RAGAM MACAM KAROMAH

Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi’ al-Nujum). Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian

antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah.

Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.

Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-‘ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam. Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.

Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu ‘Arabi tidak begitu yakin dengan

karamah ini. Ibnu ‘Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang ‘arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah.

Ibnu ‘Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, “Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku.” Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.

Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.

Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A’raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i

Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, lalu mereka bertanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?” Ibnu ‘Arabi

menjawab, “Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, ‘Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'”

Mengapa Allah tidak mengatakan, “Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!” Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.

Ketika Ibnu ‘Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah ‘Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya’ [21]: 16).”

Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak. Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, “Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya.” Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang.

Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu.

Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang

mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma’arif wa al-I’lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., “Muhammad” dan “Ahmad”. Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama “Muhammad” atau “Ahmad”. Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaai’ al-Nujum.

Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma’nawiyah.

Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma’nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas. Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.

Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma’nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma’nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya

Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi. Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa

menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma’nawiyah. Karamah ma’nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma’nawiyyah.

Hukum-hukum syara’ tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara’ merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara’.

Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu. Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.

Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.”Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu

melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.”

Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.

Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.

Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.

Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.

Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, “Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?” Abu Yazid menjawab, “Allah.” Orang itu berkata lagi, “Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam.” Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada

iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a…

Al-Tajj al-Subki menjelaskan macam-macam karamah dalam kitab Al-Tabaqah al-Kubra sebagai berikut:

1. Menghidupkan yang sudah mati

Kisah Abu ‘Ubaid al-Bisri dalam sebuah peperangan ketika memohon kepada Allah untuk menghidupkan kembali binatang yang dikendarainya, maka hiduplah binatang yang sudah mati itu. Kisah Mifraj al-Dimamini ketika berkata kepada ayam yang dipanggang, “Terbanglah!” Tiba-tiba ayam itu terbang. Kisah Syaikh al-Ahdai ketika memanggil seekor kucing yang sudah mati, lalu kucing itu mendatanginya. Hikayat Syaikh ‘Abdul Qadir ketika berbicara dengan ayam setelah ia menyantap dagingnya, “Bangunlah dengan izin Allah, Zat Yang Menghidupkan tulang-tulang yang remuk,” tiba-tiba ayam itu bangkit kembali. Kisah Syaikh Abu Yusuf al-Dahmani ketika mendatangi sesosok mayat, ia berkata, “Bangkitlah! Dengan izin Allah,” lalu mayat itu berdiri dan hidup kembali dalam waktu yang cukup lama. Kisah Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi’i, guru besar Syam, yang diriwayatkan oleh Al-Subki bahwa di rumah Syaikh Zainuddin, ada anak kecil yang jatuh dari atap lalu meninggal. Syaikh Zainuddin kemudian berdoa kepada Allah, hingga akhirnya anak tersebut hidup kembali. (Riwayat Syaikh Fathuddin Yahya, putra Syaikh Zainuddin) Al-Subki selanjutnya berkata, “Tidak ada cara untuk menghitung cerita-cerita seperti ini karena banyaknya. Tetapi saya atau mungkin juga orang lain belum yakin bahwa seorang wali bisa menghidupkan orang yang sudah lama mati dan telah menjadi tulang belulang

kemudian mayat itu hidup untuk waktu lama. Hal ini belum pernah kami temui dan saya tidak percaya hal itu bisa dilakukan oleh seorang wali, tetapi tidak diragukan bahwa kejadian semacam itu pernah dilakukan oleh nabi-nabi Hal ini bisa terjadi melalui mukjizat bukan dengan karamah. Seorang nabi sebelum tertutupnya pintu kenabian bisa menghidupkan umat yang telah hancur beberapa abad, kemudian mereka hidup kembali untuk waktu lama. Saya tidak percaya bahwa wali bisa menghidupkan Imam Syafi’i atau Imam Abu Hanifah lalu keduanya hidup dalam waktu lama sebelum wali tersebut wafat atau bahkan hanya untuk waktu singkat dan mereka bisa bergaul dengan orang yang hidup sebagaimana mereka bergaul sebelum wafat.’

2. Dapat berbicara dengan orang mati

Karamah ini lebih banyak terjadi dibandingkan karamah sebelumnya. Misalnya kisah tentang Abu Sa’id al-Kharazi r.a., Syaikh ‘Abdul Qadir r.a., dan golongan wali setelah mereka yakni beberapa guru Syaikh Imam al-Walid, ayahanda dari Imam Taqiyuddin al-Subki.

3. Membelah dan mengeringkan laut, serta berjalan di atas air Karamah ini sering terjadi. Syaikhul Islam dan pemimpin kaum

mutaakhirin, Taqiyuddin bin Daqiqil ‘Id juga telah mengalami hal ini

4. Merubah benda-benda

Diceritakan bahwa Syaikh ‘Isa al-Hatar al-Yamani pernah didatangi utusan seseorang yang mengolok-oloknya dengan membawa dua bejana penuh arak. Kemudian Syeikh ‘Isa menuangkan arak dari salah satu bejana ke wadah lainnya dan Syaikh berkata kepada murid-muridnya, “Dengan menyebut nama Allah, makanlah!” Mereka lalu memakannya dan tiba-tiba arak itu berubah menjadi mentega dan tidak terlihat sedikit pun warna maupun aroma arak. Banyak orang menceritakan kisah semacam ini.

5. Melipat jarak bumi

Diceritakan bahwa beberapa wali berkumpul di Masjid Tharsus, mereka ingin sekali mengunjungi Masjidil Haram. Mereka kemudian memasukkan kepala ke dalam saku masing-masing. Ketika kepala mereka dikeluarkan, mereka sudah sampai di Masjidil Haram. Hikayat-hikayat semacam ini sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tidak ada yang mengingkarinya, kecuali para pendusta.

6. Berbicara dengan benda mati dan binatang

Tidak diragukan hal ini sering terjadi Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham memanggil sebatang pohon delima ketika ingin sekali me

makannya. Beliau memakannya, mulanya buahnya kecil, tetapi kemudian memanjang, dan yang mulanya asam, menjadi manis. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam setahun.

7. Menyembuhkan berbagai macam penyakit

Al-Sari menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah gunung yang dapat menyembuhkan cacat sebagian anggota badan, buta, dan penyakit lain. Diceritakan pula kisah Syaikh ‘Abdul Qadir ketika berkata kepada seorang bocah yang lumpuh, buta, dan sakit lepra, “Bangunlah dengan izin Allah.” Akhirnya bocah tersebut bangun tanpa kesulitan.

8. Menundukkan binatang

Seperti hikayat Abu Sa’id bin Abu Khair al-Mihani yang menundukkan singa dan hikayat Ibrahim al-Khawwash. Juga kemampuan menundukkan benda mati seperti hikayat Syaikhul Islam ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam yang menundukkan angin dalam peristiwa al-Faranji, “Angin, bawalah mereka!”

9. Melipat waktu

10. Membentangkan waktu

Dua macam karamah di atas sulit dipahami, dan lebih baik kita menyerahkan pemahamannya kepada para ulama. Hikayat-hikayat tentang keduanya cukup banyak.

11. Terkabulnya doa

Karamah macam ini sering terjadi dan kita juga sering menyaksikannya.

12. Mengendalikan lisan ketika berkata dan fasih bicaranya.

13. Memikat hati dalam majelis hingga mempengaruhi akhir keputusan yang diambil

14. Memberitahukan dan menyingkap hal-hal gaib. Karamah ini merupakan tingkatan yang melampaui batas pengetahuan kita

15. Sabar atas ketiadaan makanan dan minuman dalam waktu yang cukup lama

16. Mengendalikan perubahan musim

Banyak orang menceritakan bahwa ada wali yang selalu diikuti hujan, diantaranya Syaikh ‘Abdul’Abbas al-Syathir (dari kelompok ulama mutaakhirin) yang pernah menjual hujan dengan harga beberapa dirham. Banyak hikayat tentang karamah semacam ini, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.

