KEBEBASAN

“Keadaan bebas sendiri tidak akan pernah ada; karena ontologi bebas pada dasarnya selalu diiringi ketidakbebasan.”

Kebebasan kerap menjadi alasan setiap orang untuk melakukan apa diinginkannya. Kebebasan disebut-sebut sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam tata normatifnya, disebutkan pula bahwa kebebasan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan yang bukan seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab. Norma tersebut bisa dikatakan sangat bijak, namun pada hakikatnya memiliki kelemahan fatal dalam maksud yang dikandungnya. Secara kasar, bisa dikatakan ungkapan semacam itu merupakan ungkapan retoris kaum sofis yang tidak lepas dari kepentingan. Anda bisa saja mengatakan misal tentang kebebasan seseorang yang sangat menyukai musik keras, dibatasi oleh hak kebebasan tetangganya yang ingin beristirahat. Lalu terciptalah earphone, dimana Anda bisa menyetel sekeras apapun volume yang Anda inginkan, sementara tetangga Anda juga bisa beristirahat dengan tenang. Jalan tengah semacam ini sungguh pun bisa menggambarkan kebebasan yang bertanggungjawab, namun belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Apa ukuran yang mendasari pengorbanan seseorang dengan mengurangi sedikit haknya, sementara orang lain tidak melakukan secuil pun pengorbanan? Kenapa bukan tetangga itu yang menggunakan penutup telinga agar suara musik tidak sampai mengganggu istirahatnya? Atau sama-sama, yang satu menggunakan earphone, yang tetangga menggunakan sumbat telinga? Terasa menggelikan bukan? Apa artinya? Kita tidak bisa menggunakan dalih kebebasan untuk sesuatu yang kita inginkan. Setiap hak kebebasan kita, pasti menimbulkan potensi pelanggaran hak kebebasan orang lain. Pada akhirnya kita menggunakan norma umum yang membatasi kebebasan, yang disebut norma kepantasan. Dalam hal ini, sesuatu yang disebut penguasaan mayoritas atas minoritas tak dapat dielakkan. Disinilah wilayah kerja kaum sofis untuk menentukan apa-apa yang pantas, dan apa-apa yang tidak pantas. Kaum sofis itu bisa berwujud ormas besar, agama, adat istiadat, bahkan pemerintah. Tentu saja, hal tersebut berarti pendangkalan besar-besaran terhadap kebenaran sejati. Kenapa demikian? Tidak ada klaim, bahwa pendapat terbanyak selalu lebih mengandung kebenaran dari pendapat yang minoritas. Seseorang yang berpendidikan barat, bisa disebut tidak sopan tatkala kentut ditengah-tengah keluarganya yang sangat njawani. Padahal hal itu tidak melanggar apapun dari norma yang ia yakini selama ini. Oke lah, kita bisa menyebut kaidah tentang hal itu, yakni empan papan, pandai menempatkan posisi. Seseorang hendaknya empan papan, harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Meskipun terbiasa dengan norma barat, kalau berada di dalam masyarakat ketimuran, ya jangan berani-berani menggunakan norma barat. Tetapi kalau dibalik, apakah orang timur boleh melepas identitas ketimurannya ketika bergaul dengan masyarakat yang menggunakan norma barat? Jawabannya pasti: tidak. Tidak ada kaidah empan papan, kaidah yang digunakan adalah mikul dhuwur mendem jero, seseorang tidak boleh melepaskan adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur, norma-norma yang adiluhung tidak boleh ditinggalkan hanya karena takut dikatakan kuno. Disini kemudian terjadi kastanisasi norma. Ada norma rendah, ada norma yang tinggi. Pada intinya kita tidak bisa menggunakan dalih mayoritas untuk menentukan kebenaran suatu hal. Sehingga, dasar kepantasan tersebut juga tidak absah untuk membatasi kebebasan. Dengan demikian, menjadi tidak tepat jika kebebasan digunakan sebagai alasan kita untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Kaidah bahwa manusia memiliki kebebasan, telah mati. Bahkan kematian manusia sendiri, telah mengajarkan betapa kita telah tidak bebas, karena mati bukanlah pilihan dimana seseorang bisa mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’. Kematian adalah keniscayaan.

Selanjutnya, jika dikatakan bahwa kebebasan tidak ada, maka tidak ada yang bisa disebut hak asasi manusia. Kenapa bisa begitu? Hak asasi manusia pada dasarnya adalah kata lain untuk kebebasan. Manusia merasa memiliki hak yang ditentukan oleh dirinya sendiri, bahwa dirinya punya hak. Jelas, ini tidak sahih. Jika manusia dikatakan memiliki hak untuk hidup, maka dia berhak pula untuk mati, namun, mati sekali lagi bukan hak, mati adalah sesuatu yang tidak bisa dipilih dan ditentukan oleh manusia. Seseorang yang ingin bunuh diri, lalu dia memutuskan untuk terjun dari sebuah jembatan, namun tiba-tiba sebelum mencapai jembatan, sebuah mobil menabraknya hingga tewas, apakah bisa dikatakan dia mati dengan cara yang dipilihnya? Tentu saja tidak. Bahkan bisa saja, setelah seseorang memutuskan mati dengan cara terjun dari sebuh jembatan, tetap hidup karena ada seseorang yang menolongnya. Hal ini berarti, mati bukanlah hak manusia. Demikian pula, apakah ada manusia yang memutuskan sendiri bahwa ia akan lahir ke dunia? Tentu tidak. Hal ini berarti, hidup bukanlah merupakan haknya. Dan bahkan, hak sendiri tidak dapat disematkan pada manusia. Manusia tidak memiliki hak apapun, kecuali kesombongannya selama ini yang kemudian menentukan sendiri bahwa dirinya punya hak.

Satu-satunya yang dimiliki manusia adalah kewajiban, bahwa ia harus tunduk kepada sesuatu yang telah membuatnya lahir ke dunia, sesuatu yang membuatnya bisa berbicara, sesuatu yang menyediakan segala macam kebutuhannya, dan sesuatu yang pada saatnya nanti, memutuskan bahwa ia harus mati. Sesuatu itu pula lah yang memutuskan kapan dunia ini akan berakhir. Jika manusia merasa memiliki kehendak, sadarlah bahwa kehendaknya dibatasi oleh sesuatu tersebut. Ada yang mengatur semua permainan di alam jagad ini. Klaim bahwa seseorang bisa melakukan apapun yang ia kehendaki adalah klaim penuh gegabah dan sarat kedunguan. Manusia harus menerima sesuatu itu, suka atau tidak suka. Manusia harus menerima Tuhan; sesuatu yang pasti disebut ketika seseorang berada dipuncak penderitaan.

Bagaimana menerimanya? Sesungguhnya ia lebih dekat dari urat leher Anda. Kita tidak perlu mencarinya kemana-mana, kita hanya perlu melihat ke kedalaman diri yang disebut nurani. Hati kita sama-sama mengangguk, memuliakan kejujuran, kerendahan hati, kesucian, kedermawanan, dan ketulusan. Kendati pun kita seringkali tidak jujur, berlaku sombong dan semena-mena, hidup dalam kubangan kehinaan, kikir dan serakah, serta pamrih dalam setiap perkataan dan perbuatan kita. Apapun agama dengan kitab suci yang berbeda-beda, pada dasarnya menuju kepada penemuan kita akan Tuhan. Pada saat kita menemukan Nya, saat itulah kita akan mendapatkan kebebasan yang sejati. Jangan melandaskan perbuatan kepada kebebasan apalagi hak asasi, namun landaskan lah kepada nurani. Ketika nurani Anda mengatakan ‘Ya’, maka perbuatan tersebut akan ditemani dan dibantu oleh Tuhan. Tandanya adalah ketenangan dan kedamaian, serta meningkatnya rasa cinta kasih kepada setiap hal. Pertanyaan besar yang kemudian menguak adalah, apakah Anda masih memiliki nurani? Atau Anda hanya memperturutkan naluri?

Sungguh, ketika seseorang memutuskan untuk tidak bebas (bersama Tuhan), ia akan mendapatkan kebebasan. Sebaliknya, jika ia memilih kebebasan dengan meninggalkan Tuhan, maka kebebasan itu sendiri yang menjeratnya sehingga ia tidak bebas. Bukankah Budha mengatakan, ” kosong adalah berisi, berisi adalah kosong”, barangsiapa merasa kosong, maka Tuhan akan mengisinya, barangsiapa merasa isi, maka sebenarnya ia kosong. Bebaskan dirimu dengan tidak menjadi bebas!

Berbuatlah karena kita memang harus berbuat.

Muhammad Zainur Rakhman




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.