MEMBACA FIRMAN TUHAN

Oleh: Prof. Damardjati Supadjar

imagesRencana Allah terhadap makhluk yang namanya perempuan, bagi saya sangatlah mengagumkan. Satu ovum yang mereka miliki, ekuivalen dengan 300 juta sperma. Sebegitu banyak jumlah sperma suami berlomba-lomba, dan yang berhasil memasuki ovum hanya satu sebagai bakal-calon manusia generasi baru. Ini proses penyaringan alamiah yang selain berlangsung di rahim ibu juga terjadi juga di dalam ‘rahim alam’.

Untuk dapat lulus dalam penyaringan di tengah kehidupan modern, orang memerlukan pendidikan. Sayangnya, kebanyakan orang biasanya terpaku pada persekolahan semata yang dikira sebagai pendidikan. RUU atau Undang-undang Sisdiknas pun tak lebih dari pengaturan persekolahan. Padahal sejak zaman Skolastik kita sudah diajarkan bahwa untuk menjadi terpelajar tempatnya bukan hanya di ruang kelas yang namanya sekolah, melainkan juga di arena kehidupan.

Sistem pendidikan kita secara umum berkecenderungan menumbuhsuburkan konsumtivisme; para peserta didik berpotensi tergiring untuk hanya menjadi konsumen semata-mata. Dalam konteks ini yang sangat menonjol adalah sebagai konsumen ekonomi yang mengarah pada hedonisme (mengedepankan kesenangan sesaat) sebagai korban kapitalisme global.

Banyak kalangan, termasuk penulis, yang prihatin terhadap kemelut di dunia pendidikan kita. Berangkat dari keprihatinan itulah penulis dan kawan-kawan berkeinginan menawarkan konsep pendidikan sejati yang kongkrit dengan memprakarsai berdirinya semacam ‘pesantren kerja’ yang rutinitasnya berbeda dengan umumnya lembaga pendidikan yang sudah ada, yakni: siang bekerja, malam belajar atau mengaji. Para santri yang menjadi peserta didik tidak akan dipungut bayaran, melainkan justru dibayar dari hasil kegiatan produktif yang dilakukan bersama-sama.
Adapun sumber inspirasi pesantren kerja tersebut, termasuk pemberian nama lembaga yang menaunginya, antara lain kami dapatkan dari filosof besar Aristoteles.

Penjelasannya ilustratifnya sebagai berikut.
Ilmu filsafat lahir untuk menggantikan pemikiran mitologis menjadi pemikiran akal-budi rasional. Mitologi itu sendiri adalah sistem berpikir yang pseudo-saintifik, belum ilmiah, dan sifatnya problem setting tanpa problem solving. Sepanjang yang telah tercatat dalam sejarah, orang Barat-lah (tepatnya bangsa Yunani kuno) yang lebih dulu menemukan tahapan setelah mitologi, yakni filsafat, yang menekankan cara berpikir rasional itu. Sehubungan dengan hal ini ada dua narasumber yang tidak boleh tidak harus disebut, yaitu Plato dan Aristoteles.

Dalam mengajar murid-muridnya, Plato menggunakan sebuah taman yang disebut academy, jadi cara yang digunakan kurang-lebih serupa dengan yang sekarang kita kenal sebagai pendekatan klasikal. Sedangkan Aristoteles yang notabene adalah salah seorang murid Plato yang paling menonjol, setelah dia sendiri memiliki murid-murid, kegiatan mengajarnya tidak menetap di satu tempat, melainkan dilakukan sambil keliling-keliling di ‘lorong-lorong kehidupan’. Inilah yang belum dikenal baik oleh dunia, lebih-lebih oleh kalangan pendidikan di Indonesia.

Cara Aristoteles menerapkan pengajaran itu terlembaga dengan nama Liseum. Dari sinilah panulis bersama DR. Abdulhadi WM dan Iwan Nursyirwan bersepakat menamai lembaga yang kami bentuk dengan sebutan LISEUM, namun dengan kepanjangan khas Indonesia, yaitu Lembaga Ilmiah Seni Edukatif dan Usaha-usaha Mandiri.

Khusus untuk kegiatan usaha-usaha mandiri, kami bekerjasama dengan Yayasan Anak Bangsa Mandiri (YABM) pimpinan W. Pembayun. Tantangan yang kita hadapi dalam hal ini sangat riil, sangat di depan mata, dan sangat mendesak untuk segera ditanggulangi sebagai akibat pendidikan yang selama ini tidak mempersiapkan lulusan untuk mandiri, melainkan (sadar atau tidak) justru diarahkan untuk konsumtif hingga menjadi tergantung pada kapital yang mengglobal.

Adapun wujud pengajian yang diselenggarakan LISEUM terutama akan berupa kursus-kursus logika tingkat tinggi. Ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mengingat banyaknya kesalahan pengertian terhadap berbagai masalah besar dan mendasar pada tingkat
‘hulu’, sehingga pada tingkat ‘hilir’nya pun pasti kacau-balau. Lebih jelasnya, banyak konsep kehidupan kita mengenai hal-hal pokok-penting yang belum pernah digarap secara tuntas, khususnya di bidang keagamaan.

Salah satu pengertian hulu yang mestinya segera dituntaskan di antaranya adalah konsep diri. Ketika Socrates menyerukan “Kenalilah dirimu sendiri” maka yang dimaksud bukanlah mikrokosmos (tubuhnya) melainkan makrokosmos (ruhnya). Di antara makrokosmos dan mikrokosmis terdapat sekat berupa alam, yang dalam bahasa Jawa disebut aling-aling, dan oleh Umar Khayam disebut ‘kelir tanpa batas’.
Sifat ruh itu mengatasi ruang dan waktu. Jadi kalau ada cerita film/sinetron yang menggambarkan seolah ada ruh masuk jailangkung itu jelas mengindikasikan ketidakmengertian tentang bahasa cahaya ilahiah. Ini sama kelirunya dengan doa yang kerap dilontarkan terhadap orang yang baru meninggal, “semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan”; padahal ruh itu abadi di sisi Tuhan. Doa yang benar adalah: “semoga amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan”, atau kalau mau lebih lengkap: ” dan dosa-dosanya diampuni”.

Bahkan, kalau Tuhan berfirman itu hendaknya jangan dibayangkan seperti orang bicara; tadinya diam, lalu bicara, untuk kemudian diam lagi. Kalau begitu pemahamannya, maka berarti firman Tuhan disekat oleh ruang dan waktu, sedangkan ruang dan waktu itu sendiri merupakan akibat dari ‘firman’ Tuhan.
Sebetulnya, dunia memang lamban sekali dalam memahami firman Allah; meski sudah dikirim nabi-nabi dan rasul, tetap saja dunia cenderung berjalan di tempat. Kenyataan ini paralel dengan nasib ilmu filsafat yang persis seperti ibunya nabi Musa. Sebagaimana dikisahkan dalam Alquran, untuk menyelamatkan bayi-Musa dari ‘kebijakan’ Firaun yang ingin membantai semua bayi laki-laki di Mesir waktu itu, maka terpaksa bayi-Musa dihanyutkan ke sungai Nil, sampai ditemukan dan dipelihara oleh istri Firaun. Kemudian, karena si bayi tidak mau menyusu, maka disayembarakan hingga muncul si ibu sebagai tukang meminumi susu, sehingga status si anak menjadi tuan bagi ibunya, karena anaknya telah jadi putra junjungannya.

Nah, ilmu filsafat adalah ‘ibu’ dari semua cabang ilmu lain, namun orang-orang yang bergiat di fakultas ekonomi atau teknologi, misalnya, justru menjadi ‘tuan-tuan’ pejabat yang kehidupannya ‘wah’. Kalau anda berkunjung ke LASKAR UGM, akan nyata terlihat perbedaan yang sangat mencolok; LASKAR fakultas ekonomi atau teknologi sangat mentereng seperti kantor Bank Dunia, sedangkan LASKAR fakultas filsafat lebih mirip SD Inpres. Fenomena ini mencuat karena dunia kita baru sampai pada tahapan yang serba kuantitatif atau sebut saja baru mengenal bahasa tongkat, bahasa terukur, tertakar, dan tertimbang. Sedangkan hal-hal yang sifatnya kualitatif masih sangat kurang dihargai, bahkan dapat dikatakan belum mengenal bahasa ruh.

