ILMU PANCAWARNA TUNGAL JATI

assalamu alikum warohmatullah waborakatu..

alhmdulillah puji syukur khadirat Allah subhanahu wata’ala,,

sblumnya salam kenal dari saya manwan al fakir,, kpda EYANG SAMAR,, pini sepuh, lan sdulur sdoyo.

ijinkan sya,, mmbagi sdikit pngetahuan tentang ilmu dari warisan,,nenek moyang qta bngsa indonesia tercinta ini..tdk lain hnya ingin mnambah wawasan,pengetahuan,wacana isi,di dalam LASKAR kita ini,, karna begitu bnyak ke ilmuan yg sya blum tau dluar sana,, dengan bergabung di kwa,, sya mendptkn bgtu bnyk masukan2 baru tmpa harus mengeluarkan kocek berjuta2 untuk memaharinya… trimaksih kami ucpkn kpa sluruh sodara2 kwa di nusantara yg telah menyumbangkn berbagai warisan nnek moyang qita,,sehingga terciptalah wadah kwa shingga mnbah persaudara’an untuk berbagi..

awal mula saya medptkn ijazahan ilmu ini,,sya dptkan dari,,,MUHAMMAD IDRIS NAWAWI tajul alam… dan beliau lah yg mnulis cerita ini,, asal mu’asal dari ilmu pancawarna tunggal jati,,, saya hanya mneruskan pnulisan cerita beliau,ke saudar2 kwa agar bisa dnikmati bersama,menjadi bahan pengetahuan qita akan ilmu2 warisan leluhur bangsa indonesia,,,

mhon mv jika ada yg salah dlam penulisan ini,,, ini hanya sarana pengetahuan saja,,, klo mo percaya moggo.. jika tidak juga mnggo…

Kala kehancuran Majapahit telah diboyong oleh Demak Bintoro, dan peradaban Hindu kian menyusut oleh ajaran Islam, seorang resi agung yang dahulunya menjadi panglima kerajaan Majapahit datang menemui Resi Wanayasa Agung Bimantara Cakra Bumi (julukan Mbah Kuwu Cakra Buana, kala itu) beliau adalah mantan panglima besar Damar Wulan.

Setelah sembah sujud dihadapannya, Damar Wulan, langsung menghaturkan maksud dan tujuannya:

“Duhhh…… Rayi…terimalah hamba sebagai muridmu, sesungguhnya jeng Nabi Muhammad SAW, telah mendatangiku untuk memohon Syafaatmu yang membawa kebajikan dunia akherat, berilah hamba setetes ilmumu wahai putra Siliwangi”.

Lalu Mbah Kuwu Cakra Buana, menengadah wajahnya ke atas dan dilihatnya di alamul Lauh Mahfudz, nama Damar Wulan, telah tercatat sebagai Insanul Jannah di akhir hayatnya kelak. Maka beliaupun men-Syahid Damar Wulan, dan diberikannya ilmu ke Ma’rifatan berupa “Pancawarna Tunggal Jati”.

Selang seminggu kemudian Damar Wulan, datang kembali menemui gurunya Mbah Kuwu Cakra Buana: “Wahai Wali Allah,,,sungguh mulia sekali ilmu Pancawarna Tunggal jati, yang kau berikan kepadaku….. Dahulu saya berpikiran bahwa ilmu yang ada padaku sudah kurasa cukup, namun dengan adanya ilmu Pancawarna Tunggal Jati, semuanya tiada berarti sama sekali. Kini aku sudah maujud dengan apa yang ku cari selama ini, semoga pulau Jawa, akan menjadi bagianmu kelak”. Lalu Damar Wulan-pun menghilang dan tidak pernah kembali lagi.

Dikisahkan pula pada abad 14, dimana para WaliSongo, sudah menduduki maqomnya masing-masing, salah satu dari putra Prabu Siliwangi, yang bernama Kian Santang, malah sebaliknya bertolak belakang dengan sifat kakaknya Prabu Walang Sungsang atau Mbah Kuwu Cakra Buana, yang terkenal arif dan bijaksana.

Kian Santang, dengan jiwa mudanya selalu berambisi untuk menjadi orang No-1 dalam ilmu kesaktian, beliau juga tak segan menantang siapapun yang dianggapnya sakti, baik yang berasal dari aliran putih maupun hitam. Bahkan dimana beliau kedapatan kabar, ada salah satu orang sakti di suatu daerah, beliau langsung mendatanginya untuk mengadu ilmu kesaktian.

Tak jarang para resi dan pertapa lainnya menjadi tumbal kesaktiannya juga para jawara maupun pembunuh bayaran yang benci akan ulahnya tak luput kena getahnya pula.

Hingga di suatu hari beliau kedapatan informasi bahwa di daerah Mekkah, ada salah satu jawara pilih tanding yang terkenal akan kesaktiannya. Tanpa buang waktu beliaupun langsung terbang menuju arah yang dimaksud.

Disini Allah SWT, telah menunjukkan jalan terang baginya, karena sesungguhnya yang di cari Kian Santang, adalah Saiyidina Ali RA, Sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kurun dan waktunya sudah jauh berbeda.

Namun atas keagungan-Nya… Saiyidina Ali RA, diturunkan kembali ke bumi untuk membuka hidayah baginya menuju jalan yang di ridhoi Allah SWT.

Sesampainya di tanah suci Mekkah, Kian Santang, langsung bertanya kepada seorang kakek pembawa tongkat: “Wahai kisanak,,,,taukah anda dimana tempat tinggalnya Ali, yang katanya mempunyai ilmu kesaktian luar biasa?”

Yang ditanya diam saja dan sambil menancapkan tongkatnya ke tanah, sang kakek tadi langsung meninggalkan Kian Santang, seorang diri.

Dalam hati Kian Santang, berkata!! Pasti orang ini tahu dimana Ali, berada, maka di kejarlah kakek tadi: “Wahai kakek jangan bikin aku gusar,,,,tolong katakan di mana rumah Ali”. Dengan nada kasar.

“Wahai anak muda, memang aku tahu di mana Ali, berada, namun tolong ambilkan tongkatku,,,aku lupa membawanya” sambil sang kakek menunjuk tongkatnya yang beliau tancapkan tadi.

Kian Santang, dengan entengnya mendatangi tongkat sang kakek, yang tak lain adalah Saiyidina Ali RA, sendiri,,,, Beliaupun langsung mencabutnya. Namun……….apa yang terjadi…..Jangankan tongkat itu tercabut,,,bergerakpun juga tidak.

Berkali-kali Kian Santang, merapalkan ajian untuk bisa mencabut tongkat itu namun semuanya sia-sia. Tahu siapa yang dihadapinya saat ini,,,, beliaupun langsung sujud di kaki Saiyidina Ali RA.

“Wahai kisanak,,,aku mengaku kalah dan ijinkan aku pulang”

Dengan rasa malu Kian Santang, langsung cabut diri, beliau merapalkan ajian terbangnya. Namun lagi-lagi ilmu yang di milikinya tak bisa membawanya pulang. Bahkan bukanya dia langsung raib seperti biasanya, malah sekarang dirinya seperti katak sedang berjongkok, diam dan masih di tempat semula.

Dengan tersenyum Saiyidina Ali RA, berkata: “Kisanak, bila engkau ingin pulang, ada satu ilmu yang bisa menghantarkanmu sampai ke pulau Jawa”.

Merasa dirinya ada harapan,,,, maka di turutilah ucapan sang kakek tadi dan setelah keduanya singgah di salah satu bangunan tua, Saiyidina Ali RA, yang sudah mengenalkan jati diri kepada Kian Santang, mulai mengajarkan Kalimat Syahadatain dan Hakikat Bismillahirrohmanirrohiim.

Selang beberapa hari kemudian Saiyidina Ali RA, menyudahi pengajarannya:

“Wahai Andika, kini sudah saatnya kau pulang, carilah orang yang tubuhnya bercahaya (Nur ke- Walian) berikanlah sorban dan batu ini (kenanga lonjong) padanya, sesungguhnya dialah bagian dari darah putraku Husen. Mengabdillah padanya”.

Dengan menghaturkan sembah bakti, Kian Santang, langsung terbang menuju pulau Jawa. Siang malam beliau terus mencari orang yang bakal menjadi gurunya kelak, rasa haru dan ingin segera bertemu membuatnya haus akan Islam semakin bertambah.

Berbulan-bulan beliau terus mencari dari satu tempat ke tempat lainnya, namun apa yang dicarinya belum juga di ketemukan. Teringat akan kakandanya yang sudah lebih dulu masuk islam, beliaupun langsung mendatanginya guna minta petunjuk atas ciri dari orang yang selama ini di carinya.

Tepatnya pada malam 10 As-Syura tahun 1421M, dimana masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, sedang menggelar Tasyakkur Akbar, atas pergantian tahun Islam, ditengah keramaian umat manusia, seberkas cahaya terang benderang telah menahan kaki Kian Santang, yang akan menuju rumah kakandanya. Ya….Cahaya itu datangnya dari dalam masjid Agung.

Dengan hati berdebar Kian Santang, membelokkan langkahnya menuju pintu dalam masjid, semakin dekat cahaya itu semakin menyilaukan matanya hingga beliau tak sadar kakinya terjatuh atas banyaknya orang yang berlalu lalang di dalam masjid.

Secara spontan Kian Santang, berkata sangat keras!!: “Wahai Nurulloh…..Wahai Waliyulloh….Wahai Ma’rifatulloh…Wahai orang yang mempunyai darah Saiyidina Husen!!!!” Tak ayal ucapannya ini membuat semua orang yang hadir tertuju padanya.

Dengan keadaan masih terduduk karena terjatuh tadi, tiba-tiba Mbah Kuwu Cakra Buana, sudah berada dihadapannya.

Melihat keyakinannya yang begitu matang serta perjalanannya yang cukup lama dalam mencari seorang guru Mursyid, Allah- pun membutakan mata kasarnya dan menggantinya dengan hati Muthmainnah keagungan, sehingga sewaktu melihat apa yang ada di hadapannya saat itu, beliau hanya melihatnya Nur (cahaya ke Walian) yang begitu besar dan agung.

Kian Santang, langsung menubruknya sambil menangis hesteris: “Ya Allah, jadikanlah aku muridnya, dan jadikanlah aku dalam Syafaatnya, sesungguhnya aku tak mampu jauh darinya, Kau sudah menemukan apa yang aku cari selama ini, satukanlah diriku dengan guruku selama-lamanya”.

Dengan perkataan Kian Santang, barusan, semua yang hadir langsung berucap “Asyhadu Anlaa Ilaha Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh!!” Kalimah inilah yang biasa di pakai para Waliyulloh, dimana ada salah satu orang yang diangkat derajatnya menjadi Waliyulloh A’dzom.

Setelah sorban dan batu Kenanga Derajat, pemberian Saiyidina Ali Ra, diserahkan kepada kakaknya, Kian Santang, mulai mengabdi. Dan sejak itu pula beliau tidak pernah satu kalipun memanggil Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan panggilan kakak, melainkan beliau memanggilnya dengan sebutan, Syaikhun Kamil atau Syeikhina Ruhul ‘Adzom.

Lima belas tahun Kian Santang, mengabdi kepada kakandanya, dan selama itu pula beliau tidak pernah berani menanyakkan sesuatu apapun kecuali gurunya sendiri yang meyuruh.

Pada suatu malam Mbah Kuwu Cakra Buana, memanggil adiknya Kian Santang: “Adikku….kau kini boleh pergi,,,kurasa ilmumu sudah cukup, sebarkanlah Islam, sebagaimana Rosululloh SAW, mengajarkan pada umatnya”.

“Bila selama kau ikut denganku ada yang musykhil atau kurang paham, katakan saja padaku sehingga hatimu bersih dari sifat Tadbir/hayalan” Dan dengan sifat khiidmat, Kian Santang-pun bertanya secara hati-hati.

“Guruku yang di hormati Allah, memang benar apa yang Syeikh, katakan tadi, sesungguhnya selama ini ada ganjalan yang selalu membebani hatiku. Bila Syeikh berkenan menjawab, saya hanya ingin tahu amalan atau ibadah yang bagaimana sehingga sewaktu pertama kali ku bertemu, tubuh Syeikh sangat bersinar terang. Dan mengapa Saiyidina Ali RA, mengatakan bahwa Syeikh,, bagian dari darah Saiyidina Husen” .

Dengan senyum mengembang, Mbah Kuwu Cakra Buana, menerangkannya: “Adikku, siapapun itu orangnya, bila kita telah diakui oleh alam semesta, niscaya maqomatlah yang menjadi baluran bajunya, dan dimana mereka ditempatkan, maka semuanya tunduk atas karomahnya, tak lain semua itu berawal dari derajatku sendiri, Pancawarna Tunggal Jati”.

“Allah, telah menempatkan Asbabnya masing-masing, dan Allah, tidak pernah melihat hambanya dengan ibadah lahir maupun ilmu kulit, melainkan Allah, akan selalu melihat hambannya dengan cara ketundukkan hamba itu sendiri sebagai Thobaqo Antobaqnya manusia terhadap Tuhannya. Sebagai ahli Jawa, Allah, telah mengutus Malaikat Jibril AS, yang di sampaikan kepada Nabiyulloh Hidir AS, guna menjumpaiku, dengan memberikan ilmu Pancawarna Tunggal Jati. Ilmu ini bagian dari sastra alam semesta, dimana ilmu ini telah menyatu, maka seluruh alam semesta tunduk dalam genggaman tangan (Quthbul Muthlak)”

“Sedangkan mengapa Aku di sebut sebagai titisan darah Saiyidina Husen. Semua tak lain, karena keturunanmu dan keturunanku bukan dari jalurnya melainkan dari Hyang Wisnu dan Batara Brahma. Namun sejak zaman Nabi Adam AS, hingga kini, Allah, telah menempatkanku ditengah jalan keduanya, yaitu menikahkan putriku Pakungwati (dari keturunan Batara) dengan Syarif Hidayatulloh (dari keturunan Islam) sehingga dengan bersatunya kedua aliran ini tidak ada suatu perbedaanpun diantara keduannya untuk menuju Allah SWT.

Disela perpisahannya Mbah Kuwu Cakra Buana, mengijazahkan ilmu “Pancawarna Tunggal Jati” kepada adiknya tercinta Kian Santang. Inilah bunyi ilmu Pancawarna Tunggal Jati.

-Bismillahirrohmanirrohiim.

Pancawarna Tunggal Jati, Angklik Jati Gamparan Gilang Kencana. Kedosan jadi rasa. Wong sejagat buana surem kabeh. Gemebyar……Kaya Lintang Raenaya. Mencorong kaya bulan tanggal empat belas. Nurbuat cahayane para Malaikat. Nur cahya nure Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Nur eka nure para Nabi. Nur asih nure para Wali. Nur sejati neng badan kaula. Yang artinya sebagai berikut:

“Pancawarna Tunggal Jati, jadi wasilah dari segala wasilah yang sangat di muliakan. Apa yang kita harapkan jadi nyata. Orang sedunia tunduk semua. Badanku bersinar terang seperti terangnya bulan tanggal empat belas. Peganganku adalah cahayanya Malaikat. Peganganku adalah cahayanya Kanjeng Rosululloh SAW. Aura yang ada di dalam tubuhku adalah Nur nya para Nabi. Aura pengasihanku adalah Nur nya para Wali. Dan semua Nur yang ada di alam semesta adalah kepunyaanku”.

pnebusan dengan tata cara sebagai berikut:

-Wajib berpuasa sunnah selama 1095 hari atau selama 3 tahun lamanya, mengecualikan hari raya dan Tasyrik.

-Setiap malamnya amalan ini wajib di baca sebanyak 707x.

-Setiap buka dan sahur diharuskan makan tanpa bernyawa.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

BELAJAR MUSYARAWARAH DARI MINAHASA

prajurit minahasa

Minahasa tercinta
Dengar kedong hatiku.
Karna ontongmu kuminta
Limpa berkat pada Huw.
Mana dapat, djauh dan rapat,
Tanah lebih ejlok trang?
Tagal itu, sabagitu
Bejta tjinta angkau grang.

(LAGU PATRIOTIK ANAK-ANAK SEKOLAH MINAHASA ABAD KE-19)

Sebuah kuburan tua menjadi tetenger bagaimana etnis Minahasa mempercayai adanya ROH. Kuburan itu disebut WARUGA, yang berlokasi di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Waruga berasal dari dua kata yakni Waru yang berarti rumah dan Ruga artinya badan. Jadi, secara gamblang, Waruga adalah rumah tempat badan yang akan kembali ke surga.

Makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah tersebut telah ada sejak tahun 1600-an. Pada zaman itu masing-masing keluarga memiliki makam sendiri yang terbuat dari batu. Makam batu untuk keluarga tersebut pada awalnya terpencar di beberapa desa di Kabupaten Minahasa. Ketika muncul wabah kolera dan tipus, di mana sumbernya diduga dari makam keluarga tersebut, akhirnya seluruh makam batu tersebut dikumpulkan di suatu tempat.

Bentuk makam batu menunjukkan pekerjaan atau profesi seseorang yang dimakamkan. Kalau ada gambar binatang, maka orang yang meninggal adalah pemburu. Dotu Tangkudung di waruga tersebut misalnya berprofesi sebagai hakim karena di situ ada gambar orang sedang bermusyawarah dan dipimpin oleh Tangkudung. Di setiap makam yang terbuat dari batu dengan lebar satu meter dan tinggi satu meter hingga dua meter tersebut hampir semuanya ada tanda-tanda atau profesinya. Demikian pula mengenai jarak kematian dari satu keluarga yang dimakamkan dalam satu waruga tersebut.

Satu waruga bisa terdiri dari lima jenazah atau lebih. Tapi masuknya tentu saja tidak bersamaan, karena meninggalnya berbeda. Namun, pada setiap waruga ada tanda-tandanya, sehingga akan diketahui berapa jumlah orang yang dimakamkan serta jarak meninggalnya. Orang yang meninggal dikuburkan berikut barang-barang berharga miliknya seperti cincin, kalung, gelang, anting yang terbuat dari emas, perak dan tembaga. Bahkan ada keramik dari Dinasti Ming dan Dinasti Ching.

Dari Waruga ini dapat digali mengenai sejarah keturunan Minahasa. Sayangnya, minat peneliti kita masih minim untuk menelusuri fakta sejarah tersebut. Buktinya, kini dari 104 waruga cuma puluhan yang berhasil diidentifikasi.

kuburan

Salah satu kepercayaan mistis yang ada di Minahasa adalah Burung Manguni. Arti MAUNI adalah mengamati. Burung ini dipercaya masyarakat sebagai binatang suci yang memiliki kekuatan gaib yang sengaja ditugaskan oleh leluhur untuk selalu memberi petunjuk kepada bangsa Minahasa.

Konon, suatu ketika terjadi bencana alam banjir besar yang menimpa suku bangsa Minahasa. Setelah reda, mereka disuruh pergi ketanah yang dijanjikan oleh leluhur nenek moyang dengan dibimbing oleh Burung Manguni.

Sebagai tanda telah ditemukan tanah yang dijanjikan tersebut, burung sakti ini berbunyi nyaring mengalun dan dilakukan berturut tiga kali sembilan atau TELU MAKASIOU. Tiga memiliki arti tiga kekuatan Tuhan, Alam, Manusia. Tiga itu sendiri mengandung arti sembilan kekuatan, 3 x 3 = 9 . Angka suci suku Minahasa 999 yaitu angka sempurna kebalikan dari angka manusia 6.

Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa sebagian besar tersebar di seluruh provinsi Sulawesi Utara. Suku ini terbagi atas sembilan subsuku: Babontehu, Bantik, Pasan Ratahan (Tounpakewa), Ponosakan, Tonsea, Tontemboan, Toulour, Tonsawang, dan Tombulu.

MINAHASA berasal dari kata dasar ESA yang berarti Satu Minahasa berkembang dari Malesung, Maesaan, Minaesaan, Mahasa, Minahasa, yang pada intinya berarti MENJADI SATU. Istilah ini dipakai oleh sub-etnis Minahasa yang hidup di ujung utara pulau Sulawesi, untuk pertama kali disebut MINHASA (Minahasa) pada abad ke-18.

Pengertian awal nama Minahasa oleh karena itu bukanlah nama etnis melainkan PERSATUAN DARI SEJUMLAH SUKU. Perkembangan selanjutnya, pengertian nama Minahasa berubah menjadi sebuah komunitas Bangsa atau Etnis. Seringkali etnis/bangsa/suku-bangsa Minahasa disamakan dengan orang Manado atau orang dari ex Keresidenan Manado atau ex Afdeling Manado atau KAWANUA (teman sekampung).

Menurut mitos, nenek moyang suku Minahasa adalah Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang akhirnya melahirkan keturunan Minahasa. Mitologi ini diceritakan saat upacara RUMAGES. TOAR adalah nama Dewa Matahari yang selalu menyinari Minahasa dan Dewi Bumi bernama LUMIMU’UT yang memberikan kesuburan pada tanah Minahasa.

Konon pasangan TOAR dan LUMIMUUT sampai ke tanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung WULUR MAHATUS, dan berpindah ke WATUNIUTAKAN –dekat Tompaso Baru —. Keturunan dua dewa tersebut kemudian menyebar sehingga Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.

Mitos ini sangat rahasia yang diceritakan secara turun temurun. TOU MINAHASA merupakan turunan RAJA MING dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari MIN NAN TOU adalah orang turunan Raja Ming dari pulau itu. Seperti diketahui Dinasti Ming bukanlah orang Mongolia justru Dinasti Ming adalah yang mengganti Dinasti Yuan yang dipimpin bangsa Mongol, oleh Kubilai Khan.

Akunturasi berbagai aliran etnis berlangsung cepat di sini. Manusia Minahasa sudah tidak murni dari Mongol namun bercampur dengan Spanyol, Portugis, dan Belanda. Termasuk bangsa Yahudi. Suku Minahasa yang asli Mongol terkenal dengan kehebatan perang dan dari Yahudi mengadopsi budaya kecerdasannya. Satu pengaruh Yahudi adalah berdirinya tempat ibadah Sinagog di Tondano.

Tingkatan atau strata sosial dibagi sebagai berikut: GOLONGAN MAKASIOW atau pengatur ibadah yang disebut WALIAN/ TONAAS. Istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan GOLONGAN MAKATELU PITU atau pengatur yang jadi pemerintah dengan gelar PATU’AN atau Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei dan GOLONGAN MAKASIOW TELU 9 X 9.

Keturunan TOAR LUMIMUUT kemudian berpencar untuk membuka lahan baru atau istilahnya TUMANI untuk kelangsungan keluarga/ TARANAK mereka yang kemudian terbentuklah Golongan Rakyat atau disebut PASIYOWAN TELU. Sejak awal, suku bangsa Minahasa tiada pernah membentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan.

Kepala pemerintah adalah salah satu keluarga yang gelarnya adalah PAEDON TU’A atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan HUKUM TUA. Kata ini berasal dari UKUNG TUA yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. TUA: dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil keputusan. UKUNG TUA tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri.

Ukung tua memimpin musyawarah di WATU PINAWETENGAN yaitu batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi keputusan. Suatu ketika terjadi musyawarah yang menghasilkan sembilan pokok hasil musyawarah yaitu: KEPALA PEMERINTAHAN DIPILIH DARI YANG TUA, JUJUR, BERANI, WIBAWA, KUAT DAN BERANI MAJU DALAM SEGALA HAL, SEGALA USAHA HARUS DIMUSYAWARAHKAN.

Ini sesuai dengan hakikat nama Minahasa yaitu SUATU KESEPAKATAN MULIA DARI PARA LELUHUR MELALUI MUSYARAWARAH DENGAN IKRAR BAHWA SEGENAP TOU MINAHASA DAN KETURUNANNYA AKAN SELALU MENJUNJUNG KERJASAMA DALAM SEMANGAT BUDAYA SITOU TIMOU TUMOU TOU. Dengan kata lain TOU MINAHASA akan tetap bersatu (MAESA) dimanapun berada dengan dilandasi sifat MAESA-ESAAN (saling bersatu, seia sekata), MALEO-LEOSAN (saling mengasihi dan menyayangi), MAGENANG-GENANGAN (saling mengingat), MALINGA-LINGAAN (saling mendengar), MASAWANG-SAWANGAN (saling menolong) dan MATOMBO-TOMBOLOAN (saling menopang).

Inilah landasan satu kesatuan suku etnis Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa. Sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh seorang tetua suku: “KETURUNAN KALIAN AKAN HIDUP TERPISAH OLEH GUNUNG DAN HUTAN RIMBA. NAMUN, AKAN TETAP ADA KEMAUAN UNTUK BERSATU DAN BERJAYA.”



Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262