JADILAH ENGKAU AHLUL MUJAHADAH

Ibnu Qayyim Al-Jauzi mengatakan, orang-orang yang berhak mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ itu, tidak mudah. Tentu untuk mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ itu memerlukan mujahadah dan tajarrud (totalitas). Mujahadah dengan segala jiwa dan raganya agar mencapai maqam yang hendak dituju. Tidak mungkin hanya dapat dicapai dengan bentuk raganya, tanpa jiwa dan bathinnya ikut bermujahadah.

Diantaranya, golongan pertama yang berpendapat, bahwa ibadah yang paling utama dan paling bermanfaat, ialah yang paling berat dan paling sulit atas jiwa. “Karena ia paling jauh dari hawa nafsu, dan merupakan hakikat ta’abud. Pahala diberikan berdasarkan kadar kesulitannya.” Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadist, “Amal yang paling utama ialah yang paling sulit dan paling melarat.”

Mereka ini adalah ahlul mujahadah dan orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Di tengah-tengah beratnya godaan, yang terus-menerus dialami dengan segala bentuknya, dan mereka dapat selamat dari semua godaan, tanpa sedikitpun tersentuh oleh godaan dan hawa nafsu yang datang dari setan. Golongan ini, berkata, “Sesungguhnya jiwa hanya dapat lurus dengan ibadah yang sulit dan berat, karena jiwa mempunyai karakter malas, dan menyukai kerendahan dan kehinaan. Ia tidak dapat menjadi lurus, kecuali dengan melakukan hal-hal yang berat dan memikul kesulitan.”

Meninggalkan segala kenikmatan, kemewahan, angan-angan akan keindahan dunia, harta yang banyak , semuanya harus dipupus. Selain itu, harus meninggalkan orang-orang yang selalu menawarkan kenikmatan, keindahan, pangkat, serta buaian wanita-wanita yang cantik, dan dengan segala bujukan keindahan dan kenikmatan yang selalu ditawarkannya. Semuanya itu hanyalah akan mendera jiwa dan bathinnya,dan tak akan dapat membuat dirinya mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”.

Tidak mungkin dapat mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ bagi jiwa dan bathin orang-orang yang terus menerus hidupnya dipenuhi dengan khayalan dan dikotori oleh kehidupan dunia, yang tidak pernah henti-henti. Kehidupan dunia hanyalah ambisi orang-orang yang lalai, dan tidak menyukai maqam ‘Iyyaka Na’budu”, karena hakikatnya mereka tidak lagi mempercayai janji dari Allah Azza Wa Jalla. Mereka ini hanyalah menjadi budak dunia, dan kemudian berwala’ (memberikan loyalitasnya) kepada hamba-hamba setan.

Bagi mereka yang menginginkan maqam ‘Iyyaka Na’budu’, hanya dapat dicapai dengan melakukan hal-hal yang berat dan memikul kesulitan. Kesulitan dan beban berat yang harus dipikul, pasti akan bermunculan dalam kehidupan ini, terutama bagi mereka yang ingin mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’, karena tantangan dalam kehidupan jahiliyah, yang tak lagi mengenal batas-batas, yang sudah ditetapkan dalam Qur’an dan Sunnah. Kencintaan pada hawa nafsunya telah membawa mereka meninggalkan segala kebaikan yang bersifat fitrah yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada mereka.

Bagi mereka yang ingin menggapai maqam ‘Iyyaka Na’budu”, orientasi hidup mereka hanyalah mencari ridho Allah. Tidak mencari ridho makhluk termasuk manusia. Ketika, ibadah utama di masa jihad adalah mengutamakan jihad, dan meninggalkan wirid-wirid, seperti shalat malam, dan puasa sunah pada siang hari, bahkan sampai meninggalkan kesempurnaan shalat fardhu seperti dalam kondisi aman. Mereka pergi berjihad di jalan Allah Rabbul Alamin.

Karena mereka tahu bagi mereka yang memiliki maqam ‘Iyyaka Na’budu’, nilai berjihad itu lebih utama, dan akan janji Allah Azza Wa Jalla, di mana akan memasukkan ke dalam surga-Nya, tanpa melalui hisab, bagi mereka yang mati syahid. Betapa indahnya kehidupan bakal digapai kelak di akhirat.

Bagi mereka yang ingin mendapatkan maqam ‘Iyyaka Na’budu’, lebih menyukai bangun malam, melakukan shalatul lail, membaca Qur’an, berdo’a, berdzikir, beristighfar, meninggalkan segala urusan saat datangnya adzan, melaksanakan shalat fardhu dengan penuh ikhlas, dan pergi ke masjid-masjid shalat berjamaah. Mereka tetap shalat berjamaah dalam kondisi apapun. Tidak sekali-kali masbukh. Masjid sebagai ‘Baitullah’ lebih utama dari segalanya. Tidak berarti apapun baginya, kecuali hanya masjid yang berharga bagi kehidupannya, di mana setiap saat sesuai dengan ketentuan Rabbnya, dan selalu melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.

Saat orang-orang membutuhkan pertolongan baik jabatan, fisik, maupun harta, maka ia akan segera memberikan pertolongan, dan berpikir panjang tentang pribadinya, dan mensegerakan kepentingan dari saudaranya yang tertimpa musibah.

Ketika membaca Qur’an, tak ada lagi yang diingatnya, karena Qur’an itu adalah ‘Kalamullah’, dan membaca dengan sepenuh hati, memahami makna-maknanya, dan berjanji melaksanakan semua perintah-Nya. Seperti generasi Salaf, yang terus melaksanakan apa saja, yang diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla, sehingga mereka mendapatkan kemuliaan dan kejayaan.

Ketika, menjelang hari terakhir di bulan Ramadhan, ia tinggalkan semuanya, dan beri’tikaf di masjid-masjid, dan hanya mengharapkan datangnya maghfirah dari Rabbnya. Tidak lagi menyibukkan diri dengan kehidupan dunia, yang justru akan merusak hari terakhir puasa, yang akan membawanya kepada golongan muttaqin.

Mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ sebuah perjuangan yang sangat berat bagi manusia. Karena manusia selalu digoda oleh hawa nafsunya, dan sifat malasnya untuk melakukan kebaikan dan mencintai Rabbnya.

Manusia jahiliyah hidupnya hanyalah dipenuhi dengan berebut sekerat kehidupan dunia, yang diakhirat menjadikan mereka golongan yang merugi. Wallahu’alam.

“Renungan”

Salam Persaudaraan

Sahabat



Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KH Tubagus Ahmad Bakri, Tokoh dan Guru Sufi Purwakarta (1)

KH Tubagus Ahmad Bakri, Tokoh dan Guru Sufi Purwakarta (1)

KH Tubagus (Tb) Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat.<>

Mama Sempur lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1259 H atau bertepatan dengan tahun 1839 M, ia merupakan putera pertama dari pasangan KH Tubagus Sayida dan Umi, selain KH Tubagus Ahmad Bakri dari pasangan ini juga lahir Tb Amir dan Ibu Habib.

Keturunan Rasulullah saw

Dari jalur ayahnya, silsilah KH. Tubagus Ahmad Bakri sampai kepada Rasulullah saw sebagaimana dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Tanbihul Muftarin (h. 22), sebagaimana berikut KH. Tb. Ahmad Bakri bin KH. Tb. Saida bin KH. Tb. Hasan Arsyad Pandeglang bin Maulana Muhammad Mukhtar Pandeglang bin Sultan Ageng Tirtayasa (Abul Fath Abdul Fattah) bin Sultan Abul Ma’ali Ahmad Kenari bin Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir Kenari bin Maulana Muhammad Ing Sabda Kingking bin Sultan Maulana Yusufbin Sultan Maulana Hasanudin bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bin Sultan Syarif Abdullah bin Sultan Maulana Ali Nurul Alam bin Maulana Jamaluddin al-Akbar bin Maulana Ahmad Syah Jalal bin Maulana Abdullah Khon Syah bin Sultan Abdul Malik bin ‘Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin  Ali Kholi’ Qosam bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi bin Sayyidina Ubaidillah bin Imam al-Muhajir ila Allah Ahmad bin ‘Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin ‘Ali al-‘Aridl bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina wa Maulana Husain bin Saidatina Fatimah az-Zahra binti Rosulillah SAW.

