktiqad bagi setiap pekerjaan dan kelakuan bagi orang Muslim (murid) itu di semua tempat, masa dan zaman.

Adalah bagi semua keadaan Ahli-Ahli Sufi Muktabar itu memang meniru atau mencontohi seratus peratus (100%) akan akhlak Nabi Muhammad S.A.W. samada zahir sepertimana memperbaiki solat, bersedekah, berzikir, dan batin pula bersifat dengan sifat yang terpuji sepertimana akhlaknya yang berbimbang dengan melakukan dosa maka sentiasa baginya itu Taubat, Qana’ah, Zahid, Tawakkal, Ikhlas, Uzlah dan sebagainya daripada perangai atau sifat yang terpuji, yang menjadi tanda kehambaan dirinya kepada Allah Ta`ala semata-mata.

KEENAM : TAWAKKAL

Tawakkal adalah satu perkataan yang memberi erti, Penyerahan Atau Menyerah. Didalam erti kata yang lain berpegang teguh kepada Allah dan tiada kepada yang lain, serta menghapuskan perasaan hati yang memandang dirinya jua yang mentadbirkan sesuatu, tawakkal ini juga bukanlah bererti terpaksa meninggalkan segala ikhtiar usaha bahkan mesti bekerja dan berusaha, kemudian segala pekerjaan ikhtiar usaha itu disandarkan kepada Allah Ta`ala.

Suatu masa Saidina Umar Al-Khattab R.A. masuk ke dalam masjid, disana beliau mendapati beberapa orang manu-sia yang sedang asyik berzikir sedangkan mereka itu mempu-nyai keluarga atau isteri dan tanggungan, lalu Saidina Umar berkata “apakah kamu semua tiada bekerja dan apakah yang kamu lakukan untuk saraan ahli-ahli keluarga kamu? Apakah kamu semua bertawakkal seperti ini? Ingatlah kamu, bahawa langit tiada berhujankan emas”.

Sahl bin Abdullah r.a. pernah berkata “bahawa tawakkal itu adalah kelakuan Rasullullah S.A.W. dan berusaha ikhtiar itu adalah sunnahnya”. Membuat persediaan dan menyimpan makanan untuk hari-hari depan tiadalah merosakkan tawakkal kerana Nabi Muhammad S.A.W. sendiri pernah menyimpan makanan untuk anak isteri buat masa setahun pada hal Rasullullah S.A.W. adalah penghulu atau ketua bagi orang-orang yang bertawakkal. Ringkasnya disini ialah tawakkal adalah kerja hati dan sesiapa juga yang hatinya telah sampai kepada darjat tawakkal, maka dia tiada akan dijejaskan oleh banyak harta dan kuat ikhtiar usaha.

KETUJUH : IKHLAS

Ertinya Kebersihan Hati. Ia juga menjadi salah satu daripada rukun yang paling besar daripada segala kerja yang bersangkut paut dengan hati bagi segala jenis ibadat samada zahir ataupun batin adalah berpusing di sekitarnya. Ia juga sebagai hakim bagi menentukan amalan itu diterima ataupun tiada diterima.

Pernah suatu ketika Abu Zar r.a. bertanya kepada Rasullullah S.A.W. tentang ikhlas lalu beliau menjawab “sabarlah, nanti saya akan bertanya kepada Jibril a.s. apa itu ikhlas,” kemudian Jibril a.s. menjawab nanti dia akan bertanya kepada Mikail a.s. dahulu, lalu Jibril a.s. bertanya kepada Mikail a.s., maka Mikail a.s. menjawab pula nanti ia akan bertanya sendiri kepada Allah Ta`ala tentang perkara tersebut, lalu Mikail a.s. bertanya kepada Allah Ta`ala dan Allah Ta`ala berfirman dengan mafhumnya “ikhlas adalah satu rahsia daripada beberapa rahsiaku dan aku berikan kepada sesiapa yang aku mahu!”.

Maka dari sini tahulah kita bahawa ikhlas ini tiada dapat dicapai melainkan berbanyak-banyak berdoa kepada Allah Ta`ala dengan meminta supaya dikurniakan kepada kita di samping menunaikan syarat-syarat untuk mencapainya seperti melazimkan bersedekah dengan bersunyi-sunyi tiada di hadapan khalayak ramai, begitu juga dengan solat sunat dan lain-lain lagi. Selain dari itu, kita tiada beria-ia menjadi diri kita sebagai seorang yang ikhlas kerana ikhlas itu adalah kerja hati dan kalau ia adalah kerja hati, maka sudah tentu ia tiada dapat dibuat atau dipisahkan dengan secara zahir. Oleh itu, untuk mencapai maqam ikhlas, hendaklah kita meminta akan perto-longan dari Allah Ta`ala banyak-banyak serta melazimkan akan syarat-syaratnya.

Satu perkara yang menjadi pertentangan yang paling hebat sekali bagi ikhlas itu ialah riya’. Dia adalah sebesar-besar penyakit yang menggugurkan akan pahala amalan dan merosak binasakannya. Riya’ adalah kemahuan hati sese-orang itu kepada pangkat dan kebesaran disisi manusia dengan menggunakan akhirat seperti solat, bersedekah, mem-baca Al-Quran dan sebagainya atau berkehendakkan kepada kepujian manakala bersedekah pula hatinya berkehendakkan supaya ia dikatakan pemurah dan begitulah seterusnya. Oleh itu penyakit riya’ ini perlu diawasi secukupnya. Kalau tiada maka segala amalan akan menjadi sia-sia dan percuma di samping itu hati akan bertambah jauh dengan Allah Ta`ala.

Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata “beramal kerana manusia adalah syirik dan beramal kerananya juga adalah riya’. Sementara ikhlas pula ialah beramal ataupun tiada adalah semata-mata suruhan Allah Ta`ala dan perintah Allah Ta`ala dan hanya kerana Allah Ta`ala”.

KELAPAN : UZLAH

Uzlah ialah mengasingkan diri dari manusia banyak kera-na makhluk pada ghalibnya menjadi batu penghalang untuk sampai kepada Allah Ta`ala bukan itu saja bahkan ianya menjadi penjenayah kearah kebinasaan dan kejahatan.

Ya! Harus diketahui bahawa manusia di dalam perkara uzlah ini ada banyak peringkat iaitu:

a. Peringkat yang pertama.

(1) Iaitu manusia yang tiada berhajat kepada orang lain dan orang lain pun tiada berhajat kepadanya lantaran ianya bukan orang yang betul-betul mahir yang dapat memimpin dan mengajar manusia tetapi ianya bukanlah seorang yang jahil yang tiada dapat membetulkan dirinya malahan ianya seorang manu-sia yang dapat berdikari atau lain perkataan ia adalah manusia yang dapat masuk dan mengawasi diri dari gangguan nafsu dan tipu daya syaitan.

(2) Maka manusia ini adalah lebih aula bagi mengasingkan dirinya dari manusia (uzlah) hanya ia perlu beruzlah beberapa perkara sahaja seperti jumaat, jama’ah, haji, tempat belajar dan seba-gainya. Itupun sekiranya tiada menjadi gangguan ke atas dirinya, maka haruslah baginya untuk mendiami di tempat yang tiada diwajibkan baginya perkara-perkara yang tersebut itu seperti di puncak bukit, di dalam gua atau di hutan belantara.

(3) Tetapi manusia seperti ini jarang sekali yang kita dapati didalam satu-satu negeri yang beruzlah secara berseorangan, pendek kata manusia umpama ini satu pun sukar untuk ditemui dan sekiranya ada, tiada usahlah dicaci dan dicela akan dia serta jangan pula dilemparkan fitnah dan tuduhan seperti ianya sudah menyimpang dari ajaran agama Islam. Islam tiada membenarkan kita berbuat demikian kerana uzlah dalam Islam itu banyak peringkat.

(4) Selain dari itu Islam ada memberi kemudahan kepada orang ini tambahan pula amat sukar hendak menemui orang yang beruzlah dengan cara begini, jadi mengapa kita menyusahkan sangat terhadapnya dan lagi pun ianya tiada mengganggu sesiapa. Lebih baiklah kita sebagai orang Islam membicarakan akan perkara-perkara asas dalam ajaran agama Islam dalam ilmu dan amalan harian kita serta mengajak kepada orang-orang yang sentiasa berbincang perkara-perkara agama di kedai-kedai kopi atau di kelab-kelab dan lain-lain lagi daripada segala perkara yang melanggar Syara’ atau Syariat Islam, sebe-narnya kumpulan inilah yang menjadi pengganggu masyarakat dan ketenteraman awam dan seba-gainya. Masya Allah apakah yang akan terjadi sekiranya orang-orang banyak yang mengaku yang dirinya Islam dan menganggap dirinya sebagai pemimpin, guru-guru, Tuk guru atau ustaz yang mengasuh penyokongnya kepada perjuangan Islam yang suka mengkritik kepada orang yang dianggap baik dan sebaliknya memuji kepada orang yang dilaknat oleh Allah Ta`ala.

b. Peringkat yang kedua. Iaitu manusia yang berhajat kepada orang lain disebabkan beliau jahil misalnya atau pun ada urusan dalam perkara yang bersangkutan dengan tanggungan dalam kehidupan dan lain-lain lagi, maka manusia ini tiada boleh uzlah seperti orang yang pertama tadi dan dia dituntut supaya bergaul dengan guru-guru dan menghormati tempat belajar yang boleh membawa akan dirinya mendekati Allah Ta`ala serta hendaklah beruzlah diri daripada orang yang dilaknat oleh Allah Ta`ala.

c. Peringkat yang ketiga.

(1) Iaitu manusia yang diperlukan oleh orang yang lain dari segi tenaganya, fikirannya dan ilmunya serta bertujuan mengajar akan dirinya, manusia ini tiada boleh uzlah seperti manusia yang pertama dan kedua tadi akan tetapi ia mesti beruzlah secara rohani iaitu kira bicara, tukar pendapat dan pergaulannya dibo-lehkan sesama manusia lain tetapi hatinya itu mesti beruzlah daripada mereka itu (orang yang dilaknat oleh Allah Ta`ala). Inilah yang dikatakan uzlah hati.

(2) Uzlah hati ialah sentiasa merenung lemah lem-but kepada Allah Ta`ala pada setiap masa dan tempat. Manusia jenis ini jika kita lihat pada zahirnya bersama-sama manusia yang lain pada suatu perkara yang berkaitan dengannya serta perkara yang tidak berkaitan dengannya.Tiada ada sebenar- nya pada hakikat orang ini ianya sedang beruzlah dan inilah darjat uzlah yang paling baik dan bagus sekali. Sekiranya uzlah ini kita telah memasukinya, maka pasti benar kita akan dibawa ke hadrat Allah Ta`ala dan disana kita akan dapat menikmati Mukasyafah dan Musyahadah Uluhiyah dan Rububiyah.

d. Peringkat yang keempat. Iaitu uzlah yang ketika rosak binasa oleh keadaan dan masa. Orang ini adalah

orang dari jenis ketiga juga yakni dia Berilmu, Mahir, Zahid, Wara’ dan segala daya usahanya habis ditumpukan untuk mengajak manusia dengan memberi penerangan, menasihati supaya mematuhi Syariat dan undang-undang Allah Ta`ala dan mengikuti Rasullullah S.A.W. akan tetapi, segala daya usahanya, nasihatnya tiada lagi dipakai sebaliknya difitnah, dicemuh, dikata dan dicaci oleh masyarakat, di kedai-kedai kopi disihirkan dan terkadang-kadang pula menerima ancaman bagi keselamatan jiwanya, maka dikala itu wajarlah ia beruzlah dengan rohani dan jasmani sekali dan tempat uzlah itu dikira apa yang mendapat keselamatan agamanya seperti tempat yang terasing diri dari manusia yang jenis terkutuk itu dimana tempat yang dikira munasabah. Oleh itu marilah kita masuk kepada garisan yang terakhir jika seseorang murid itu mahu sampai kepada Allah Ta`ala.

KESEMBILAN : HIFZUL AUQAAT

Iaitu Menjaga Masa. Ya! Pokok pangkal dari uzlah tadi ialah menjaga masa iaitu beberapa banyak masa yang telah kita buang dengan percuma. Iaitu kosong, sekiranya sekadar kosong sahaja tiada mengapa lagi akan tetapi sekiranya masa yang kosong itu tiada diisi dengan amalan soleh, sudah tentulah dipenuhi pula dengan berbagai-bagai maksiat dan kedurhakaan kepada Allah Ta`ala. Sekiranya begitu, adalah amat rugi dan paling rugi sekali.

Sekiranya kita (murid) berusaha melatih diri kita supaya memenuhi masa itu dengan taat, maka kejayaan yang akan kita capai. Justeru itu perkataan sia-sia tiada perlu dilafazkan, pekerjaan mungkar mesti dijauhi, bergebang-gebang kosong tiada usah dihampiri dan beribadat mestilah dilazimi.

Ya! Mesti beribadat setiap nafas dan saat ini bukanlah bererti mesti melazimi berada diatas tikar solat sahaja. Solat lepas satu satu pula, sebaliknya beribadat yang dimaksudkan disini ialah segala rupa pekerjaan dan tutur kata. Serta tingkah laku harian mesti dilakukan kerana Allah Ta`ala semata-mata, tiada keluar dari garis Syarak, dan tiada lalai dari mengingati akan Allah Ta`ala.

Sekiranya kita solat maka solatlah kerana Alah Ta`ala. Sekiranya berehat untuk memberi keringanan kepada tubuh badan kita supaya dapat beribadat kepada Allah Ta`ala. Sekiranya kita bekerja, maka pekerjaan itu bukan untuk mencari kemewahan dan kemegahan tetapi untuk menunaikan perintah Allah Ta`ala dengan mencari hak-hak saraan kehidu-pan sepertimana yang diamanahkan oleh Allah Ta`ala.

Hasilnya ialah kesemua daripada Allah Ta`ala, kepada Allah Ta`ala, dengan Allah Ta`ala dan kerana Allah Ta`ala. Sebab itu ahli-ahli Sufi pernah berkata:

“Semua perkara yang dikerjakan dan semua perkataan yang dilafazkan oleh mereka adalah ibadat, satu pun tiada menjadi sia-sia dan percuma lantaran apa yang mereka sandarkan ialah kepada Allah Ta`ala, maka segala-galanya menjadi akhirat, maka dunia ini mereka dapat percuma”.

Oleh itu apa yang dikatakan oleh mereka (ahli Sufi) memanglah betul, kerana cubalah kita perhatikan satu misal.

Kita berbendang atau menoreh getah, di samping itu juga kita membuat apa-apa pekerjaan lain, maka hasil padi yang dapat dari bendang ataupun susu getah dari kebun getah dan lain-lain pekerjaan seumpamanya tiada payah untuk menjadi niat untuk kita dapat akan dia. Telah fahamlah kita apabila sampai masanya untuk menuai padi atau mengumpulkan susu getah berkenaan nescaya kita akan dapat akan dia.

Hanya yang perlu kita niat “aku melakukan pekerjaan ini kerana Allah Ta`ala sebagaimana yang diamanahkan kepada aku semata-mata atau yang difardhukan keatas diri aku”. Sudah cukup dengan demikian itu, maka terjama’ahlah kita kedalam golongan mereka yang telah menjaga masa.

Akan tetapi perlulah diingatkan bahawa pekerjaan dan perkataan yang diiktibarkan sebagai ibadat itu ialah selama-lamanya ianya tiada bercanggah dengan Syariat Allah Ta`ala. Sekiranya bercanggah dan diniatkan kerana Allah Ta`ala, makaitu adalah bersandar kepada Allah Ta`ala pula namanya seper-timana melakukan perkara-perkara yang haram atau makruh atau pun perkara yang harus dikerjakan akan tetapi tiada men-jaga masa hingga luput atau lupa akan hak-hak yang wajib tiada bererti jika kita bekerja dengan niat menunaikan suruhan Allah Ta`ala mencari rezeki untuk saraan hidup dan sebagainya pada hal amanah dari Allah Ta`ala daripada segala hak-hak yang wajib, umpamanya solat dicuaikan atau dita’khirkan hingga habis waktunya.

Orang ini apabila dikemukakan soalan kepadanya maka tiada lain jawapannya melainkan ianya berkata “kerja yang dilakukan itupun wajib juga sekiranya berlaku sepertimana yang tersebut itu”. Bererti orang yang seperti ini bukanlah ianya mahu menghampiri Allah Ta`ala namanya dan bukanlah menjalani diri untuk sampai kepada Allah Ta`ala akan tetapi ianya berusaha untu membuat hijab (tertutup) diantaranya dan diantara Allah Ta`ala.

