OLAH MANAH

OLEH: MAS KUMITIR

Senja menggelayut di ufuk barat. Saya,  Camat, Raden Rahmat, Nugraha dan Fadli ditemani dua orang yang baru kami kenal bergegas untuk berangkat memulai perjalanan. Dua orang baru itu adalah: satu orang pendekar suku Badui Banten dan seorang muridnya yang berusia belia. Kami berkemantapan bila malam ini adalah malam melakukan perjalanan olah rasa.

Perjalanan terasa lamban dan dua jam kemudian kami sampai pada sebuah tempat yang asing. Dada terasa sesak di malam yang gelap gulita itu. Langit di atas bertabur bintang tidak mampu menyinari jalan setapak yang sebenarnya hanyalah semak belukar. Jalan tidaklah mendaki, namun menuruni batu-batu tajam yang licin. Tidak sepertu saudara dari Badui yang berjalan lincah tersebut, tapak kami terpeleset-peleset dan mencoba bertahan agar tidak terjatuh.  Energi goib terasa semakin kuat.

Mata kedua sedulur Badui tersebut menyorot tajam ke segala arah. Bak elang yang siaga terhadap semua kejadian, kami tenang berjalan di belakangnya. Hingga sampai ke sebuah sungai kecil berbatu. Air terasa sangat dingin, begitu kaki kami celupkan di dalamnya. Tak kuasa rasanya berlama-lama di tempat itu. Namun panggilan membawa kami pada kesimpulan bahwa kami tetap harus disitu memenuhi niat kami.

Kami terpaku sesaat di sungai. Sesepuh Badui yang kami panggil Abah itu, tiba-tiba mengeluarkan suara adzan dan qomat. Dilanjutkan dengan bertawassul mengirimkan al fatihah ke para penghulu agama dan leluhur-leluhur terdahulu. Kami tercenung karena suara sederhana itu menghentikan jantung kami sesaat.

Setelah pakaian dilepas dan bertelanjang, kami menceburkan diri ke air yang diperkirakan sekitar sepuluh derajat celcius tersebut. Abah mengambil posisi duduk, meramu bunga tujuh warna dan membakar buhur. Satu persatu kami diminta untuk berada di depannya dalam posisi berjongkok. Kepala kami diminta untuk menyelam sejenak dan kemudian kepala kami diguyur air bunga tersebut. Doa-doa kepada Allah SWT dilantunkan dari mulutnya.

Itu adalah pengiajazahan langsung yang baru saja kami terima malam tadi. Abah tidak memberi tahu apapun terkait dengan doa yang baru dilantunkannya, apa faedahnya, bagaimana menggunakannya. Kami dalam hati hanya mengucapkan; “Qobiltu saya terima doa dari abah atas ijin Tuhan Yang Maha Kuasa”.

Abah adalah sosok yang tawadu, meski ilmu kependekarannya sudah sangat mumpuni, sehari-hari dia berpenampilan sangat bersahaja. Hampir semua tingkat ilmu diajarkannya kepada siapapun yang menginginkan mulai ilmu debus, ilmu kanuragan/kejadukan, ilmu-ilmu asihan, ilmu kerezekian dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu diajarkannya tanpa pamrih dan hanya ingin bertujuan agar yang diajarinya mau untuk menebarkan kebaikan dan kemanfaatan, amar makruf nahi munkar.

Usianya memang sudah tergolong tua. Namun di Badui, usia seperti Abah masih terbilang belum terlalu tua. Sebab gurunya abah ini masih hidup dan berusia 130 tahun. Hidup dekat dan menyatu dengan alam, hati damai tenang dan tidak banyak keinginan, membuat usia manusia melenggang santai di sana dan tahu-taru berusia seratus tahun bahkan lebih. Abah masih terlihat berusia empat puluhan. Tiada satu keriput pun di kulitnya, giginya masih utuh dan terlihat gagah.

Diijazahi oleh Abah, badan terasa nyaman, sehat dan hati terasa tenang. Ini adalah satu episode perjalanan spiritual yang kami tidak pernah menduga sebelumnya. PANTA RHEI—semua mengalir gemericik sebagaimana aliran sungai menuju ke muara. Kami semua hanya bisa menunggu dengan berkarya sebaik-baiknya sesuai kemampuan dan kapasitas yang diberikan pada kami. Tidak akan kami sia-siakan sisa waktu untuk tidak memaknai apa yang tergelar ini. Hidup adalah tugas untuk meramu arti dan menemukan hakikat.

Dan dari doa-doa yang terlantun dari hati ikhlasnya Abah, kami terasa mendapatkan kekuatan dan semangat baru untuk menyelami hakikat Rasa. Yang empunya rasa ini ialah jasad/jasmani. Yaitu rasa lelah, lemah dan capai. Kalau Rasa lapar dan haus itu bukan milik jasmani melainkan milik nafsu.

Mengapa jasmani memiliki rasa ini?. Karena sesungguhnya dalam jasmani/jasad ada penguasanya/penunggunya. Orang tentu mengenal nama Qodham atau Alif Lam Alif. Itulah sebabnya maka didalam Al Qur’an, Allah memerintahkan agar kita mau merawat jasad/jasmani. Kalau perlu, kita harus menanyakan kepada orang yang ahli/mengerti. Selain merawatnya agar tidak terkena penyakit jasmani, kita pun harus merawatnya agar tidak menjadi korban karena ulah hawa nafsu maka jasad kedinginan, kepanasan ataupun masuk angin.

Bila soal-soal ini kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, niscaya jasad kita juga tahu terima kasih. Kalau dia kita perlakukan dengan baik, maka kebaikan kita pun akan dibalas dengan kebaikan pula. Karena sesungguhnya jasad itu pakaian sementara untuk hidup sementara dialam fana ini. Kalau selama hidup jasad kita rawat dengan sungguh-sungguh kita bersihkan dengan mandi, sebelum puasa keramas, sebelum sholat berwudhu dulu agar tidak menjadi korban hawa nafsu, serta kita lindungi dari pengaruh alam, maka dikala hendak mati jasad yang sudah suci itu pasti akan mau diajak bersama-sama kembali keasal, untuk kembali ke sang pencipta.

Seperti halnya kita bersama-sama pada waktu lahir kealam fana ini. Mati yang demikian dinamakan mati tilem (tidur) atau mati sempurna. Pandangan yang kita lakukan malah sebaliknya. Mati dengan meninggalkan jasad. Kalau jasad sampai dikubur, maka Qodham atau Alif Lam Alif, akan mengalami siksa kubur. Dan kelak dihari kiamat akan dibangkitkan.

Dalam mencari nafkah baik lahir maupun batin, jangan mengabaikan jasad. Jangan melupakan waktu istirahat. Sebab itu Allah ciptakan waktu 24 jam (8 jam untuk mencari nafkah, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat). Juga dalam hal berpuasa, jangan sampai mengabaikan jasad. Sebab itu Allah tidak suka yang berlebih-lebihan. Karena yang suka berlebih-lebihan itu adalah Dzad (angan-angan). Karena dzad mempunyai sifat selalu tidak merasa puas.

Dari mana rasa itu? Apapun yang datangnya dari luar tubuh dan menimbulkan adanya rasa, maka rasa itu dinamakan sejatinya rasa. Jadi sejatinya rasa adalah milik panca indera yaitu mata: Senang karena mata dapat melihat sesuatu yang indah atau tidak senang bila mata melihat hal-hal yang tidak pada tenpatnya. Telinga: Senang karena mendengar suara yang merdu atau tidak senang mendengar isu atau fitnahan orang. Hidung: Senang mencium bebauan wangi/harum atau tidak senang mencium bebauan yang busuk. Kulit: Senang kalau bersinggungan dengan orang yang disayang atau tidak senang bersunggungan dengan orang yang nerpenyakitan. Lidah : Senang makan atau minum yang enak-enak atau tidak senang memakan makanan yang busuk.

Rasa sejati akan timbul bila terdapat rangsangan dari luar, dan dari tubuh kita akan mengeluarkan sesuatu. Pada waktu keluarnya sesuatu dari tubuh kita itu, maka timbul Rasa Sejati. Untuk jelasnya lagi Rasa Sejati timbul pada waktu klimaks/pada waktu melakukan hubungan seksual.

Sementara, Rasa Tunggal Jati sering diperoleh oleh mereka yang sudah dapat melakukan Meraga Sukma (keluar dari jasad) dan Solat Dha’im. Beda antara Meraga Sukma dan Sholat Dha’im ialah : Kalau Meraga Sukma jasad masih ada.batin keluar dan dapat pergi kemana saja. Sementara bila Sholat Dha’im jasad dan batin kembali keujud Nur dan lalu dapat pergi kemana saja yang dikehendaki. Juga dapat kembali dan bepergian ke Alam Lauhul Makhfuz.

Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was. Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad yang tampak oleh mata lahir ini. Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.

Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah menjadi tujuh bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati. Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai.

Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Maka di momen Ramadhan yang akan kita jalani ini kita memulai berlatih agar nanti kita sampai pada tujuan azali kesemua itu yaitu menjadi orang yang bertakwa, Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan Nafi-Isbat dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala.

Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan Sholat Dha’im. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur Allah, tapi bila Sholat Dha’im sudah mempergunakan Nur Illahi. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu Ma’rifat dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Sehari-hari kita berlatih olah manah (orah rasa) dengan cara jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesama manusia.

Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.

Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpilan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah berasal dari Sang Pencipta. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama-sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, dan harus saling tolong menolong karena sesungguhnya kita satu kesatuan dalam keberagaman. Semoga kita mampu untuk menjadi manusia yang wajar seperti ini. Amin.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KHASANAH MISTIK: ILMU KEBAL

Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia. ilmu tersebut banyak digunakan tokoh nasional semasa revolusi. dalam islam, kekebalan masih diragukan keberadaannya.

Peristiwa Mbah Suro tahun 1967 di Nginggil dan peristiwa Lampung adalah dua peristiwa nasional tentang kekebalan. Benarkah ada manusia tak mempan ditembak, dibacok, atau dibakar? Guru kekebalan mensyratkan dikubur hidup-hidup 3 hari untuk menjadi manusia super. Toh ia rontok kalau disabet daun kelor atau digores padi.

Sungguh fantastis. Meski peluru petugas memberondong, para perusuh itu malah maju, dan maju dan sangat dekat. Beberapa orang di antara mereka malahan berteriak, “Ayo, tembak lagi.” sambil menunjukkan peluru yang tak menembusi tubuhnya. Pertempuran berlangsung makin seru dan aneh. Akhirnya, gelap malam melilit kawasan yang rawan itu. Dalam kesunyian, beberapa orang tampak terkapar, tewas. Mereka adalah sebagian dari orang-orang yang kabarnya: tak mempan peluru. Yang lain telah mundur, menyusup ke hutan Gunung Balak. “Kebal”, kata itu kemudian melompat dari mulut ke mulut, penduduk Lampung. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Berapa sebenarnya jumlah korban? Bentrok tentara dengan sekelompok orang — oleh pemerintah disebut “GPK Warsidi” —  memang mengagetkan. Bisa membikin orang tersedak.

Peristiwa itu telah menjadi pembicaraan hangat. Khusus persoalan “kekebalan”, Pangdam Sriwijaya Mayor Jenderal Sunardi berkata, “Ah, kebal apa. Buktinya mereka ditembak, ya, mati.” Pernyataan Pak Mayor Jenderal itu benar. Tetapi masyarakat masih meyakini bahwa Warsidi dan sejumlah anak buahnya memang mempunyai ilmu kebal. Dengar saja penuturan Bambang Saputro, tukang ojek di Way Jepara, Lampung. Ia mengaku menyaksikan dengan “mata kepala” sendiri keanehan tersebut. Dialah orangnya yang mengantar petugas ke sana. Di Talangsari, ia melihat bagaimana Kapten Sutiman, Danramil Way Jepara, menembak langsung orang-orang itu, namun, kata Bambang, “Mereka yang ditembak tidak apa-apa.” Malah kemudian Sutiman yang tewas, terhunjam anak panah.