Ayah KH Tubagus Sayida yang juga kakeknya KH Tubagus Ahmad Bakri adalah KH. Tubagus Arsyad, ia seorang Qadi Kerajaan  Banten, namun KH Tubagus Sayida nampaknya tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten menggantikan posisi ayahnya dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Banten.

Perjalanan KH. Tubagus Arsyad dari Banten membawanya sampai di daerah Citeko, Plered, Purwakarta, di tempat inilah Tubagus Sayida bertemu dan menikah dengan Umi, dan di daerah ini pula seorang bayi yang diberi nama Ahmad Bakri dilahirkan, Ahmad Bakri muda mendapatkan pendidikan agama dari keluarga, untuk menambah wawasan dan ilmu keislaman, ia belajar di berbagai Pondok Pesantren yang ada di Jawa dan Madura, sebelum berangkat, KH. Tb. Sayida berpesan kepada Ahmad Bakri agar jangan berangkat ke Banten apalagi menelusuri silsilahnya, ia baru diperbolehkan melakukan hal tersebut ketika masa studinya di pesantren selesai.

Tidak puas belajar di Jawa dan Madura membuat KH. Tubagus Ahmad Bakri bertekad berangkat ke pusat studi Islam, yaitu Mekkah, disana ia belajar kepada ulama-ulama nusantara, setelah dianggap cukup dan berniat menyebarkan agama Islam ia kemudian pulang ke Purwakarta dan pada tahun 1911 M, ia memutuskan untuk mendirikan pesantren di daerah Sempur dengan nama Pesantren As-Salafiyyah.

Beberapa santri KH Tubagus Ahmad Bakri yang menjadi ulama terkemuka diantaranya KH. Abuya Dimyati Banten, KH Raden Ma’mun Nawawi Bekasi, KH Raden Muhammad Syafi’i atau dikenal dengan Mama Cijerah Bandung, KH Ahmad Syuja’i atau Mama Cijengkol, KH Izzuddin atau Mama Cipulus Purwakarta.

Di pesantren ini pula KH. Tubagus Ahmad Bakri banyak menuangkan pemikirannya dalam berbagai kitab yang ia tulis, dan selama hidupnya KH Tubagus Ahmad Bakri diabdikan hanya untuk mengaji atau thalab ilm, dan thalab ilmu inilah yang menjadi jalannya untuk mendekatkan diri kepada Allah (tarekat), maka tarekat yang ia pegang adalah Tarekat Ngaji, sebagaimana ia ungkapkan dalam karyanya yang berjudul Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat pada (h. 47-49) sebagaimana berikut:

Ari anu pang afdol2na tarekat dina zaman ayeuna, jeung ari leuwih deukeut2na tarekat dina wushul ka Allah Ta`ala eta nyatea tholab ilmi, sarta bener jeung ikhlash.

(Tarekat yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat dengan `wushul` kepada Allah adalah thalab ilmi serta benar dan ikhlash) 

Pernyataan KH Tubagus Ahmad Bakri ini dikutip dari jawaban seorang Mufti Syafi`i yaitu Syaikh Muhammad Sayyid Babashil yang mendapat pertanyaan seputar tarekat dari Syaikh Ahmad Khatib. Dialog kedua ulama tersebut dikutip oleh Mama Sempur dalam dalam Kitab Idzharu Zughlil Kadzibin halaman 61.

Menurut salah seorang cucu KH. Tubagus Ahmad Bakri, yaitu KH. Tubagus Zein, KH. Tubagus Ahmad Bakri pernah mengecam terhadap penganut tarekat, karena sebagian dari mereka ada yang meninggalkan syariat dan menurut KH. Tubagus Zain, kecaman ini lebih kepada melindungi masyarakat agar tetap bisa menyeimbangkan antara syariat dan hakikat.

