MEMBACA ULANG CAHAYA

Kepada Guruku Al Ghazali, Terima kasih 39756 x…..

ALLAH ADALAH CAHAYA LANGIT DAN BUMI. PERUMPAMAAN CAHAYA-NYA ADALAH IBARAT SEBUAH MISYKAT. DALAM MISYKAT ITU ADA PELITA. PELITA ITU DI DALAM KACA. KACA ITU LAKSANA BINTANG BERKILAU. DINYALAKAN DENGAN MINYAK POHON YANG DIBERKATI, YAITU POHON ZAITUN YANG BUKAN DI TIMUR MAUPUN DI BARAT. YANG MINYAKNYA NYARIS MENYALA SENDIRI-NYA WALAU TIDAK DISENTUH API. CAHAYA DI ATAS CAHAYA! ALLAH MENUNTUN KEPADA CAHAYA-NYA SIAPA SAJA YANG IA KEHENDAKI DAN ALLAH MEMBUAT PERUMPAMAAN BAGI MANUSIA. SUNGGUH ALLAH MENGETAHUI SEGALA SESUATU. (QS AN NUR: 35)

Itulah satu ayat di dalam Surat An Nur: 35. Entah kenapa, saya sangat senang dengan ayat yang di kalangan ahli hikmah disebut sebagai ASMAK NURUL QOLBU ini. Sejak lama saya begitu menyukai keindahan bahasa ayat tersebut sekaligus penasaran dengan makna kata “Cahaya.” Tentu Tuhan tidak membuat perumpamaan secara sembarangan, sebagaimana juga dia membuat perumpamaan-perumpamaan lain di dalam Kitab Suci. Tentu ada makna dan hikmah yang besar bila kita mau bertafakkur, memikirkan dan merenungkan kandungan-kandungannya secara mendalam dan intensif.

Selain di ayat tersebut, kata “Cahaya” juga disampaikan oleh Nabi SAW dalam sabdanya: “Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan. Seandainya IA menyibakkannya niscaha cahaya-cahaya wajah-NYA akan membara siapa saja yang memandangnya”

Saya yakin meskipun belum memulai, begitu kita masuki tabir-tabir rahasia di dalamnya, kita akan mendapati sebuah pengertian dimana kita akhirnya merasa bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa sedang memberi pembelajaran pada kita agar senantiasa mensyukuri berkah dan karunia untuk memikirkan bahasa-bahasa simbolik dengan akal budi. Kita akan memasuki sebuah pendakian spiritual hingga memasuki persada ketuhanan yang berseluk beluk dan sangat tinggi. Tentu saja, kita terkadang tidak diperkenankan untuk menceritakan kepada mereka yang “belum sampai.” Tidak setiap hakikat boleh dijelaskan karena nanti akan membuat kebimbangan dan kekeruhan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh seorang yang arif: “Mengungkapkan rahasia Ilahi adalah kekufuran”

Namun, bila rahasia Ilahi itu disampaikan pada saat yang tepat, saya kira tetap mendatangkan manfaat sebagaimana disampaikan oleh seorang penyair: “Barangsiapa memberikan ilmu kepada yang tidak patut menerimanya, sama saja dengan menyia-nyiakannya. Siapa saja yang menutup ilmu dari yang berhak mengetahuinya, sungguh ia telah berbuat aniaya yang sebesar-besarnya.” Semoga ini saat yang tepat untuk memohon pada-NYA agar membuka kunci-kunci rahasia tersebut.

Apakah itu CAHAYA? Cahaya adalah sebuah dzat yang darinya segala sesuatu itu tampak oleh mata kita. Kita menganggap sebuah benda misalnya daun memiliki warna tertentu. Namun sesungguhnya, kalau tidak ada dzat yang bernama cahaya apakah daun itu tetap berwarna hijau? Tentu saja warnanya hilang dan gelap tidak terlihat. Jadi syarat utama penampakan segala sesuatu di muka bumi ini adalah adanya CAHAYA. Karena kenyataan ini sebenarnya bertingkat-tingkat sesuai dengan wujud kesempurnaannya masing-masing maka kita bisa merumuskan bahwa ada satu-satunya syarat agar semua itu ada dan tidak ada syarat lagi bagi keberadaannya. Syarat itu adalah CAHAYA MAHA CAHAYA, Cahaya Tertinggi dan Terakhir, Cahaya Hakiki dan tiada cahaya lain di atasnya. Sang Causa Prima-nya Cahaya.

Penampakan segala sesuatu adalah NISBI karena tergantung pada sebab-sebab yang lain. Penampakan daun itu nisbi, penampakan manusia itu nisbi, penampakan dunia ini nisbi. Semuanya nisbi, relatif dan tidak absolut. Keberadaan semua yang ada ini bergantung pada sesuatu yang lain. Kita bisa melihat dan mendengar karena kita punya mata dan telinga (audio-visual), itu tingkat dasar. Tingkat selanjutnya, kita bisa memastikan segala sesuatu karena kita punya alat-alat untuk merasa (kinestetik) dan rasa lebih tinggi derajat kepastiannya dari mata dan telinga. Darimana indera rasa ini terletak dan berasal?

Akhirnya, kita akan sampai pada pemahaman tentang JIWA atau RUH melihat dan merasakan segala sesuatu. Sifatnya tidak terlihat namun menjadi sumber pengelihatan dan sumber kepastian-kepastian segala sesuatu. Jadi yang menentukan gelap terangnya dunia ini, yang menentukan luas sempitnya dunia, yang menentukan ada dan tidaknya dunia ini termasuk anda dan saya adalah RUH kita. Segala sesuatu itu terwujud bila RUH kita menghendaki untuk terwujud dan bila RUH kita tidak menghendaki, maka segala sesuatu termasuk dunia inipun tidak ada! RUH adalah CAHAYA SEJATI yang tidak memiliki daya cerap dan tidak pula mewujudkan pencerapan, tetapi ia menyimpan potensi KEHENDAK untuk mewujudkan segala sesuatu.

Jadi di dalam diri kita ini, ada CAHAYA SEJATI yang memiliki sifat sempurna yang tidak pernah keliru. Kebenaran absolut yang sesungguhnya. Ada kalanya ia dinamakan AQL, RUH atau NAFS. Namun sebaliknya kita lewati saya istilah-istilah ini agar tidak menimbulkan kebingungan saat membahas tentang cahaya ini. Bila mata kita tidak bisa melihat mata, maka RUH bisa melihat dirinya sendiri. CAHAYA yang bisa mencerap CAHAYA, pengetahuan tentang pengetahuan dan seterusnya. Bila mata tidak bisa melihat sesuatu yang terlalu jauh atau dekat, maka AQL atau RUH bisa terbang kemanapun yang dikehendaki, bisa terbang ke langit manapun dan turun ke langit manapun yang dikehendakinya. Hingga mampu memaknai HAKIKATNYA HAKIKAT, sampai pada hakikat segala sesuatu, samudra yang luasnya meliputi sifat-sifat-NYA, puncaknya puncak dan dasarnya dasar segala sesuatu. Pada titik penghayatan ini, kita akan memahami bahwa sesungguhnya manusia adalah CERMIN TUHAN… Innallaha kholaqo aadama alaa suurotini… Allah menciptakan Adam menyerupai citra-NYA.

Masalahnya adalah ruh, nafs dan akal yang bagaimana yang sesungguhnya bebas dari sifat relatif dan terbatas? Kita sadar bahwa diri kita yang sejati ini merupakan limpahan DZAT-NYA, namun kok dalam kehidupan sehari-hari kita masih diliputi oleh keterbatasan dan tidak mencerminkan khalifah di muka bumi ini? Jangankan khalifah, yang terjadi malah sering berbuat kerusakan dan melanggengkan kemunkaran. Menjadi manusia yang tidak tahu SANGKAN PARANING DUMADI, seperti tersesar di hutan belantara problem dunia fana, tidak tahu asal termasuk kebingungan jalan untuk pulang.

Kita ini ya Fir’aun sebagaimana yang disebut Tuhan di dalam kitab suci. Tuhan pada hakikatnya sedang menuding diri kita ini. Jangan sampai terlambat untuk menyadari kesalahan diri kita dan masukilah senantiasa kesadaran ruh kita. Jangan sampai ketika air laut kematian merangsek ke sungsum dan sel sel darah, dan nyawa kita tinggal sejumput kita baru terbangun…. lah kemana saja kita selama ini, ohoi … Firaun abad 21?

Saat nanti kita sekarat akan meninggal dunia disanalah kita kemudian baru memasuki wilayah kesadaran ruh. Oh….. betapa sia-sia hidupku selama ini…..aku telah mempertuhankan diriku yang palsu…. tidak mempertuhankan DIRIKU YANG SEJATI…Kesadaran sejati yang selama ini tertimbun di dalam diri dan tidak pernah kubangunkan. Sungguh celaka dan sia-sia…. Ampun Gusti….Aku telah menyembah berhala yang tidak lain diriku sendiri, nafsu-nafsuku, keinginan-keinginanku, isteri dan anakku, harta bendaku, syahwatku, kesenangan-kesenanganku, kehormatanku, kemuliaanku, pangkat derajatku…. Wahai Tuhan Kami, kini kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia agar dapat beramal sholeh.. kini kami telah menjadi orang-orang yang yakin…. dan Tuhan bersabda: Telah Kami singkap tirai yang menutupimu, kini pengelihatanmu amat tajam!

Kita sampai pada pemahaman bahwa cahaya itu sesungguhnya tidak hanya bersifat fisik namun sumber cahaya itu justeru hal yang bersifat metafisik. Al Qur’an sebagai cahaya, tentu saja memiliki dimensi metafisik. Bukan hanya buku yang bisa dibakar dan aus, namun memiliki ruh yaitu Al Quran yang bersifat metafisik berupa hakikat pergelaran alam semesta ini. Kalau kita menyebut pergelaran alam semesta… maka jangan hanya diartikan bumi dan langit saja. Itu semua hakikatnya justeru merupakan JAGAD CILIK (Mikrokosmos) sementara pergelaran alam semesta yang hakiki adalah DIRI SEJATI yang merupakan JAGAD GEDE (makrokosmos). Itulah Al Qur’an hidup yang harus kita jelajahi kedalaman semestanya. Kenapa manusia makrokosmos? Sebab yang menentukan besar kecilnya alam semesta bukan alam semesta itu sendiri, melainkan diri kita. Ya Akal kita, Ya Ruh kita. Bukankah kita yang membuat meteran, penggaris, penentu dan pencipta ukuran bagi segala sesuatu? Jadi yang menentukan besar kecilnya “Tuhan” ya anggapan diri kita masing-masing. Cantik mana Luna Maya dengan Cut Tari? Tentu saja tergantung persepsi. Bagi Ariel Peterpan mungkin cantik Luna Maya, namun bagi saya mungkin lebih cantik Cut Tari. Besar mana “Tuhanmu” dengan “Tuhanku?” Tentu saja tergantung pada penghayatan masing-masing orang.

Susunan, sifat, asma/nama dan perbuatan Tuhan (pada diri-NYA sendiri) tetap tidak mampu diketahui kecuali mereka yang sudah mendapat petunjuk atau hidayah dan bagi kebanyakan orang awam benar-benar menjadi misteri sampai kapanpun. Kita hanya bisa melihat FENOMENA-NYA. Sementara NOUMENA-nya jelas tidak bisa kita ketahui. Kita hanya bisa melihat aksidensia-NYA, sementara SUBSTANSI/ESENSI-NYA wallahu a’lam. Kita hanya bisa melihat Miss Universe dari jauh, melihatnya dari luar.. warna kulitnya, bajunya, rambutnya, bibirnya… sementara wujud aslinya apakah seperti itu? Ya silahkan dikira-kira sendiri.

Itu sebabnya, kita tidak boleh sedkitpun mengaku dan merasa tahu tentang diri-NYA. Yang merasa kita tahu tentangnya, 99 asma-NYA yang kita kenal selama ini sebenarnya hanyalah seperti peta penunjuk jalan agar kita tidak tersesat. MAP IS NOT THE TERRITORY: Peta tentu beda dengan wilayah yang sesungguhnya. Apalagi tentang Allah SWT??? Apalagi bahasa dan akal kita sangat terbatas. Dimana batasnya bahasa dan akal? Disinilah batasnya. Yaitu tidak mampu menggapai Susunan, sifat, asma/nama dan perbuatan Tuhan (pada diri-NYA sendiri). Mereka yang awam adalah mereka yang masih belum tersingkap pemahamannya akan alam hakikat. Dia tidak bisa lepas dari alamul hiss was-syahadah… alam kasat mata dan belum mampu memasuki pintu alam malakut yaitu pintu alam yang bisa dimasuki oleh mata batiniah. Mata batin mendapatkan cahaya yaitu RUH Al QUR’AN dan PETUNJUK-NYA yang diturunkan dalam hidup kita sehari-hari, detik ini, disini…

Ketersingkapan pintu alam malakut secara sempurna sungguh mempesonakan hati. Sebuah alam penuh keajaiban dimana kita merasa tidak bisa tidak kecuali HARUS MENGUCAPKAN TERIMA KASIH, sujud sukur tanpa pernah berhenti untuk bertasbih memuji-NYA. Betapa aneh diri kita ini, kok bisa-bisanya tiba-tiba ada di dunia ini. Opo tumon??? Siapa yang menciptakan aku??? Apakah ini perbuatan yang disengaja atau iseng? Pasti disengaja. Bukan iseng. Padahal aku mengisi hidupku dengan iseng, menghabiskan waktuku untuk main domino, mencolek gadis-gadis bahenol di lokalisasi, dan bergaul dengan para preman? Betapa hinanya diriku yang setelah menyadari hal ini kemudian melanjutkan hidup di alam-alam rendah yang sesat… pantas aku lebih sesat dari hewan yang tidak bisa terbang ke alam malakut. Aku tuli dan buta dari sapaan mesra kekasih….

“MEREKA SEPERTI BINATANG, BAHKAN MEREKA LEBIH SESAT LAGI. MEREKALAH ORANG-ORANG YANG LALAI” (QS 7: 179)

Siapa yang telah terbuka pintu alam malakut? Dialah berhak menyandang gelar menjadi hamba Allah SWT. Yaitu mereka yang menghamba kepada-NYA. Bukan kepada yang lain. Mereka ini kemudian menjadi bagian dari alam malakut itu sendiri, dimana kesadaran kosmik-nya telah berubah total, final dan eternal. Indera dan khayalnya, imajinasinya, bukan menjadi bumi tempat tinggalnya lagi, termasuk langit (samaawaat…) serta segala yang terjauh dan ter-ada yang pernah dipikirkannya.

Setiap hari baginya merupakan sebuah pendakian atau Mi’raj. Hidupnya ya suluk itu sendiri. Senantiasa menghampiri hadirat Yang Maha Pecinta bahkan selalu menempel pada Hadhrat Al Quds (Hadirat Kesucian Allah SWT) dimana semua kunci gaib digenggamannya. Yaitu hanya dari sisi-NYA jua semua penyebab adanya maujudat di alam syahadah ini diturunkan dengan perkenaan-NYA. Sebab alam syahadah adalah akibat dari alam malakut yang merupakan sebab. Kalau sekarang ini banyak banjir, tanah longsor, kereta api terbakar, kemacetan di mana-mana, dan keruwetan-keruwetan hidup.. maka itulah akibat dari sebab utama yaitu alam batin kita semua yang kisruh, ruwet dan amburadul!

TALI SIMPUL
Nur artinya cahaya. Muhammad artinya kualitas diri yang terpuji. Muhammad sebagai sosok pribadi telah kembali ke sisi-NYA, namun sebagai kualitas diri maka ia akan tetap hadir pada diri-diri yang mampu menunjukkan derajatnya sebagai Pelita yang Menerangi (SIRAJ MUNIR) sepanjang jaman. Nur Muhammad ada sebelum alam semesta ini ada, sebab cahaya yang mampu menerangi dan meng-ada-kan alam semesta ini ya KEHENDAK, dan KEHENDAK AWAL PENCIPTAAN alam semesta ini adalah KEHENDAK BAIK. Nur Muhammad nanti juga akan mengakhiri pergelaran dan penggulungan alam semesta dengan makna hakikat yang sama. Dan setelah itu, dunia ini diisi dengan cahaya dari semua nabi yang juga merupakan cahaya sepanjang masa, termasuk diri anda, diri saya, diri kita semua. Semua punya satu keping mosaik kebenaran yang harus dikumpulkan agar kebenaran itu menyatu sempurna. Salam paseduluran…




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KHASANAH MISTIK: ILMU KEBAL

Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia. ilmu tersebut banyak digunakan tokoh nasional semasa revolusi. dalam islam, kekebalan masih diragukan keberadaannya.

Peristiwa Mbah Suro tahun 1967 di Nginggil dan peristiwa Lampung adalah dua peristiwa nasional tentang kekebalan. Benarkah ada manusia tak mempan ditembak, dibacok, atau dibakar? Guru kekebalan mensyratkan dikubur hidup-hidup 3 hari untuk menjadi manusia super. Toh ia rontok kalau disabet daun kelor atau digores padi.

Sungguh fantastis. Meski peluru petugas memberondong, para perusuh itu malah maju, dan maju dan sangat dekat. Beberapa orang di antara mereka malahan berteriak, “Ayo, tembak lagi.” sambil menunjukkan peluru yang tak menembusi tubuhnya. Pertempuran berlangsung makin seru dan aneh. Akhirnya, gelap malam melilit kawasan yang rawan itu. Dalam kesunyian, beberapa orang tampak terkapar, tewas. Mereka adalah sebagian dari orang-orang yang kabarnya: tak mempan peluru. Yang lain telah mundur, menyusup ke hutan Gunung Balak. “Kebal”, kata itu kemudian melompat dari mulut ke mulut, penduduk Lampung. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Berapa sebenarnya jumlah korban? Bentrok tentara dengan sekelompok orang — oleh pemerintah disebut “GPK Warsidi” —  memang mengagetkan. Bisa membikin orang tersedak.

Peristiwa itu telah menjadi pembicaraan hangat. Khusus persoalan “kekebalan”, Pangdam Sriwijaya Mayor Jenderal Sunardi berkata, “Ah, kebal apa. Buktinya mereka ditembak, ya, mati.” Pernyataan Pak Mayor Jenderal itu benar. Tetapi masyarakat masih meyakini bahwa Warsidi dan sejumlah anak buahnya memang mempunyai ilmu kebal. Dengar saja penuturan Bambang Saputro, tukang ojek di Way Jepara, Lampung. Ia mengaku menyaksikan dengan “mata kepala” sendiri keanehan tersebut. Dialah orangnya yang mengantar petugas ke sana. Di Talangsari, ia melihat bagaimana Kapten Sutiman, Danramil Way Jepara, menembak langsung orang-orang itu, namun, kata Bambang, “Mereka yang ditembak tidak apa-apa.” Malah kemudian Sutiman yang tewas, terhunjam anak panah.

Suprapto, Kepala SMA Muhammadiyah Sidorejo di Lampung, percaya soal kekebalan dalam kasus GPK Warsidi itu. Ia mendengarkan kisah semacam dari sejumlah saksi mata: bahwa Jamjuri (ini juga anggota GPK Warsidi) tak terlukai peluru. Padahal, Serma. Sudargo telah menembaki Jamjuri hingga peluru habis. Hasilnya hanya luka tak berarti pada kaki Jamjuri, sedang nyawa Sudargo sendiri melayang lantaran dikeroyok. Benarkah ada orang kebal? Dalam sejarah Indonesia, bertaburan kisah kekebalan. Pada perlawanan “Barisan Bambu Runcing” atau “Barisan Muslimin Temanggung” terhadap tentara NICA dan Sekutu, misalnya. Siapa pun yang terlibat pada masa itu pasti mengenal nama Kiai Subkhi.

Seorang kiai yang — menurut K.H. Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Jawa Tengah “selalu berada di depan jika menyerang musuh.” Ketika itu, seruan takbir sahut-menyahut. Rakyat bergelombang-gelombang menyerang Belanda yang bersenjata lengkap, cuma dengan senjata bambu runcing. Tetapi toh mereka maju terus. Termasuk Kiai Subkhi yang menjadi pucuk pasukan. Kendati demikian, kiai asal Parakan, Temanggung, itu selamat.

Menurut Muhaiminan, bukan hanya Kiai Subkhi yang tidak apa-apa. Semua orang yang memegang bambu runcing — seperti Pak Kiai — memang kebal. Tentu saja senjata itu bukan sembarang bambu yang diruncingkan lalu dibawa maju perang. Melainkan bambu runcing yang sudah “diisi” atau istilah lainnya “disepuh”. Yang bertugas menyepuh adalah Kiai R. Sumomihardho, ayah Muhaiminan. Namun, sebelum bambu runcing yang bakal dipakai untuk melawan penjajah itu disepuh, pembawanya harus menghadap tiga kiai lain. Yakni K.H. Abdur Rohman, Kiai Ali, dan K.H. Subkhi. Kiai Abdur Rohman akan memberi nasi manis — nasi yang ditaburi gula putih — pada para prajurit amatiran itu. Ini bukan nasi buat mengenyangkan perut, tapi sebuah asma, yang kadang juga disebut isim. Semacam jimat yang dalam hal ini untuk kekebalan. Kiai Ali memberi asma air wani (wani = berani), yang membikin orang-orang itu menjadi berani dan tak capek-capek. Sedang Kiai Subkhi mengajarkan hafalan doa.

Bismillahi bi aunillah. Allahu ya khafidhu. Allahu Akbar. Masing-masing dibaca tiga kali, lalu menyandang bambu runcingnya. Dengan bimbingan para kiai itu, rakyat bertempur habis-habisan. Ini nampaknya peristiwa sepele. Sebab, tak tercantum dalam buku sejarah — yang memang hampir tak pernah menulis gerakan rakyat. Tetapi banyak tokoh nasional yang telah memanfaatkan jasa para kiai itu: agar memperoleh kekebalan dan keberanian dalam masa revolusi.

Tak kurang dari Jenderal Soedirman, menurut Muhaiminan, pernah datang ke Parakan guna menyepuhkan bambu runcing untuk “Palagan Ambarawa” — pertempuran di Ambarawa. Selain itu, masih ada sederetan nama lain. Misalnya Wongsonegoro (dulu Gubernur Jawa Tengah), Roeslan Abdul Gani, K.H. Wahid Hasyim, Moch. Roem, juga Kasman Singodimedjo. Kiai Muhaiminan, yang menikahi cucu Kiai Subkhi, amat berkesan dengan kekebalan cara Parakan yang banyak menyumbang jasa bagi berdirinya republik ini.

Maka, Pak Kiai pun menamai pesantren yang kini diasuhnya dengan sebutan Pondok Pesantren “Kiai Parak Bambu Runcing.” Cerita kekebalan juga memerciki peristiwa G30SPKI. Dalam kisah ini, bukan para kiai yang jadi peran utama, tapi justru dari kalangan kaum abangan PKI. Mereka yang ditumpas. Seorang yang dulu santri di pesantren daerah Kediri berkisah. Ia sempat menjadi anggota Banser Barisan Serba Guna, yang banyak membantai PKI. Satu saat ia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang-orang PKI yang dijejerkan untuk dieksekusi. “Saya yang mendorong orang-orang itu satu per satu,” paparnya.

Setiap orang PKI yang didorong langsung disambut dengan tebasan pedang algojo. Potongan kepala dan tubuh mereka pun mengotori aliran Sungai Brantas, menggemukkan ikan-ikan di sana. Tiba-tiba para anak muda yang tengah “menumpas” itu menjumpai keganjilan: salah seorang PKI tak mempan dibacok. “Bunyinya trang …, seperti besi yang beradu,” kata santri itu mengenang. Algojo jadi kebingungan. Sesaat kemudian ia meletakkan pedangnya. Lalu menerkam leher korban dan menggiyit tenggorokannya hingga putus. Cerita kekebalan di sekitar peristiwa 1965 terasa semakin hebat lantaran bumbu pengisahannya.

Di Bali, ada yang terpaksa dimintai baik-baik untuk melepaskan nyawanya, karena tak mempan dieksekusi. Memang ajaib. Begitu juga pada eksekusi Mbah Kahar di Pulung, Ponorogo, Jawa Timur. Daerah yang terkenal karena reog serta warok — jagoan setempat. Atau pada mitos Mbah Suro dari Nginggil, desa tepian Bengawan Solo di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Banyak beredar bumbu yang membaurkan antara mimpi, dongeng, dan kenyataan yang konkret. “Mbah Kahar tidak mempan ditembak maupun dipenggal kepalanya,” kata Mislan, yang mengaku menjadi algojo Kahar. Petugas pun bingung. Lalu menyerahkan tugas itu pada Mislan. Sebab, ia juga kebal setelah “bertapa di sebuah gua”. Dengan pedangnya, ia menetak leher Mbah Kahar yang duduk bersila. Dell…, kepala putus, menggelinding sekitar lima meter. Namun, kata Mislan, ajaib. “Pelan-pelan kepala itu menyatu kembali dengan tubuhnya.”

Suasana kacau. Sebab, tak ada lagi orang setempat yang dianggap melebihi “ilmu” Mislan. Algojo itu kemudian mencoba lagi. Begitu kepala korban putus, Mislan membawa kepala itu menyeberangi sungai. Kedengarannya seperti cerita komik. Kalau cerita Mislan benar, Mbah Kahar (juga Mislan) jelas lebih hebat ketimbang Mbah Suro. Tahun 1967, Mbah Suro mencoba membangkitkan PKI. Konon, dukun itu dan pasukannya tak mempan tembakan dan bacokan, asal memakai piandel barang yang diandalkan. Yakni pakaian hitam-hitam, kolor (ikat pinggang Jawa), dan kenthes (pentungan). Setelah geger PKI, ribuan orang berdatangan ke rumah Mbah Suro, mengharap keselamatan. Maka, daerah hutan jati yang kering dan minus itu menjadi semarak. Setiap pendatang pasti membeli tiga piandel, dan minum air dari Gentong Kemiri, agar tak mempan peluru bedil.

Padahal, menurut Mbah Sumi — adik kandung Mbah Suro, semua itu akal-akalan bisnis penduduk setempat. Mbah Suro sebenarnya “hanya dukun biasa”. Kepentingan bisnis dan kepercayaan bercampur baur. Ketika ribuan orang PKI telah dibantai, para pengikut Mbah Suro masih berteriak gagah, “hidup PKI!” Anak-anak, yang berharap agar diberi uang, menjawab, “hidup!” Dengan hanya bersenjatakan kenthes, pasukan hitam-hitam itu berani menghadapi petugas yang menggerebeknya. Pertempuran pecah. Lalu Mbah Suro menyerah. Untuk keperluan eksekusi, dukun itu harus menanggalkan pakaian hitamnya dan mengganti dengan sarung hijau.

Sejenak setelah kematian Mbah Suro, cerita tentang orang kebal pun surut. Namun, rupanya mustahil pupus sama sekali. Pada kenyataannya, kisah kekebalan juga sering menjadi catatan kaki riwayat para tokoh sejarah. Masuk dalam perbincangan, tak soal, apa benar atau sekadar musik pengiring. Tak kurang dari tokoh Teuku Umar, misalnya. Masyarakat Aceh meyakini, tokoh itu tak mungkin ditembus peluru. Begitu kental keyakinan itu. Maka, konon, Belanda sampai merasa perlu membuat peluru emas buat membunuhnya. Eros Djarot juga tak menyingkirkan cerita “peluru emas” itu untuk filmnya, Tjoet Nja’ Dhien. Bung Karno, di mata pengagum fanatiknya, juga kebal. Berulangkali ia menghadapi percobaan pembunuhan, dan… lolos.

Misalnya dalam peristiwa Cikini, atau sewaktu ditembak saat sembahyang Idhul Adha. Lima puluh tahun lagi, siapa tahu cerita di sekitar percobaan pembunuhan itu tumbuh terus, berbunga-bunga. Nama lain yang dianggap memiliki keistimewaan demikian adalah Kahar Muzakar dan Supriadi. Hingga kini, sejumlah penduduk pedesaan Sulawesi Selatan sulit percaya bahwa Kahar sudah lama tewas ditembak. Mereka mengganggap, Kahar masih berkelana entah di hutan sebelah mana. Sedang Supriadi, tokoh pemberontakan Peta di Blitar, bukan hanya dianggap kebal, tapi juga bisa menghilang, raib, tanpa kembali lagi. Manusia Indonesia di masa lalu agaknya sangat akrab dengan soal kekebalan. Di Indragiri Hulu, Riau, Haji Bustami — sebelum bertobat dan menunaikan ibadah haji — mengaku pernah kebal, bisa menundukkan harimau, dan punya tenaga yang mampu untuk mengangkat seekor kerbau. “Ilmu itu saya peroleh dari orang Sakai,” ujarnya.

Sakai adalah suku terasing di Sumatera. Di Kalimantan, suku Dayak sering dibayangkan sebagai orang yang menakutkan. Bukan saja lantaran sumpit beracunnya. Tetapi juga karena ilmu-nya. Masyarakat Kajang yang bermukim di kaki Pulau Sulawesi juga dianggap mempunyai ilmu yang lebih dari sekadar kebal. Di Bali ilmu kekebalan — di sana disebut ilmu kanuragan — juga masih diperdalam. Basisnya tentu saja ajaran Hindu, dengan latihan yoga. Ketika seseorang telah mencapai puncak pemusatan, pengekangan, dan pengaturan pikiran — menurut Anak Agung Putu Suwela, 65 tahun, dari Perkumpulan Raja Yoga Kumala Bhuana, Denpasar — “semua pancaindria akan mati. Tak ada sakit, tak ada panas, tak ada dingin.” Pada tingkat itu, orang luar akan melihat ahli yoga yang demikian ini kebal senjata tajam dan api.

Mencapai tingkat itu tidak gampang. Suwela sendiri baru merasa mantap dengan yoga setelah belajar selama 24 tahun. Ketika seseorang mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebal versi yoga, orang bukan saja tak mempan senjata dan api, juga mampu melihat sesuatu yang bakal terjadi. Plus bisa mengobati orang sakit. Persoalannya adalah, siapa yang tahan bertahun-tahun belajar yoga? Di Bali ada pertunjukan Barong vs Rangda yang diakhiri dengan menikam Rangda bertubi-tubi, dilanjutkan dengan orang mencoba menusukkan keris ke tubuhnya. Namun, dada tak tembus, perut tak sobek. Darah tak mengalir. Lihat juga para penari “Sangyang Jaran” yang kesurupan itu. Bara api pun diinjak-injak dengan kaki telanjang sehingga butir merah memercik-mercik. Sampai sekarang masih bisa dinikmati.

Bagaimana menjelaskan semua itu? Suwela mengatakan, Barong Keris itu bisa dimainkan oleh siapa pun yang kemudian trance dan dikendalikan orang lain yang berilmu. Serupa ini adalah Kuda Lumping dari daerah sekitar Jawa Tengah dan Cirebor. Atau debus dari daerah Banten dan Minangkabau. Inilah satu sisi lain ilmu kebal: seni. Ilmu kebal juga dikejar oleh para peminat seni bela diri. Hampir semua aliran pencak silat di Indonesia meletakkan ilmu kebal atau tenaga dalam di puncak latihannya. Saat ini, sebagian besar peminat ilmu kebal adalah anggota ABRI. Ini diakui oleh para guru seperti halnya Kiai Salik di Banten atau Zen di Jepara. Mislan malah mengaku ikut menyiapkan satu batalyon marinir yang hendak bertempur di Timor Timur (lihat Bisnis Ilmu Kebal). Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia, pada berbagai latar belakang etnis maupun agama. Ada ilmu kebal yang ber-setting sangat Jawa, ada yang sangat Dayak.

Ada yang berwajah Islam, Hindu, atau bahkan ada juga Katolik — misalnya pada anggapan bahwa Slamet Riyadi kebal karena membawa rosario (tasbih). Di Jawa, wesi kuning atau kol buntet adalah nama-nama ajimat yang sangat dicari untuk kekebalan pemiliknya. Sedang pada kalangan hitam, para maling dan perampok, aji poncosuno bumi laku keras seperti halnya aji welut putih yang bermanfaat untuk “menghilang”. Konon, bila seseorang punya poncosuno bumi, kalau dibunuh ia akan hidup lagi pada saat tubuhnya menyentuh tanah. Selain itu, cara kebal yang lebih berbau agama banyak disebut dalam berbagai buku mujarobat yang dijual di kaki-kaki lima.

Yang disebut buku-buku itu, antara lain, sepenggal ayat Quran (Surat An-Naml) yang dituliskan pada kulit kijang, lalu dibungkus dengan kulit lembu, dan dipakai untuk ikat pinggang. Para kiai juga sering memberi berbagai bentuk isim, yang semata berbahasa Arab atau campuran bahasa Jawa. Yang agak jauh dari kesan perdukunan adalah yang dipakai anggota GPK Warsidi. Seorang anggota GPK Warsidi mengungkapkan: mereka memperoleh kekebalan setelah menjalani sejumlah amalan. Di antaranya dengan i’tikaf di masjid selama 40 hari terus-menerus. Pada saat itu mereka hanya boleh makan nasi putih sepiring kecil setiap hari. Juga selalu bersalat tahajud di penghujung malam, serta membaca wirid. Adapun wirid-nya antara lain Surat Yassin ayat 89 Al-Maidah ayat 67, Al-Baqarah ayat 3, dan At-Taubah ayat 2. Dengan itu, menurut mereka, “kami betul-betul mendekatkan diri pada-Nya.”

Bila mereka lulus dari tempaan 40 hari itu, dan tidak memakan barang haram (misalnya dari duit korupsi), “karamah akan datang melindungi kami dari serangan musuh.” Kalaupun toh mati juga, begitu keyakinan mereka, itu “mati syahid”. Tak jelas, apakah ada riwayat Nabi yang dijadikan pegangan untuk soal kekebalan diri. Kalaupun ada, tentu hanyalah hadis yang masih dipertanyakan kesahihan atau keautentikannya. Nabi Muhammad pun luka dan berdarah sewaktu hijrah ke Thaif, ditimpuki batu oleh penduduk setempat. Juga pada Perang Uhud




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262