KEARIFAN PAMALI CARA URANG NAGA

Urang Naga –begitu mereka menyebut dirinya — adalah orang-orang yang sederhana, ramah, menjunjung adat, dan punya semangat gotong royong yang tinggi. Kearifan lokal komunitas ini bisa menjadi contoh, cara menjaga KELESTARIAN ALAM dengan tradisi.

Angin sejuk semilir berhembus di Kampung Naga. Kampung kecil yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat tradisional yang dijunjung tinggi.

Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama. Jejak kental memegang teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes Baduy di Banten. Mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis dengan alam semesta.

Pesona alamnya masih terpelihara dengan natural, jauh dari polusi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat Kampung Naga hidup damai dan memiliki banyak kearifan yang patut kita pelajari untuk menciptakan keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.

Namun, tiba-tiba saja komunitas yang kebanyakan bekerja sebagai petani ini unjuk sikap pada Bulan Mei 2009 ini. Setelah sekian lama hidup dalam ketenangan, mereka menyatakan memboikot para pengunjung atau wisatawan yang akan berkunjung ke kampungnya. Inilah sikap warga Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang akhirnya diakui bisa mengancam dunia pariwisata di Jabar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kemudian menawarkan bantuan suryakanta –pembangkit listrik tenaga matahari– kepada warga Kampung Naga agar menghentikan aksi boikotnya.

Aksi boikot wisatawan ini dilakukan warga Kampung Naga itu merupakan bentuk protes terhadap pemerintah dan PT Pertamina karena hingga kini warga Kampung Naga kesulitan memperoleh minyak tanah setelah suplainya dikurangi. Padahal, warga Kampung Naga menjadikan minyak tanah sebagai bahwa untuk masak dan penerangan.

Menurut PT Pertamina, tidak mungkin menyuplai minyak tanah bersubsidi hanya ke Kampung Naga. Pasalnya, akan memicu kecemburuan bagi daerah lain. Untuk menutupi kebutuhan bahan penerangan, Dinas Pariwisata Jabar yang selama ini mengandalkan Kampung naga sebagai daerah tujuan wisata mengusulkan warga Kampung Naga menggunakan suryakanta.

Penggunaan suryakanta ini konon tidak akan mengikis nilai kultural Kampung Naga. Lain halnya dengan listrik yang akan mengubah wajah keaslian Kampung Naga. Untuk itu, wajar bila warga Kampung Naga menolak listrik di kampungnya.

Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.

Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, di sebelah baratnya hutan yang dikeramatkan karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.

Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut – Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melaluai jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan.

Perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih empat hektar ini memiliki kehidupan komunitas yang unik. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan.

Upacara Adat masyarakat Kampung Naga yang sering selenggarakan di antaranya: MENYEPI. Upacara menyepi dilakukan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

HAJAT SASIH. Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga Dalam maupun di Kampung Naga Luar. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam.

KAWINAN. Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. Upacara ini dilaksanakan dengan sangat sakral mulai dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahap-tahap dalam upacara perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan (sungkeman).

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.

Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.

Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar.

Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan dapat menimbulkan iri hati.

Letak daerahnya yang berada pada hamparan tanah yang menyerupai lembah, dicirikan dengan bentuk bangunannya yang seragam. Atap rumahnya yang berwarna hitam terbuat dari bahan ijuk, tampak berjejer teratur menghadap utara-selatan, dibatasi Sungai Ciwulan. Tempat permukiman tersebut tampak seperti diapit dua buah hutan.

Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Hutan lainnya yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut Leuweung Larangan. Leuweung dalam bahasa Sunda artinya hutan. Seperti tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh arealnya ditumbuhi tanaman keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya.

Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu dikeramatkan.

LEUWEUNG LARANGAN YANG LUASNYA KURANG LEBIH TIGA HEKTAR, DIKERAMATKAN KARENA DI SANA DIMAKAMKAN LELUHUR MASYARAKAT SUKU NAGA, SEMBAH DALEM EYANG SINGAPARANA. Di sebelahnya masih terdapat tiga makam lainnya, namun tidak diketahui makam siapa. Kunjungan ke makam tersebut biasanya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali. Upacara ritual itu hanya diikuti oleh kaum laki-laki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus. Misalnya, sudah melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.

Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat. Para peserta biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong, yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga. Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu. Sementara areal hutan lainnya yang disebut Leuweung Biuk-karena letaknya dekat Saluran Biuk-berada pada kaki bukit curam yang sekaligus menjadi bibir Sungai Ciwulan. Di areal tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman keras yang berumur lebih dari 50 tahun lebih.

Berbeda dengan Leuweung Larangan, LEUWEUNG BIUK TERMASUK TABU DIKUNJUNGI. ANGGOTA MASYARAKATNYA TAK SEORANG PUN YANG BERANI MENGINJAKKAN KAKINYA KE AREAL HUTAN TERSEBUT. APALAGI, SAMPAI MENEBANG POHON YANG TUMBUH DI ATASNYA. HAL TERSEBUT KARENA PAMALI.

Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma yang harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak, mereka akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.

Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari HUKUM SEBAB AKIBAT. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tanah adat Suku Naga sebenarnya cukup luas yang mencakup wilayah Gunung Sunda, Gunung Satria, Gunung Panoongan, Gunung Raja, Pasir Halang sampai batas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Garut. Daerah itu sekaligus merupakan sub Daerah Aliran Sungai Ciwulan yang harus dijaga kelestariannya.

KEARIFAN LOKAL

Pandangan hidup masyarakat adat Suku Naga yang berkaitan dengan lingkungannya tersebut sebenarnya mengandung kearifan lokal. Misalnya, hanya dengan PAMALI, MASYARAKAT ADAT SUKU NAGA MAMPU MENAHAN DIRI, sehingga tidak terjadi perambahan kawasan hutan. Padahal jika dilihat dari tuntutan kebutuhan dan keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki, desakan tuntutan tersebut jauh lebih kuat dibanding masyarakat sekitarnya.

Masyarakat adat Suku Naga tabu membangun rumah dengan menggunakan bahan bangunan industri, kecuali paku. Atap rumahnya terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Seluruh tiang penyangga menggunakan balok kayu. Bahan-bahan lokal tersebut berusaha dipenuhi sendiri tanpa harus merusak kawasan hutannya.

Sayang, nilai-nilai lokal yang mengandung kearifan tersebut, dalam masyarakat sekarang ini kurang diperhatikan lagi. Kegiatan penebangan hutan malah terjadi disekeliling kampung. Ironisnya, perambahan itu dilakukan bukan oleh masyarakat Suku Naga, melainkan oleh masyarakat luar yang selama ini menganggap dirinya memiliki latar belakang pengetahuan lebih maju. Sebaliknya masyarakat adat Suku Naga sendiri tidak seorang pun yang berani memasuki areal kawasan hutan tersebut. Mereka berusaha menjaga kelestariannya. Perusakan hutan lindung Gunung Raja dianggap telah melindas nilai-nilai lokal yang selama ini dianutnya sebab di daerah itu terdapat situs yang memiliki kaitan erat dengan asal-usul masyarakat adat Suku Naga. Selain itu, kawasan hutan tersebut patut dipertahankan mengingat salah satu peran pentingnya sebagai sumber air masyarakat adat Suku Naga.

Masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah yang disebut Kampung Naga itu, selama ini diakui memiliki potensi budaya yang besar merupakan bagian tidak terpisahkan dari budaya Sunda. Mereka hidup mengelompok tanpa mengisolasi diri dengan lingkungan dan kehidupan daerah sekitarnya, akan tetapi tetap mempertahankan pandangan hidup dan tradisinya di tengah gelombang modernisasi.

TV dengan gempuran sinetron dan acara gosip, serta fasilitas komunikasi yang canggih, ditambah kedatangan turis-turis asing dengan kebiasaan berpakaian mereka yang berbeda, dan kedatangan wisatawan dalam negeri sering kurang ajar dan seenaknya, tidak membuat mereka berubah. adat tetap jadi yang utama. “DA KIEU CARA URANG NAGA MAH…”

URANG NAGA MENYADARI PERUBAHAN DI SEKITAR MEREKA, TAPI MEMILIH UNTUK TIDAK BERUBAH….

 

Artikel sumbangan dari:

Ki Senggol Modot

0 thoughts on “KEARIFAN PAMALI CARA URANG NAGA

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *