ILMU SEJATI

Ilmu sejati menerangkan bahwa manusia benar-benar abadi tidak bisa mati, kebal segala macam bahaya apapun dan bahagia tidak pernah duka, kaya tidak pernah miskin. Ilmu sejati adalah ilmu mengenali diri sejati. Inilah kunci ilmu kesaktian yang sesungguhnya.

Falsafah hidup yang ideal tidak hanya menjadi pedoman hidup di dunia fisik ini saja, melainkan harus masuk ke kehidupan yang sejati yang metafisik. Bila diminta memilih dunia: fisik atau metafisik, maka jatuhkan pilihan pada yang terakhir saja. Sebab dunia fisik akan lenyap seiring dengan dimasukkannya jasad ke dalam kubur, sementara dunia metafisik kita akan langgeng abadi sepanjang masa.

Tujuan hidup manusia adalah mengisi hidup dengan diri yang sejati. Dunia adalah persinggahan sementara diri sejati sebelum menempuh perjalanan-perjalanan lain yang sangat panjang. Sayangnya, di persinggahannya yang sementara ini kebanyakan justeru diisi oleh diri-diri palsu. Maka hidup di dunia yang menekankan pada diri-diri palsu, harus bersiaplah untuk terseok dan tersungkur kapan saja.

Pada diri yang palsu, keakuan atau ego SANGAT DOMINAN dalam mengambil keputusan-keputusan. Saat kita dihadapkan pada pilihan, memilih isteri yang cantik atau memilih isteri yang moralnya baik, maka kita langsung menjatuhkan pilihan pada isteri cantik. Saat kita dihadapkan pada pilihan mengambil uang negara (korupsi) sehingga cepat kaya atau hidup miskin namun tenang, kita langsung menjatuhkan pilihan pada jadi koruptor. Kita saat itu sadar, resiko jadi koruptor adalah masuk penjara. Namun kesadaran kita hanya mucul dari lapisan jiwa terluar saja. Belum muncul dari lapisan jiwa yang terdalam dimana DIRI SEJATI berada.

Keputusan yang muncul akibat tidak mendengarkan suara diri sejati yang tergencet oleh akal sehat dan nafsu ego, adalah penyesalan. Kenapa menyesal? Sebab akibatnya fatal. Seluruh wujud kita akan mengalami akibat yang mengerikan. Akibat fatal ini bagi setiap orang berbeda-beda tergantung pada peristiwa apa diri palsu itu mendominasi kita.

Pada suatu ketika, kita dihadapkan pada pilihan menyalip atau tidak ketika ada truk gandeng melaju perlahan sehingga menghalangi laju kendaraan kita. Pikiran sadar mengatakan JANGAN, karena berbahaya menyalip. Apalagi jalur kendaraan hanya ada dua. Namun, nafsu ego mengatakan TERUSKAN menyalip agar cepat sampai tujuan. Pilihan akhirnya dijatuhkan dengan cepat oleh gerakan refleks bawah sadar…. brakkkkk…. kendaraan kita dihantam kendaraan lain dari jalur berlawanan.

Menuruti diri palsu ego kadang memuaskan (untuk sementara waktu), namun kepuasan itu sifatnya hanya sementara. Akan lahir berkembang keinginan demi keinginan lain yang harus dipuaskan. Itulah watak diri palsu: senang sesaat, tidak pernah puas… Memuaskan keinginan nafsu ego, maka perkembangan spiritual dan mental berada pada posisi stagnan, mandeg. Bahkan mengalami kemunduran.

Hal ini berbeda ketika kita banyak menuruti DIRI SEJATI. Diri yang sejati akan membuat perkembangan spiritual kita bergerak aktif dan dinamis. Bila ulat mampu bermetamorfisis menjadi kupu yang indah, maka diri sejati akan bermetamorfosis menjadi diri yang MOKSA. Diri yang manunggal dengan iradat-Nya. Duh, alangkah indahnya manusia yang sampai pada tahap ini?….

Kita perlu sadar bahwa di dalam terkadang pilihan alternatif yang tersedia tidak banyak. Mungkin ada dua, tiga, lima. Mungkin pula kadang hanya ada satu bahkan tidak ada alternatif sama sekali. Perlu dipahami, bahwa sesungguhnya ada tidaknya alternatif itu tergantung pada sumber mana yang kita akses: diri palsu ego atau diri sejati? Pada diri palsu ego, alternatifnya hanya sekedar apa yang teralami dengan indera saja. Kenikmatan, kesuksesan, kejayaan jasad/fisik adalah hukum alam dari hasil akhir proses menuruti diri palsu.