Namun demikian, dalam kitab Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat (h. 32) seraya mengutip pernyataannya Syaikh Muhammad Amin Asyafi`i Annaqsyabandi, KH. Tubagus Ahmad Bakri menyatakan bahwa hukum masuk dalam salah satu tarekat mu`tabarah bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan yang sudah mukallaf adalah fardlu`ain. Sehingga menurut salah satu riwayat KH Tubagus Ahmad Bakri pun tetap menganut tarekat mu`tabarah. Adapun tarekat yang dianutnya adalah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah (TQN).

Sementara mengenai Tarekat Ngaji ini, bisa dilihat dari aktifitas dan kesibukan KH. Tubagus Ahmad Bakri sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang muridnya, KH Mu`tamad. Menurut Pengasuh Pesantren Annur Subang ini, setiap pukul empat pagi, KH. Tubagus Ahmad Bakri sudah bersila dan berdzikir di dalam masjid, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan shalat subuh berjamaah, selepas wiridan dan shalat berjamaah selesai, ia tetap bersila sampai waktu dluha tiba, kemudian melaksanakan shalat dluha dan dilanjutkan kembali dengan mengajar ngaji santri sampai pukul 11.00 WIB.

Usai mengajar ngaji santri, jadwal pengajian selanjutnya adalah mengajar ngaji kiai-kiai sekitar kampung dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur berjamaah. Kemudian ia pulang ke rumah dan istirahat. Namun ia tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu, sampai waktu ashar.

Selepas shalat Ashar, KH. Tubagus Ahmad Bakri kembali mengaji bersama para santri hingga menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat sejenak dan shalat Isya, setelah shalat isya, ia kembali mengajar sampai pukul 23.00 WIB. Bahkan menurut satu riwayat, kebiasaan KH. Tubagus Ahmad Bakri yang pernah diketahui oleh santrinya adalah ia tidak pernah batal wudhu sejak isya sampai subuh dan tidak pernah terlihat makan.

Beguru Kepada Ulama Nusantara dan Mekkah

Keluarga KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah keluarga yang taat beragama, ayahnya pun merupakan salah satu ulama kharismatik, sehingga pendidikan agama KH. Tubagus Ahmad Bakri di usia dini diperoleh melalui ayahnya. Adapun Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri meliputi Ilmu tauhid, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Hadits dan Tafsir.

Menurut salah seorang cucunya, setelah ilmu dasar agama dianggap cukup, Mama Sempur memutuskan untuk menimba ilmu ke pesantren yang ada di Jawa dan Madura, beberapa ulama yang pernah ia timba ilmunya adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya Betawi, Syaikh Soleh Darat bin Umar Semarang, Syaikh Ma’sum bin Ali, Syaikh Soleh Benda Cirebon, Syaikh Syaubari, Syaikh Ma’sum bin Salim Semarang, Raden Haji Muhammad Roji Ghoyam Tasikmalaya, Raden Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Maulana Kholil Bangkalan Madura bahkan di Syaikh Maulana Kholil inilah beliau mulai futuh (terbuka pemikirannya) terhadap ilmu pengetahuan agama Islam.

Pengembaraan di dunia intelektual tidak membuat Mama Sempur merasa puas. Untuk itu akhirnya ia memutuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam kitab Idlah al-Karatoniyyah Fi Ma Yata’allaqu Bidlalati al-Wahhabiyyah (h. 27), Mama Sempur menyebutkan guru-gurunya sebagaimana berikut: Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Said Babshil, Syaikh Umar bin Muhammad Bajunaid, Sayyid Abdul Karim ad-Dighistani, Syaikh Soleh al-Kaman Mufti Hanafi, Syaikh Ali Kamal al-Hanafi, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ali Husain al-Maliki, Sayyid Hamid Qadli Jiddah, Tuan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Mukhtar bin Athorid dan Syaikh Muhammad Marzuk al-Bantani.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262