Salam salim… apa kabar sedulurku semua? Baik bukan? Alhamdulillah kalau baik, kalau belum begitu baik ya tetap bersyukurlah karena hakekat hidup adalah untuk menyukuri semua yang ada, semua yang melekat dan semua yang kita “anggap dan klaim” milik-milik kita.
Tulisan ini kugoreskan ketika lapar.. Jadi harap maklum deh, kalau nanti ada kekacauan alur berpikir, kekacauan logika, kekacauan dalam memahami kasunyatan yang ada. Anggap saja ini tulisan yang sekedar ingin mengisi hari-hari kita semua. Kalau ada manfaatnya ya monggo diambil, kalau tidak ada ya monggo dilupakan saja.
Begitu, saya ingin menceriterakan satu fragmen kecil dalam hidup saya ketika kedatangan SMS dari seorang yang tidak terkenal bila tidak saya tuliskan. Ia bersepeda motor trail, berkaos oblong, tidak berkacamata, usianya sekitar 40 tahun, sehat jiwa raga dan penuh senyum ceria.
Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya traumatik terhadap setiap tamu: begitu ada SMS mengucapkan salam langsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas. Tetapi kedatangan SMS sahabat ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya.
”Ayo ngopi om,” katanya via SMS. Kami pun akhirnya sepakat ngopi di sebuah kafe dekat rumah tempat saya tinggal.
Sahabat saya ini berasal dari sebuah desa di kecamatan Tawangharjo Grobogan, Jawa Tengah. Kawasan yang menurut kebanyakan kacamata para santri dikatakan wilayah yang tidak religius dan agamis.
”Desaku memang gersang, namun disanalah lahir para leluhur yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar di nusantara dan dituliskan dalam tinta emas sejarah” katanya.
Di samping silaturahim, beliau bermaksud mengobrolkan bagian-bagian tertentu dari budaya nusantara. Tapi, sebagaimana lazimnya model keramahan bangsa kita, kami bicara dulu tentang asal-usul.
Beliau gembira saya berasal dari campuran Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan. Aku pun kemudian bernafas panjang. Mencoba merunutkan dimana para tokoh spiritual Jawa lahir dan kemudian memangku jagad kuasa para raja Mataram.
Namun apa kelebihan Grobogan? Secara geografis, Grobogan merupakan lembah yang diapit oleh dua pegunungan kapur, yaitu Pegunungan Kendeng di bagian selatan dan Pegunungan Kapur Utara di bagian utara. Bagian tengah wilayahnya adalah dataran rendah. Dua sungai besar yang mengalir adalah Kali Serang dan Kali Lusi.
Dua pegunungan tersebut merupakan hutan jati, mahoni dan campuran yang memiliki fungsi sebagai resapan air hujan disamping juga sebagai lahan pertanian meskipun dengan daya dukung tanah yang rendah. Tidak ada yang istimewa disana.
“Kamu ingat, disana ada makam leluhur Jawa…” desisnya.
Hmm, saya tersentak dari lamunan. Betapa lupa nya diri ini. Benarlah mereka yang kini dimakamkan di Grobogan khususnya Kecamatan Tawangharjo yang tandus dan gersang ini adalah para tokoh pendiri dinasti Mataram Islam.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Lantas, bagaimana juntrungnya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun raja-raja Mataram? “Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para raja Mataram sampai sekarang,” jelas sedulur “sufi” ini.
Ki Ageng selo terkenal karena Ilmu Halilintar-nya. Persis seperti tokoh Gundala, penangkap petir. Namun saya tidak begitu tertarik membahas tentang petirnya. Yang lebih penting barangkali adalah karya Ki Ageng Selo yaitu Serat Pepali. Serat ini adalah puncak pandangan Ki Ageng Selo tentang kefilsafatan, kesusilaan, dan ketuhanan. Menghayati dan mengamalkan Serat Pepali sama artinya dengan meneguhkan iman.
Di antara pepali (peringatan) itu adalah: Aja agawe angkuh, Aja ladak lan aja jail, Aja ati serakah, Lan aja celimut, Lan aja mburu aleman, Aja lada wong ladak pan gelis mati, Lan aja ati ngiwa … jangan bertindak angkuh, jangan bengis dan jahil, jangan berhati serakah, dan jangan panjang tangan, jangan memburu pujian, jangan memangku orang angkuh bisa lekas mati, dan jangan cenderung ke kiri.
Ki Ageng Selo serta keteladanan-keteladanannya menjiwai masyarakat setempat hingga saat ini. Ajarannya terjaga di wilayah yang tandus dan gersang itu. Justeru di wilayah yang secara geografis ternilai tidak agamis itulah terjaga sebuah aura magis untuk menjaga ajaran dari lemak-lemak kepalsuan dunia. Dan yang jelas, barangkali tidak banyak yang tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan emosional yang erat dengan Selo.
“Siapakah kita? Wajah tak menentu jenisnya tiap saat berganti nama, berganti baju, berganti hati, berganti pikiran, berganti-berganti dan berganti dengan topeng-topeng diri yang tidak sejati,” ujar teman saya sufi tersebut mencoba meresapi ajaran Ki Ageng Selo.