Belajar dari sejarah kepemimpinan, tidak ada satupun pemimpin sebuah komunitas bangsa yang lahir dari diri palsu akan mampu bertahan abadi melintasi jaman. Kejayaan dan kelanggengan nilai-nilai yang ditebar pemimpin bobrok akan membawa kehancuran dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Baca riwayat Hitler, bagaimana sang diktator ini harus mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri secara tragis. Dan contoh-contoh lain yang lebih mengerikan lagi.

Pada suatu ketika, manusia akan mengalami penyesalan. Kenapa menyesal? Penyesalan adalah pemberontakan dari diri sejati yang sudah begitu lama dikubur dan dimatikan. Namun, ia tidak benar-benar bisa tewas. Diri sejati akan tetap hidup. Ia menyuarakan kehendak untuk kembali ke jalan yang benar. Tidak sesat dan sasar. Sayangnya, di dalam hidup kita lebih suka mendustai bahkan menolak hadirnya suara dari dalam diri sejati.

DIRI SEJATI bisa dirasakan pada TITIK PALING HENING MEDITASI, SEMEDHI, MALADIHENING. Pada DIRI SEJATI munculnya KESAKTIAN merupakan hal yang sangat biasa. SEGALA DIMENSI GAIB DAN METAFISIK TERBUKA TERANG BENDERANG.

Namun, pada hakikatnya diri sejati tidak boleh hanya dirasakan da disadari belaka. Sebalinya, jadikan seluruh kemanusiaan kita ini dengan totalitas DIRI SEJATI YANG MENYINARI BERPERILAKU SEPANJANG HIDUP MANUSIA. Yaitu bila perjalanan (tarekat) mengolah rasa sudah sampai ke pendakian tertinggi perjalanan spiritual. Mencapai makrifat yang merupakan wujud diri sejati inilah yang harusnya menjadi tujuan hidup kita.

Salah satu ajaran mistik Jawa yang membabar soal menjadi diri sejati terkandung dalam serat Dewaruci. Serat Dewaruci merupakan karya sastra suluk yang secara keseluruhan bernilai mistis. Nilai-nilai yang termuat dalam alur cerita Sang Bima mencari diri sejati disimbolkan dengan pencarian “Air Perwitasari.” oleh Bima. Yaitu air yang membuat abadi bagi peminumnya.

Serat ini menceriterakan upaya bagaimana manusia dalam kehidupannya dapat mencapai diri sejati. Yitu diri yang mampu menciptakan keasrian, ketentraman dan kelestarian dunia. Salah satu moralitas ajarannya yaitu memayu hayuning bawana dan memayu hayuningrat. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti: sifat pengasih akan meleburkan segala kejahatan.

Serat Dewa Ruci membeberkan konsep ngelmu “MANUNGGALING KAWULA GUSTI, PAMORING KAWULA GUSTI, JUMBUHING KAWULA GUSTI, WARANGKA MANJING CURIGA CURIGA MANJING WARANGKA.” Yaitu diri sejato yang tidak lagi mengalami suka duka. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain.

Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana. Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan

Bima telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

Wujud diri sejati meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya.  Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.

Setelah manunggal dengan Gusti, dia tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Itulah surga.

Pada tahap ini, apa yang diniatkan diri sejati akan terwujud. KUN FAYAKUN. Bahkan, hukum alam taklum dalam hukum Ilahi. Keajaiban itu terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi.

Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal.

Setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna antara diri sejati dengan SANG DIRI SEJATI karena mendapatkan wejangan Dewaruci, hatinya terang seperti kuncup bunga yang mekar. Dewaruci kemudian muksa. Bima kembali kepada alam dunia semula.. Sebab, bagaimana pun kita masih manusia yang punya jasad/ tubuh. Nafsu jasad/kebutuhan biologis tidak dihilangkan namun dimenej dengan sebaik-baiknya untuk dituntun dengan diri sejati.




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KISAH PRABU KIAN SANTANG & MAHA GURU SAYYIDINA ALI R.A

GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama,harus mujasmedidulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/ Suci).
setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.
“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki- laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”
Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat.Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.
Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.
Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.
Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

Semoga Bermanfaat




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

Tips Tradisional Untuk Sinusitis

Bahan :

5 batang serai
5 buah jeruk nipis tua
7 lembar daun sirih
17 biji cengkih
2 jari jahe

Caranya :
Jahe dan serai dicuci lalu dimemarkan.
Kulit jeruk nipis dikupas lalu dibelah menjadi 4 bagian.
Semua bahan direbus bersama 6 gelas air hingga tersisa 3 gelas. Minum 3 kali sehari setelah makan, masing-masing setengah gelas.
Penderita sinusitis dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi, seperti kepiting, udang, dan tongkol. Selain itu juga menghindari minum es dan berlama-lama di tempat yang berudara dingin. Jika berada di ruangan ber-AC, sebaiknya gunakan jaket.



Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262