MENGKAJI ULANG MAHAGURU SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN MADURA

ALLAHUMMA SHOLLI ’ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN TAJ’ALUNAA BIHAA MIN AHLIL ’ILMI DZOOHIRON WABAATHINAN. WATAHSYURUNAA BI’IBAADIKAS SHOOLIHIINA FII DUNYAANAA WA UKHROONAA WA’ALAA AALIHII WASHOHBIHII WASALLIM.  (1 X)

Semoga rahmat ta’dzim dan salam senantiasa atas junjungan kita sayyidina Muhammad yang dengan shalawat tersebut semoga Engkau jadikan kami termasuk dari golongn ahli ilmu baik dzohir maupun bathin. Dan semoga Engkau kumpulkan kami bersama hamba-hambaMu yg sholeh baik di dunia maupun di akhirat. Dan semoga shalawat senantiasa atas para keluarga Nabi dan para sahabatnya

WA MA TILKA BIYAMINIKA YA MŪSÁ QALA HIYA `AŞAYA ‘ATAWAKKA’U `ALAYHA WA ‘AHUSHSHU BIHA `ALÁ GHANAMI WA LIYA FIHA MA’ARIBU ‘UKHRÁ QALA ‘ALQIHA YA MŪSÁ FA’ALQAHA FA’IDHA HIYA ĤAYYATUN TAS`Á QALA KHUDH/HA WA LA TAKHAF SANU`IDUHA SIRATAHA AL-‘ŪLÁ WA AĐMUM YADAKA ‘ILÁ JANAĤIKA TAKHRUJ BAYĐA‘A MIN GHAYRI SŪ‘IN ‘ĀYATAN ‘UKHRÁ LINURIYAKA MIN ‘ĀYATINA AL-KUB. (1x)

Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? Musa berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (dedaunan) dengannya untuk kambingku, dan aku (juga) memiliki keperluan yang lain dengannya.  Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu, hai Musa!  Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular naga yang merayap dengan cepat.  Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.

YA JABBARYA QAHHAR  1000 x

Yang Maha Perkasa Yang Menundukkan

FAQULTU ISTAGHFIROO RABBAKUM INNAHU KANA GHAFFARAN YURSILI ALSSAMAA AAALAYKUM MIDRARAN WAYUMDIDKUM BIAMWALIN WABANEENA WAYAJAAAL LAKUM JANNATIN WAYAJAAAL LAKUM ANHARAN  (1 x)

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai

ASTAGHFIRULLAHALADZIM  1000 x

 

#####

Di atas adalah rangkaian amalan dari KH KHOLIL, mulai dari Sholawat yang biasa dilantunkan beliau, ditambah AYAT 17-23 QS THAHA dan asmaul husna serta ayat 10-12 QS NUH diakhiri dengan Istighfar.

 BIOGRAFI KH KHOLIL

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).

KH Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.

Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.

Kyai Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu. Yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.

Karomah lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.

***

Hari Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil.

Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

  1. Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.

Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.

Akan tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Kemandirian Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.

Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.

 ***

Pada masa hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di Madura. Kiai Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini ada silsilah bahwa Kiai Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan — ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.

Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.

Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.

Peran Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS THAHA

As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil. Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

 ***

Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Kholil tersebut.

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua, selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.  K.H. Muhammad Kholil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Kholil

***

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada se­orang kiai yang sangat sakti mandra­guna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Sema­ngat untuk menimba ilmu itu begitu meng­gebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bang­kalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintang­an berarti, meski harus berjalan kaki.

Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tem­pat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah ha­rapannya untuk mewujudkan cita-cita­nya berguru kepada kiai yang mempu­nyai ilmu tinggi tersebut.

Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kho­lil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Da­rin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil te­ngah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.

Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan ke­padamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pe­santren itu. Subhanallah.

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber­usaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bang­kalan, sementara si calon santri di te­ngah Alas Roban, Batang, Pekalongan.

Menurut cerita si calon santri yang ber­nama Muhammad Amin, ia berang­kat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Ma­dura, untuk berguru kepada Kiai Kho­lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, ser­ta thithikan, alat pemantik api yang ter­buat dari batu.

Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.

Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu be­sar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na­mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsa­nya kalau melawan.

Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tem­pat untuk tidur, tiba-tiba muncul se­sosok laki-laki. Namun karena tampang­nya biasa-biasa saja, mereka tidak me­naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi­an bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.