Ingatlah kepada firman Allah Ta`ala di dalam Al-Quran yang berbunyi:

َن اًقْزِر َكُلَئْسَن لا اَهْيَلَع َرْبِطْصاَو ِةَوَلَّصلاِب َكَلْهَأُرُمْأَوْحَن ُنْرُز َكُقىَوْقَّتلِل ُةَبِقَعلاَو

Surah Taha ayat ١32

Mafhumnya:

“Dan perintahkanlah keluarga kamu serta umatmu mengerjakan solat dan hendaklah engkau tekun dan bersabar dalam menunaikannya. Kami tiada meminta rezeki darimu bahkan kamilah yang memberi rezeki kepada kamu dan ingatlah kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Ya! Sekiranya kita menginsafi hakikat ini, maka dengan penuh kesabaran kesyukuran dan ketenangan jiwa, kita mendi-rikan solat, dan melaksanakan urusan pekerjaan kita sebagai ibadah kepada Allah Ta`ala dengan dada yang lapang dan jiwa yang penuh dengan perasaan khusyu’ serta tawadu’ kepada Allah S.W.T. kita menghadapi Allah Ta`ala bermunajat terus menerus diantaranya dan diantara murid, maka disana kita akan dapat mutiara ditengah mata yang sangat-sangat besar nilainya iaitu Mukasyafah, Munadharah, Musyahadah dan Makrifah serta lain-lain lagi yang berada pada garisan hakikat sana.

ISTILAH-ISTILAH SUFI.

Dan setengah daripada istilah Sufi itu adalah seperti berikut.

1. Al-Ittishal – Yakni berhubung ‘Nur Ittishal’ itu ‘mukasyafah hati’ dan ‘musyahadah sir’ kata setengah mereka itu ‘Ittishal’ tiada memandang hamba akan yang lain daripada Allah SWT yang menjadi akan dia, dan tiada berhubung rahsianya itu dengan lintasannya bagi yang lain daripada Allah SWT jua.

2. Wusul ilallah – Yakni setengah daripada istilah mereka itu sampai kepada Allah, Murad daripada sampai kepada Allah itu sampai kepada mengenalnya, yakni mengenal akan tiada yang berbuat, berlaku pada ‘kaun’ ini yang mempunyai sifat dan maujud melainkan Allah dengan ‘zauq’ dan ‘wujdan’ tiada dengan ‘dalil’ dan ‘burhan’.

3. Muraqabah – iaitu mengekalkan pengetahuan hamba dengan Allah SWT, melihatnya atas sekalian kelakuannya, atau dikatakan erti muraqabah itu, iaitu menfanakan hamba akan Af’alNya, sifatNya dan zatNya didalam Af’al Allah Shifatnya dan ZatNya.

4. Musyahadah – iaitu melihat akan Allah SWT yang sebenarnya didalam tiap-tiap ‘zarrah’ dari ‘zaratul wujud’ ini, serta disucikan daripada barang yang tak patut dengan kebesarannya.

5. Syuhud – iaitu melihat ‘Haq’ dengan ‘Haq’.

6. Tajalli – iaitu barang yang dibukakan bagi hati orang yang ‘salik’ daripada beberapa Nur yang datang daripada Ghaib, jika dari zatNya dengan tiada ‘I’tibar Shifat’ dinamakan ‘Tajalli Zat’, jika daripada Shifat dinamakan ‘Tajalli Shifat’, jika daripada ‘Af’al’ dinamakan Tajalli Af’al maka ‘Tajalli Asma’ itu, iaitu barang yang dibukakan bagi yang salik setengah daripada ‘asma’ Allah Ta`ala. Maka jadi hilang ‘salik’ itu dibawah ‘Nur’ demikian “Isim” itu sekira-kira jadilah apabila diseru oleh ‘Haq’ dengan demikian ‘isim’ nescaya disahut oleh orang yang di salik itu, “tajalli Shifat” itu barang yang dibuka oleh Allah SWT satu Shifat daripadanya bagi hati orang yang ‘salik’ (murid). Adalah yang demikian itu kemudian daripada Fana’ Shifatnya umpamanya jika Tajalli Allah Ta`ala dengan ‘shifat sama’ maka jadilah orang yang ‘Salik’ itu mendengar daripada sekalian yang ‘maujud’ yang bersuara seperti binatang dan yang tidak bersuara seperti kayu, batu dan lainnya. ‘Tajalli Af`al’ itu, iaitu barang yang dibuka oleh Allah bagi hati Salik daripada Af’al Allah Ta`ala sekira-kira dilihat sekalian perkara itu berlaku dengan Qudrat Allah Ta`ala. Ialah yang menggerakkan dan mendiamkan akan sebagai shuhud yang ‘Khali’ yakni sunyi lagi ‘zauqi’ tidak mengetahui melainkan ahlinya.

“Maka di sinilah tempat tergelincir orang yang salik kerana ia menafikan perbuatannya sekali-kali. Maka hendaklah sangat-sangat memegang akan syariat.”

7. Isyq – iaitu cita-cita hati kepada mendapat kekasihnya.

8. Mahabbah – iaitu cenderung hati kepada mendapat keelokkan”Hadrat Ketuhanan”.

9. Haal – iaitu barang yang datang atas hati orang yang salik daripada suka atau duka atau hebat, jika pergi-datang tiada tetap dengan tiada diperbuatnya dan tiada diusahakannya dinamakan ‘Haal’, jika kekal jadilah tabiatnya dinamakan ‘Maqam’ maka ‘Haal’ itu pemberian dan ‘Maqam’ itu dengan diusahakan.

10. Ilmu Yakin – iaitu ilmu yang hasil dengan ‘dalil’ dan ‘aqal’.

11. Ainul Yakin – iaitu pengetahuan yang dihasil dengan dilihatnya.

12. Haqqul Yakin - iaitu ‘Fana’ sifat hamba pada Tuhan dan ‘Baqa’ dengannya.

13. Ath-Thamsu – Iaitu hilang, yakni hapus segala tanda sekalian pada sifat Allah, iaitu satu bagi daripada ‘Fana’.

14 Al-Jam`u – iaitu ‘Syuhud’ akan segala perkara dengan Allah Ta`ala dan melepaskan dirinya daripada daya dan upaya kepada Allah Ta`ala.

15. Jami`ul Jami` - iaitu memfanakan akan dirinya, dan segala akuan tiada ada melainkan Allah Ta`ala iaitu yang dinamakan “Martabat Ahadiyah”,

16. Al-Gharaqul Awwal – iaitu hal ‘salik’ melihat akan makhluk terdinding daripada ‘Haq’ maka tiada ia melihat melainkan makhluk jua.

17. Al-Gharaquts Tsani – iaitu hal orang yang ‘muntahi’ melihat berdiri sekalian makhluk dengan ‘haq’ dan melihat ia akan ‘wahdah’ pada ‘kastrah’, dan melihat pula ‘kastrah’ pada ‘wahdah’ tiada mendinding salah suatu daripada lainnya.

18. Tajrid – iaitu sunyi hati daripada yang lain dan segala akuan pada hatinya dan ‘sirr’nya.

19. Taqwa – iaitu menjauhkan daripada tiap-tiap yang berdosa daripada perbuatan dan mengekalkan suruhannya. Iaitu orang yang awam dan taqwa orang yang ‘khawash’ itu menyucikan hati daripada tiap-tiap yang membimbingkan selain daripada Allah.

20. Himmah – iaitu berhadap hati dengan segala kuatnya yang ‘Ruhaniyi’ kepada yang sebenar supaya hasil ‘kamal’ baginya atau bagi yang lainnya.

21. Ikhlash – iaitu disamakan perbuatan pada zahirnya dan batinnya, atau menunggalkan ‘Haq Subhanahuwata`ala’ pada mengerjakan taat, atau menyucikan hati daripada melihat akan dayanya dan upayanya.

22. Shidq – iaitu disamakan zahir dan batin atau dikatakan: “Dibenarkan qashadnya serta Tuhannya, tiada dihiraunya barang yang datang daripada kecelaan daripada makhluk”.

23. Al Haibah – iaitu membesarkan haq Ta`ala dengan menghinakan makhluk pada matanya, dan demikian ‘Ta`zhim’, iaitu dengan membesarkan ‘Haq Ta`ala’ dengan menghinakan makhluk.

24. Munajah – iaitu berkata-kata sirr tatkala jernih hati serta Tuhan raja yang amat keras.

25. Shalih – iaitu berdiri dengan sekalian “huququllah” dan hak-hak hamba, senantiasa atas mengerjakan taat dan menjauhkan segala tegah serta memutuskan nafsu didalam keinginannya.

26. Wali – iaitu mereka yang diperintahkan segala pekerjaannya. Dan alamat wali itu, mereka yang lemah lembut lidahnya, baik perangainya, manis mukanya, murah nafsunya, sedikit perbantahannya, menerima keuzuran orang yang salah kepadanya, dan seumpama kasih sayang atas segala makhluk Allah, kata Muhammad anak Sahal anak Atha’ Rahimahullah Ta`ala: “alamat wali itu empat perkara:

a. Pertama : memelihara Sirr antaranya dan antara Allah Ta`ala.

b. Kedua : memelihara segala anggota pada barang yang diantaranya dan antara suruhan Allah Ta`ala.

c. Ketiga : menanggung kesakitan barang yang dian-taranya dan diantara segala makhluk Allah Ta`ala.

d. Keempat : Meraikan segala makhluk atas kadar bersalah-salahan aqal antara mereka itu.”

27. Al-Tashawaf - iaitu berhenti serta adab syariat yang zahir dan batin. Maka ia melihat akan hukumnya daripada zahirnya didalam batinnya, yang batinnya pada zahirnya. Maka shahih daripada dua hukum itu, sempurna yang tidak sempurna kemudian daripadanya atau dikata: “Jernih zahir daripada dosa dan jernih batin daripada aghtar”.

28. Ash-Syariah - iaitu mengerjakan segala yang disuruh oleh Allah Ta`ala dan menjauhkan segala yang dilarang oleh Allah.

29. Asyid dan Masyuq – iaitu yang dimaksud dengan ‘Asyid itu iaitu seperti umpama yang menilik cermin, yang dimaksud dengan ‘ma`shuq’ iaitu rupa yang kelihatan dalam cermin, maka menilik cermin itu iaitu umpama zat Allah. Cermin yang jernih itu, iaitu ‘A`yan Tsabitah’. Rupa yang kelihatan dalam cermin itu ‘Wujud Idhafi’ ialah yang diberahikan (yang dicintai, Pen: ) oleh ‘A’yan Tsabitah’.

30. A`yan Tsabitah – iaitu ibarat daripada haqiqat segala asyya (bahagian-bahagian, Pen: ) Pada martabat ilmu. Sekali-kali tidak ‘maujud’, tetapi adalah ia ‘ma’dum’ yang tsabit didalam ‘ilmu Haq Ta`ala’. Sekali-kali ia tiada keluar jadi ‘A`yan Kairiyah’, tiada zahir jadi ‘wujud aini’ tetapi adalah ia kekal atas halnya didalam ‘buthun’, iaitu ‘Syuun Zat’ yang nyata pada mertabat Wahdah dari kerana adalah ‘buthun’ itu ‘zatiyi’ baginya. Dan yang zhahir jadi ‘A`yan Khariyah’ itu segala hukumnya, atsarnya dan lawazimnya sengan sebab wujud Haq Ta`ala, dari kerana tiada dari sana wujud, hanya wujud Haq Ta`ala.

31. A’yan Khairijiyah dan Ilbas – iaitu barang yang ta`alluq oleh lafaz ‘kun’ dinamakan ‘Alam’, dinamakan pula ‘Zhilluts Thani’, ‘Ka-inat’ pula namanya, ‘Maujudat’ pun namanya, dan ‘Makhluq’ pun namanya.

32. Huwiyah – iaitu Zat Nya yang semata-mata dengan sekira-kira zat jua, tiada dii`tibar dengan shifat dan tiada dii`tibarkan pula dengan tiada shifat. Dinamakan pula ‘Haqiqatul Haqaiq’. Jika ia dii`ktibarkan ia sunyi daripada segala shifat yang lebih atas zat dinamakan ‘Ahadiah’ dan dinamakan ‘Al-`Ama’ pula. Jika dii`ktibarkan bershifat dengan segala ‘Shifat Kamalat’ maka dinamakan ‘Wahidiyah dan ‘Ilahiyah’. Segala shifat Tuhan itu jika ta`alluq dengan kasih sayang dan rahmat dinamakan dengan ‘Shifat Jamal’”. Atau bergantung ia dengan ‘Qahhar’Nya dinamakan ‘Jalal’.

33. Sakrah dan Shahwun – iaitu Sakrah itu mengeras atas halnya. Yakni mengeras atasnya ‘mabuk’ kerana ingat kepada kekasihnya. Shahwun itu kembali ia kepada halnya, yakni kepada mendirikan pada `ubudiyah.

34. Mahwun dan Itsbat, Mahwun – iaitu hilang segala shifat dirinya. Itsbat itu menyabitkan barang yang didatangkan atasnya daripada segala bekas kasih.

35. Murid dan Murad – Murid itu iaitu salik yang berkehendak. Murad itu Yang dikehendaki, iaitu Allah Ta`ala.

36. Ilmu Laduni – iaitu ilmu yang hasil dengan tiada diusaha. Ilmu daripada Allah kepada HambaNya `Arifin.

37. Tauhid – iaitu mengesakan Allah pada wujudNya. Adalah bagiNya empat bahagian.

a. Pertama : Tauhid Uluhiyah.

b. Kedua : Tauhid Af`al.

c. Ketiga : Tauhid Shifat.

d. Keempat : Tauhid Zat.

Tauhid Uluhiyah itu mengesakan Allah pada ketuhananNya. Tauhid Af`al itu mengesakan Allah pada perbuatanNya. Yakni dialah yang berbuat dan melakukan pada ‘kaun’ ini dengan zauq dan wijdan.

Tauhid Shifat itu, iaitu mengesakan sifat bagi Allah. Yakni tiada yang hidup, tiada yang `alim, tiada yang kuasa, melainkan Allah Ta`ala. Hilang daripadanya segala shifat dirinya, daya dan upaya dirinya.

Tauhid Zat itu, iaitu tiada ada maujud melainkan Allah. Tiada dilihat akan wujud yang lain daripada wujudNya. Tiada dilihat wujud dirinya, dan tiada dilihat adamnya.

Kata Syeikh Abu Mawahib Muhammad Zainal Abidin Ibni Muhammad Al-Ghamari Rahimahullah Ta`ala didalam kitabnya yang bernama ‘Minahul Ilahiyah’. Bermula tauhid itu empat martabat:

(1) Pertama : للها لاا هلالا serta lalai daripadanya atau serta mengengkarinya, seperti tauhid orang yang munafiq.

(2) Kedua : Tauhid segala `Awamul Muslimin, iaitu menyebut, للها لاا هلالا serta membenarkan pada hatinya akan yang demikian itu.

(3) Ketiga : Tauhid orang ‘Muqarrabin’ iaitu jalan kasyaf dengan perantaraan “Nurul Haq”. Seperti, ia melihat akan segala perkara itu keluar sekaliannya dari Allah Ta`ala dengan halnya.

(4) Keempat : Tauhid ‘Khawashul Khawash’ iaitu bahawa tiada dilihatnya pada wujud ini melainkan Tuhan yang Esa. Dinamakan ‘Ahlush Shufi’, ‘fana’ didalam tauhid. Tiada dilihat akan dirinya sebab melihat akan Tuhannya. Dan inilah Sehingga–hingga nya didalam ‘Ilmu Kasyaf’, iaitu ‘Musyahadah orang yang Shiddiqin’.

KHATIMAH

Ketahui olehmu!

Setengah daripada yang terdapat tiada bagi orang yang murid, yang ia hendak berjalan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, jalan Ahlullah, iaitu bahawa hendaklah melazimkan diri dengan “Adab syari`at” Nabi kita Muhammad saw. Yakni memelihara segala perkara yang disuruh dan yang ditegah. Kemudian maka masuk ia pada “Tariqat Nabi Kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, yakni mengikut akan jalan yang dikerjakan oleh nabi daripada amal, atas sekuasa-kuasanya. Tiadalah maqam yang terlebih daripada mengikut Nabi SAW pada perbuatannya, tegahnya, kelakuannya dan perangainya. Tiada dapat sampai kepada Allah melainkan mengikut Nabi kita SAW kerana ialah Arifin, yakni mengetahui dengan barang yang terlebih afdhal, terlebih kasih bagi Allah, barang yang menghampirkan dirinya kepada Allah, dan kepada ridha Nya. Sesungguhnya telah berjalan ia dengan Dia bagi dirinya (dengan) demikian jalan itu. Barangsiapa mengikut akan dia padanya, maka tiada maqam yang terlebih afdhal daripada maqamnya. Setengah daripadanya dapat kasih Allah Ta`ala seperti firman Allah Ta`ala didalam surah Al-Imran ayat 31:

ُكْبِبْحُي ْيِنْوُعِبَّتاَف َﻟﻠﻪا َنْوُّبِحُت ْمُتْنُك ْنِا ْلُقُﻟﻠﻪا ُم. 86

“Katakan olehmu ya Muhammad! Jika ada kamu kasih akan Allah, Maka ikut oleh kamu sekalian akan daku nescaya dikasih akan kamu oleh Allah Ta`ala.”

Dari kerana inilah ada ia terlebih besar lalai hamba itu, lalai hamba daripada Tuhannya dan lainnya daripada suruh Tuhannya dan tegah Tuhannya dan lalai daripada mu`ammalahnya serta Tuhannya. Barangsiapa lalai akan Tuhannya barangkali membawa kepada kufur, wal`iyazu Billah Ta`ala. Kemudian yang mengiringi lalai akan suruh Tuhannya dan tegahNya. Kemudian yang mengiringi pula lalai daripada beradab serta Tuhannya.

Kata Ahlut Tashawuf Radhiallahu `anhum, “Barangsiapa tiada memeliharakan ‘ushul’ nescaya diharamkan ‘wushul’ ” Yakni, barangsiapa tiada menjalani dengan “thariqat Nabi saw” nescaya diharamkan sampainya. Dikehendaki dengan ‘ushul’ itu Quran dan Sunnah, ialah thariqat Nabi saw. Maka tiap-tiap yang dikerjakan oleh seseorang daripada sembahyang puasa atau lain daripada kedua-duanya, maka terdapat tiada daripada ia melihat akan asalnya. Yakni diadukan dengan asalnya dengan yang dikerjakan oleh Nabi saw dan diketahui akan hukumnya pula. Maka dengan dia hasil cabangnya, dan buahnya, yakni dinamakan amal dan dapat manis ibadah. Dengannya diberi balasan amalnya. Kata setengah Arifin: “Tiap-tiap ibadat tiada baginya pahalanya didalam dunia tiada dibalas pula diakhirat, dan dikehendaki daripada pahala pada dunia itu, iaitu dapat manis yang mengerjakan itu tatkala mengerjakan dia”

Kata Ibnu Athaillah pada Hikamnya

ِلْوُبُقلا ِدْوُجُو ىلَع ٌلْيِلَد َوُهَف ًلاِجاَع ِهِلَمَع َةَرْمَث َدَجَو ْنَم

Ertinya: “Barangsiapa mendapat buah amalnya segera, maka iaitu tanda atas peroleh kabul pada akhirat jammah.”

Maka tiada hasil manis amal itu melainkan pada “maqam Ma`rifat” yang khas; yang tiada dapat berhimpun dengan dia maksiat daripada riya’, ujub, dan lainnya. Tiada sampai ‘maqam manis’ mengerjakan amal melainkan dengan mengekali akan dia atas kelakuan yang dibencinya, dan yang diberat oleh nafsu dengan lawannya. Kerana tiada daripada segala kebajikan melainkan dibenci dan diberatkan dia. Iaitu jalan yang sangat payah dan sukar, yang berkehendak kepada ‘sabar’ pada ghalibnya. Barangsiapa sabar atas payahnya, maka membawa ia kepada mudahnya dan senangnya. Pertama-tama lawanannya akan “hawa nafsu”nya. Kemudian lawannya pula dengan menyalahi akan keinginannya. Kemudian dapat ia bersedap-sedap dengan manis ibadat.

Sesungguhnya tiada dapat ia manis mengerjakan ibadat itu melainkan jika ada “shahih lagi mustaqim”, yakni mufakat dengan syariat, lagi benar atas tariqat, lagi sunyi sdaripadanya riya’, ujub dan sum’ah.

Maka dengan dia mengisyarat firman Allah Ta`ala surah Ar-Rahman ayat 46:

ِناَتَّنَج ِهِّبَر َمَاقَم َفاَخ ْنَمِلَو

Mafhumnya:

“Sabit bagi orang takut akan maqam Tuhannya itu dua syurga”.

Pertama : Syurga yang bersegera, iaitu manis taat, lazat munajat, jinak dengan bahagian daripada mukasyafah dengan sekira-kira maqamnya.

Kedua : Syurga yang bernama tangguh, iaitu yang diberi beberapa bahagi balasan didalam syurga dan tinggi darjatnya.

Maka tiada sayugia bagi murid itu bahawa suka ia dengan manis munajat ibarat itu, bahawa berhenti atasnya, dan jangan diqashadkan pula, akan tetapi sesunguhnya menghasilkan dia kerana dapat tanda shah amalnya, tanda teguh halnya jua, supaya jangan menafikan ikhlasnya. Maka hendaklah cita-citanya itu kepada Allah Ta`ala, tiada kepada yang lainnya, kerana ia setengah daripada hijab pula bagi orang yang salik. Kata Syeikh Qasim al-Jili Rahimahullah Ta`ala, “Ketahui olehmu! Bahawasanya adalah antara hamba dan Tuhannya itu tujuh puluh hijab daripada zhulmah, yakni yakni kelam, dan nur, iaitu kembali kepada hamba jua. Yakni dikehendak daripada hijab itu jauh hamba jua. Yakni perangainya dan nafsunya yang patut bagi mendapat akan Tuhannya.

Berkehendak hamba yang menuntut akan Tuhannya daripada menjalankan nafsunya. Maka dibandingkan setengah ulama yang berjalan kepada Allah itu, umpama orang yang hendak musafir memutuskan segala “marahil”, yakni perhentian. Terdapat tiada bagi orang yang musafir itu daripada dalam perjalanannya daripada “mu`allim” umpama yang tahu dengan jalan itu, berkehendak pula kepada bekal, kenderaan, tolan dan senjata bagi melawan akan seteru dan menakut akan dia. Demikian pula bagi orang yang salik terdapat tiada daripada syeikh yang menjalan akan dia, yang tahu dengan jalan Thariqat yang sudah dijalannya. Maka diketahuinya akan baiknya dan jahatnya. Terdapat tiada daripada bekal pula, iaitu “taqwallah”. Terdapat tiada daripada kenderaan iaitu “himmah”. Terdapat tiada pula baginya tolan. Iaitu saudaranya yang sama-sama berjalan. Terdapat tiada pula daripada senjata, iaitu “Asmaullah”. Iaitu Zikir supaya menakuti akan seterunya, iaitu Syaithan dan hawa nafsu. Seperti orang Musafir lalu ia atas beberapa negeri dan dusun tempat berhenti. Kemudian maka berjalan pula daripadanya kepada tempat yang dikehendaki-nya. Demikian lagi dilalui oleh orang yang salik atas beberapa maqam yang masyhur antara Ahlillah Ta`ala iaitu tujuh maqam:

Pertama : Maqam Zhulumat yang aghyar jua, iaitu dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Ammarah bis Suk’.

Kedua : Maqam ‘Anwar’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Lauwamah’.

Ketiga : Maqam ‘Asrar’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Mulhammah’.

Keempat : Maqam ‘Kamal’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Muthmainnah’.

Kelima : Maqam ‘Washal’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Radhiah’.

Keenam : Maqam ‘Tajalliyatil Af’al’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Mardhiyah’.

Ketujuh : Maqam ‘Tajalliyatish Shifat’, dan Asma’, dinamakan nafsu padanya dengan ‘Nafsu Kamaliah’.

Tiap-tiap satu daripada maqam yang tujuh itu mendindingkan bagi yang lainnya. Yakni barangsiapa adalah ia pada maqam Zhulumat terdindinglah ia daripada Maqam Nur. Barangsiapa ada pada maqam Asrar terdindinglah ia daripada ‘Maqam Kamal’ Demikianlah hingga kesudahannya, barang siapa ada pada Shifat Dan Asma’ terdindinglah dari ‘Tajalli Zat’. Tajalli itu tertegah kerana bahawasanya kedatangan kelam. Seperti orang memandangkan matahari maka yang melihat akan dia tiada dilihat sesuatu yang lain.

Ketahui pula, adalah bagi hati itu beberapa namanya:

Pertama : Shadrun

Kedua : Qalbun

Ketiga : Fu-adun

Keempat : Lubbun

Kelima : Syaghafun

Adapun sebab dinamakan Shadrun kerana ia tempat terbit “Nurul Islam”, seperti firman Allah Ta`ala Surah Zumar ayat 22:

ِهِّبَر ْنِم ِرْوُن ىلَع َوُهَف ِمَلاْسِلاِل ُهَرْدَص ُﻟﻠﻪا َحَرَش ْنَمَفَأ

Mafhumnya:

“Adakah sama barangsiapa dibukakan oleh Allah Ta`ala dadanya kepada agama Islam, adalah ia beroleh cahaya daripada Tuhannya”.

Sebab dinamakan Qalbun, kerana tempat terbit iman, seperti firman Allah Ta`ala didalam surah Al-Mujadalah ayat 22:

َناَمْيِءلاا ُمِهِبوُلُق ْيِف َبَتَك َكِئَلوُأ

Mafhumnya:

“Mereka itulah yang disurat oleh Allah didalam hati mereka itu iman”.

Sebab dinamakan Fu-ad, kerana ia tempat terbit ma’rifat, seperti firman Allah Ta`ala didalam surah Al-Najmu ayat 11:

ىَأَر ُداَؤُفْلا َبَذَك اَم.

Mafhumnya:

“Tiada dusta fu-ad pada barang yang dilihatnya”.

Sebab dinamakan Lubbun, kerana ia tempat terbit tauhid, seperti firman Allah Ta`ala

ىِف َّنِاِقْلَخ فَلِتْخاَو ِضْرَلاْاَو ِتَوَمَّسلاِِلْيلَّا

ِْ لىْوُلاِ ٍتَيَلاَ ِراَهَّنلاَو بَبْللأ

Mafhumnya: “Bahawasanya adalah pada kenyataan itu beberapa tanda bagi segala yang berakal”.

Sebab dinamakan Syaghafun, kerana ia tempat terbit mahabbah, seperti firman Allah Ta`ala. Surah Yusof ayat 30:

ابُح اَهَفَغَش ْدَق

Mafhumnya:

“Bahawasanya telah terlalulah berahi Zulaikha itu kasih akan Yusuf’. Surah Yusuf, ayat 30.

IZZAH

Ini satu pengajaran. Ketahui olehmu hai saudaraku! Bahawasanya permulaan perjalanan tempat menyatakan kesudahannya barangsiapa adalah permulaannya itu kepada Allah, maka kesudahannya sampai kepada Allah. Jadikan olehmu segala ibadatmu itu kepada Tuhanmu mendirikan ‘Ubudiyah jua, tiada kerana hawa nafsu dan kerana maqamat dan lainnya. Barangsiapa mengetahui dengan yakin bahawasanya Allah Ta`ala menuntut akan dia, maka dibenarkan tuntut akan Tuhannya. Barangsiapa mengetahui bahawasanya segala pekerjaannya pada Allah Ta`ala, maka hendaklah dihimpunkan tawakkul, yakni hendaklah menyerahkan segala pekerjaannya itu kepada Allah. Barangsiapa mengetahui bahawasanya terdapat tiada daripada dunia ini binasa, lagi diruntuhkan kejadiannya, ditanggalkan orang yang mulia dan lainnya, maka berpalinglah orang yang berakal hatinya daripadanya, marah dan menjauhkan dia hal keadaannya memberi belakang. Tiada suka ia mengambil akan dia kedudukan dan tempat kediamannya. Adalah orang yang berakal itu, barang yang kekal itu, lebih suka ia baginya daripada barang yang fana’. Telah teranglah cahaya hatinya, maka bencilah akan dunia ini, akan kebesarannya dan kemuliannya. Adalah citanya itu bangkitkan bersungguh-sungguh kepada Allah Ta`ala. Jadilah padanya minta tolong dengan Allah Ta`ala pada berjalan kepadaNya. Senantiasa kenderaan citanya itu tiada tetap ketetapannya selama-lamanya berjalan ia hinggai ia sampai kepada “Hadhratu Qudsi”, kepada ‘hamparan Unsi’, ‘tempat Mufatahah’, ‘Muwajahah’, ‘Mujalasah’ ‘Muhadatsah’, ‘Mushahadah’ dan ‘Muthala’ah’.

Adalah hadrat itu tempat tetap hati mereka itu, kepadanya tempat kembali dan kepadanya tempat kediaman. Dikehendaki dengan ‘Hadhratu Qudsi’ itu tempat yang berkehendak menyucikan semata-mata. Dikehendaki dengan Unsun itu, tempat berjinak-jinak dengan Tuhannya. Dikehendaki dengan ‘Mufatahah’, tempat berbuka rahsia ‘Ilahiyah’. Dikehendaki dengan ‘Muwajahah’ itu, berhadap sebab terangkat ‘Hujub Zhulmaniyah’ dan ‘Nuriyah’ daripadanya. Dikehendaki dengan “mujalasah” itu, sekedudukan sebab sucilah ia daripada dua syirik, dan daripada yang lain daripada Allah Ta`ala. Dikehendaki dengan “muhadatsah” itu, munajatlah sirnya dengan Tuhannya, ia musyahadah akan Tuhannya pada segala ‘zarrah’ daripada ‘zarrat’ yang maujud atas yang berpatutan dengan dia dan musyahadahkan

ْىَش ِّلُكِب ٌطْيِحُم ُﻟﻠﻪاو ٍء

Bermula Allah Ta`ala meliputi bagi tiap-tiap sesuatu. Maka ‘Muthala`ah’ ia akan Tuhannya dengan Tuhannya pada tiap-tiap kelakuannya. Maka inilah segala perkara yang dulapan, ini nugraha Tuhannya bagi hamba yang bersungguh-sungguh ia mengerjakan segala yang disuruhNya dan menjauhkan segala tegahNya hingga kasih Allah Ta`ala akan dia, maka dikurnia segala maqam yang mulia-mulia. Ini yang tiada masuk dibawah ibarat, tiada sampai oleh isyarat dan memikir cita hati, dinamakan “Maqam Jam`il Jam`I wa Fana-il fa-na” dan “baqa billah”. Jika diturunkan kepada langit syari`at dan ‘bumi thabi`at’ maka dengan izinNya dan tamkinNya serta rasikh pada yakin supaya mendirikan hak ‘ubudiyah, tiada ia turun dengan jahat adabnya, lalai, tiada keinginan dan kesukaan tetapi masuk ia pada berjalan kepada Allah dengan Allah dan daripada Allah, dan keluarpun demikian jua. Seperti firman Allah. Surah Al-Israq ayat 80:

ْنِم ْيِل ْلَعْجاَو ٍقْدِص َجَرْخُم ْيِنْجِرْخَاَو ٍقْدِص َلَخْدُم ْيِنْلِخْدَا ِّبَر ْلُقَواًنَطْلُس َكْنُدَلاًرْيِصَن .

Mafhumnya:

Kata olehmu ya Muhammad! Tuhanku, masukkan olehMu Akan daku jalan masuk yang sebenar “, yakni masukkan olehMu Akan daku dengan daya-upaya Mu, tiada dengan daya upaya ku”. Keluarkan olehmu Akan daku jalan keluar yang sebenar “, yakni dengan menyerah diriku bagi kehendak Engkau dan mengikut perintah Engkau bagiku”. Jadikan olehMu bagiku daripada Engkau itu raja yang menolong akan daku, menolong dengan daku”.

َّىلَصَو ِبآَمْلاَو ُعِجْرَمْلا ِهْيَلِاَو ِباَوَّصلِل ُقِفَوُمْلا ُﻟﻠﻪاَو ِهِبْحَصَو ِهِلآَو ٍدَّمَحُم اَنِدِّيَس َىلَع ُﻟﻠﻪا َنْيِمآ ،َنْيِمَلَعلا ِّبَر ﻟﻠﻪ ُدْمَلحاَوَ َّملَسَو.

Insya Allah sampai disini dulu bagi menghuraikan serba ringkas bahagian Tariqat yang pasti dilalui oleh setiap mereka yang ingin menjalani Tariqat mengikut perjalanan Ahlillah (Ahli-Ahli Sufi yang Muktabar) yang sebenarnya, samada daripada zaman Salaf mahupun di zaman Khalaf yang telah sampai kepada Allah S.W.T.

Sekadar inilah yang dapat kami naqal serta ambil pengajaran dan dapat difahami dari guru kami Allahyarham Tuan Guru Sheikh Mahmud Nasri Osmani Kedahi.

Yang membincangkan mengenai tajuk:

“LIKU-LIKU PERJALANAN SUFI” dinamakan risalah ini

“MUTIARA DITENGAH MATA”

MEMBUKA GERBANG PENGAMPUNAN ALLAH

Pernahkan anda salah? Selama hidupnya, seseorang pasti mengalami kesalahan. Jangankan kita, para nabi saja pernah salah koq. Kenapa begitu? Sebab tolok ukur kesalahan itu bukan pada kita, masyarakat, negara, atau pun yang lain melainkan tolok ukurnya adalah petunjuk Allah SWT. Nah, apa yang perlu kita lakukan apabila kita salah? Hal yang paling logis adalah MEMOHON AMPUNAN ALLAH SWT. Apabila setiap hari kita memohon ampun, insya allah, Tuhan Yang Maha Kuasa akan semakin mencintai dan menyayangi kita. Berikut ini adalah doa sholawat untuk membuka pintu ampunan dari Allah SWT dan disusun oleh SYEKH AL QUTUB AHMAD DARDIR AL KHALAWATI R.A.

===ALLAHUMMA SHOLLI WASSALIM WABARIK ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN WAALAA AALIHI ADADA’IN AAMILLAHI WA’IFDHOLIHI===

YA ALLAH BERIKAH SHOLAWAT, SALAM DAN BERKAH KEPADA PEMIMPIN KAMI MUHAMMAD DAN KEPADA KELUARGANYA SEJUMLAH KENIKMATAN ALLAH DAN KARUNIANYA.

Shalawat AL IN’AM ini merupakan doa agar pintu-pintu keni’matan dunia dan akhirat terbuka dan pahala membacanya sangat besar tak terhingga.. demikian dikatakan oleh  Syekh Ahmad Bin Muhammad as-Shawiy.

Kalimat ” sejumlah kenikmatan Allah” artinya: kekuasaan Allah itu berhubungan dengan segala ni’mat dunia maupun akhirat. Sedangkan kalimat ” sejumlah karunia-Nya” artinya: kekuasaan Allah berhubungan dengan seluruh anugerah dunia dan akhirat. Jadi permohonan Shalawat kepada Allah di atas dilimpahkan kepada Nabi Muhammad dengan jumlah shalawat yang tak terhingga.  Tidak ada satu ni’mat maupun anugrah yang ada di alam ini melainkan terjadi dengan kehendak Allah dan anugrah Allah tidak terhingga jumlahnya. Subhanallah.

Semoga pengamal sholawat ini nantinya mendapatkan limpahan rejeki dunia dan akhirat yang tidak terhitung. Amin YRA.

TIDAK MENYESALKAH DIRIMU MEMILIH JALAN YANG SUNYI?

 

islam-prayer-window-lightAlhamdulillah, rasa sukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan sehingga hari ini kita masih bisa hadir menyapa siapa saja yang membaca blog KOS ini. Di tengah kesibukan sehari-hari, kita merasakan bahwa waktu sangat pendek dan tidak cukup. Semua serba cepat sekarang, dan kita merasakan dikuasai oleh waktu. Semua inginnya serba instan. Berkejaran kita terhadap target-target duniawi hingga terasa tidak ada waktu lagi untuk merenung, tiada waktu untuk memaknai dan tidak ada waktu untuk mengendapkan peristiwa-peristiwa sehingga inti sari hakekat peristiwa itu tidak terlihat.

Kapan kita akan hidup wajar? Normal dan apa adanya? Kita bisa menguasai waktu. Kita bisa menjalani proses demi proses dengan kesabaran dan ketelitian yang pada akhirnya tujuan akan tercapai dengan memahami inti sari setiapa kejadian?

Allah Maha segalanya. Waktu dan juga pasangan abadinya, yaitu ruang sesungguhnya ciptaanAllah SWT juga. Keduanya adalah makhluk misterius yang sabar mendidik kita untuk menjadi pribadi. Kita perlu berkolaborasi dengan dua dimensi ini agar terbebaskan dari penguasaan secara sepihak. Kepenatan, kebosananan dan juga kekeringan oase dalam hidup umumnya terjadi ketika seseorang tidak mampu menguasai ruang dan waktu.

Beruntung, Allahu Akbar… Allah Maha Akbar, begitu kita ucapakan, terasa dada kita longgar, terasa kesesakan terurai, terasa ada semangat untuk mampu menguasai diri dari keterhimpitan hidup. Ini rejeki yang besar, yang dipupuk dengan iman karena kita mendapatkan rezeki yang selama ini jarang kita hayati: kesadaran, rasa eling dan waspada terhadap kehadiran NYA melintas ruang dan waktu. Hidup pun bersinar karena kita berani menjalani hidup dengan terad untuk mewujudkan yang terbaik.

Kebersihan hati itu mengundang rahmat daripada Allah. Begitu juga hidayah, yakni sebuah petunjuk yang membimbing seseorang itu untuk dekat kepada Allah. Namun, andainya hati itu sarat dengan dosa dan perilaku dipenuhi noda-noda maksiat, maka mana mungkin kita bisa menjadi kepanjangan tangan untuk berbagi ruang kepada orang lain untuk menerima hidayah…..

Pernah dengar orang yang semakin sesat apabila dia semakin mendalami sesuatu ilmu? Pernah dengar ilmu mantik yakni ilmu logik? Ada manusia yang menjadikan sains itu tuhan, sehingga merasakan kehidupan beragama itu adalah suatu perkara yang kuno, jadul dan kolot. Semua karena dia merasa bahwa logika itu segala-segalanya. Manusia merasa mampu membentuk bahagia dengan uang yang didapat dari hukum ekonomi yang matematis, menyembuhkan penyakit dengan ilmu sains, mencipta tumbuh-tumbuhan, dan juga meramal cuaca.

Semakin bertambah ilmunya, semakin banyak harta bendanya, semakin angkuh dia karena merasa semua bisa dibeli dengan uang. Termasuk kebijaksanaan dan hakekata hidup. Tanpa sedikit dia sadar, ada mata hati yang memberikan simpati karena sedih melihat kebodohannya. Orang punya agama juga, pernah suatu masa menjadi sesat dengan ilmu logikanya. Padahal agama mengajarkan untuk hidup sempurna, jangan hanya berpikir tapi rawatlah yang lebih dari itu yaitu hati nurani….. tafakkur— tadzakkur/berdzikir—tadabbur… itulah tiga aspek untuk menyempurnakan agama.

Ibadah-ibadah akan mampu untuk memberikan ketenangan spiritual. Zikir akan mampu membuat kita menyelami samudra hakikat sejati alam ruhani yang tidak mampu dijangkau oleh dunia logika yang dangkal…..

Saya pernah bertanya pada diri sendiri, “tak menyesalkan memilih jalan sunyi?” Walaupun kadang-kadang jujur saya merasa sangat amat berat dan payah, setiap hari mengaduk-aduk keikhlasan diri. Bahkan harus semakin bersyukur dan sentiasa terus berdoa kepada Allah agar hati itu diperteguh untuk memilih jalan keimanan agar semakin disempurnakan lagi.

Hijrah atau revolusi adalah sebuah pilihan bebas. Dengan kebebasan, kita menentukan pilihan untuk berubah. Perubahan harus terus menerus dilakukan karena semua ini adalah proses. Kita akan semakin peka terhadap kemandegan proses bila senantiasa menyadari bahwa semua ini adalah sementara dan relatiF. Hanya Allah SWT yang Maha Abadi dan Absolut dengan segala kuasanya dalam mendampingi proses manusia untuk berubah.

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [Ar-Ra’d, 13:11]

Ada orang yang mencari hidayah sepanjang hidupnya, dan menemukan secercah cahaya di akhir hayatnya. Tetapi adakah hidupnya sia-sia? Tidak sesekali, bahkan itulah kehidupan yang paling mulia. Mati di dalam keadaan hadirnya cinta kepada Allah yang maha Mencintai Siapapun dan Apapun.

Monggo kita tetapkan langkah dan tekad untuk berproses menyempurnakan diri. Allah itu Maha sabar dan Pengampun. Dakwahilah diri sendiri agar sabar berjalan di jalan sunyi…. setapak demi setapak, karena tongkat sakti sim salabim itu sesungguhnya tidak ada… perubahan tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata…. Setiap perubahan memerlukan waktu yang berproses secara alami di dalam ruang….. Maka bersabarlah..

Semoga kita mampu menjaga tali persaudaraan yang sangat kuat yang menghubungkan hati nurani setiap manusia…tali silaturahim kemanusiaan tanpa membedakan kulit, ras, keturunan, suku bangsa, karena semua perbedaan ini hanyalah aksidensia semata… Dihadapan Allah, kita semua sama…kecuali amal ibadahnya dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu perilakunya menebarkan salam dan perdamaian…. Hingga kita bisa merasakan setitik rasaa surgawi ….“dalam syurga yang tinggi, tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” [Al-Ghaasyiyah, 88:10-11]… Wasaalamualaikum wr wb….

PROSES PEMBERSIHAN DIRI

DI JAWA, KITA MENGENAL TRADISI RUWATAN. DI DALAM KHASANAH MISTIK TASAWUF KITA MENGENAL ISTIGHFAR YANG TUJUANNYA BISA DIKATAKAN SAMA, MESKI TIDAK SAMA PERSIS YAITU: PEMBERSIHAN DIRI DARI DOSA/KESALAHAN SEHINGGA NANTINYA KITA JADI BERSIH LAHIR BATIN.

istighfar kOS

Di dalam pengajaran thariqah kita diajarkan materi ISTIGHFAR 14 (EMPAT BELAS) TEMPAT yaitu istighfar yang dikhususkan pada empat belas tempat lahir dan batin pada diri manusia yang terdiri dari 7 (tujuh) tempat lahir yaitu : Mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, syahwat dan perut dan 7 (tujuh) tempat batin yaitu :

1) LATIFATUL QALBY letaknya berada dua jari di bawah susu kiri, di sinilah letak sifat-sifat kemusyrikan, kekafiran, ketahyulan, dan sifat-sifat iblis. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi Iman, Islam, Ihsan, dan Ma’rifat.

2) LATIFATUR-ROH letaknya berada dua jari di bawah susu kanan, disinilah letak sifat binatang jinak (bahimiyah) yaitu sifat-sifat menuruti hawa nafsu. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan membuang sifat-sifat tersebut di atas sehingga hidupnya tidak menuruti kehendak hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan namun selalu berada di dalam ketaatan kepada Allah SWT.

3) LATIFATUS-SIRRI letaknya berada dua jari di atas susu kiri, disinilah letak sifat binatang buas (syabiyah) yaitu sifat dhalim, pemarah, pendendam. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat kasih sayang dan ramah tamah.

4) LATIFATUL-KHAFI letaknya berada dua jari di atas susu kanan, disinilah letak sifat-sifat pendengki, khianat (sifat syaithaniah). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat syukur dan sabar.

5) LATIFATUL-AKHFA letaknya berada di tengah-tengah dada, disinilah letak sifat-sifat rabbaniyah, yaitu sifat-sifat riya’, sombong, membanggakan diri, memamerkan kebaikan diri (takabur, ujub, sum-a). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat-sifat ikhlas, khusyu’, dan tawadhu’.

6) LATIFATUN-NAFSU NATIQO letaknya berada antara dua kening, disinilah letak “nafsu amarah” yaitu nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan. Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi sifat tentram dan pikiran tenang.

7) LATIFATUL-KULLU JASAD yang mengendarai seluruh tubuh jasmani, disinilah letaknya sifat jahil (bodoh) dan ghaflah (malas beribadah). Jika latifah ini selalu disucikan dengan memperbanyak istighfar maka akan terisi ilmu dan amal.

Adapun cara beristighfar untuk ke-14 (empat belas) tempat sebagaimana tersebut diatas yaitu dengan cara membaca “ASTAGHFIRULLAHAL’ADHIIM MIN KULLI DZAN BIN WA-ATUUBU ILAIH” dengan meletakkan telapak tangan kanan di masing-masing tempat baik lahir maupun bathin sambil menghayati keluarnya kotoran-kotoran dosa yang berada pada tempat tersebut.

setelah membaca 14 istighfar tersebut di atas selanjutnya ditutup dengan membaca “Sayyidul Istighfar” / Penghulu Istighfar:

“ALLAHUMMA ANTA RABBI LAA ILAAHA ILLA ANTA KHALAQTANII WA ANA ABDUKA WA ANA ‘AALA AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHO’TU A-‘UUDZUBIKA MINSYARRIMAA SHONA’TU ABUU-ULAKA BINI’MA TIKA ‘ALAYYA WA ABUU-‘U BIDZAMBII FAGHFIRLII FAINNAHU LAA YAGHFIRUDZ-DZUNUU-BA ILLA ANTA”

Artinya : “Yaa Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak kusembah kecuali hanya Engkau sendiri. Telah Engkau jadikan aku dan aku ini adalah hamba-Mu, dan berusaha sekuat tenaga untuk setia memegangangjanji-Mu.Aku berlindung kepada-Mu daripada kejahatan yang terlanjur yang telah aku lakukan. Aku menyadari akan segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan aku tahu pula akan dosaku, maka ampunilah kiranya aku, karena sesungguhnya tiadalah yang mengampuni dosaku itu hanya Engkau.”

Itu adalah tata cara doa pembersihan diri, langkah selanjutnya adalah PERILAKU SEHARI-HARI atau KELAKUAN KITA SEHARI-HARI HARUS MENCERMINKAN TAUBAT NASUHA (TAUBAT YANG SEBENAR-BENARNYA). Serta mengisinya dengan perbuatan yang baik dan sewajarnya@@@

DOA MEMOHON RASA KASIH SAYANG ALLAH

 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِيْ يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أََحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ

– رواه الترمذي –

ALLÂHUMMA INNÎ AS`ALUKA HUBBAKA WA HUBBA MAN YUHIBBUKA WAL AMALAL LADZÎ YUBALLIGHUNÎ HUBBAKA. ALLAHUMAJ ‘AL HUBBAKA AHABBA ILAYYA MIN NAFSÎ WA AHLÎ WA MINAL MÂ’IL BÂRID

(HR. At-Tirmidzi – 3412)

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kasih sayang-Mu dan sayang kepada orang-orang yang menyayangi-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarku kepada rasa sayang-Mu. Ya Allah, jadikanlah kasih sayang-Mu lebih kusayangi daripada diriku, keluargaku, dan air yang dingin (di padang yang tandus).” (HR. At-Tirmidzi – 3412)

Sayang kita kepada Allah tidak datang begitu saja, melainkan kita harus berusaha untuk memohon dan menggapainya. Orang yang menyayangi Allah lebih dari segalanya, insya Allah akan disayangi oleh semua makhluk di langit dan di bumi. SAYANG ALLAH, Inilah sebenarnya kasih saying sejati dan abadi, baik ketika di dunia, di alam kubur, dan kelak di alam akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, “Bila Allah menyayangi seorang hamba, maka Allah berseru kepada Jibril, “Sungguh Allah menyayangi Fulan, maka sayangilah dia.” Jibril pun menyayanginya. Kemudian Jibril berseru kepada penghuni langit, ”Sungguh Allah menyayangi Fulan, maka kalian sayangilah dia.” Penghuni langit pun menyayanginya. Kemudian ditanamkanlah rasa kasih sayang itu kepada penghuni bumi kepadanya.” (HR Bukhari 5580).

Menggali hikmah rasa sayang, kita akan bertemu dengan kata BISMILAHIRROHMANIRROHIM, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Fatihah: 1). disini ada dua kata yaitu Ar-Rahman adalah sifat bagi-Nya, sedangkan nama Ar-Rahim mengandung perbuatan-Nya, yakni menunjukkan bahwa Dia memberi kasih sayang kepada makhluk-Nya dengan rahmat-Nya, jadi ini sifat perbuatan bagi-Nya. Perhatikanlah firman Allah:

“Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43)

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117)

Allah tidak menyebutkan dengan nama Ar-Rahman sama sekali. Dengan itu, kita tahu bahwa makna Ar-Rahman adalah Yang memiliki sifat kasih sayang dan makna Ar-Rahim adalah Yang mengasihi dengan kasih sayang-Nya. Demikian sedikit uraian semoga ada manfaatnya. Salam paseduluran.