17. Mampu memperoleh banyak makanan

18. Terjaga dari memakan makanan haram

Diceritakan bahwa Al-Harits al-Muhasibi mampu mencium aroma panas makanan yang haram sehingga ia tidak jadi memakannya. Ada yang mengatakan tubuhnya bergerak-gerak jika menemukan makanan haram. Syaikh Abu ‘Abbas al-Mursi juga mempunyai kemampuan serupa.

19. Melihat tempat yang jauh dari belakang h ijab

Sebagaimana diceritakan bahwa Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi mampu melihat Ka’bah, padahal ia sedang berada di Baghdad.

20. Ditakuti

Orang yang menyaksikannya secara langsung bisa meninggal seperti sahabat Abu Yazid al-Busthami, atau menjadi tidak berkutik di hadapannya, atau mengaku bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya, dan lain-lain.

21. Allah mencegah kejahatan yang akan menimpa seorang wali dan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Khalifah Harun al-Rasyid.

22. Menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda

Dalam istilah sufi disebut alam mitsal (dunia penyerupaan). Mereka menetapkannya sebagai dunia pertengahan antara dunia fisik dan dunia metafisik sehingga disebut alam mitsal, yakni dunia yang lebih lembut daripada dunia fisik dan lebih kasar daripada dunia metafisik. Ruh bisa mengambil bentuk dan menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam di alam mitsal lalu menyerupai manusia, berdasarkan firman Allah, Maka ia (malaikat) menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna (QS Maryam [19]: 17). Diceritakan bahwa Qadhib al-Ban al-Musili, salah seorang Abdal, dituduh meninggalkan shalat oleh seseorang yang belum pernah melihatnya. Ia tiba-tiba mengubah dirinya menjadi beberapa bentuk lalu bertanya, “Dalam bentuk mana engkau melihatku tidak melakukan shalat?”

Banyak kisah mengenai karamah semacam ini. Salah satu kisah yang disepakati oleh para ulama Mutaakhirin adalah kisah tentang seorang sufi besar di Kairo yang berwudhu tidak secara berurutan di madrasah Suyufiyyah. Kemudian ada orang menegurnya, “Wahai Syaikh, wudhumu tidak berurutan.” Syaikh itu lalu menjawab, “Saya selalu berwudhu dengan urut, kamu yang salah lihat.” Ia lalu mengambil tangan orang itu dan memperlihatkan Ka’bah kepadanya.

Orang itu kemudian melewati Mekah dan melihat Syaikh itu ada di Mekah, dan ia tinggal di sana beberapa tahun.

23. Allah memperlihatkan isi bumi kepada mereka Sebagaimana dalam hikayat Abu Turab, ketika kakinya menjejak

bumi, tiba-tiba air memancar. Ibn al-Subki mengatakan, “Karamah ini terjadi sebagai berikut: Allah menciptakan air tidak pada tempatnya, sementara bumi patuh pada kaki yang menginjaknya.” Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang dilanda kehausan di tengah perjalanan menunaikan ibadah haji, ia tidak menemukan seorang pun yang memiliki air. Ia hanya menemukan seorang sufi sedang menyandarkan tongkat di suatu tempat, sementara air memancar dari bawah tongkat itu. Selanjutnya ia memenuhi bejana miliknya dengan air itu, kemudian ia menunjukkan sumber air itu kepada jamaah haji rombongannya, akhirnya mereka memenuhi bejana yang mereka bawa dengan air tersebut.

24. Kemudahan para ulama untuk menyusun karya dalam waktu relatif singkat. Mereka mampu menyusun banyak kitab di tengah kesibukan dalam bidang keilmuan sampai mereka wafat, padahal untuk menuliskan kitab-kitab itu pun waktu yang ada tidak mencukupi apalagi untuk mengarangnya. Hal ini termasuk karamah memanjangkan waktu seperti telah kami sebutkan di muka. Para ulama sepakat bahwa umur Imam Syafi’i r.a. tidak cukup untuk menyusun sepuluh kitabnya, padahal ia setiap hari menghatamkan Al-Qur’an sambil merenungkannya. Dan setiap bulan Ramadhan ia khatam dua kali sehari padahal ia sibuk mengajar, memberi fatwa, berpikir dan berzikir serta terkadang tertimpa sakit karena ia terkena satu atau dua penyakit atau lebih, dan mungkin ia terkena tiga puluh macam penyakit. Demikian juga yang terjadi pada Imam Haramain Abu Ma’ali al-Juwani r.a., bila umur, karya-karya yang dihasilkannya, pertemuan-pertemuannya untuk pengajaran, dan waktu zikirnya di majelis zikir yang tidak pernah terlewatkan dibandingkan, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan semua itu.

Banyak wali yang mampu menghatamkan Al-QurKan 8 kali setiap harinya. Imam Al-Rabani Syaikh Muhyiddin al-Nawawi r.a. telah mengisi hidupnya untuk menyusun berbagai kitab, padahal usia hidupnya tidak cukup untuk menuliskan kitab-kitab itu apalagi untuk mengarangnya, ditambah lagi waktu untuk melakukan berbagai ibadah dan aktivitas lainnya. Demikian juga Syaikh Imam al-Walid, ayahanda

dari Syaikhul Islam Imam Taqiyuddin al-Subki r.a. Jika waktunya untuk menyusun berbagai kitab, ditambah dengan kegiatan ibadahnya, aktivitas-aktivitas lain yang bermanfaat, mengajarkan ilmu, menuliskan fatwa, membaca Al-Qursan, dan kesibukannya dalam urusan hukum dihitung, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan sepertiga dari aktivitas-aktivitasnya itu. Semua itu terjadi berkat Allah yang Maha Suci yang telah memberikan berkah dan rahmat kepada para wali.

25. Menghilangkan pengaruh racun dan hal yang membahayakan.

Diceritakan bahwa pada sua tu hari seorang syaikh ditantang oleh seorang raja untuk menunjukkan karamahnya, “Kalau Engkau tidak bisa menunjukkan hal yang luar biasa kepadaku, maka aku akan membunuh murid-muridmu ini?” Saat itu, di dekat syaikh ada kotoran unta, lalu syaikh berkata, “Lihatlah!” Tiba-tiba kotoran itu berubah menjadi emas. Di sisi syaikh ada sebuah gayung tanpa air. Lalu ia mengambil gayung itu dan melemparkannya ke udara. Sewaktu ia mengambilnya kembali, gayung itu sudah penuh air, padahal posisi gayung itu terbalik tetapi tidak ada setetes air pun yang tumpah. Sang raja berkomentar, “Ini sihir!” Selanjutnya raja menyalakan api besar, lalu memerintahkan murid-murid syaikh itu memasukinya. Selesai mengelilingi api, masuklah syaikh dan beberapa muridnya ke dalam api. Kemudian syaikh keluar lagi dari api itu dan menyambar putra kecil sang raja. Ia masuk kembali ke dalam api dan menghilang selama satu jam sampai raja menduga anaknya ikut terbakar. Kemudian Syaikh dan anak raja itu keluar sambil memegang apel dan delima. Sang ayah bertanya, “Dari mana saja kamu?” Jawabnya, “Dari taman.” Berkomentarlah para punggawa raja, “Ini dibuat-buat, tidak nyata.” Sang raja berkata kepada Syaikh itu, “Kalau kamu bisa selamat minum segelas racun ini, maka aku akan mempercayaimu.” Syaikh itu meminumnya, maka terkoyak-koyaklah pakaiannya. Hadirin lalu memberinya pakaian yang lain, maka terkoyak-koyaklah kainnya. Demikian hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga hancurlah pakaian syaikh tersebut hingga kelihatan ototnya. Tetapi racun yang mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa.