Namun setelah benda itu dipegang­nya, ia mengatakan bahwa batu itu ter­lalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasuk­kan batu tersebut ke mulutnya lalu meng­gigitnya se­hingga pecah menjadi dua.

Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara me­reka, menjawab, “Kalau barang-ba­rang kami diambil, kami tidak bisa me­lanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.

Tersentak laki-laki itu, seperti pem­buru tergigit ular berbisa. Wajahnya pu­cat pasi,  bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber­samaan. Mereka gembira karena me­rasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua ba­rangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kali­an tidur saja di sini, dan aku akan men­jaga kalian semalaman.”

Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaring­kan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema­laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hu­tan ini agar tidak diganggu oleh peram­pok lain,” jawabnya tampak ramah.

Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu ber­kata. “Sebenarnya kalian akan aku ram­pok, dan menjual kalian kepada onder­neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah­kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”

Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja un­tuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemim­pin pesantren tersebut.

Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.

Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.

Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.

Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.

Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.

Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.

Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.

Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil bangkalan.

Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

            Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.

Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.

Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.

Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.

“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.

Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.

Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.

Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.

Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.

Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.

Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.

Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang dihajatkan.

Karomah lain KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya : “Sampean ada keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak. Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.

Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

Karomah lain Kyai Kholil terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.

Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada keperluan apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.

Tiba-tiba Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” “Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan. “Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan.

Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.

Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.  Mari kita sampaikan untuknya…. AL FATIHAH…………..




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

Kajian Utama Patrap

Ditulis Oleh ABU SANGKAN
Kita mengetahui bagaimana bintang-bintang itu beredar pada porosnya sebagaimana mengetahui tumbuh-tumbuhan, gunung-gunung berdiri dan bergerak mengikuti sunnah-Nya, sesungguhnya semuanya itu bersujud dan bertasbih kepada khaliknya. Akan tetapi kita tidak mengetahui bagaimana cara mereka bersujud dan bertasbih.

Firman Allah :

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti mereka. Sesungguhya Dia adalah maha penyantun lagi maha Penyayang” (QS 17:44)
Kemudian Dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi. silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa. Jawab mereka “Kami mengikuti dengan suka hati” (QS 41:11)
Ayat-ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa tasbih mereka bukanlah sebuah kata-kata seperti manusia bertasbih, akan tetapi merupakan bentuk kepasrahan dan kepatuhan atas perintah Allah, sehingga gerak mereka serta arah tujuannya berserah atas kehendak perintah Ilahi. Dengan demikian butir-butir atom, bumi, matahari, bintang-bintang bergerak pada orbit atau garis yang telah ditentukan oleh-Nya. Itulah yang dinamai ber-islam, yang artinya berserah diri atas kemauan Allah Yang Maha Pengasih. Yaitu pasrah atas peraturan-peraturan (sunnah-sunnah) yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Maka dari itu paradigma pasrah bukanlah orang pasif yang tidak bergerak, malah sebaliknya orang yang pasrah adalah orang aktif yang mengikuti perintah-perintah di dalam syariat, berdagang, belajar, berperang, membayar zakat, berhaji, beternak, bertani, bermanajemen dll.

Hal ini diibaratkan seperti kalau kita membeli sebuah mobil. Si perancang telah menyiapkan manualnya untuk memudahkan kita menghidupkan dan menjalankan mesin mobil tersebut, serta untuk mengetahui suku cadang yang harus diganti jika terjadi kerusakan. Manual yang berisi ketentuan/aturan ini tidak bisa diganti seenaknya sesuai dengan kemauan kita, karena bisa-bisa akan mengakibatkan benturan/berlawanan dengan keinginan perancangnya, yang pada akhirnya mungkin akan membuat mesin mobil menjadi rusak dan tidak dapat berjalan dengan baik.

Perbuatan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh perancang dalam ilustrasi diatas menggambarkan kepasrahan dan kepatuhan terhadap ketentuan si perancang. Demikian pula dengan kepasrahan terhadap ketentuan yang telah ditulis dalam Al Qur’an dan Al Hadist ataupun dalam ayat-ayat kauniyah (hukum yang diikuti oleh alam semesta / hukum alam), semuanya mengikuti sistem dan keinginan ilahi. Mereka bersujud patuh atas ketetapan-Nya dengan suka hati.

Didalam serat Pepali Ki Ageng Selo, dzikir berarti patrap, yaitu orang susila, orang beradab. Peradaban atau kesusilaan seseorang ditentukan oleh pendirian hidupnya dan kesusilaan dalam arti kata yang sedalam-dalamnya dan terikat pada sarat-sarat utama, yaitu dapat menguasai diri sendiri, yang dijabarkan sbb :

  • Menguasai tubuh sepenuhnya, yang berarti mampu untuk menguasai perjalanan nafas dan darah, sehingga orang tidak lekas naik darah dan tidak mudah dipermainkan oleh urat syarafnya (nervous) yang besar faedahnya bagi kesehatan badan.
  • Menguasai perasaan, yaitu dapat menahan rasa marah, jengkel, sedih, takut dan sebagainya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga selalu tenang dan sabar, oleh karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang setepat-tepatnya.
  • Menguasai pikiran, sehingga pikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak bergelandangan semaunya sendiri dengan tidak terarah dan bertujuan, akan tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan kesadaran tentang soal-soal hidup yang penting.

Orang patrap (dzikir, sadar) dalam Islam diidealisasikan dalam sosok Nabi Muhammad sebagai uswatun hasanah, tidak kenal rasa takut tidak gentar dalam keadaan bagaimanapun juga, beliau selalu sabar, dan tenang dan selalu diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan karena itu beliau dicintai oleh semua ummat manusia, beliau mencintai segala ciptaan Allah.

Sikap dzikir sempurna seperti itu pernah dicontohkan Rasulullah, tatkala tiba-tiba Da’tsur menodongkan pedangnya kearah leher nabi, seraya berkata lantang: “Siapa yang akan menolong engkau dalam keadaan seperti ini, ya Muhammad?”. “Allah yang menolongku”, jawab nabi dengan tenang.

Jawaban sederhana yang tidak disangka-sangka oleh Da’tsur, merontokkan karang hati yang pongah, tubuhnya bergetar seakan tidak lagi disanggah oleh tulang-tulangnya yang besar. Daya apa gerangan yang mengalir dari mulut Muhammad, membuat jiwanya sesaat seperti mati tak berdaya. Pedangnya terpental jatuh ketanah, kemudian Rasulullah berganti membalas menodongkan pedang
kearah leher Da’tsur, dan beliau berkata : “Siapa yang akan menolong engkau ,ya Da’tsur?” Ia jatuh bersimpuh pada kaki Rasulullah sambil mengiba untuk diampuni atas sikapnya yang congkak dan berkata hanya enkau ya Muhammad yang bisa menolongku. Seketika itu Rasulullah menasehatinya agar ia kembali ke jalan Islam.

Peristiwa di atas merupakan sikap sempurna dari Dzikir Rasulullah. Keadaan seperti itulah yang dimaksudkan islam sebagai kepasrahan dan kepercayaan akan kekuasaan Allah, perlindungan, kedekatan dan kemahatinggian Allah diatas segala-galanya.

Dzikir kepada Allah bukan hanya sekedar menyebut nama Allah di dalam lisan atau didalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepada Allah ialah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat, dan Af”al-Nya. Kemudian memasrahkan kepada-Nya hidup dan mati kita, sehingga tidak akan ada lagi rasa khawatir dan takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam mara bahaya dan cobaan. Sebab kematian baginya merupakan pertemuan dan kembalinya ruh kepada raja diraja Yang Maha Kuasa. Mustahil orang dikatakan berdzikir kepada Allah yang sangat dekat, ternyata hatinya masih resah dan takut, berbohong, tidak patuh terhadap perintah-Nya dll. Konkritnya berdzikir kepada Allah adalah merasakan keberadaan Allah itu sangat dekat, sehingga mustahil kita berlaku tidak senonoh
dihadapan-Nya, berbuat curang, dan tidak mengindahkan perintah-Nya.

Seperti yang pernah saya singgung mengenai syetan yang ma’rifat kepada Allah, bertauhid kepada Allah, dan berdo’a kepada-Nya, memuja-Nya, namun ia enggan mengikuti perintah-Nya. Orang berdzikir seperti ini sama kedudukannya dengan kedudukan syetan yang terkutuk.

Allah berfirman : “Hai iblis , apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk orang yang lebih tinggi ?”

Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.

Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari pembalasan.”

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.”

Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya ( hari kiamat).”