Sorga-Neraka dan Pohon Keakuan
Kesalah mengertian pada tingkat hulu, antara lain juga terjadi pada para penghulu agama. Misalnya pemahaman tentang surga dan neraka yang menurut panulis perlu segera dikoreksi. Kalau kita ditanya apakah surga itu ada, jawabnya pasti ada, namun mestinya pemikiran kita tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Seyogianya kita juga bertanya lebih lanjut, surga itu ada di mana? Jawabnya: di sisi Tuhan. Nah, yang ada di sisi Tuhan tentunya adalah sifat-sifat Tuhan yang secara keseluruhan meliputi sifat-sifat benar, indah, dan baik.
Sifat-sifat Tuhan itu sendiri terbatas atau tidak? Jawabnya pasti tak terbatas, sehingga –karena surga itu keberadaannya di sisi Tuhan yang tak terbatas, dan lawan dari ‘ada’ itu ‘tidak ada’ maka neraka itu tidak ada. Pernyataan penulis ini hendaknya dipahami secara utuh, sebab kalau hanya diambil sepotong-sepotong bisa fatal; salah-salah penulis dilempari batu oleh ‘ahlunnar’ yang fanatik, dogmatis, dan pikirannya tidak terbuka terhadap tafsir-tafsir yang berbeda dari yang selama ini dikembangkan oleh para penghulu agama yang mapan. Dalam masalah ini adalah sangat penting untuk diingatkan bahwa ketika mendalami Alquran (atau kitab suci lain) hendaknya kita tidak sekedar membaca huruf-huruf Arab, melainkan harus benar-benar ‘membaca firman Tuhan’.

Bagi orang yang ‘ahlunnar’, surga yang sedemikian indah dan baik bisa tergambar begitu jelek karena salah penglihatan; persis seperti salah lihatnya Betara Guru terhadap istrinya yang cantik-jelita, Dewi Uma. Dalam pewayangan dikisahkan, suatu ketika dalam sebuah perjalanan, Betara Guru minta Dewi Uma melayani hasrat biologisnya yang menggejolak. Karena Dewi Uma menolak, Betara Guru marah dan di matanya sang istri menjadi tampak sejelek Durga. Karena sudah terlanjur ‘in the mood’, maka sperma Betara Guru jatuh ke laut, dan jadilah Betara Kala. Celakanya, Betara Kala yang melihat Dewi Uma tetap cantik dan tidak tahu bahwa dia itu ibunya, kemudian memperistrinya.
Kisah Betara Guru berikut istri dan anaknya itu tentu harus dipahami sebagai sebuah simbolisme, bukan ditangkap secara harfiah. Dalam pandangan panulis, kisah tersebut merupakan peringatan akan rusaknya hukum sebab-akibat karena ‘salah penglihatan’.
Masih berkaitan dengan masalah surga, Allah berfirman kepada Adam: “Jangan kau dekati pohon ini, sebab kalau kau mendekati pohon itu engkau dzalim.” Ini sebuah peringatan, sebuah larangan yang mestinya menggugah kecerdasan spiritual kita. Pertanyaannya adalah: masa di surga ada larangan, masa di surga ada setan, masa di surga ada kedzaliman?

Yang terjadi adalah, Adam bukan hanya mendekati pohon itu, melainkan malah memakan buahnya. Penulis berani mengambil kesimpulan bahwa pohon larangan itu adalah pohon keakuan; begitu kita mengaku-aku, maka Tuhan jadi engkau. Padahal, atas dasar apa kita meng-engkau-kan-Nya? Tuhan itu pada hakekatnya tidak mungkin di-engkau-kan ataupun di-dia-kan.
Sedangkan buah yang dimakan Adam pun merupakan buah keakuan yang tak lain adalah ‘rasa milik’; begitu kita merasa memiliki sesuatu, maka kita diterkam oleh rasa kepemilikan kita, dan kita diperdaya oleh setan. Maka, sekali lagi kita harus bertanya, apa iya di surga ada setan? Keberadaan pohon dan buah keakuan itu dengan sendirinya tidak mungkin ada di sisi Allah, dan karena Adam diperdaya oleh setan, maka sebutan setan harus diartikan sebagai fungsi menjauhi Allah. Fungsi itu mengakibatkan Adam terpelanting ke dunia (dalam bahasa Chairil Anwar: aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang), dan Allah menambahkan firman, “Tunggu petunjuk dari sisi-KU”.