Selanjutnya Al-Subki menjelaskan, “Menurut perkiraan saya, karamah para wali lebih dari seratus macam. Macam-macam karamah yang telah saya kemukakan di atas merupakan bukti bagi orang yang meremehkan dan mengabaikannya. Semua karamah di atas telah banyak diriwayatkan dan diceritakan dan telah tersebar pula khabar-khabar dan riwayat-riwayat tentangnya. Jadi, selain kebenaran adalah

kesesatan, dan kalau bukan berupa penjelasan tentang hidayah berarti sia-sia. Orang yang setuju tidak menyerah begitu saja, tetapi selalu meminta kepada Tuhannya untuk menghubungkannya dengan orang-orang yang saleh. Mereka senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Kalau saya mencoba membatasi apa yang terjadi pada para wali, berarti saya telah mempersempit jiwa kita dan menghabiskan banyak kertas.’ Imam’ Abdur Rauf al-Munawi menuturkan dalam pendahuluan kitab Thabaqah al-Shugra tentang macam-macam karamah dengan gaya bahasa yang berbeda. Meskipun pendapatnya tidak berbeda dengan pendapat Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaqi’ al-Nujum, akan tetapi Al-Munawi memberikan ringkasan, mengemukakan pendapat-nya sendiri, dan menolak pendapat yang sudah ada.

Al-Munawi berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan Allah menampakkan karamah adalah untuk menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada wali tersebut yang akan menambah kecintaan wali kepada maqamnya dan memperkuat tujuannya. Sebagaimana firman Allah, Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (QS Al-Isra’ [17]: 1). Maksudnya adalah, apabila seorang wali telah menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memberikan karamah kepadanya seperti kemampuan untuk mengetahui orang yang akan datang dari jarak jauh atau melalui hijab yang tebal, melihat Ka’bah dari tempat yang jauh, menyaksikan alam gaib, dan hal-hal luar biasa lainnya seperti yang dialami Nabi, sebagai penghormatan bagi orang yang mengikuti dan mencintainya. Ia juga bisa menyaksikan alam malakut seperti malaikat, alam jabarut seperti jin, dan alam ruh seperti Abdal dan Autad. Para malaikat adalah makhluk yang difirmankan Allah sebagai, Mereka bertasbih malam dan siang tiada hentinya (QS Al-Anbiya’ [21]: 20). Apa anggapanmu terhadap orang yang menjadi teman para malaikat yang tidak pernah lalai. Ia pasti orang yang selalu berzikir dan merenungi kekurangan dirinya dengan menjalankan berbagai ketaatan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dan menyaksikan {musyahadah) Yang Maha Agung dan Mulia, dan teman yang menyelamatkan dari kejahatan. Adapun alam ruhani bisa disaksikan oleh setiap orang yang mempunyai sifat seperti malaikat yang teguh dan sungguh-sungguh menaati perintah Allah serta mempunyai sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidir a.s. dan lain-lain. Tidakkah kau lihat Ibrahim al-Khawwas ketika bertemu dengan Khidir, ia menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk penghormatan.

Lalu ia bertanya kepada Khidir, ‘Bagaimana aku bisa melihat engkau?’ Khidir menjawab, Itu karena kebaikanmu terhadap ibumu.'”

Masih menurut Al-Munawi, pertemuan dengan makhluk-makhluk Allah yang mulia harus kita yakini sebagai perhatian Allah kepada kita, karena Allah-lah yang telah mempertemukan kita dengan makhluk-Nya yang taat dan khawwash, yaitu makhluk yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Tidak akan sengsara orang yang menjadi teman mereka karena mereka adalah orang-orang yang telah terlepas dari unsur-unsur tanah dan keluar dari kejelekan-kejelekan sifat manusia. Cahaya perlindungan Allah telah mematangkan sifat-sifat ketanahan mereka yang baik, terberkati, lurus, dan bercampur dengan sifat-sifat yang lembut, lalu mengeluarkan mereka dari asal mula mereka untuk mencapai alam yang tinggi. Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasan mereka menjadi luar biasa. Apabila manusia memiliki sifat-sifat malaikat, maka ia akan keluar dari kebiasaan manusia dan muncul darinya keajaiban seperti yang dimiliki malaikat hasil dari musyahadatnya. Kebanyakan manusia seperti itu tidak bisa dilihat oleh mata sebab terhalang oleh sesuatu, bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat, mampu berjalan di atas air, terbang di udara, tidak terlihat, dan mampu berubah bentuk seperti alam ruhani, seperti Khidir a.s. yang bisa menjelma menjadi bentuk yang ia inginkan.

