Artikel berikut ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita terkait berbagai fenomena mistik yang ada di tanah air yaitu kerasukan (kerauhan). Apa sesungguhnya kerauhan itu? Silahkan disimak artikel berjudul: KERAUHAN DALAM RITUAL AGAMA HINDU DI BALI yang ditulis oleh I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M.Fil.H, Dosen Filsafat dan Teologi IHDN Denpasar.
Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Kerauhan berbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhan ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada factor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.
Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.
I. Pendahuluan
Sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki sebuah kepercayaan, adat-istiadat dan praktek-prektek religi tersendiri yang banyak relevan dengan adat istiadat dan kebudayaan Hindu, sehingga agama Hindu sangat mudah di terima Bangsa Indonesia. Agama Hindu tidak didasarkan dogma yang dikotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme terlepas dari kefanatikan agama, sehingga dikenal dengan sanatana dharma, yaitu agama yang abadi, yang akan ada selamanya (Donder, 2006: 19). Berdasarkan hal tersebut Agama Hindu juga mengajarkan kepercayaan terhadap roh, masyarakat nusantara pun memiliki kepercayaan yang sama, yaitu percaya terhadap roh-roh yang menghuni bagian-bagian tertentu dari alam yang kemudian disebut sebagai animisme. Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka masyarakat nusantara sangat mempercayai roh-roh dapat mempengaruhi pikiran manusia ataupun masuk dalam tubuh manusia.
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, memiliki sebuah tradisi, yaitu kesurupan dalam setiap pelaksanaan ritualnya sebagai unsur yang memantapkan pelaksanaan ritual tersebut. Kesurupan berasal dari kata “surup” yang berarti masuk. Jadi kesurupan adalah fenomena masuknya roh lain ke dalam tubuh manusia, yang kemudian mengendalikan kesadarannya. Namun demikian di Bali, kesurupan disebut Kerauhan, asal katanya dari “rauh”, berarti datang. Kedatangan energi Dewa inilah, dibeberapa desa di Bali, sampai sekarang masih diwarisi, sebagai bentuk Tuhan turun ke dunia membina umatnya.
Masyarakat Indonesia memiliki ciri bersifat majemuk, ditandai dengan adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Demikian pula dengan tradisi yang ada di daerahnya memiliki perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat memunculkan berbagai isu yang tidak jelas tentang Kerauhan. Ada yang mengatakan Kerauhan adalah orang yang kemasukan setan atau orang yang dimasuki roh jahat. Dengan munculnya isu tersebut menimulkan persepsi negatif di masyarakat atau umat lain tentang Kerauhan.
Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu lengkap, sempurna, atau kurang. Walaupun demikian masing-masing desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khusunya di Bali melihat masalah fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan megatur ritual mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian. Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada orang Kerauhan itu adalah roh dewa.
Datangnya kekuatan roh para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut Catur Marga, antara lain Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak mengharapkan balasan), Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan tekun dan disiplin), Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan) dan Bhakti Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih setulus-tulusnya). Dengan memahami Catur Marga umat Hindu mampu menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma
Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam wujud pikiran maupun kata-kata. Bagi mereka yang pemahamannya sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar, maha penyayang dan lain sebagainya. Ajaran Hindu adalah ajaran yang universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati keberadaan Tuhan,
Ajaran Hindu memberikan jalan Karma Marga dan Bhakti Marga kepada umat Hindu yang tingkat pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat sederhana, dalam kerangka dasar agama Hindu kondisi umat seperti ini lebih didorong atau ditekankan untuk melaksanakan ritual dibanding dengan Jnana Marga dan Raja Marga. Hal ini sangat nyata terlihat pada tata cara keagamaan umat Hindu di Indonesia, terutama umat Hindu di Bali. Dengan pelaksanaan Upacara para dewa berwujud pratima dilinggihkan pada jempana yang diempon masyarakat. Kehadiran para dewa dalam Upacara secara sakala (nyata) bermakna menambah rasa persatuan dan persaudaraan antara masyarakat, karena dalam keseharian komunikasi masyarakat sangat kurang, hal ini disebabkan masyarakat umat Hindu khususnya generasi muda banyak merantau keluar daerah. Secara Niskala (alam gaib) hadirnya kekuatan para dewa membawa fibrasi kesucian dan kekhidmatan. Itulah yang menyebabkan ritual keagamaan penting untuk dilestarikan.
Pada upacara piodalan di masing-masing pura sejak pagi hingga malam iring-iringan pratima didatangkan terus menerus. Dengan diiringi tabuh gamelan dan pelengkap upacara lainya seperti tedung, lontek, pasepan dan lain sebagainya serta dituntun oleh Tapakan Kerauhan yang jumlahnya lebih dari satu orang. Orang yang Kerauhan itu membawa sarana benda-benda tajam berupa: keris, trisula, tombak dan lain sebagainya sambil menikam-nikam dadanya dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, sebagai pertanda bahwa Ida Bhatara yang merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, telah hadir diiringi oleh para rencang-Nya yang diyakini sebagai pusat kekuatan para dewa. Dalam iring-iringan itu, umat Hindu sebagai pengempon pura maupun masyarakat umum yang sedang melewati iring-iringan Ida Bhattara/Bhattari segera turun dari kendaraan dan duduk bersila ataupun jongkok sebagai wujud hormat dan bhakti kehadapan Ida Battara/bhattari sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa.
Pada saat Iring-iringan Ida Batara dari pura, Tapakan Kerauhan terus menerus menancapkan senjata tajam yang telah dipasupati ke dadanya. Hal ini disambut oleh para pemangku dengan ritual penyamblehan, yang dilakukan oleh Tapakan Kerauhan. Pada peristiwa itu tiba-tiba Tapakan Kerauhan melakukan perilaku di luar kemampuan manusia biasa, seperti: makan api, makan ayam hidup, makan kelapa utuh atau belum dikupas, serta gerakan-gerakan lainya yang tidak dapat dirasiokan. Tapakan Kerauhan tersebut tidak merasa takut, tubuhnya kebal dibakar api, kebal terhadap senjata tajam dan memiliki kekuatan luar biasa. Berdsarkan hal tersebut kekuatan yang dimiliki Tapakan Kerauhan, merupakan sifat-sifat kemaha kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa, tentunya ada beberapa fenomena yang dapat menjelaskan hal tersebut.
II. Pembahasan
Tinjauan atau analisis fenomena Kerauhan difokuskan kepada lima hal, yaitu pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana Kerauhan). Kelima hal ini membuktikan kekuatan suci Tuhan benar-benar hadir dalam setiap proses ritual yang dilaksanakan. Dengan pembuktian ini masyarakat dalam menghayati keberadaan Tuhan merasa dekat dan merasakan kemahakuasaan-Nya, sehingga dengan pembuktian tersebut akan menambah sikap sradha dan bhakti masyarakat dalam melaksanakan setiap ritual keagamaan. Kelima hal tersebut sebagaimana uraian di bawah ini:
2. 1 Pura Tempat Kerauhan
Kehidupan masyarakat di Bali, khususnya di masing-masing Desa Pakraman pastilah memiliki sebuah tempat suci/pemujaan yang disebut Pura. Istilah “Pura” berasal dari kata Sansekertha, yang berarti “kota” atau “benteng” yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata “pura” untuk menamai tempat suci atau tempat pemujaan digunakan kata kahyangan atau hyang. Pada zaman Bali kuna yang merupakan data tertua ditemukan dalam Prasasti Sukawana A 1 Tahun 882 M. Dalam prasasti Trunyan A 1 tahun 891 M, ada disebutkan ……..…”Sanghyang di turunan“ yang artinya “tempat suci di Trunyan” Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun), disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda, yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda (Titib, 2000:91).
Selain itu Pura juga sebagai sarana umat menyampaikan rasa bhakti dan syukur bahkan unek-unek umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Rasa bhakti dan syukur masyarakat umat Hindu di Bali khususnya di Desa Pakraman diwujudkan dalam bentuk pembangunan tempat suci yang disebut Pura Kahyangan Tiga yang merupakan warisan Mpu Kuturan. Sebab pada zaman tersebut Mpu Kuturanlah yang memprakasai terbentuknya Desa Adat/Pakraman, sehingga lebih mudah mengatur tatanan kehidupan masyarakat Bali. Setelah dibentuk Desa Adat/Pakraman agar dapat menunjang keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka di setiap Desa Adat/Pakraman dibuatkan tempat pemujaan/Kahyangan Tiga sebagai wujud bhakti kehadapan Tri Murti yaitu Dewa Brahma sebagai dewa pencipta diistanakan di Pura Desa/Bale Agung, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara di istanakan di Pura Puseh dan Dewa Siwa sebagai dewa pelebur di istanakan di Pura Dalem.
Selain Pura Kahyangan Tiga di masing-masing Desa Pakraman, biasanya memiliki pura-pura besar lainya yang disungsung di sebuah Desa Pakraman. Hal ini tergantung dari historis masing-masing Desa Pakraman tersebut. Pura merupakan tempat suci yang dihormati oleh setiap pengemponnya. Pendirian pura tidak mudah didirikan, sebab tidak sembarang tempat dapat dijadikan kawasan membangun pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum, yang gingsing dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal membangun pura adalah seperti yang dikutip dari bhavisya purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka”, tempatnya tentu sangat indah dan memancarkan fibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91).
Disamping itu, pendirian pura memerlukan sarana upacara, seperti pemlaspasan, mepadagingan atau upacara paling sederhana Ngambe, serta melarang mereka masuk pura akibat cuntaka, salah satunya ada upacara kematian, wanita haid, pertumpahan darah dan semua yang telah diatur dalam agama Hindu, jika itu dilanggar, maka wajib dibuatkan upacara penyucian ulang. Pada waktu upacara piodalan Ida Sang Hyang Widhi, para dewata, roh leluhur, beserta manifestasi-Nya dimohon untuk hadir, sebagai tamu agung yang patut menerima ritual persembahan, berupa upakara, tari-tarian dan lain sebagainya, setelah kehadiran para dewa dalam upacara piodalan, maka seluruh umat diberikan anugrah sesuai wujud bhakti dalam menjalani kehidupanya.
Begitu sulitnya mendirikan pura, setelah upacara pemlaspasan keberadaan pura mesti dijaga kesucianya. Hal ini telah diatur lembaga Hindu dengan menetapkan kawasan suci dibatasi dengan beberapa aturan yang telah ditetapkan, seperti Pura Kahyangan jagat, areal kawasan sucinya sepanjang 5 km, mesti bebas dari berbagai kekotoran yang disebabkan oleh manusia, sehingga secara nyata lingkungan sekitar pura dapat menyeimbangkan ekologi yang selama ini mulai rusak. Sebab Pura diibaratkan atau dipercaya sebagai replica kahyangan tempat para Dewa. Jadi semuanya mesti indah dan ditata sebagai tempat Dewa di dunia, oleh karena itu diperlukan perlindungan, agar kesucian pura tetap terjaga, sehingga para dewa berkenan hadir dan memberikan waranugraha kepada para umatnya.
Setelah upacara pemlaspasan dan keberadaan pura dijaga kesucianya, berdasarkan bhakti masyarakat, tentu mengembangkan rasa cipta, rasa dan karsa dalam menjaga eksistensi pura masing-masing, sehingga terwujudlah tradisi yang berlaku sampai hari ini. Salah satu tradisi unik sebuah pura yaitu adanya tradisi Kerauhan, dimana Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di pura tersebut dihadirkan pada waktu piodalan, sebagai wujud kehadiran beliau, para dewa menunjukan kemahakuasaan dengan merasuki tubuh seseorang dengan kekuatan sucinya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak seperti manusia biasa, yaitu kebal terhadap senjata tajam yang sengaja ditancap-tancapkan ke dalam tubuhnya, atau bermain-main dengan api tanpa ada rasa sakit sedikitpun, membuka kelapa dengan gigi dan lain sebagainya.
Demikian keberadaan pura yang dibuat umat Hindu dengan sejarahnya masing-masing dan sangat disakralkan serta dijaga kesuciannya, sampai melahirkan tradisi unik yang tetap dilaksanakan sampai hari ini, sehingga apabila seseorang Kerauhan di pura (tempat suci), yang merasuki tubuhnya tiada lain adalah perwujudan tuhan dan manifestasi-Nya, bukan makluk lainnya, berbeda halnya jika seseorang trance diluar pura, seperti di sekolah, tempat hiburan dan lain sebagainya. Orang kerasukan tersebut perlu dipikirkan apakah yang merasuki tubuhnya adalah kekuatan dewa atau kekuatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, dibawah ini akan dipaparkan sebuah pura yang memiliki tradisi Kerauhan dalam ritual agamanya
PURA PETILAN KESIMAN
Pura ini terletak lebih kurang 4 km arah timur Kota Denpasar, di wilayah Desa Kesiman dan sangat mudah dijangkau dengan transportasi baik pribadi maupun umum. Pura ini dikenal dengan upacara‘Ngerebong’, suatu tradisi yang melibatkan seluruh penyungsung pura yang mengalami ‘Kerauhan’ dengan menusukkan ‘keris’ ke dadanya sambil mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali. Di pagi hari berlangsung ‘tabuh rah’ yang merupakan bagian ritual upacara. Piodalan di Pura ini berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan kalender Bali), yaitu Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.
Bertepatan dengan puncak upacara ratusan masyarakat mengeremuni areal pura. Upacara berlangsung dengan meriah karena upacara sangat unik, khususnya di Kota Denpasar. Pada awalnya Upacara Pengrebongan merupakan salah satu rangkaiaan pujawali di Pura Dalem Kesiman yang berlangsung pada hari Wraspati Wage Wuku Sungsang yang bertepatan dengan hari Sugian Jawa. Pura Dalem Kesiman merupakan pura tempat pemujaan keluarga kerajaan Kesiman. Setelah Upacara di Pura Dalem Kesiman dilanjutkan dengan upacara di Pura Petilan. Prosesi upacara di Pura ini berlangsung pada hari Umanis Galungan, adapun upacara yang dilaksanakan antara lain Upacara Panyekeban, Nyanjan, Pemendakan, Nuwur, Mider Bhuwana, Mider Gita, Nanda (Nyapu Jagat), Mawayang-wayang, melanang-lanang, mebrata dan sebagai penutup Upacara Penyimpenan semua rangkaian upacara diikuti semua prasanak pura Petilan.
Pada hari soma Paing Wuku Langkir dilaksanakan Upacara Pemendakan di Pura Petilan. Seminggu kemudian dilaksanakan Upacara yang terkenal dengan Upacara Pengerebongan. Upacara ini sangat terkenal dan dinanti seluruh masyarakat, khususnya di wilayah kesiman. Upacara Pengerebongan merupakan Upacara Butha Yadnya, biasanya dilaksanakan pukul 09.00 dengan pelaksanaan Upacara Tabuh Rah dengan tiga pasang adu ayam, tujuanya untuk menetralisir kekuatan negative agar menjadi kekuatan positif, sehingga prosesi upacara dapat berjalan dengan lancer dan masyarakat diberikan kebahagiaan dalam melasakan upacara atau setelah Upacara berlangsung. Acara dilanjutkan dengan hadirnya manca dan prasanak pangerob Pura Petilan dengan pelawatan Barong dan Rangda yang diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti Upacara Pangerebongan, sebelumnya dilaksanakan terlebih dahulu Upacara di Pura Musen sebelah timur Pura Petilan di pinggir Barat Sungai Ayung, setelah kembali dari proses penyucian, barulah Upacara Pengerebongan dimulai.
Upacara Pengerebongan diawali dengan Upacara Nyanjan dan Nuwur Ida Bhattara, tujuanya menghadirkan kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari dari kahyangan untuk dihadirkan di alam manusia, khususnya ke para manca dan prasanak pangerob. Pada Upacara Nyanjan atau nuwur inilah pengusung Rangda dan pepatih mulai menunjukan perilaku Kerauhan. Selanjutkan pelawatan Rangda dan Barong beserta para pepatih menunjukan perilaku Kerauhan diarahkan ke kori agung kemudian mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali melaksanakan prosesi prasawia, yaitu Ida Bhattara/Bhattari beserta para pepatih mengelilingi wantilan dari timur, kemudian ke utara, barat, selatan dan kembali ke timur sebanyak tiga kali. Pada saat Prasawia inilah pepatih yang Kerauhan menunjukan perilaku diluar logika manusia, yaitu seluruhnya melakukan gerakan Ngurek, yaitu senjata yang beraneka macam ragam ditikam-tikam ke dadanya, tanpa ada luka di kulitnya, semuanya tampak ada kekuatan gaib yang merasuki tubuh para pepatih tersebut, sambil berteriak-teriak tubuh terus ditikam dengan senjata tanpa ada rasa sakit sedikit pun, semakin alunan gamelan bersuara, maka semakin keras tusukan-tusukan senjata di bagian tubuhnya, bahkan ada yang menancapkan keris tajam di mata, kedua kening dan lain sebagainya, tanpa ada sakit.
Setelah prosesi tersebut para pepatih yang Kerauhan kembali ke gedong agung dengan Upacara Pengeluwur, serta para pepatih yang Kerauhan disadarkan hanya dengan percikan air suci yang telah dipersiapakan, para Jro Mangku di Pura tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa telah hadir dan membuktikan kepada umat-Nya dengan kekuatan merasuki tubuh para pepatih berupa trance Ngurek, berarti kekuatan suci yang dihadirkan melalui upacara penyanjan telah berhasil dilaksanakan tanpa kesalahan, yaitu dibuktikan dengan kebalnya para pepatih dari serangan senjata tajam, yang merupakan salah satu ciri kemahakuasaan Tuhan.
Upacara tidak berlangsung hanya demikian, sebab setelah Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dipersilakan untuk dilinggihkan, Upacara dilanjutkan dengan Upacara Maider Bhuwana, yaitu Para Ida Bhattara/Bhattari kembali mengelilingi wantilan berupa Pradaksina, yaitu kebalikan dari Prasawia, dimulai dari arah timur, kemudian ke selatan, ke utara dan kembali ketimur sebanyak tiga kali, upacara ini dilaknsakan sebanyak tiga kali bertujuan mengantar beliau dari alam bhur loka, menuju alam bwah loka dan terakhir kealam swah loka tempat para dewa berstana. Dalam upacara ini para pepatih atau umat kembali mengalami Kerauhan atau trance. Hal ini menunjukan kekuatan suci Ida Bhattra/Bhattari yang akan diantar kembali kealam Swah Loka benar-benar hadir dan kembali kealam para dewa. Pada saat prosesi ini suasana dalam areal pura berlangsung hidmat ditambah suara gambelan dan teriakan para pepatih sambil senjata terus tertancap-tancap dalam tubuhnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
2.2 Waktu Kerauhan
Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu pada waktu Nedunang Ida Bhattara, Nglungang Ida Bhattara dan Ngwaliang Ida Bhattara. Sedangkan waktu khusus dapat juga dibagi menjadi 3 yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktu puncak upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.
Pengertian tentang Nedunang Ida Bhattara berarti menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura. Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai persembahan. Tanpa syarat itu Upacara Nedunang tidak dapat dilaksanakan. Pada waktu Upacara Nedunang sangat terasa suasana yang sangat sakral, dimana upacara ini diawali dengan persiapan upacara di seluruh Pelinggih, kemudian dilaksanakan Upacara Pemendakan dengan diturunkanya jempana dan arca-arca. Pada waktu ini suasana semakin khusuk dengan suara baleganjur, suara genta, kul-kul, lelontekan, tedung, kidung dan pengempon pura seluruhnya menyiapkan perlengkapan upacaranya. Dalam keadaan yang khusuk ini secara spontan Tapakan Kerauhan berteriak secara histeris dan meminta senjata yang telah dipasupati, tentunya Tapakan Kerauhan yang hadir lebih dari satu orang. Ketika Tapakan Kerauhan telah Trance sambil menikam-nikam dadanya dan beberapa lagi merangkak, merayap dan diam seperti seekor macan, ular dan kuda, maka upacara dilanjutkan dengan melaksanakan proses purwa daksina mengelilingi areal Pura, prosesi ini diiringi dengan gong baleganjur dan beberapa atribut seperti tedung, lelontekan, jempana dan pengiring dari pura bersangkutan. Setelah Upacara Purwa Daksina para pemangku menyiapkan Upacara Pemendakan, yang mana sarana upacara ini antara lain kelapa, api takep, dupa, arak berem, ayam hitam dan putih, serta beberapa sesayut yang dirangkai begitu rupa semua sarana tersebut dialasi dengan tikar. Sedangkan jempana dan arca-arca berdiri di depan sarana ritual tersebut, kemudian para Tapakan Kerauhan mengambil sarana dan berperilaku diluar pikiran manusia yaitu memakan api, dupa, ayam yang masih hidup dan beberapa lagi berebut kelapa yang masih utuh, tanpa rasa sakit ataupun panas. Fenomena ini terjadi selama 30 menit dan merupakan ciri bahwa Upacara Nedunang Ida Bhattara telah berhasil dengan hadirnya kekuatan yang memasuki Tapakan Kerauhan.
Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida Bhattara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di istanakan di sebuah jempana yang dibuat khusus dengan kayu pilihan untuk diiring ke pesucian, prosesi inilah yang disebut Nglungang Ida Bhattara. Prosesi Nglungang ini diikuti oleh para pengempon pura, penabuh gamelan dan beberapa Tapakan Kerauhan. Prosesi ini diawali dengan membuka barisan berjajar dua, yang masing-masing membawa pecanangan, tedung, lelontekan, pasepan, diikuti suara genta dan gamelan beleganjur. Menjelang keberangkatan menuju pesucian, disinilah Fenomena karauhan terjadi lagi bahkan lebih banyak dibanding Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jarak yang ditempuh iringan ini beraneka ragam ada yang dekat dan ada pula yang jauh, tergantung tempat pesucian di masing-masing pura. Prosesi Nglungang Ida Bhattara ke tempat pesucian berlangsung dengan suasana sakral, terlebih lagi Tapakan Kerauhan berteriak-teriak sambil menikam-nikam dadanya berada di barisan terdepan, begitu pula Tapakan Kerauhan merangkak dari pura bersangkutan menuju beji/tempat pesucian tanpa rasa sakit dan payah, Ketika Upacara Nglungang berlangsung suara genta dan gamelan bertalu-talu, asap dupa mengepul dengan bau wewangian menebar ke seluruh alam semesta ini, sehingga pertanda bagi masyarakat sekitar bahwa Ida Bhattara/Bhattari telah hadir menuju beji. Mendengar iring-iringan menuju beji, masyarakat sekitar akan berkumpul di jalan yang akan dilalui, sambil duduk dan mencakupkan tangan, tanda memberi hormat. Setelah tiba di beji iring-iringan disambut dengan upacara pemendakan yang dilaksanakan oleh para pemangku di jaba (luar) Pura Beji. Upacara Pemendakan berupa Api takep atau bara api, ayam hidup, kelapa masih utuh dan minuman berupa arak berem. Dengan spontan Tapakan Kerauhan memakan dan menikmati bara api yang sangat panas dan segempok dupa, begitu pula sarana-sarana lainya. Dengan tibanya iring-iringan di Pura Beji dan menikmati sarana upacara para Tapakan Kerauhan disadarkan oleh Pemangku, dengan diperciki Tirtha (air suci) dari kekuatan Ida Bhattara/Bhattari.
Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Ngwaliang/Mapamit Ida Bhattara/Bhattari dari Pura Beji. prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara/Bhattari telah menyucikan bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan diakhiri persembahyangan bersama, maka Ida Bhattara/Bhattari akan kembali ke parhyangan masing-masing. Prosesi ini pastinya diawali dengan suara genta, gemalan dan jempana dipundut serta berbagai atribut kelengkapan beriringan membentuk barisan berjajar dua. Tentunya kembali secara spontan Tapakan Kerauhan mulai menunjukkan fenomena Kerauhan dengan perilaku menuju parhyangan masing-masing. Setelah tiba di parhyangan dilaksanakan Upacara Pemendakan dan Tapakan Kerauhan pun seperti biasa menunjukkan kekuatan suci Ida Bhattara yang telah merasuki dirinya dan disadarkan dengan diperciki tirtha (air suci) dari Pura tersebut. Sedangkan Ida Bhattara/Bhattari yang telah dihadirkan akan diistanakan selama beberapa hari atau diistilahkan Nyejer, agar umat dapat melaksanakan persembahyangan.
Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau nasehat kepada para umat. Jika dalam pelaksanaan ritual agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-tiba Kerauhan dan memberikan nasehat atau arahan kepada umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam, bukan asal membuat upacara saja. Orang pula Kerauhan sambil menyampaikan pewisik atau nasehatnya pada umat yang hadir dalam prosesi itu, agar jangan coba-coba mengadu ilmu dengan kekuatan alam semesta, sebab yang namanya manusia sering mengaku diri paling sakti dan kuat. Sehingga tak heran masyarakat yang merasa sakti mencoba mengadu kekuatan Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dalam ritual keagamaan di sebuah pura.
2.3 Jenis-Jenis Kerauhan
Fenomena Kerauhan memang sangat menarik untuk disimak, karena mampu menjawab pertanyaan yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran. Sebab Manusia kadang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan terlebih lagi di zaman Postmodern, teologi mulai tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang sekaligus rasional dan bermakna. Selain itu kehausan religius masyarakat modern untuk mendapatkan keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena tidak dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, teologi mengalami masanya yang paling sulit (Ray, 2005:17).
Menyimak pandangan seperti itu, masyarakat yang pola hidupnya semakin berubah di zaman modern memandang teologi hanya sebagai pelengkap hidup. Sebab zaman dulu teologi dipercaya membawa kesejahteraan masyarakat, tapi sekarang teologi sudah tenggelam oleh ilmu yang realitas membawa kesejahtaraan seperti, ilmu ekonomi dan teknologi. Tapi dalam ritual agama, keyakinan masyarakat justru meningkat begitu pula dengan teologi lokalnya. Karena dalam ritual agama memperlihatkan kekuatan alam semesta yang merasuk dalam tubuh manusia, sehingga orang itu Kerauhan.
Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu merangkak (tubuh menyentuh tanah), ngurek, menari-nari dan diam. Pada fenomena Kerauhan dengan gerakan merangkak yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari, ketika gerakan Ngurek yang merasuki adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari adalah widyadara/ widyadari sedangkan yang diam adalah Ida Bhattara/Bhattari sendiri.
Menurut teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan disimbolkan memiliki berbagai macam manifestasi yang dipercaya berdasarkan kekuatan maupun sakti seperti para dewa, Bhattara, sesuhunan dan sebutan lain yang menjadi teologi lokal. Dalam kitab suci Weda disebutkan binatang-binatang suci tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudannya, ada juga berfungsi sebagai wahana para dewa. Di atas binatang-binatang atau burung-burung itu para dewa dan dewi duduk mengendarainya, seperti Wisnu di atas Garuda, Brahma di atas Angsa, Dewi Durga di atas seekor singa, Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraan, Ganapati kendaraanya seekor tikus. Indra atau Sasta di atas gajah, Sani berupa burung merak, Yama berupa seekor kerbau, Dewi Gangga seekor buaya, Yamuna seekor kura-kura, Vayu seekor kijang, Surya keretanya ditarik tujuh ekor kuda, Dewi Candi kendaraanya seekor harimau, Nerti kendaraanya seekor anjing, Waraha seekor ular, Rati burung kakatua, Gauri seekor biawak, Kubera kendaraannya manusia dan Hewanta seekor kuda (Titib, 2000:385).
Begitu pula Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di sebuah Pura, hampir seluruhnya memiliki binatang suci yang disebut ancangan. Hal ini dapat kita perhatikan ketika Ida Bhattara/Bhattari melaksanakan Prosesi Ndunang, nglungan, ngwaliang ida bhattra, ada sedikit yang berbeda gerakan salah satu orang Kerauhan yaitu merangkak dari Pura menuju Pura Beji. Posisi merangkak seperti ini Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi adalah ancangan Ida Bhattara yang sifatnya lebih rendah, tapi berbeda dengan Butha, sebab ancangan lebih suci. Posisi merangkak ini selalu menyentuh ibu pertiwi (tanah) dan gerakanya seperti binatang. Fenomena Kerauhan merangkak biasanya berwujud Macan Gading, naga, ancangan kuda putih dan lain sebagainya. Fenomena tersebut bisa disimpulkan bahwa gerakan yang merangkak dan posisi seluruh tubuh menyentuh tanah dipercaya sebagai ancangan (binatang suci) yang menjaga areal suci sebuah pura.
Ketika upacara telah dipersiapkan, Tapakan Kerauhan merasakan melihat beberapa wujud binatang yang aneh, yang bentuknya tidak seperti binatang pada umumnya. Seperti ular bertanduk, kuda putih yang bersayap, macan gading, putih dan masih banyak lagi ancangan beliau. Kemudian ancangan terasa mendekat, setelah itu tidak bisa menahan kekuatan gaib masuk dalam tubuhnya, sehingga gerakan seperti binatang tidak bisa dikendalikan, tapi masih bisa melihat orang sekitar. Ketika Upacara Pemendakan, yang mempersiapkan penyamblehan, api takep dan arak berem. Pada waktu itu secara total tidak sadar, sehingga setelah diperciki air suci, di mulut sudah ada bulu-bulu ayam atau bekas bara api, tapi sama sekali tidak merasakan mual.
Selain binatang suci fenomena Kerauhan berikutnya adalah jenis ngurek. Ngurek berasal dari akar kata “urek” yang artinya melobangi atau tusuk, sehingga ngurek diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan tombak, keris dan alat lainya saat berada pada kondisi Kerauhan (trance). Namun sesunguhnya ngurek merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan suatu keadaan terentu dari seseorang yang diyakini dirasuki roh tertentu, sehingga Kerauhan kemudian menusuk dirinya dengan keris, tombak dan alat lainya (Swadiana, 2007:2).
Menurut Swadiana ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: ngurek yang berpola, ngurek yang tak berpola dan ngurek untuk pertunjukan. ngurek yang berpola maksudnya berlangsung dengan teratur dan terkendali, karena merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan Upacara Piodalan. Umumnya ngurek dilakukan oleh pepatih (patapakan, iringan Ida Bhattara). ngurek yang tak berpola ialah ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada setiap ritual keagamaan, dalam hal ini hanya sebagai pembuktian. Sedangkan ngurek jenis ketiga yaitu sebagai pertunjukkan maksudnya ngurek tidak hanya kebutuhan acara ritual keagamaan saja melainkan bahan tontonan dan hiburan (Swadiana, 2007: 43-47).
Tapakan Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah diupacarai dengan upacara pemasupatian. Menurut Jro Mangku Jenar beliau menjelaskan ada pantangan bagi Tapakan Kerauhan yang biasanya ngurek ialah tidak diperkenankan makan daging sapi, sebab jika itu dilanggar senjata itu akan menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.
Dari beberapa pengalaman Kerauhan yang terbiasa ngurek. Jro Mangku I Wayan Dana mengatakan tidak merasa sakit ketika senjata itu menikam-nikam dadanya dan kesadaran tetap ingat serta melihat manusia sangat kecil, tubuh terasa besar dan sangat terasa ada kekuatan lain yang menggerakan, sehingga tak terkendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat LK. Suryani bahwa orang Kerauhan itu dimana seseorang diambil alih kemampuanya oleh spirit, roh ataupun atmanya sendiri atau energi lain di luar pemikirannya, pada saat seperti itu orang tetap sadar cuma kalau tidak dilatih memang dia tidak bisa mengendalikan keadaannya. Jadi akan mungkin sekali kalau ada orang Kerauhan dengan mental tetap berfungsi hanya saja orang itu dikuasai oleh energi lain. Ia tetap ingat namun tidak bisa menguasai keadaanya. (Swadiana, 2006:28)
Tapakan Kerauhan dalam perilaku ngurek, biasanya yang memasukinya adalah kekuatan para pepatih dari Ida Bhattara yang berstana di sebuah pura. Dalam Teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan atau manifestaNya diibaratkan sebagai seorang raja yang memiliki pepatih, penasehat, menteri dan lain sebagainya untuk mengatur kehidupan umat-Nya, seperti Dewa Indra dipercaya raja dari para Dewa penghuni Sorga (Titib, 2003:176).
Fenomena Kerauhan berikutnya adalah menari-nari. Tapakan Kerauhan ataupun orang secara spontan berteriak sambil menggerakan tanganya dan gerakanya sangat indah sambil menari-nari tapi mata tetap terpejam. Pada Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari pastilah diawali dengan Kerauhan berperilaku menari-nari, kemudian ngurek, terakhir merayap. Pada waktu Kerauhan dengan gerakan menari-nari dipercaya yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah sebuah kekuatan berwujud cantik atau tampan yang memasuki tubuhnya, terkadang dirinya berada di kabut awan. Kerauhan ini sangat berbeda dengan ngurek, dimana keadaanya sama sekali tidak melihat manusia, tapi hanya awan putih yang indah.
Keadaan Kerauhan dengan gerakan menari-nari merupakan fenomena kemasukan kekuatan gaib yang dipercaya sebagai widyadara dan widyadari yang ada di kahyangan. Pada waktu Upacara berlangsung widyadara/widyadari dihadirkan untuk menyambut kehadiran para Ida Bhattara/Bhattari. Fenomena Kerauhan ini memang sulit dikendalikan, justru jika dilawan gerakanya akan jelek atau mengada-ada. Oleh karena itu Tapakan Kerauhan jenis ini biasanya melemaskan tubuhnya dan biarkan kekuatan gaib menguasainya, sehingga orang yang sama sekali tidak bisa menari, tiba-tiba sangat anggun dan cantik bak seorang bidadari yang sedang menari-nari di kahyangan.
Menurut Agni Purana XV, disebutkan nama Kinnara yaitu dewa-dewi sebagai penari dan pemusik di kahyangan. Kinnara ini digambarkan memegang wina sejenis gitar di tangannya. Jadi fenomena Kerauhan jenis menari-nari pada ritual keagamaan, disebabkan kemasukan kekuatan gaib berwujud para Widyadara/widyadari dari kahyangan.
Sedangkan fenomena Kerauhan jenis diam atau meneng, biasanya sangat dinanti-nanti oleh umat, terutamanya pada puncak upacara. Dimana Kerauhan jenis ini oleh Tapakan Kerauhan yang biasa dirasuki oleh kekuatan Beliau, Tapakan Kerauhan merasakan sungguh sangat berat dan tubuh ini terasa terinjak gajah, sehingga ketika beliau hadir walaupun singkat, tubuh ini sama sekali tidak dapat bergerak tapi merasakan kebahagiaan luar biasa.
Fenomena Kerauhan jenis ini ialah hadirnya Ida Bhattara/Bhattari sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa yang merupakan sumber kekuatan atau sakti dari sebuah Pura. Ketika beliau hadir dalam situasi apapun, seluruh aktifitas masyarakat akan berhenti dan suara gamelan, serta kul-kul bertalu-talu. Beliau hadir biasanya tidak lebih dari 5 menit dan orang yang memegang Tapakan Kerauhan akan merasakan tubuh yang sangat berat, sehingga beliau segera disadarkan dengan wangsupada Ida Bhattara.
2.4 Pengaruh Kerauhan
Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan pada ritual agama diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan, seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.
Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : (1) suara gamelan, (2) kul-kul, (3) genta, (4) kidung dan (5) mantra. Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal sampai akhir upacara. Apabila salah satu dari suara tersebut tidak disuarakan biasanya Tapakan Kerauhan akan memberitahu umat untuk menyuarakan panca nada ini. Menurut Ev.Andreas Christanday musik memiliki tiga bagian penting yaitu: (1) beat, (2) ritme dan (3) harmony. Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa dan harmony mempengaruhi roh. Contoh beat mempengaruhi tubuh adalah konser musik rock, dimana orang akan menjingkrak-jingkrak, kepala berputar-putar dan tubuh mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Bukti ritme mempengaruhi jiwa ialah jika hati sedang susah atau gundah cobalah mendengar suara yang indah, yang memiliki ritme yang teratur, tentu perasaan kita akan enteng. Di luar negeri pasien di rumah sakit disembuhkan dengan lagu-lagu indah, sedangkan harmony mempengaruhi roh adalah ketika kita mendengar musik pada film horor tentu ada rasa menyayat dalam hati. Dalam ritual keagamaan juga banyak digunakan harmoni yang mampu membawa roh manusia masuk ke dalam alam persembahan (Swadiana, 2000:48-49).
Musik gamelan Bali, terutama gong memiliki rentang frekuensi yang sangat rendah dan rentang nadanya memang cukup terbatas, tetapi irama, tempo atau beat musik gamelan tidak kalah variatifnya dibandingkan musik klasik meskipun lebih condong untuk monoton. Namun monotonic beat bisa berlaku seperti pembuka jalan ke arah mental state trance bagi pendengarnya. Inilah sebabnya mengapa Kerauhan di Bali banyak berhubungan dengan aktifitas ritual keagamaan dimana didalamnya banyak diperdengarkan musik gamelan (Swadiana, 2000: 50).
Menurut Gusti Jelantik yang merupakan Tapakan Kerauhan, beliau mengatakan pada waktu menjelang Nedunang Ida Bhattra/Bhattari, dirinya sudah merasa tidak tenang, walaupun sedang duduk bersila. Tapi ketika gamelan dimulai tubuhnya merasa bergetar dan terus bergetar sampai tidak bisa dikendalikan, terlebih lagi suara gamelan iramanya sangat cepat yaitu pada gamelan baleganjur. Tiba-tiba saja badan terasa gatal sehingga tubuh tidak terasa sakit walaupun senjata tajam menikam-nikam tubuhnya
Kekuatan Ida Bhattara/Bhattari memasuki tubuh Tapakan Kerauhan tersebut merasa gembira dan sangat senang melihat umatnya melaksanakan Upacara. Sehingga ancangan, pepatih, widyadara/widyadari menari-nari dan meluapkan kebahagiannya untuk menyambut jamuan atau pesta besar yang akan dilaksanakan. Jadi suara gamelan yang begitu meriah membuat hati para penghuni sorga merasakan kesenangan dan menunjukkan kekuatan Beliau untuk menambah keyakinan umat. Dengan Beliau merasa bahagia, maka apapun yang menjadi keinginan kita pastilah terpenuhi. Tapi perlu dipertegas suara gamelan hanya sebagai sarana dalam upacara yang mengiringi proses upacara bukan membuat orang Kerauhan. Ini bisa dibuktikan ketika suara gamelan berhenti orang yang telah Kerauhan tetap saja menari-nari, menikam-nikam dada dan gerakan lainnya.
Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang Kerauhan dalam keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu, pewisik atau mimpi. Menurut Gusti Jelantik mengatakan sehari sebelum ngayah Kerauhan, biasanya sudah ada petunjuk lewat mimpi, bahwa saya harus ngayah Kerauhan pada Upacara di pura. Oleh karena itu harus mempersiapkan diri seperti keramas dan melukat dengan wangsupada. Di samping itu perlu juga menjaga fisik dan stamina, karena ngayah Kerauhan memerlukan tenaga yang banyak. Jadi dengan tahu bahwa dirinya akan ngayah Kerauhan, maka pemangku di Pura harus mempersiapkan juga upacara pembersihan. Tapakan Kerauhan di sebuah Pura orangnya hanya itu-itu saja, sebab mereka yang ngayah Kerauhan tentu dipilih berdasarkan upacara khusus dan biasanya turun temurun. Dengan hadirnya Ida Bhattara yang disungsungnya lewat mimpi atau bisikan lainnya merupakan sebuah pesan agar ketika ngayah Kerauhan benar-benar siap dan mantap.
Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi memiliki batin yang sangat bersih. Intuisi ini memberi kesempatan untuk memperoleh tujuan terutama bila kita tidak mengetahui bagaimana kita dapat ke tujuan itu. Cara memperoleh pengetahuan demikian adalah melalui sesuatu yang mirip dengan kewaspadaan yang terdapat pada diri orang-orang yang memiliki keahlian gaib. Yang termasuk dalam golongan intuisi yang bersifat supraintelektual adalah wahyu, pewisik, kasjf dan ilmu (Suryadipura, 1993:204).
2.5 Material Kerauhan
Material Kerauhan dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan. Pada waktu dulu setiap Pura yang tergolong Pura Sakti telah dipersiapkan berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan. Adapun senjata tersebut telah dilaksanakan upacara terlebih dulu yaitu Upacara Prayascita dan Pemasupatian, diharapkan dengan upacara ini antara senjata dengan Tapakan Kerauhan dapat bersatu. Dengan bersatunya senjata dengan Tapakan Kerauhan, maka segala sesuatu yang ditakuti, seperti terluka dapat dihilangkan.
Senjata yang telah dipersiapkan bukanlah untuk menakuti umat, melainkan memiliki simbol yaitu sebagai penghancur segala kekotoran atau yang sifatnya negatif. Dalam agama Hindu para dewa juga disimbolkan membawa senjata yang disebut Ayudhadevata. Ayudha berarti “yang dibawa waktu perang”. Senjata para dewa itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:
1. Praharana : senjata yang dipakai memukul seperti tombak dan pedang.
2. Panimukta : Senjata yang ditembakan atau dilemparkan seperti cakram.
3. Yantramukta : senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur.
Didalam kitab Purana disebutkan pasukan dewa juga dewi membunuh asura dan raksasa yang menghancurkan kahyangan para dewata dan umat manusia. Pada kenyataan penderitaan manusia disebabkan oleh raksasa dan roh-roh jahat sebagai alasan turunya para dewa dan dewi dalam berbagai wujud. Sang Hyang Siwa dalam berbagai lilamurti, Dewa Wisnu dengan berbagai Awatara dan inkarnasi dari para sakti, semuanya ini adalah untuk menghukum yang jahat dan memberikan pahala kebaikan bagi yang saleh (Titib, 2000: 378).
Kekuatan para raksasa tersebut dihancurkan dengan senjata para dewa yang masing-masing memiliki simbol untuk menunjukan identitas dewa tersebut, seperti sankha dan cakram untuk arca Wisnu, trisula dan damaru untuk arca Siwa, parasu, ankusa dan pasa untuk Ganesha, tombak sakti (Vela) untuk Subramanyu, Vajra untuk Indra, pasa untuk Varuna, Dhanurbana (busur dan panah) untuk Sri Rama dan Kadga (pedang) untuk Kalki Awatara.
Ayudhadevata mengandung makna simbolis kedewataan, seperti : Trisula merupakan kesatuan dari Triguna. Parasu melambangkan kekuatan gaib dari Tuhan Yang Maha Esa. Pasa (tali atau jerat) melambangkan dunia atau maya yang menjerat kehidupan spiritual seseorang. Sankha (terompet kerang) melambangkan waktu (proses) penciptaan. Cakra, agni atau khadga (pedang). Menggambarkan simbol proses kehancuran jagat raya (samhara). Iksudandha (tongkat berupa batang tebu) melambangkan kemanisan spiritual yang dirasakan oleh seseorang yang mempraktekkan hal tersebut dalam gejala duniawi. Padma melambangkan karunia dan kemahakuasaan. Ankusa melambangkan prinsip dasar melepaskan ikatan pengendalian diri (Titib, 2000:381).
Pada sebuah ritual keagamaan di pura, Tapakan Kerauhan biasanya memakai senjata berupa Trisula, pedang dan pisau kecil yang terus ditancap-tancapkan pada dadanya tanpa ada rasa sakit sedikit pun. Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi, senjata yang dipergunakan pada waktu Upacara merupakan simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang menghancurkan kekuatan jahat yang ada pada diri seseorang, agar para Butha tidak mengganggu proses yadnya yang besar ini. Disamping itu Tuhan menunjukan kepada umatnya bahwa beliau kebal terhadap senjata, tidak terbakar api dan tidak basah oleh air. Berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan merupakan senjata-senjata yang sangat disakralkan, tapi senjata tersebut tidak mutlak dipergunakan pada waktu upacara, suatu ketika Tapakan Kerauhan dapat mengambil senjata di sembarang tempat.
Demikian Fenomena Kerauhan yang terjadi pada ritual keagamaan di Bali, yang sampai kini tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat di Bali.
III. Penutup
Pada bagian akhir ini merupakan bagian simpulan yang berupa ringkasan pada uraian-uraian yang dikemukakan terlebih dahulu, sehingga dengan pembahasan tersebut dapat disimpulkan:
Fenomena Kerauhan dalam ritual agama merupakan sebuah tradisi dan budaya masyarakat di Bali. Fenomena ini mencakup beberapa aspek yang menjadi bagian dari sebuah fenomena Kerauhan ini, yaitu Pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan dan material Kerauhan. Masyarakat Desa Pakraman Muncan, memiliki berbagai macam kelompok Pura yang jumlahnya ratusan. Beberapa Pura tersebut terdapat Tapakan Kerauhan yang sering Kerauhan pada waktu upacara. Tapakan Kerauhan akan menunjukan perilaku di luar pikiran manusia seperti makan bara api, menikam-nikam dadanya dengan senjata dan makan ayam yang masih Hidup. Fenomena ini terlihat ketika para pemangku sedang melaksanakan Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari, Nglungang Ida Bhattara dan Ngawaliang Ida Bhattara menuju Pura Beji. Pada Prosesi ini Tapakan Kerauhan yang banyak jumlahnya, menunjukkan tingkah laku yang berbeda-beda secara umum ada yang merangkak, ngurek, menari-nari dan diam. Menurut kepercayaan masyarakat di Bali, menganggap Kerauhan dengan gerakan merangkak dipercaya kerangsukan ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara sedangkan ngurek kerasungsukan para pepatih-pepatih Ida Bhattara, menari-nari kerangsukan widyadara/widyadari dan dalam posisi terdiam kerasngsukan kekuatan Ida Bhattara/bhatari yang menjadi sumber kekuatan. Pada waktu upacara dimulai para Tapakan Kerauhan akan menunjukkan fenomena Kerauhan apabila mendengar bunyi gamelan atau pula mendapat pewisisk atau bawos sebelumnya. Pada Fenomena ini Tapakan Kerauhan menggunakan senjata tajam yang telah dipasupati terlebih dahulu, kemudian senjata itu menikam-nikam dadanya, tapi tusukan senjata itu tidak terasa sakitnya. Senjata ini dipercaya masyarakat untuk menghilangkan kekuatan buruk yang dibawa para Butha pada waktu upacara.
* Hasil penelitian yang telah dimuat dalam Jurnal Penelitian
0 thoughts on “Wawasan Mistik Nusantara: FENOMENA KERAWUHAN”