Manakala Allah berkenan memotret situasi dunia, kepada segenap makhluk di alam semesta kedirian-Nya ditawarkan. Semua takut menerimanya karena khawatir kalau sampai mengkhianati keakuan Illahiah; hanya Adamlah yang mengaku-aku sepihak, maka ‘aku mengaku-aku’ (dalam bahasa agama: semua sujud kepadaku).
Ketika Adam mengaku-aku itulah, semua sujud kepada Adam (kepadaku), kecuali iblis. Iblis itu artinya ‘yang ingkar’ atau dalam konteks sujud berarti yang tidak sujud. Kalau kita menggunakan logika inklusif seperti yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid, maka dapat dikatakan: “semua sujud kepadaku, kecuali aku”. Jadi iblis itu sebenarnya tak lain adalah aku atau kita selagi tidak mau bersujud.

Simpul Islam
Sebagai warga dari sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan tercatat sebagai negara dengan jumlah muslimin-muslimah terbesar di dunia, tentu layak jika kita memiliki cita-cita untuk membuat simpul Islam yang lebih bermutu daripada yang sudah dikembangkan bangsa Arab. Alasan yang lebih penting adalah, dulu dunia Arab berangkat dari alam pikiran jahiliyah, sedangkan kita tidak; sewaktu ajaran Islam datang ke Nusantara, nenek moyang kita sudah mengenal alam pikiran yang diwarnai berbagai kearifan dalam memandang dunia, salah satunya dalah konsep hamemayu hayuning bawono.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, pada tingkat dunia dapat ditempuh melalui Forum Komunitas Muslim Sedunia yang berkedudukan di Wina, tentu oleh para tokoh kita yang telah dianggap mendunia. Sementara penulis dan kawan-kawan biarlah hanya menyapa lewat pesantren kerja sebagai konsep pendidikan yang penulis anggap lebih sejati. Yang penting suatu saat kelak Indonesia dapat menjadi ‘tamansari’nya dunia.

Tamansari adalah sebutan bagi pertamanan yang ada di setiap kerajaan. Lebih dari sekedar untuk memperindah pemandangan di lingkungan kraton, keberadaan tamansari sebenarnya memiliki makna spiritual. Itulah sebabnya di taman Surakarta terdapat tradisi memutari taman Sriwedari yang disebut ‘maleman sriwedari’ yang dilakukan setiap malam menjelang 21 Ramadhan untuk menyongsong Lailatul Qadar. Dalam pemahaman penulis, lailatul qadar itu tak lain adalah ilmu untuk mencapai nafsu muthmainah.

Dalam kisah wayang (sekali lagi harus ditangkap makna simbolisnya), yang berhasil mengitari Taman Sriwedari adalah tokoh Sumantri atas jasa-bantuan adiknya, Sukrosono. Atas keberhasilannya itu Sumantri kemudian diangkat menjadi Patih Maospati, sebagai simbol naiknya derajat kemuliaan orang yang mendapatkan Lailatul Qadar. Sedangkan dalam konteks kekinian, setidaknya dalam persepsi penulis, orang yang berpotensi ‘mengelilingi taman sriwedari’ adalah ‘santri plus’ yang mulia, dan ini pulalah yang pertama-tama memperkuat motivasi penulis mengembangkan pesantren kerja. Lewat kursus-kursus logika tingkat tinggi, antara lain diharapkan para pesertanya dapat memperoleh kearifan-kearifan yang mengantarkannya ke derajat nafsu muthmainah.

Hal itu penulis turunkan pula dari nasehat Bung Karno bahwa Allah menyatakan dirinya dalam dua gaya, yakni lewat nabi-nabi/rasul dan lewat alam semesta dengan segala hukum alamnya yang kita kenal sebagai sunnatullah. Pernyataan Illahi lewat nabi/rasul disebut teofani, karena sebetulnya diri mereka sudah dikembalikan kepada Allah; namanya nafsu muthmainah, karena hanya nafsu muthmainah-lah yang dapat mendengar sapaan Allah.

Selain nafsu muthmainah, ajaran Islam juga mengenalkan kita pada nafsu amarah dan nafsu lawwamah. Nafsu amarah itu penuh masalah, dan dalam Alquran Allah menggambarkan dengan sangat bagus lewat kisah tentang Zulaiha yang menggoda Yusuf. Nenek moyang kita sendiri dengan sangat arif jauh-jauh hari telah mengingatkan tentang pentingnya mengendalikan nafsu amarah dengan ungkapan “Sesal kemudian tak berguna”. Sedangkan mengenai nafsu lawwamah diungkapkan dalam penggal paribahasa “Sesal dahulu pendapatan”.

Kalau diibaratkan sebagai alat penerang, maka nafsu amarah adalah semacam lentera atau teplok (lampu semprong); fungsinya harus sangat dijaga karena kalau minyaknya kotor dapat menimbulkan jelaga (aib), dan kalau tidak hati-hati semprongnya mudah pecah (dan ini boleh ditafsirkan sebagai merusak diri sendiri). Terangnya lentera tentu tak sebanding dengan lampu listrik (nafsu lawwamah) yang sudah mengenal hakekat asal-usul atau “awal-akhir lahir-batin”. Terangnya lampu listrik itu pun tak bisa dibandingkan dengan matahari (nafsu muthmainah) yang dapat mengantarkan manusia ke tingkat makrifat. Jadi, nafsu muthmainah itu adalah satu-satunya diri yang mendengar sapaan Tuhan, dan itulah lambang orang yang mendapat ‘matahari abadi’.

Menurut penulis, bangsa Indonesia sebenarnya sejak awal memiliki bakat makrifat, buktinya hanya kita yang menamai sumber cahaya galaksi kita dengan sebutan ‘matahari’. Lalu, dalam keseharian ada pula istilah-istilah seperti mata-hati, mata-pisau, mata-anggaran, dan sebagainya.

Menyatu dengan Firman Tuhan
Dulu kala, ketika agama Hindu menyebar ke Nusantra, nenek moyang kita menyaring dengan saringan yang sangat lembut. Firman Tuhan yang ditonjolkan waktu itu adalah keindahannya; namanya Pradnya Paramitha yang dipersonifikasi dengan sosok Roro Jonggrang. Bagi Bandung Bondowoso, untuk memperistri Roro Jonggrang (ini hendaknya diberi tafsir sebagai simbol keinginan menyatu dengan firman Tuhan) harus membuat seribu patung (melipatgandakan dirinya seribu kali) untuk menyamakan gelombang atau frekuensi sapaan Tuhan.
Kesamaan ‘frekuensi’ itu hanya bisa dicapai jika ruh telah mendominasi raga, dan Bondowoso telah gagal (diibaratkan dengan kesiangan), sehingga tidak berhasil menangkap gelombang ruhani firman Tuhan. Ini berarti, untuk sampai kepada firman Tuhan, seseorang harus menjadi ‘Hindu-plus’.

Sambil lalu penulis ingin mengemukakan sebuah temuan kecil yang sangat bermanfaat. Anak saya yang masih TK, pada saat tidur dan saya gendong ternyata lebih berat dibanding ketika dalam keadaan sadar. Ini membuktikan bahwa ruh itu memang ada, dan hubungan gelombang kita dengan ruh sewaktu tidur terputus sementara. Hal yang sama pun berlaku pada mayat: orang yang baru meninggal juga beratnya lebih dibanding sewaktu hidup.

Setelah mengenal Hindu, nenek moyang kita juga mendalami agama Budha yang sudah membawa berita pencerahan, namun toh ‘ksatria’nya masih terkurung dalam sangkar, jadi belum membebaskan sepenuhnya. Candi Borobudur yang menjadi simbol termegah agama Budha, nama aslinya adalah Candi Seribu Ksatria Terkurung dalam Sangkar.
Di candi Borobudur, stupa-stupa yang ada di bagian bawah lubang cahayanya dibuat dengan melubangi batu utuh, sedangkan pada bagian atasnya terbuat dari dua batu utuh yang dipertemukan dan menghasilkan lubang cahaya alami. Hal ini merupakan maklumat dari nenek moyang tentang pentingnya sadar diri untuk mengalami pencerahan.

Oleh karena itu, adalah tugas umat Islam untuk menyempurnakan pencerahan itu. Sayangnya, ketika pertama kali Islam datang, yang lebih ditonjolkan justru masalah surga yang digambarkan secara terlalu realis dan sangat sensual; makan tinggal makan, minum tinggal minum, tidur tinggal tidur ditemani bidadari, bercinta tinggal bercinta, dan seterusnya. Sedangkan nenek moyang kita semula mendeskripsi surga sebagai tan keno kinoyongopo langgeng tan ono susah tan ono bungah (tak bisa digambarkan, langgeng, tak ada sedih tak ada gembira). Terlepas dari benar-salahnya penggambaran surga yang terkesan sensual itu, mestinya yang lebih disyiarkan adalah semangat penyempurnaan akhlak dengan mengembangkan nafsu muthmainah.

Selama ini terdapat fenomena yang dalam pandangan penulis sangat menyedihkan, yakni kecenderungan untuk hanya ‘mengais recehan’ dari keberadaan candi Borobudur. Ada pula niatan membuat miniatur tujuh keajaiban dunia, yang lagi-lagi motifnya hanya mengkomersilkan semata.

Demi kebaikan perikehidupan di Indonesia dan dunia pada umumnya, penulis memandang adalah sangat mendesak untuk menghimpun tokoh-tokoh agama Hindu, Budha, Kristen, ataupun Islam agar dapat saling bertukar pikiran untuk menemukan jalan bagi pencerahan umat manusia dengan bersama-sama menggapai ruh Tuhan. Bagi ajaran Islam, menurut penulis jalannya sudah sangat jelas, yakni dengan memahami dan menghayati Lailatul Qadar sebagai ilmu untuk mencapai nafsu muthmainah agar dapat menangkap sapaan Tuhan.
Masalah tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, kita tidak akan mampu secara berkualitas menyaring teknologi modern yang notabene merasuk ke dalam kehidupan kita melalui penjajahan. Ini merupakan peringatan, yang kalau tidak hati-hati maka lagi-lagi kita akan terjajah oleh ilmu dan mekanisme kemajuan kita sendiri.

Masalah itu sebetulnya telah dilihat oleh nenek moyang berupa sosok kanibalis yang bernama Dewatacengkar (dewa = cahaya, cengkar = kebalikannya); jadi dia adalah sosok dzalim yang makan sesama orang. Sosok ini berhadapan dengan Ajisaka, orang yang menegakkan nilai-nilai adiluhung dan abadi yang mengenakan udheng (ikat kepala). Udheng itu sendiri berasal kata mudheng yang berarti mengerti, paham, sadar; jadi barang siapa mengenakan udheng dapat disimbolkan sebagai orang yang mengerti.
Dikisahkan bahwa dalam peperangan Ajisaka mengibaskan udheng ke tubuh Dewatacengkar hingga berubah ke wujud aslinya sebagai Bajul (buaya) putih. Dalam konteks kekinian, kisah ini dapat ditafsir sebagai kritik atas kecenderungan kita yang gemar mencontoh orang kulit putih tapi hanya sampai pada kulitnya.
Sampai batas itu, karsa penulis dan teman-teman mendirikan pesantren kerja berikut kursus logika tingkat tinggi boleh dianggap sebagai bentuk sikap kritis terhadap dunia LASKAR. Masalahnya, justru para lulusan LASKAR itulah yang paling potensial menjadi ‘bajul putih’ itu.***

CV:
*) Prof.Damardjati Supadjar adalah Guru Besar Filsafat pada Fakultas Filsafat UGM dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. bELIAU terlahir di Yogyakarta, 30 Maret 1940, ini juga dikenal sebagai aktifis budaya yang telah menulis sejumlah buku dan artikel ataupun makalah, penceramah di berbagai forum keagamaan dan PENASEHAT SPIRITUAL KRATON YOGYAKARTA.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.