Al-Munawi menjelaskan lagi, “Ketahuilah bahwa manusia bisa berpindah dari menyaksikan alam malakut yang ada di luar dirinya untuk melihat keadaan alam khusus tersebut. Melihat di sini artinya terbuka mata batinnya sehingga tersingkaplah baginya rahasia hakikat dan tampaklah cahaya yang suci, yakni tersingkapnya selubung hati sehingga maksud-maksud ilahiah dan rahasia-rahasia hakikat menjadi jelas. Hal itu menjelma dalam cermin imajinasi penglihatan sehingga mata batin bisa melihatnya yang pada akhirnya tampak kepadanya hal-hal gaib dan apa yang tersembunyi dalam hati. Apabila hijab (penghalang) mata hati telah tersingkap dan tutupnya telah terbuka, maka orang akan mampu mengetahui getaran-getaran hati yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, apabila seorang wali mau, niscaya ia bisa menunjukkan kemampuannya itu dan apabila tidak dia akan menutupinya sesuai kondisi, waktu, dan kemaslahatan. Berdasarkan hal ini, ada sebagian wali yang mampu menyingkap hal-hal gaib, dan sebagian lain mampu menandai sifat-sifat orang lain dalam cermin hatinya karena kesuciannya. Hal itu berlaku bagi orang yang melepaskan keinginan-keinginan duniawi. Dan apabila ia menemukan keinginan yang tidak sesuai dengan maqamnya, maka ia tahu bahwa itu adalah keinginan orang-orang yang ada di hadapannya. Sebagian wali tidak mengetahui itu keinginan siapa, maka ia berbicara tentang ciri-ciri orang yang sesuai dengan keinginan tersebut. Dan sebagian lagi mengetahui siapa yang menginginkannya, sehingga langsung menyatakannya kepada orang yang dimaksud. Pangkal pengetahuannya adalah bahwa pada dasarnya antar hati itu ada hubungan. Apabila terlintas dalam hati syaikh atau murid sesuatu yang jelek maka muncullah asap yang membentuk awan gelap dalam hati Syaikh. Apabila syaikh sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai keinginan jelek, maka asapnya semakin tebal, dan apabila ia memalingkan wajah darinya maka asap itu menghilang. Apabila terlintas sesuatu yang baik maka asap itu menjadi asap yang lembut dan berbau harum di hidungnya. Keadaan itu terjadi apabila orang yang menginginkannya ada di hadapannya. Apabila tidak ada, maka seperti ahli ma’rifa t yang berdiam diri di sebuah masjid dan pada saat yang sama keluarganya atau orang lain menginginkan makanan tertentu. Tiba-tiba makanan itu ada di hadapannya, padahal ia tidak menginginkannya. Tahulah ia bahwa ia tidak menginginkan makanan itu untuk dirinya, maka ia memberikan dan mengirimkannya kepada orang yang menginginkannya.”

Termasuk kategori mukasyafah yang halus adalah terbersitnya suatu keinginan dalam hati seorang wali, lalu di bajunya muncullah tanda bahwa keinginannya itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dialami Abu Madyan r.a. ketika ingin menceraikan istrinya, Abu ‘ Abbas al-Khasyab melihat tulisan di baju Syaikh Abu Madyan, “Pertahankan istrimu!” Dan seperti yang dialami Ibnu ‘Arabi r.a. ketika sibuk menyusun sebuah kitab, ada yang berkata kepadanya, “Tulislah bab yang sulit dipahami ini.” Setelah itu, ia tidak tahu apa yang akan dituliskannya dan bingung sesaat. Seteleh kebingungannya hilang, ia melihat papan bertangkai yang bercahaya di hadapannya, di atasnya terdapat tulisan hijau bercahaya, kemudian papan itu hilang.

0 thoughts on “RAGAM MACAM KAROMAH

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *