KH ABBAS DJAMIL BUNTET CIREBON, SANG PENDEKAR SEJATI YANG TAK PERNAH MATI

 

BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM. ‘ALA HADZIHINNIYYATI WALIKULLI NIYYATIN SHOLIHAH BIBAROKATI UMMUL QUR’AN,AL-FATIHAH …….

ALLOHUMMA INNI AS ALUKAS SALAMATA WAL ‘AFIATA FIL IJAAZATI WAL KAROMATI WAL ISTIQOMATI, WAASALUKAL LOHUMMAR ROHMATA WAL BAROKATA WAL’INAYATA WALQUWWATA WASSAJAA’ATA FIDDIINI WADDUNYA WAL AKHIROH,TABAARUKAL LIASMAAILLAHI TA’ALA, AL-FATIHAH…….

Alaa Biidznillahi Ta’ala Wabiridhoillahi Wabi Barokatihi Wabi Syafaa’atihi Rosulillahi SAW.Ila Hadrotinnabiyyil Mustofa Sayyidina Muhammadin SAW,Wa ‘ala Aalihi Wa Ashhabihi Wa Azwajihi Wadzurriyyatihi Wa Ahlibaitihil Kirom Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Khususon Ila Ruuh Abiina Adam AS Wa ummina Hawa Wama Tanaasalu Bainahuma Ila Yaumil Qiyaamati,Syaiun Lilahi lahumal fatihah…….

Waila Hadroti Jamii’il Anbiyaai Walmursaliin,Sholawatullohi Wasalaamuhu ‘alaihi Wa’alaihim Ajma’in.Wajami’il Malaaikatil Muqorrobina Warruhaaniyyin Khususon Ila Ruhil Amiin Sayyidina Jibril AS, Wa Sayyidina Mikail AS,Wasayyidina Isrofil AS,Wa Sayyidina Izroil AS,Wa Sayyidina Naubatil Kiroom AS Syaiun Lillahilahumul fatihah …….

Tsumma Ila Hadroti Jamii’is Shohabati Rosulillahi SAW Minal Muhajiriina Wal Anshoriyyiina,Khususon Ila Ruhi Saadzatina Abi Bakrin,Wa ‘Umar,Wa ‘Usman,Wa ‘Ali Rodiyallohu ‘anhum Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah …….

Khususon Ila Ruh Nabiyulloh Khidir Balya Bin Malkan AS , Wa Nabiyulloh Ilyas AS Al-fatihah …….

Tsumma Ila Arwahil Arba’atil Aimmatil Mujtahidiina Wamuqollidihim Fiddiin Wal ‘Ulamail ‘Amiliina Wal Fuqohai Wal Muhadditsiin Wal Qurrooi Wal Mufassiriina Wassaadzaati Shufuufiyyatil Muhaqqiqiin Wataabi’ihim Ila Yaumiddiin, Al-fatihah …….

Khususon Ila Hadroti Sulthonil Aulia Sayyidina Syekh Abdul Qodir Jailani RA,Shohibil Karomati Wal ‘Ajiibaah,Wal Ma’unati Wassalaamati Wal Barokah. Wausulihi Wafuruu’ihi Wa Talaamidzihi Innalloha Yu’li Darojaatihi Fil Jannati Waayyu’ida ‘alaina Min Barokatihil Fatihah …….

Wa ila Hadroti Jami’il Aulia Akthob,Wal Anjaab,Wal Autaad,Wal Akhyar Min Masyaariqil Ard Ila Maghoribiha Fi Barriha Wabahriha, Min Yaminiha Ila Simaliha,Khususon Ila Ruh :

ØSYEKH ABU HASAN AS-SADZILI RA,SHOHIBUL KAROMAH WAT THORIIQOH

ØSYEKH IMAM GHOZALI

ØSYEKH IMAM NAWAWI TANARA

ØSYEKH MUHAMMAD HAQQIN NAAZILI

ØSYEKH ABI ABDILLAH MUHAMMAD BIN MUHAMMAD AS SANUSI

ØSYEKH ABU QOSIM JUNAIDI AL BAGHDADI

ØSYEKH AHMAD BAIDOWI

ØSYEKH AHMAD RIFA’I

ØSYEKH AHMAD NABHANI

ØSYEKH AHMAD DAIROBI

ØSYEKH ABU YAZID AL BUSTOMI

ØSYEKH IMAM AHMAD BIN ALI AL BUNI

ØSYEKH IMAM SYAMSUDIN MUHAMMAD BIN ABU BAKAR BIN AYUB AD DAMSUKI

ØSYEKH ALI ABU HAYILLAH AL MARZUQI

ØSYEKH ABU HAMID AL GHOZALI

ØSYEKH ABU ABDULLAH MUHAMMAD BIN YUSUF

Rodiyallohu ‘anhum,Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Wa ila Arwahi Jami’il Auliya Wal Ulama Indonesi & Pulau Jawa, Khususon Ila Hadroti

ØSYEKH JAMBU KARANG

ØSYEKH MAULANA MALIK IBROHIM SUNAN GRESIK

ØSYEKH MAULANA RADEN ROHMAT SUNAN AMPEL

ØSYEKH MAULANA RADEN AINUL YAQIN SUNAN GIRI

ØSYEKH MAULANA RADEN QOSIM SYARIFUDIN SUNAN DRAJAT

ØSYEKH MAULANA MAKDUM IBROHIM SUNAN BONANG

ØSYEKH MAULANA JAFAR SHIDIQ SUNAN KUDUS

ØSYEKH MAULANA RADEN SA’ID SUNAN MURIA

ØSYEKH MAULANA RADEN SYAHID SUNAN KALIJOGO

ØSYEKH MAULANA SYARIF HIDAYATULLOH SUNAN GUNUNG JATI CIREBON

ØSYEKH MAULANA RADEN FATAH DEMAK

ØSYEKH MAULANA HASANUDIN BANTEN

ØSYEKH MAULANA MANSYURUDIN BANTEN

ØSYEKH IMAM NAWAWI BANTEN

ØSYEKH AHMAD SALIM BANTEN

ØSYEKH ABDUSSALAM BANTEN

ØSYEKH ALI MANDAYA BANTEN

ØSYEKH MUHAMMAD SYAMSUDIN BANTEN

ØSYEKH ABUYA DIMYATI BANTEN

ØAL HABIB HUSEN AL IDRUS KAROMAH LUAR BATANG JAKARTA

ØRADEN PRABU KIAN SANTANG SUNAN ROHMAT GARUT

ØSYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN TASIKMALAYA

ØKI AGENG ANGGAWANA KALISOKA TEGAL

ØRADEN PURBAYA KALISOKA TEGAL

ØSYEKH SARIDIN PATI

ØSYEKH SUBAKIR

ØSYEKH ABDURRAHMAN SAMBU REMBANG

ØSYEKH ASY’ARI TUBAN

ØSYEKH TUNDUNG MUSUH TUBAN

ØSYEKH MAULANA IBROHIM SAMARQONDI TUBAN

ØSYEKH SULAIMAN MOJOKERTO

ØSYEKH ABDUL HAMID PASURUAN

ØSYEH MUHAMMAD KHOLIL BANGKALAN

ØSYEKH AHMAD KHOTIB BIN ABDUL GOFAR SAMBAS

ØSYEKH FATHULLOH HARUN AL MURTADLO

ØSYEKH GIRI WASIAT

ØSYEKH NGADIROSO

ØEYANG SHOLEH AL HAJJ

ØKIYAI SABUK ALU PINAYUNGAN

ØKIYAI SUKMA AJI SEGARA

ØKIYAI GUNTUR HIDAYATULLOH

ØMUHAMMAD FATWA AL FATIH

ØEYANG PRABU SILIWANGI

ØEYANG PRABU GALUH

ØEYANG NAGARAPAGEUH CIAMIS

ØEYANG JAGADITA SAKTI CIAMIS

Rodiyallohu ‘anhum, Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Wa Khususon Ila Arwahi :

ØHADROTUS SYEKH KH.HASIM ASY’ARI JOMBANG

ØKH.ABDURRAHMAN WAHID JOMBANG

ØGUS MA’SUM LIRBOYO

ØKH.ABDUL HAMID PASURUAN

ØKH.RADEN KHOLIL (AYAH BANJAR) CIAMIS

ØKH.MUHAMMAD ILYAS RUHYAT TASIKMALAYA

ØKH. ABBAS ABDUL JAMIL BUNTET CIREBON

Rodiyallohu ‘anhum ,Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

KHUSUSON ILA ABI WA UMMI LAHUMAL FATIHAH…….

TSUMA ILAA JAMII’IL AHLIL KUBUUR MINAL MUSLIMIINA WAL MUSLIMAATI, WALMUMINIINA WAL MUMINAATI MIN MASYAARIQIL ARDI ILA MAGHORIBIHAA, BARRIHAA WA BAHRIHAA KHUSUUSHON ILAA AABAAINA WA UMMAHAATINA WAAJDADINAA WAJADDATINAA WAMASYAAYIKHINA WAMASYAAYIKHI MASYAAYIKHINAA WALIMAN AHSANA ILAINA WALIMAN AHABBA ILAINA WALIMANIJTAMA’NA HAA HUNAA BISABABIHI,LAHUMUL FAATIHAH…………

###

SURABAYA TAHUN 1945.

Syahdan, ia berdiri di atas tempat yang agak tinggi. Mengenakan bakiak yang dibawanya dari Cirebon, ia membaca doa sambil menengadahkan tangannya ke langit. Saat itulah kekuatan karamahnya keluar. Ribuan alu (penumbuk padi) dan lesung melesat dari rumah-rumah penduduk dan menerjang para serdadu musuh, memukul mundur pasukan penjajah. Pihak sekutu kemudian mengirimkan pesawat pengebom Hercules untuk meluluhlantakkan Surabaya. Namun pesawat itu, berkat kekuatan karamah Kyai Abbas, meledak di udara. ALLAHU AKBAR….

Setiap usai salat zuhur atau Asar, tahun 1920-an, sebuah langgar di langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian kepada sang guru.

Walaupun namanya sudah sangat terkenal di seantero pulau jawa, baik karena kesaktian maupun kealimannya. Kala itu Kiai Abbas (1879-1946) tetap saja hidup sederhana. Dilanggar beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah, sejak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya

Kiai Abbas Djamil Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Djamil adalah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, kesultanan Cirebon.

Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, ia baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari, Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, lalu ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para santri lain dan Kiai yang terpandang, seperti KH. Wahab Chasbullah (Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).

Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan giat belajar, walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam ilmunya dengan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa belajar ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa terkenal sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan Jawa Timur.

Sedangkan rekan santri yang lain adalah KH. Bakir (Yogjakarta), KH Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).

Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan berbagai khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Kitab karya ulama Mesir, seperti Tafsir Tontowi jauhari dan Fahrurrazi, juga diajarkan di Pesantrennya.

Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap saja rendah hati kepada para santrinya.

Walaupun usianya ketika itu sudah 60 tahun, tubuhnya masih kelihatan gagah dan tegap. Rambutnya yang lurus, dan sebagian sudah mulai memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban, seperti lazimnya para Kiai. Pada saat itu, tahun 1939, perjuangan kemerdekaan sedang menuju puncaknya. Pengajaran ilmu kenuragan dirasa lebih mendesak untuk mendukung kemerdekaan. Maka Kiai Abbas pun mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kanuragan pada masyarakat luas.

Sudah barang tentu orang-orang yang berguru kepada Kiai Abbas bukan sembarangan atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Biasanya tamu yang datang langsung di bawa masuk ke dalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya, sang Kiai mengijazahkan wirid tertentu sebagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.

Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu, pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, seperti KH. Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.

Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hisbullah memusatkan perhatiannya di daerah Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung, yang terletak di daerah Walet selatan membentang  ke bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya perundingan Renville tahun 1947, ketika kemudian pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogjakarta pada tahun yang sama.

Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain.

Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi Nofember di Surabaya tahun 1945. Peristiwa itu terbukti setelah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.

Memang setelah dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar Pesantren Buntet mempunyai peranan besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945, atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat langsung dalam pertempuran di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke berbagai daerah pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Di mata KH Hasyim Asy’ari, KH. Abbas memang bukan sekedar santri biasa. Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu beladiri maupun ilmu kedigdayaan. Tidak jarang kiai Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan KH. Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama dari gangguan para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1900.

Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak membuat mereka terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.

Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.

Mendengar isi perjanjian seperti itu, Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan akhirnya kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad, Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa. Meskipun dia sudah tiada, namun semangat kepahlawanannya tidak pernah luntur dan menjadi inspirasi para pejuang muslim di seluruh nusantara



Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

SANG PENARI YANG DITEMBAK MATI

Ini sekelumit kisah seorang pahlawan seni tari Jawa. Ia ditembak mati dan dituduh sebagai mata-mata.

Memaknai perjalanan hidup adalah kewajiban siapa saja. Tidak peduli presiden hingga rakyat jelata. Setiap individu berhak untuk tahu sangkan paraning dumadinya, berhak untuk memaknai jalan hidupnya yang terbaik sesuai dengan kodrat dan iradat yang telah digariskan Tuhan. Saat seseorang telah menemukan siapa “aku sejati”nya, maka tidak ada keraguan untuk menghadapi segala mara bahaya termasuk maut sekalipun. Inilah kisahnya:

Vincennes, Perancis, di pagi yang berkabut tanggal 15 Oktober 1917. Sekelompok regu tembak siap menghamburkan peluru. Targetnya cuma satu dan perempuan pula: seorang penari tarian Jawa, Mata Hari namanya.

Dorrr…..berondongan senapan berbunyi. Asap keluar dari masing-masing senapan.  Perlahan-lahan, dia berlutut, kepalanya tetap tegak tanpa ekspresi. Kemudian dia jatuh ke belakang, terlipat di pinggang, dengan kaki berada di bawah tubuhnya. Akhirnya dia terbaring diam tak bergerak, dengan wajah menghadap langit. Sebuah kematian yang sangat tenang..

Sebelum tubuhnya diberondong pelor tajam, ia bahkan sempat menebarkan uluk cinta. Dia meniupkan ciuman jauh kepada para eksekutor dan semua yang hadir di sana. Yang unik, dia tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Bahkan sempat mengacaukan konsentrasi para eksekutor dengan membuka pakaian. Mata Hari juga menolak ditutup matanya. Sebuah keberanian dan kepasrahan menghadapi maut yang tidak sembarang orang mampu menjalaninya.

Kenapa Mata Hari dihukum mati? Perempuan bernama asli Margaretha Geertuida Zelle, warga Belanda ini dituduh Perancis menjadi mata-mata Jerman . Situasi Perang Dunia memaksa dia untuk bekerja membanting tulang sebagai penari dan dituduh menjadi agen intelijen.

Margaretha Geertuida Zelle menggunakan nama Mata Hari sejak ikut suaminya, perwira kolonial Hindia Belanda bejat yang bertugas di Jawa dan Sumatera antara tahun 1897-1900. Selama di Jawa, dia belajar bahasa dan budaya Jawa, termasuk tari-tariannya. Karena jatuh cinta dengan budaya Indonesia, diapun mengganti namanya dengan Mata Hari dan tidak mau lagi dipanggil Margaretha. Sejak kembali ke Eropa dia menghidupi dirinya dengan menjadi penari. Dia menjadi terkenal tidak saja karena totalitasnya menggeluti seni: melestarikan tarian Jawa.

Pada saat Perang Dunia pertama, Belanda menjadi pihak yang netral. Sebagai warga negara Belanda, Mata Hari leluasa bepergian ke negara-negara Eropa untuk menari. Sayangnya, Mata Hari malah dituduh telah direkrut Jerman dan Inggris untuk menjadi mata-mata di Perancis.

Margaretha si “Mata Hari” lahir pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden Belanda. Sebagai anak kedua dari Adam Zelle dan istrinya Antje van der Meulen (keturunan Indonesia-Belanda) dan putri semata wayang dari empat anaknya Zelle yang semuanya laki-laki. Ayahnya seeorang pedagang. Semasa anak-anak dia biasa dilayani pembantu dan hidup berkecukupan.

Yang pasti, Margaretha menikmati masa kanak-kanaknya seperti anak kebanyakan. Namun ketika ia berusia 13 tahun, bisnis ayahnya bangkrut dan mulailah drama kesedihan demi kesedihan. Dua tahun kemudian, ibunya meninggal. Ia dititipkan tinggal dengan kerabat keluarganya, dan ia mulai mengikuti pendidikan guru namun gagal. Pada usia 18 tahun ia mencoba merubah nasibnya dengan mengirim surat ke sebuah iklan yang di pasang di sebuah surat kabar. Iklan itu menyebutkan ada seorang tentara yang sedang mencari jodoh. Tentara yang mencari jodoh itu berusia 38 tahun namanya Kapten Rudolph MacLeod. Seorang Belanda keturunan Skotlan.

Pada 11 Juli 1895 mereka menikah dan lahir dua anak, seorang laki-laki yang lahir pada 30 Januari 1897di Netherland diberi nama Norman. Sayangnya, Mac Leods ini seorang yang gemar main perempuan. Bahkan saat Margaretha tengah melahirkan, John malah tega berhubungan intim dengan perempuan lain di rumah mereka. Lima bulan setelah kelahiran bayinya, akhirnya mereka memutuskan pindah ke Jawa Timur. Margaretha menginjak usia 20 tahun sementara Mac Leods memasuki usia 41 tahun. Setelah pindah ke Jawa Timur, lahirlah putrinya Jeanne-Louise pada 2 Mei  1898.

Kehadiran dua anak tak membuat perilaku Mac Leods berubah. Dia semakin gemar main perempuan sehingga rumah tangga itu dilalui dengan banyak percekcokan dan pertikaian. MacLeods juga suka cemburu yang tanpa alasan pada isterinya yang memang cantik dan lembut. Bahkan tega menuduh Margaretha berselingkuh dengan lelaki lain. Padahal ia sendirilah yang playboy dan perilaku buruk itu tak berubah banyak meski telah menikah. Bahkan tak jarang memukul isterinya di forum yang dihadiri banyak orang.

Suatu ketika Mac Leods ditugaskan di kota Medan. Margaretha diminta untuk menyusul kemudian. Di Medan Margaretha menempati rumah Van Rheedes seorang akuntan untuk pemerintah kolonial. Inilah masa-masa Margaretha mulai menceburkan diri dengan belajar dunia seni tari. Perhatiannya yang sungguh-sungguh membawanya ikut suatu pergelaran sendratari Jawa, dan itu terus berlanjut hari demi hari. Ia juga tertarik mendalami sejarah, bahasa dan budaya Indonesia, belajar bahasa Melayu.

Berbagai kesempatan pun terbuka untuk unjuk kebolehan menari. Margaretha ikut pula menari sambil menghibur diri karena suami yang hobi selingkuh. Pada tahun 1897, Margaretha pulang ke Jawa Timur karena ada tawaran manggung dari pemerintah kolonial Belanda di Surabaya. Di sini dia mulai menggunakan nama ‘Mata Hari.’

Dari sisi spiritualitas, Margaretha tertarik mendalami kepercayaan Hindu. Sering di kamarnya, ia mempraktikkan tarian tantra diiringi oleh suara musik orkestra yang berasal dari imaginasinya. Seluruh jiwa raganya terpaut kepada tarian. “Saya seringkali merasa seperti seorang ‘Apsara’, atau seorang wanita Penari dari Kayangan, yang akan memperoleh kebahagiaannya hanya ketika ia menari bagi para Dewa….” ujarnya.

Kebiasaan buruk Mac Leods terus berlanjut. Ia juga tidak lagi menafkahi istri dan anaknya. Namun, ia balik menuduh Margaretha tak memiliki perhatian pada keluarga dan tidak keibuan. “Seharusnya kamu bisa bersih-bersih sendiri dan merapikan rumah, jangan hanya menari,” kata Mac leods yang tidak memahami bagaimana repotnya jadi ibu dengan dua.

Sebulan Margaretha tinggal di Medan datang kejadian tragis pada 25 Juni 1899. Norman anaknya yang berusia dua setengah tahun meninggal karena diracun tapi anak perempuannya berhasil diselamatkan. Hasil investigasi membuktikan penyebabnya adalah John menganiaya tentara pribumi. Kebetulan tentara ini memiliki hubungan cinta dengan wanita pengasuh anak-anaknya. Si pengasuh balas dendam kekasihnya dipukuli dengan meracun anaknya. Kejadian itu membuat Mac Leods gusar dan menyalahkan Margaretha yang dituduh kurang memperhatikan anak-anak.

Margaretha kembali ke Holland ditemani Mac Leods pada Maret 1902 dan sang putri mereka. Suatu hari ketika Margaretha pulang ke rumah, ia terguncang menyaksikan apartemennya kosong dan John telah minggat bersama puteri mereka yang berusia empat tahun. Margaretha berusaha mencari namun sia-sia. Inilah puncak pertengkaran dan penganiayaan batin yang dialami Margaretha.

Mac Leods malah memfitnah dengan memasang iklan di surat kabar Amsterdam: “Saya minta pembaca koran semua, siapa saja tidak membantu atau memberi apapun kepada Margaretha MacLeod-Zelle sebab isteri saya telah meninggalkan keluarga dan anaknya sendiri”.

Margaretha kini benar-benar sendiri terasing sepi. Tidak memiliki kemampuan untuk bekerja padahal usianya sudah menginjak 27 tahun ini. Suatu hari saat dia membaca koran Belanda ada tawaran kehidupan yang mudah di Paris bagi seniman seperti dirinya. Akhirnya ia memutuskan pergi ke Paris dan singkatnya dia bekerja sebagai pemain sirkus, menjadi model pelukis potret Antonio de La Gandara, dan lama kelamaan dia dikenal sebagai seniman.

Itu karena dia mulai rajin manggung sebagai penari bergaya Oriental. Ia yang menggunakan nama panggung Mata Hari dan mengaku sebagai puteri dari tanah Jawa, anak pendeta Hindu. Saking cintanya kepada Indonesia ia juga mengaku hidupnya telah diabdikan untuk seni tari. Tariannya terbukti bisa mengangkat statusnya bahkan dia populer di kalangan para negarawan dan pejabat militer di berbagai negara, termasuk Perancis dan Jerman.

Dunia berkecamuk Perang Dunia Pertama. Dunia seni budaya mengalami masa sulit. Sementara hidup terus berlanjut. Situasi sulit ini memaksa Mata Hari untuk tetap bisa bertahan hidup. Pada suatu ketika, ia didatangi para agen intelijen Jerman dan ditawari menjadi agennya. Awalnya Mata Hari menolak. Namun ia diancam untuk dibunuh sehingga tidak ada cara lain selain hanya diam dan sesekali memberi informasi.

Pada January 1917, atase militer Jerman di Madrid mengirimkan pesan radio ke Berlin menjelaskan tentang agen mata-mata Jerman yang dapat membantu, yang memiliki kode-panggilan H-21. Agen intelijen Perancis menyadap pesan itu mengenali bahwa H-21 adalah Mata Hari. Dia ditangkap pada 13 February 1917di Paris.

Para sejarahwan menganalisa, penangkapan wanita penggiat seni tari Jawa yang populer itu adalah kambing hitam atas kekalahan Perancis dalam peperangan. Meskipun tak ada bukti nyata bahwa Mata Hari bersalah menjadi agen intelijen ia tetap dianggap bersalah dan dieksekusi di hadapan regu tembak pada usia 41.

Kisah Mata Hari adalah sebuah ironi. Kelembutan dan kecantikan perempuan bisa menjadi kambing hitam kecemburuan kaum lelaki. Namun di balik itu semua, sejatinya hidup adalah sebuah pilihan. Dan saat seseorang telah memilih, maka di situ dia telah menetapkan takdirnya. Seseorang harus menanggung resiko baik dan buruk. Termasuk dengan cara apa dan bagaimana dia memilih kematian. Semuanya harus diterima dengan pasrah dan lapang dada sebagai bentuk dharma bakti pada kehidupan dan kepada Tuhan Yang Maha Suci.

Kepada bunda Mata Hari yang kini telah berada di sisi-Nya, kau adalah pelajaran yang berharga bagi kehidupan kami; yang kini masih menjadi aktor di panggung sandiwara….




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262