Suprapto, Kepala SMA Muhammadiyah Sidorejo di Lampung, percaya soal kekebalan dalam kasus GPK Warsidi itu. Ia mendengarkan kisah semacam dari sejumlah saksi mata: bahwa Jamjuri (ini juga anggota GPK Warsidi) tak terlukai peluru. Padahal, Serma. Sudargo telah menembaki Jamjuri hingga peluru habis. Hasilnya hanya luka tak berarti pada kaki Jamjuri, sedang nyawa Sudargo sendiri melayang lantaran dikeroyok. Benarkah ada orang kebal? Dalam sejarah Indonesia, bertaburan kisah kekebalan. Pada perlawanan “Barisan Bambu Runcing” atau “Barisan Muslimin Temanggung” terhadap tentara NICA dan Sekutu, misalnya. Siapa pun yang terlibat pada masa itu pasti mengenal nama Kiai Subkhi.

Seorang kiai yang — menurut K.H. Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Jawa Tengah “selalu berada di depan jika menyerang musuh.” Ketika itu, seruan takbir sahut-menyahut. Rakyat bergelombang-gelombang menyerang Belanda yang bersenjata lengkap, cuma dengan senjata bambu runcing. Tetapi toh mereka maju terus. Termasuk Kiai Subkhi yang menjadi pucuk pasukan. Kendati demikian, kiai asal Parakan, Temanggung, itu selamat.

Menurut Muhaiminan, bukan hanya Kiai Subkhi yang tidak apa-apa. Semua orang yang memegang bambu runcing — seperti Pak Kiai — memang kebal. Tentu saja senjata itu bukan sembarang bambu yang diruncingkan lalu dibawa maju perang. Melainkan bambu runcing yang sudah “diisi” atau istilah lainnya “disepuh”. Yang bertugas menyepuh adalah Kiai R. Sumomihardho, ayah Muhaiminan. Namun, sebelum bambu runcing yang bakal dipakai untuk melawan penjajah itu disepuh, pembawanya harus menghadap tiga kiai lain. Yakni K.H. Abdur Rohman, Kiai Ali, dan K.H. Subkhi. Kiai Abdur Rohman akan memberi nasi manis — nasi yang ditaburi gula putih — pada para prajurit amatiran itu. Ini bukan nasi buat mengenyangkan perut, tapi sebuah asma, yang kadang juga disebut isim. Semacam jimat yang dalam hal ini untuk kekebalan. Kiai Ali memberi asma air wani (wani = berani), yang membikin orang-orang itu menjadi berani dan tak capek-capek. Sedang Kiai Subkhi mengajarkan hafalan doa.

Bismillahi bi aunillah. Allahu ya khafidhu. Allahu Akbar. Masing-masing dibaca tiga kali, lalu menyandang bambu runcingnya. Dengan bimbingan para kiai itu, rakyat bertempur habis-habisan. Ini nampaknya peristiwa sepele. Sebab, tak tercantum dalam buku sejarah — yang memang hampir tak pernah menulis gerakan rakyat. Tetapi banyak tokoh nasional yang telah memanfaatkan jasa para kiai itu: agar memperoleh kekebalan dan keberanian dalam masa revolusi.

Tak kurang dari Jenderal Soedirman, menurut Muhaiminan, pernah datang ke Parakan guna menyepuhkan bambu runcing untuk “Palagan Ambarawa” — pertempuran di Ambarawa. Selain itu, masih ada sederetan nama lain. Misalnya Wongsonegoro (dulu Gubernur Jawa Tengah), Roeslan Abdul Gani, K.H. Wahid Hasyim, Moch. Roem, juga Kasman Singodimedjo. Kiai Muhaiminan, yang menikahi cucu Kiai Subkhi, amat berkesan dengan kekebalan cara Parakan yang banyak menyumbang jasa bagi berdirinya republik ini.

Maka, Pak Kiai pun menamai pesantren yang kini diasuhnya dengan sebutan Pondok Pesantren “Kiai Parak Bambu Runcing.” Cerita kekebalan juga memerciki peristiwa G30SPKI. Dalam kisah ini, bukan para kiai yang jadi peran utama, tapi justru dari kalangan kaum abangan PKI. Mereka yang ditumpas. Seorang yang dulu santri di pesantren daerah Kediri berkisah. Ia sempat menjadi anggota Banser Barisan Serba Guna, yang banyak membantai PKI. Satu saat ia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang-orang PKI yang dijejerkan untuk dieksekusi. “Saya yang mendorong orang-orang itu satu per satu,” paparnya.

Setiap orang PKI yang didorong langsung disambut dengan tebasan pedang algojo. Potongan kepala dan tubuh mereka pun mengotori aliran Sungai Brantas, menggemukkan ikan-ikan di sana. Tiba-tiba para anak muda yang tengah “menumpas” itu menjumpai keganjilan: salah seorang PKI tak mempan dibacok. “Bunyinya trang …, seperti besi yang beradu,” kata santri itu mengenang. Algojo jadi kebingungan. Sesaat kemudian ia meletakkan pedangnya. Lalu menerkam leher korban dan menggiyit tenggorokannya hingga putus. Cerita kekebalan di sekitar peristiwa 1965 terasa semakin hebat lantaran bumbu pengisahannya.

Di Bali, ada yang terpaksa dimintai baik-baik untuk melepaskan nyawanya, karena tak mempan dieksekusi. Memang ajaib. Begitu juga pada eksekusi Mbah Kahar di Pulung, Ponorogo, Jawa Timur. Daerah yang terkenal karena reog serta warok — jagoan setempat. Atau pada mitos Mbah Suro dari Nginggil, desa tepian Bengawan Solo di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Banyak beredar bumbu yang membaurkan antara mimpi, dongeng, dan kenyataan yang konkret. “Mbah Kahar tidak mempan ditembak maupun dipenggal kepalanya,” kata Mislan, yang mengaku menjadi algojo Kahar. Petugas pun bingung. Lalu menyerahkan tugas itu pada Mislan. Sebab, ia juga kebal setelah “bertapa di sebuah gua”. Dengan pedangnya, ia menetak leher Mbah Kahar yang duduk bersila. Dell…, kepala putus, menggelinding sekitar lima meter. Namun, kata Mislan, ajaib. “Pelan-pelan kepala itu menyatu kembali dengan tubuhnya.”

Suasana kacau. Sebab, tak ada lagi orang setempat yang dianggap melebihi “ilmu” Mislan. Algojo itu kemudian mencoba lagi. Begitu kepala korban putus, Mislan membawa kepala itu menyeberangi sungai. Kedengarannya seperti cerita komik. Kalau cerita Mislan benar, Mbah Kahar (juga Mislan) jelas lebih hebat ketimbang Mbah Suro. Tahun 1967, Mbah Suro mencoba membangkitkan PKI. Konon, dukun itu dan pasukannya tak mempan tembakan dan bacokan, asal memakai piandel barang yang diandalkan. Yakni pakaian hitam-hitam, kolor (ikat pinggang Jawa), dan kenthes (pentungan). Setelah geger PKI, ribuan orang berdatangan ke rumah Mbah Suro, mengharap keselamatan. Maka, daerah hutan jati yang kering dan minus itu menjadi semarak. Setiap pendatang pasti membeli tiga piandel, dan minum air dari Gentong Kemiri, agar tak mempan peluru bedil.

Padahal, menurut Mbah Sumi — adik kandung Mbah Suro, semua itu akal-akalan bisnis penduduk setempat. Mbah Suro sebenarnya “hanya dukun biasa”. Kepentingan bisnis dan kepercayaan bercampur baur. Ketika ribuan orang PKI telah dibantai, para pengikut Mbah Suro masih berteriak gagah, “hidup PKI!” Anak-anak, yang berharap agar diberi uang, menjawab, “hidup!” Dengan hanya bersenjatakan kenthes, pasukan hitam-hitam itu berani menghadapi petugas yang menggerebeknya. Pertempuran pecah. Lalu Mbah Suro menyerah. Untuk keperluan eksekusi, dukun itu harus menanggalkan pakaian hitamnya dan mengganti dengan sarung hijau.

Sejenak setelah kematian Mbah Suro, cerita tentang orang kebal pun surut. Namun, rupanya mustahil pupus sama sekali. Pada kenyataannya, kisah kekebalan juga sering menjadi catatan kaki riwayat para tokoh sejarah. Masuk dalam perbincangan, tak soal, apa benar atau sekadar musik pengiring. Tak kurang dari tokoh Teuku Umar, misalnya. Masyarakat Aceh meyakini, tokoh itu tak mungkin ditembus peluru. Begitu kental keyakinan itu. Maka, konon, Belanda sampai merasa perlu membuat peluru emas buat membunuhnya. Eros Djarot juga tak menyingkirkan cerita “peluru emas” itu untuk filmnya, Tjoet Nja’ Dhien. Bung Karno, di mata pengagum fanatiknya, juga kebal. Berulangkali ia menghadapi percobaan pembunuhan, dan… lolos.

Misalnya dalam peristiwa Cikini, atau sewaktu ditembak saat sembahyang Idhul Adha. Lima puluh tahun lagi, siapa tahu cerita di sekitar percobaan pembunuhan itu tumbuh terus, berbunga-bunga. Nama lain yang dianggap memiliki keistimewaan demikian adalah Kahar Muzakar dan Supriadi. Hingga kini, sejumlah penduduk pedesaan Sulawesi Selatan sulit percaya bahwa Kahar sudah lama tewas ditembak. Mereka mengganggap, Kahar masih berkelana entah di hutan sebelah mana. Sedang Supriadi, tokoh pemberontakan Peta di Blitar, bukan hanya dianggap kebal, tapi juga bisa menghilang, raib, tanpa kembali lagi. Manusia Indonesia di masa lalu agaknya sangat akrab dengan soal kekebalan. Di Indragiri Hulu, Riau, Haji Bustami — sebelum bertobat dan menunaikan ibadah haji — mengaku pernah kebal, bisa menundukkan harimau, dan punya tenaga yang mampu untuk mengangkat seekor kerbau. “Ilmu itu saya peroleh dari orang Sakai,” ujarnya.

Sakai adalah suku terasing di Sumatera. Di Kalimantan, suku Dayak sering dibayangkan sebagai orang yang menakutkan. Bukan saja lantaran sumpit beracunnya. Tetapi juga karena ilmu-nya. Masyarakat Kajang yang bermukim di kaki Pulau Sulawesi juga dianggap mempunyai ilmu yang lebih dari sekadar kebal. Di Bali ilmu kekebalan — di sana disebut ilmu kanuragan — juga masih diperdalam. Basisnya tentu saja ajaran Hindu, dengan latihan yoga. Ketika seseorang telah mencapai puncak pemusatan, pengekangan, dan pengaturan pikiran — menurut Anak Agung Putu Suwela, 65 tahun, dari Perkumpulan Raja Yoga Kumala Bhuana, Denpasar — “semua pancaindria akan mati. Tak ada sakit, tak ada panas, tak ada dingin.” Pada tingkat itu, orang luar akan melihat ahli yoga yang demikian ini kebal senjata tajam dan api.

Mencapai tingkat itu tidak gampang. Suwela sendiri baru merasa mantap dengan yoga setelah belajar selama 24 tahun. Ketika seseorang mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebal versi yoga, orang bukan saja tak mempan senjata dan api, juga mampu melihat sesuatu yang bakal terjadi. Plus bisa mengobati orang sakit. Persoalannya adalah, siapa yang tahan bertahun-tahun belajar yoga? Di Bali ada pertunjukan Barong vs Rangda yang diakhiri dengan menikam Rangda bertubi-tubi, dilanjutkan dengan orang mencoba menusukkan keris ke tubuhnya. Namun, dada tak tembus, perut tak sobek. Darah tak mengalir. Lihat juga para penari “Sangyang Jaran” yang kesurupan itu. Bara api pun diinjak-injak dengan kaki telanjang sehingga butir merah memercik-mercik. Sampai sekarang masih bisa dinikmati.

Bagaimana menjelaskan semua itu? Suwela mengatakan, Barong Keris itu bisa dimainkan oleh siapa pun yang kemudian trance dan dikendalikan orang lain yang berilmu. Serupa ini adalah Kuda Lumping dari daerah sekitar Jawa Tengah dan Cirebor. Atau debus dari daerah Banten dan Minangkabau. Inilah satu sisi lain ilmu kebal: seni. Ilmu kebal juga dikejar oleh para peminat seni bela diri. Hampir semua aliran pencak silat di Indonesia meletakkan ilmu kebal atau tenaga dalam di puncak latihannya. Saat ini, sebagian besar peminat ilmu kebal adalah anggota ABRI. Ini diakui oleh para guru seperti halnya Kiai Salik di Banten atau Zen di Jepara. Mislan malah mengaku ikut menyiapkan satu batalyon marinir yang hendak bertempur di Timor Timur (lihat Bisnis Ilmu Kebal). Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia, pada berbagai latar belakang etnis maupun agama. Ada ilmu kebal yang ber-setting sangat Jawa, ada yang sangat Dayak.

Ada yang berwajah Islam, Hindu, atau bahkan ada juga Katolik — misalnya pada anggapan bahwa Slamet Riyadi kebal karena membawa rosario (tasbih). Di Jawa, wesi kuning atau kol buntet adalah nama-nama ajimat yang sangat dicari untuk kekebalan pemiliknya. Sedang pada kalangan hitam, para maling dan perampok, aji poncosuno bumi laku keras seperti halnya aji welut putih yang bermanfaat untuk “menghilang”. Konon, bila seseorang punya poncosuno bumi, kalau dibunuh ia akan hidup lagi pada saat tubuhnya menyentuh tanah. Selain itu, cara kebal yang lebih berbau agama banyak disebut dalam berbagai buku mujarobat yang dijual di kaki-kaki lima.

Yang disebut buku-buku itu, antara lain, sepenggal ayat Quran (Surat An-Naml) yang dituliskan pada kulit kijang, lalu dibungkus dengan kulit lembu, dan dipakai untuk ikat pinggang. Para kiai juga sering memberi berbagai bentuk isim, yang semata berbahasa Arab atau campuran bahasa Jawa. Yang agak jauh dari kesan perdukunan adalah yang dipakai anggota GPK Warsidi. Seorang anggota GPK Warsidi mengungkapkan: mereka memperoleh kekebalan setelah menjalani sejumlah amalan. Di antaranya dengan i’tikaf di masjid selama 40 hari terus-menerus. Pada saat itu mereka hanya boleh makan nasi putih sepiring kecil setiap hari. Juga selalu bersalat tahajud di penghujung malam, serta membaca wirid. Adapun wirid-nya antara lain Surat Yassin ayat 89 Al-Maidah ayat 67, Al-Baqarah ayat 3, dan At-Taubah ayat 2. Dengan itu, menurut mereka, “kami betul-betul mendekatkan diri pada-Nya.”

Bila mereka lulus dari tempaan 40 hari itu, dan tidak memakan barang haram (misalnya dari duit korupsi), “karamah akan datang melindungi kami dari serangan musuh.” Kalaupun toh mati juga, begitu keyakinan mereka, itu “mati syahid”. Tak jelas, apakah ada riwayat Nabi yang dijadikan pegangan untuk soal kekebalan diri. Kalaupun ada, tentu hanyalah hadis yang masih dipertanyakan kesahihan atau keautentikannya. Nabi Muhammad pun luka dan berdarah sewaktu hijrah ke Thaif, ditimpuki batu oleh penduduk setempat. Juga pada Perang Uhud




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262