ARWAH ULAR GENTAYANGAN

Suatu hari, seorang lanjut usia datang untuk meminta tolong. Dia mengeluh sakit di pundak.  Saya bertanya: “Sudah berapa lama Bapak mengalami sakit ini?” “10 tahun.,” jawabnya.  Saya berkonsentrasi memohon petunjuk pada-Nya dan beberapa menit kemudian berkata padanya, “Bapak pernah membunuh ular dan sakit ini karena ular itu….”

Pak tua itu mengingat-ingat kejadian sepuluh tahun lalu, “Ya, memang di tahun itu saya menemukan seekor ular weling di dalam rumah. Saya lalu membunuhnya. Apakah sakit pundak saya itu berkaitan dengan ular tersebut?” Saya menjawab, “ ya ”. Pak tua yang usianya sekitar 65 tahun itu bercerita tentang rasa sakit di pundaknya selama ini. Ia telah berusaha ke paranormal, mengoleskan obat-obatan, minum berbagai ramuan, tapi semuanya nihil.

Setiap kali rasa sakit menyerang, ia merasa sangat terganggu, sangat resah, dan sangat tidak nyaman di sekujur tubuh. Saat saya memegang pundaknya dengan telapak tangan, saya melihat semacam bayangan hitam. Ia bergoyang setiap kali saya tepuk, tapi ia tetap berpegangan ketat pada tulang pundak pak tua dan tidak mau pergi. Tiba-tiba dia berteriak, “Aduh, sakit. seperti  dipotong….”

Saya akhirnya mengundang Sri Batara Kresna untuk masuk ke tubuh saya. Saya menjapa mantra dan memvisualisasikan tubuh dan pikiran saya menjelma menjadi dia. Saya membaca mantra berikut ini: “Mataku memancarkan api yang menyala-nyala membakarmu. Akulah Batara Kresna yang penuh kuasa dan wibawa. Aku dapat pergi ke semua dimensi gaib, Membuang segala penyakit dan bencana. Sri Kresna adalah aku yang sakti dan perkasa”

Kemudian, saya pegang bayangan hitam di pundaknya itu dengan tangan, dan melemparnya ke dunia makhluk halus, memberinya kesempatan untuk hidup. Saat itu saya berseru, “Hu Hu Hu…..”. Di hari lain, saya dikabari pak tua itu via telepon: dia sembuh dari sakitnya.

Ia sangat gembira. Namun, ternyata urusan belum selesai sampai disitu. Pada suatu malam, sewaktu saya bermeditasi, saya tiba tiba melihat sebuah bayangan hitam panjang turun dari angkasa. Ia langsung turun ke masuk ke tubuh saya dan sebelum saya dapat mencegahnya, ia telah menyelinap masuk ke dada. Saya sungguh terkejut. “Ular ini telah melilitkan dirinya di tulang pundak si pak tua dan membuatnya sangat menderita selama 10 tahun. Sekarang ia melilit dada. Apakah ini berarti saya harus menderita sakit di dada? Kelihatannya ia tidak bermaksud baik,” demikian saya berpikir. “Celaka, saya lah yang kena kali ini.”

Saya tidak menyangka makhluk itu sungguh keras kepala. Untuk sesaat, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Pada saat itu, muncul naga di angkasa dan berkata “KHODAM SAKTI… makhluk ini telah sadar. Ia bersedia menjadi pengawalmu. Sungguh sayang kalau ia dilepas dalam alam lelembut. Jadikan saja dirinya sebagai pengawalmu. Ia akan melayanimu dengan baik.

“Tidak!” Saya menolak tawaran naga itu. Tetapi naga itu sudah menghilang. Sewaktu saya memikirkan tentang ular di rongga dada saya, saya merasa sesak napas. Saya tidak takut apapun kecuali ular. Ular menimbulkan rasa takut dan ngeri di diri saya. Sungguh menyusahkan bila saya harus melihat wujud ular setiap hari. Melingkarkan tubuhnya di leher saya, ekornya bergantung sampai ke perut saya, kepala ular itu ada di rongga dada saya. Menjulurkan lidahnya, ia bahkan suka bergelitik.

Saya pun memanggil Sri Batara Kresna dan dia segera muncul. Ia mencengkram ular tersebut dan melilitkannya di dadanya sendiri. Sri Batara Kresna hanya tersenyum melihat saya. Jadi, kali ini, si ular hitam itu telah menemukan guru sejatinya. Arwah ular hitam gentayangan itu kini tenang di dalam lindungan Sang Kresna.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KH Masjkur, Komandan Barisan Sabilillah

KH Masjkur, Komandan Barisan Sabilillah

Satu dari sekian tokoh dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang layak disematkan gelar pahlawan adalah KH Masjkur (baca: Masykur). Kiai Masjkur yang pernah mengemban amanah sebagai Menteri Agama RI ini ikut berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah dan terdaftar sebagai salah satu “the founding father”.<>

Perjuangan ulama yang lahir di Singosari Malang tahun 1899 M/1315 H ini telah dirintis sejak usia muda di bidang pendidikan, dengan mendirikan Pesantren Misbahul Wathan. Namun, sebelum mendirikan pesantren dan terjun ke masyarakat, Masjkur muda terlebih dahulu telah mempersiapkan modal awal bagi dirinya sendiri, dengan mengenyam pelajaran agama di beberapa pesantren dengan berbagai konsentrasi keilmuan, antara lain Pesantren Kresek Cibatu, Pesantren Bungkuk Malang di bawah asuhan Kiai Thohir, Pesantren Sono Bundaran Sidoarjo untuk belajar nahwu sharaf dan di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo untuk memperdalam ilmu fiqih.

Kemudian, di Tebu Ireng Jombang, ia menimba ilmu hadist dan tafsir dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, Masjkur muda juga pernah berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Maka lengkap sudah, modal awal yang dimilikinya untuk menjadi seorang calon ulama dan pemimpin umat.

Ia juga sempat menjadi santri di Pesantren Jamsaren Surakarta, di bawah asuhan KH Idris, seorang kiai keturunan pasukan Pangeran Diponegoro. Di pesantren ini pula, ia bertemu dengan kawan-kawannya yang kelak juga menjadi pemimpin umat, antara lain KH Mustain (Tuban), KH Arwani Amin (Kudus) dan sebagainya. Sifat Kiai Idris yang terkenal non-kooperatif terhadap Belanda, ikut tertanam dalam jiwa sang murid, yang sedikit banyak mulai memahami arti penting perjuangan.

Mendirikan Pesantren

Setelah melanglangbuana ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu, ia kembali ke Singosari dan di sana ia membuka pesantren yang diberi nama Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) pada tahun 1923.

Beberapa tahun berikutnya, ketika Nahdlatul Ulama berdiri, ia pun ikut aktif di dalamnya, dan di tahun 1932 ia sudah menjadi Ketua Cabang NU Kota Malang. Di organisasi tersebut, ia sering meminta nasihat kepada KH Wahab Chasbullah. Salah satunya, ketika pesantren yang ia pimpin sering mendapat gangguan dari pemerintah kolonial. Atas saran Kiai Wahab pula, ia kemudian mengganti nama pesantrennya menjadi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Sebelumnya, bersama Kiai Wahab, Kiai Masjkur juga sering mengikuti kegiatan kelompok Tashwirul Afkar yang sering membahas agama, dakwah dan sosial.
Pada tahun 1938, Masjkur diangkat sebagai salah satu Pengurus Besar NU yang berkedudukan pusat di Surabaya.

Perjuangan Perang

Keinginan untuk terbebas dari belenggu penjajahan, membuat para putera bangsa ini ikut mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan. Termasuk, Kiai Masjkur yang kala itu masih aktif sebagai seorang pengajar di Nahdlatul Wathan dan aktivis NU.

Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur menjadi utusan dari Karesidenan Malang untuk mengikuti latihan kemiliteran di Bogor, disusul dengan latihan khusus bagi ulama. Dari itulah, “karirnya” di bidang militer dimulai. Ia berjuang bersama pasukan Hizbullah. Hingga, sejak 1945-1947 ia diangkat menjadi Ketua Markas Tertinggi Sub. Bagian Sabilillah yang berpusat di Kota Malang.

Belakangan, ia juga ikut dimasukkan dalam Dewan Pertahanan Negara dan anggota Konstituante.

Dalam suasana perang yang tengah berkecamuk, Masjkur beberapa kali dipercaya untuk mengemban amanah Menteri Agama (Menag), secara berturut-turut pada Kabinet Amir Syarifuddin (1947), Kabinet Presidenssil Moh. Hatta (1948), Kabinet VII Negara RI, Kabinet Darurat dan Komisariat PDRI (1949), Kabinet Hatta (1949) dan Kabinet Peralihan RI. Ia sempat mundur dari posisi Menag, karena sakit-sakitan akibat bergerilya. Pada masa Kabinet Ali-Arifin (1953-1955) ia kembali dipercaya untuk menjadi Menag.

Alhasil, ketika menjadi seorang menteri, ia juga ikut bergerilya bersama para pejuang lainnya (pernah pula bergabung bersama kelompok gerilyawan yang dipimpin Panglima Besar Soedirman), sembari tetap mengatur jalannya kementrian yang ia pimpin, mulai dari soal instruksi serta peraturan darurat. Kemudian juga menyusun KUA, pengadilan agama, pendidikan, madrasah, mengatur shalat, dan membantu secara nyata perjuangan nasional.

Sebagai Menag, tiap bulan ia mendapat gaji Rp. 300 Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), jumlah uang yang saat itu cukup untuk makan sekeluarga selama sepekan.

Saat kembali menjadi Menag, di tahun 1954 Kiai Masjkur memprakarsai Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas Jawa Barat. Pertemuan para ulama tersebut, salah satunya menetapkan gelar “Waliyul Amri Dlaruri bis Syaukah” (pemegang pemerintahan dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh) untuk Presiden Soekarno. Penetapan tersebut berdasar pada pertimbangan syara’, yakni Presiden RI saat itu terpilih belum memperoleh “baiat” dari rakyat karena tidak dipilih melalui Pemilu. Penetapan itu sekaligus menghapus kecurigaan dari golongan tertentu, apakah umat Islam Indonesia mengakui kepemimpinan Soekarno (RI) atau Kartosuwiryo (DI/TII).

Memimpin NU

September 1951, menjelang dilaksanakannya Muktamar NU ke-19 yang akan dihelat di Palembang, Saat itu NU masih masuk dalam Masyumi, PBNU membentuk sebuah badan yang bernama Majelis Pertimbangan Politik (MPP) PBNU, terdiri dari 9 ulama, termasuk di dalamnya Kiai Masjkur. Badan tersebut dibentuk dalam sebuah rapat PBNU yang diadakan di sebuah rumah milik KH Abdulmukti, Jl. Slamet Riyadi 45 Solo.

Kemudian, Muktamar NU ke-19 digelar 26 April – 1 Mei 1952 dan menghasilkan sebuah keputusan penting : NU memisahkan diri dari Masyumi!

Sejak Muktamar NU ke-19, Kiai Masjkur memimpin NU sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. bersama KH Wahid Hasyim yang menjadi Ketua Muda. Sedangkan posisi Rais ‘Aam masih dipegang KH Wahab Chasbullah.

Namun, setelah wafatnya KH Wahid Hasyim serta diangkatnya KH Masjkur kembali menjadi Menteri Agama, maka PB Tanfidziyah sehari-hari dipimpin oleh KH M Dahlan.

Kiai Masjkur terus berjuang bersama NU hingga akhir hayatnya. Tercatat selepas menjadi ketua, ia tetap aktif di kepengurusan PBNU yakni anggota tanfidziyah (1954-1956), Ketua Fraksi Konstituante Partai NU (1956-1959), Ketua Sarbumusi (1959-1962), Rais Syuriyah (1967-1971, 1971-1979) dan Mustasyar (1984-1989, 1989-1994). Hingga wafat pada tahun 1992, Kiai Maskjur masih tercatat dalam kepengurusan Mustasyar PBNU.

Kiai Masjkur dimakamkan di pemakaman yang terletak di kompleks Masjid Bungkuk Singosari Malang, yang juga terdapat makam KH Nahrawi Thohir dan Kiai Thohir. Lahumul-fatihah!




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262