Kami pun ngobrol tentang kebohongan-kebohongan dan kepalsuan-kepalsuan isi dunia. Termasuk harapan-harapan, keinginan-keinginan dan cita-cita diri. Menumpuk dan menumpuk jati diri palsu akibat iklan dan pengetahuan-pengetahuan yang palsu. Yang tidak ada hubungannya bahkan jauh sekali dari kawruh “sangkan paraning dumadi”….
Anehnya, sahabat saya ini merasa bersyukur ketika kemarin di facebook, ada seseorang yang komentar di statusnya. “Maaf, saya jauhi anda karena tidak berilmu” katanya. Oalah sahabat muda itu sudah kuwalat dan tidak tahu, bahwa sesungguhnya yang dihadapinya adalah seorang sufi penghujung jaman yang masih berkenan untuk menampakkan dirinya.
“Apa komentarmu?” tanya saya.
“Benar sekali dia. Saya memang tidak punya ilmu apapun” katanya tegas.
Seandainya orang yang berkomentar itu tahu sejatinya teman ini, dia pasti akan mencium kakinya. Ilmu apa yang kau maksud hai komentator? Kalau yang kamu anggap ilmu-ilmu adalah kepalsuan-kepalsuan yang berkilau dari karomah-karomah palsu tentu saja engkau benar. Namun kalau yang kau sangka adalah Ngelmu Kasunyatan, harap kamu revisi pernyataanmu sebelum malaikat penilai baik-buruk menimbangmu berat sebelah.
Kusarankan agar kau memulai bangkit dari kehancuran di kubangan pemahamanmu, dengarkanlah kembali suara ruh-ruh dari gundukan-gundukan tanah di kuburan bahwa jika seseorang tak bisa menghentikan dusta sampai di usia senjanya, ia akan kaget karena dibohongi oleh nasibnya sendiri, dan kau akan terbohongi oleh siapa yang kau sangka dirimu yang sejati.
Sedulurku, berapa jumlah dusta alias kebohongan yang kita tumpuk setiap hari, setiap jam, setiap menit dalam hidup kita? Mungkin sudah hampir tak terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer pada diri kita dengan mega-harddisk berukuran semilyar giga.
Sahabat sufiku yang dalam dirinya beraura Magis Tawangharjo, tlatah asal leluhurnya ini mengakhiri diskusi. Ia pamit dan sejenak kemudian menjejakan pedal gas trail… Brrrrrr…wuzzzz sejenak kemudian ia menghilang dari pandangan…. saya pun pulang dengan hati was-was.
Di kelam malam, jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Saya bangun. Menggelar sajadah dan tergelarlah kalimat-kalimat berikut ini:
Ya Allah, kau tunjukkan kepadaku sebuah kesaksian bahwa yang sejati itu tidak jauh diluar diri kita. Kita tidak perlu mencarinya di gunung-gunung, berguru ke orang-orang yang mengaku pintar, ke sesepuh-sesepuh yang bersorban dengan jenggot menyentuh tanah. Kesejatian itu ada pada dirimu. Bergurulah pada alam semesta, guru paling jujur karena tidak pernah bohong pada dirimu.
Menjadilah debu yang sederhana. Dan alhamdulillah kau pertemukan aku dengan orang-orang kecil seperti sahabatku itu. Aku tidak perlu susah payah mencari Ilmu kesederhanaan yang telah langsung Engkau anugerahi kesederhanaan sejati. Kau anugerahi diri ini kesadaran bahwa kita tidak perlu lagi melanjutkan untuk memperlombakan kemewahan, kekuasaan, kursi, dengan bayaran kebohongan janji.
Kupilih menempuh jalan hakikat dengan cara selalu memastikan setiap urusan agar berpihak, memasuki dan bergabung di dalam kesejatian. Cara yang dialektis untuk memahami kesejatian tiada lain adalah mencari perbedaannya, sekaligua jarak antara kesejatian dengan kepalsuan.
Kini, yang kita butuhkan sekarang hanyalah tunduk patuh untuk senantiasa berakrab-akrab dengan diri sendiri yang tiada lain adalah limpahan Dzat-NYA, sambil sesekali belajar dari imajinasi untuk membayangkan baik buruk benar dan salah.
Monggo kita bersama mendekatkan diri dengan kekasih. Bila masih kita letakkan jauh di atas arasy ketujuh di sana sehingga kita sebut Dia. Dan bila kekasih kita itu ada di hadapan kita sehingga kita panggil Engkau serta jika kekasih kita itu tak berbatas dan menyatu dengan diri kita sendiri sehingga seakan-akan Ia adalah Aku sendiri, dan Aku adalah Ia sendiri.
Al-Quran, Surah Al-Hajj di ayat ke-15 ….. menggelisahkan sujudku…..
Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad SAW) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit dan hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya . . .”
Astaghfirullah, kami memang sudah mengaku orang Islam. Namun kenapa tidak seratus persen percaya bahwa Engkau sudah, sedang, dan akan menolong kami? Engkau seolah abstrak bagi kami. Yang riil dan ada di depan kami sekarang adalah jajaran kepalsuan yang semakin lama semakin membusuk karena hasrat ego kami terhadap dunia yang tiada akan habisnya.
Beruntunglah kita semua, Engkau Tuhan masih memperkenankan dan menghormati kami untuk berbohong dan palsu. Kau hormati kebohongan-kebohongan dan kepalsuanku, hingga kami masih hidup dan menikmati yang namanya kebahagiaan ini.
0 thoughts on “AURA MAGIS TAWANGHARJO”