Kehidupan Berbangsa Yang Cerdas

“Menjadi cerdas artinya menghemat ribuan tindakan yang tidak perlu, menyedikitkan kesalahan; oleh karena itu mempercepat tercapainya keberhasilan.”

Keberhasilan yang sering disebut dengan istilah kesuksesan (penyerapan dari bahasa Inggris), merupakan tujuan setiap manusia. Padanan untuk istilah ini ialah kemantapan hidup yang terlihat dari terpenuhinya tujuan pribadi (baca: impian) dan dibarengi dengan kemapanan material. Orang yang sukses adalah mereka yang tidak lagi berurusan dengan: kesulitan mencari finansial, ketidakjelasan posisi dan peran di masyarakat, dan kebingungan mencari arah hidup. Dalam kesuksesan, selalu terdapat kisah-kisah perjuangan yang seringkali memilukan. Memang ada, satu dua manusia yang jalan menuju kesuksesannya seolah terbentang dengan sangat mulus. Tanpa perjuangan yang berdarah-darah. Namun, ini tentu tidak menarik. Kita lebih tertarik kepada, betapa kisah perjuangan menuju sukses diwarnai dengan luka demi luka; fisik maupun psikis.

Sebagai bangsa, Indonesia juga memiliki kisah yang monumental dalam pencapaian ke arah kesuksesan, bahkan kisah itu barangkali masih berjalan. Artinya, bangsa ini belum mencapai tujuannya. Dari kriteria standar kesuksesan, bangsa kita belum mantap secara finansial: masih banyak hutang, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Posisi dan perannya sebagai anggota masyarakat dunia juga agak kabur. Satu lagi yang teramat penting, yakni pertanyaan, mau kemana bangsa ini, itu belum terjawab.

Kehidupan Berbangsa Yang Cerdas

Dalam mencapai kesuksesan, kecerdasan adalah sesuatu yang teramat penting. Menjadi cerdas artinya menghemat ribuan tindakan yang tidak perlu, menyedikitkan kesalahan; oleh karena itu mempercepat tercapainya keberhasilan.

Kehidupan berbangsa yang cerdas adalah amanat konstitusi. Artinya sejak awal berdirinya, bangsa ini sudah meletakkan kecerdasan sebagai salah satu agenda yang penting dalam pencapaian kearah tujuan. Boleh jadi kehidupan yang cerdas adalah tujuan itu sendiri, akan tetapi, sesungguhnya hal itu bisa menjadi sarana ke arah tujuan yang lebih subtil: kesejahteraan.

Kesejahteraan sebagai bangsa ditandai dengan jati diri yang kokoh, kemakmuran material yang merata, dan kebahagian akan terpenuhinya makna dalam setiap gerak masyarakat.

Untuk mencapai kesejahteraan itulah, kecerdasan kehidupan berbangsa harus terus menerus diupayakan. Selanjutnya, apa yang menjadi parameter bangsa yang cerdas?

Kecerdasan ala Indonesia

Dalam susunan redaksional pembukaan UUD 1945, ada sebuah klausa, “… dengan berdasar kepada… “. Hal itu menunjukkan bahwa semua kalimat sebelumnya dibingkai dan berpijak pada kalimat sesudahnya (sebelum dan sesudah, “dengan berdasar kepada”). Sehingga, mencerdaskan kehidupan bangsa harus dibingkai dan berpijak kepada lima hal; yang kita sebut sebagai pancasila. Kriteria kecerdasan harus merujuk kepada lima sila yang menjadi pandangan hidup bangsa.

Adakah isyarat mengenai parameter kecerdasan dalam pancasila? Ada, yakni hikmat kebijaksanaan.

Hikmat Kebijaksanaan

Hikmat kebijaksanaan disebut sebagai pemimpin dalam kerakyatan, pengarah untuk memecahkan segala macam problem rakyat. Inilah kecerdasan yang dimaksud. Kriteria sekaligus parameter kehidupan berbangsa yang cerdas adalah terpenuhinya hikmat kebijaksanaan.

Hikmat kebijaksanaan adalah sebuah kemampuan sekaligus potensi dalam diri manusia untuk mengatasi beragam persoalan yang menghadang hidupnya dengan sempurna. Sempurna dalam arti ketepatan dalam segala sesuatunya. Hasil dari hikmat kebijaksanaan adalah solusi yang melebihi jenius. Terkadang aneh dan bersifat paralogis. Namun, ia seperti anak panah yang menancap tepat ke titik sasaran tanpa menyisakan secuil pun simpangan. Hikmat kebijaksanaan menancap tepat ke inti permasalahan, tanpa sedikitpun menyisakan ruang kegagalan apalagi menimbulkan masalah yang baru. Sehingga, mengupayakan kecerdasan, hanya berarti mengusahakan terwujudnya hikmat kebijaksanaan.

Pendidikan dalam Bingkai Hikmat Kebijaksanaan

Salah satu usaha yang cukup signifikan untuk mewujudkan hikmat kebijaksanaan adalah melalui pendidikan. Paradigma pendidikan harus diupayakan untuk membentuk pribadi-pribadi yang bijaksana yang dipenuhi kearifan. Pendidikan bukan dimaksudkan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang pintar memanipulasi, materialistik, dan mengabaikan spiritualitas.

Dalam kurikulum pendidikan nasional, aspek yang amat dipentingkan ternyata kognisi (contoh paling nyata adalah UN). Berikutnya adalah aspek afeksi yang diterjemahkan menjadi moral normatif tanpa karakter. Kemudian, aspek psikomotor yang dimaknai sangat sempit hanya kepada kemampuan teknis yang sifatnya menjiplak tanpa kreatifitas. Tak ada kata-kata hikmat kebijaksanaan.

Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi-pribadi normatif, dengan kedisiplinan khas kompeni. Sementara mereka dijejali dengan latihan-latihan memanipulasi lewat rumus-rumus matematika, ditanamkan menjadi manusia materialistik melalui fisika, kimia, dan biologi. Mereka juga diajarkan agama yang bersifat ritual tanpa sedikitpun menyentuh spiritualitas.

Dalam pembinaan ketrampilannya, siswa hanya dilatih untuk menjiplak teknik-teknik yang sudah ada dan pakem. Kreatifitas hanya sebatas apa yang ada di dalam bingkai teori-teori tertulis. Bahkan percobaan yang dilakukan berada dalam bentuk simulasi. Tidak satu pun dari pengajaran itu yang menyentuh realitas. Tidak ada satu pun yang mengajarkan kebersamaan dengan alam secara langsung. Hal itu berlaku dari TK sampai perguruan tinggi, bahkan sampai jenjang setelahnya. Pelajaran yang paling penting yakni membaca hanya dimaknai sebatas membaca huruf-huruf tertulis, tanpa sedikitpun mengajarkan bahwa alam, kehidupan, peristiwa, adalah lembar-lembar tulisan kebesaran Tuhan; yang juga penting untuk dibaca. Bahkan, mengukur dan menghitung hanya diajarkan sebatas bilangan satu-dua yang kuantitatif, tanpa sedikitpun melirik bahwa kehidupan dan terutama rasa jiwa memiliki ukuran dan hitungan yang tidak terbatas pada bilangan.

Persoalan bukan hanya sampai disitu. Siswa telah diajarkan tentang norma paling rendah sejak pertama kali masuk sekolah, yakni: ilmu harus dibayar dengan uang. Bahwa mereka harus membayar sekian puluh juta pada saat masuk, membayar hingga jutaan untuk membeli selembar kertas bernama ijazah. Kalau ditanyakan kepada mereka, tentang motivasi sekolah, mereka akan menjawab dengan enteng, bahwa mereka harus mendapatkan ijazah agar bisa melamar kerja, bekerja dengan gaji bulanan, hidup lebih baik yang diterjemahkan dengan kecukupan materi, singkatnya mereka telah belajar satu norma rendah yakni, uang adalah segalanya. Sangat pragmatis.

Ini semua harus dihentikan. Sebelum generasi muda kita terkubur dalam kubangan hidup yang hina dan rendah, kita sebagai orang tua harus secepatnya memegang erat tangan mereka. Paradigma pendidikan harus secepatnya kita rubah dalam bingkai hikmat kebijaksanaan. Melahirkan generasi yang tertanamkan dan memancarkan kearifan, itulah tujuannya.

Prinsip-prinsip Kearifan

Kearifan sebenarnya dekat dengan kehidupan bangsa Indonesia sejak masa Nusantara. Kearifan itu kini tersisa dalam tradisi-tradisi yang ada disetiap daerah. Dari mulai pola hidup, ritual kepercayaan, kuliner, sistem kekeluargaan dan gotong royong, pandangan dan falsafah yang terukir pada setiap bangunan, pakaian, dan asesoris, bahkan alat-alat rumah tangga, semuanya memancarkan kearifan. Jika dirumuskan, maka kita akan menemukan prinsip-prinsip kearifan seperti kesederhanaan, dialog yang intim dengan alam, spiritualitas, dan kebersamaan yang jauh dari keserakahan.

Sebenarnya masih banyak yang bisa kita gali dari kearifan yang tercermin dalam kepurbaan Nusantara. Tulisan ini ibarat pemantik, semoga bisa dikembangkan menjadi sebuah diskusi yang hangat, dan tentunya bisa sebagai permulaan sebuah gerakan kebudayaan. Yang jelas, prinsip-prinsip kearifan tersebut, jika diterjemahkan dalam sebuah konsep pendidikan, akan menjadi permulaan dalam mengubah iklim kedangkalan yang selama ini begitu menggurita. Pada akhirnya, mencerdaskan kehidupan bangsa–maknanya adalah membuat kearifan tumbuh subur di dalam dada setiap anak bangsa–yang merupakan sarana menuju kesejahteraan, hanya akan terlaksana jika kita tidak melupakan sejarah, asal-usul kita yang adiluhung.

Masa itu, masa kejayaan yang sungguh-sungguh dekat …

Muhammad Zainur Rakhman




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.