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka. (QS 38:75-83)
Kalau kita perhatikan dialog Iblis dengan Allah di atas, kelihatan sekali bekas keakraban antara Khaliq dan makhluq-Nya. Dia sangat percaya kepada Allah, dia bertauhid, dan mengetahui bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dia juga memuja Allah dengan menyebut “faizzatika” (demi kekuasaan Engkau). Dia selalu memanggil Allah dengan sebutan “Ya Rabbi” (Ya tuhanku), dan yang terakkhir dia dikabulkan doanya agar dipanjangkan usianya sampai hari kiamat. Hampir saja sempurna sang iblis sebagai hamba yang sangat dekat, memohon kepada Allah (berdo’a), bertauhid dan berma’rifat kepada-Nya. Hanya satu kesalahan sang iblis ini, yaitu tidak mau mengindahkan perintah-Nya untuk bersujud (menghormati) kepada Adam. Berarti ia tidak mengakui atau tidak menerima keputusan
Allah yang Maha Bijaksana, disebabkan kesombongan merasa paling baik dari dirinya, ana khairu minhu , aku lebih baik dari Adam !!!

Ada sebagian ahli dzikir yang tidak mau melaksanakan ibadah shalat, dengan dalil sudah sampai kepada tingkat ma’rifat atau fana. Dengan alasan wa aqimish shalata lidzikri (dirikanlah shalat untuk mengingat Aku … QS 20:14), karena tujuan shalat adalah ingat. Namun ia tidak sadar, bahwa ingat disini … tidak hanya kepada nama-Nya atau kepada dzat-Nya, akan tetapi konsekwensinya harus menerima apa kemauan yang diingat, yaitu kemauan Allah Swt seperti apa yang telah diperintahkan didalam syariat-Nya .

Bandingkan dengan sikap syetan yang tidak mengikuti kemauan Ilahi. Perbuatan khariqul `adah (meninggalkan kebiasaan syariat) dianggap perbuatan seorang waliyullah. Padahal nabi Muhammad dan para sahabat menegakkan syariat shalat, dan mu’amalah. Sedang kedudukan beliau berada diatas para wali manapun di dunia. Dengan alasan yang seakan masuk akal, serta dengan ditandai
(ditambahi) kelebihan-kelebihan spiritual yang menakjubkan. Janganlah anda heran jika setanpun mampu menembus alam-alam ghaib dan mampu menyelami pikiran dan hati manusia, … bahkan ia mampu berjalan melalui aliran darah (yajri dam) karena memang ia dikabulkan permintaannya. Seorang wali adalah kekasih Allah dan merupakan wakil Allah didalam melaksanakan tugas-tugas
menegakkan syariat Alqur’an dan As sunnah.

Lalu Apa yang Dimaksud dengan Dzikir Lisan, Dzikir Qalbi atau Dzikir Sirri?

Syekh Ahmad Bahjad dalam bukunya “Mengenal Allah”, memberikan pengertian sbb : “Dzikir secara lisan seperti menyebut nama Allah berulang-ulang. Dan satu tingkat diatas dzikir lisan adalah hadirnya pemikiran tentang Allah dalam kalbu, kemudian upaya menegakkan hukum syariat Allah dimuka bumi dan membumikan Al Qur’an dalam kehidupan. Juga termasuk dzikir adalah memperbagus kualitas amal sehari-hari dan menjadikan dzikir ini sebagai pemacu kreatifitas baru dalam bekerja dengan mengarahkan niat kepada Allah ( lillahita’ala ).”

Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan, dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.

Imam Alqusyairi mengatakan : “Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya.”

Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya. Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan
mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubung-kan dengan sumber kehidupan (Al Hayyu).

Sabda Rasulullah : “Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)

Itulah gambaran dzikir yang dituturkan Rasulullah Saw. Bahwa dzikir kepada Allah itu bukan sekedar ungkapan sastra, nyanyian, hitungan-hitungan lafadz, melainkan suatu hakikat yang diyakini didalam jiwa dan merasakan kehadiran Allah disegenap keadaan, serta berpegang teguh dan menyandarkan kepada-Nya hidup dan matinya hanya untuk Allah semata.

Firman Allah :

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS 7:205)
Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam ….

Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Alqur’an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan batin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati, bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana

Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi diatas kecintaan kepada Allah …, maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut ) Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari itu …. (QS 2:200)
“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. dan Allah  tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS 9:24 )

Dzikrullah Rohnya Seluruh Peribadatan

Pada tatanan spiritualitas Islam, dzikrullah merupakan kunci membuka hijab dari kegelapan menuju cahya Ilahi. Alqur’an menempatkan dzikrullah sebagai pintu pengetahuan makrifatullah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran 190-191 :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS 3:190-191)
Kalimat “yadzkurunallah” orang-orang yang mengingat Allah, didalam `tata bahasa arab’ berkedudukan sebagai ma’thuf (tempat bersandar) bagi kalimat-kalimat sesudahnya, sehingga dzikrullah merupakan dasar atau azas dari semua perbuatan peribadatan baik berdiri, duduk dan berbaring serta merenung (kontemplasi). Dengan demikian praktek dzikir termasuk ibadah yang bebas tidak
ada batasannya. Bisa sambil berdiri, duduk, berbaring, atau bahkan mencari nafkah untuk keluarga sekalipun bisa dikatakan berdzikir, jika dilandasi karena ingat kepada Allah. Juga termasuk kaum intelektual yang sedang meriset fenomena alam, sehingga menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh manusia.

Dzikrullah merupakan sarana pembangkitan kesadaran diri yang tenggelam, oleh sebab itu dzikir lebih komprehensif dan umum dari berpikir. Karena dzikir melahirkan pikir serta kecerdasan jiwa yang luas, maka dzikrullah tidak bisa hanya diartikan dengan menyebut nama Allah, akan tetapi dzikrullah merupakan sikap mental spiritual mematuhkan dan memasrahkan kepada Allah Swt.

Dari Dardaa Ra :

Bersabda Rasulullah Saw “Maukah kalian saya beritakan sesuatu yang lebih baik dari amal-amal kalian, lebih suci dihadapan penguasa kalian, lebih luhur di dalam derajat kalian, lebih bagus bagi kalian dari pada menafkahkan emas dan perak, dan lebih bagus dari pada bertemu musuh kalian (berperang) kemudian kalian menebas leher-leher mereka atau merekapun menebas leher-leher kalian ?” Mereka berkata : “baik ya Rasulullah”. Beliau bersabda : “dzikrullah” atau ingat kepada Allah (dikeluarkan oleh At thurmudzy dan Ibnu Majah, dan berkata Al Hakim: shahih isnadnya).
Betapa dzikrullah ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi, karena merupakan jiwa atau rohnya seluruh peribadatan, baik shalat, haji, zakat, jihad dan amalan-amalan lainnya. Dari sisi lain, Allah sangat keras mengancam orang yang tidak ingat kepada Allah didalam ibadahnya. Seperti dalam surat Al Ma’un ayat :4-6 :

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’.” fashalli lirabbika … maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu ( QS. 108:2 )
Perbuatan riya’ ialah melakukan suatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah, akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat. Amal perbuatan seperti itu yang akan ditolak oleh Allah, dan dikategorikan bukan sebagai perbuatan Agama (Ad dien).

Banyak orang yang mendirikan shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah ( Al Hadist )

Sabda Nabi Saw :

“Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan shalat, tetapi mereka belum merasakan shalat” (HR. Ahmad, dalam risalahnya: Ash shalatu wa ma yalzamuha)
Jadi jelaslah maksud hadist-hadist di atas bahwa seluruh peribadatan bertujuan untuk memasrahkan diri dan rela kepada Allah, sebagaimana pasrahnya alam semesta…

Untuk mencapai kepada tingkatan yang ikhlas kepada Allah serta menerima Allah sebagai junjungan dan pujaan, jalan atau sarana yang paling mudah telah diberikan Allah, yaitu dzikrullah. Keikhlasan kepada Allah mustahil bisa dicapai, tanpa melatih dengan menyebut nama Allah serta melakukan amalan-amalan yang telah ditetapkan-Nya.

Telah menyebutkan Abdullah bin Yusr, bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki berkata. wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat iman itu sungguh amat banyak bagiku, maka kabarkanlah kepadaku dengan sesuatu yang aku akan menetapinya. Beliau bersabda :

“Senantiasa lisanmu basah dari dzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala.”
Keluhan laki-laki yang datang kepada Rasulullah menjadi pelajaran dan renungan bagi kita, yang ternyata syariat iman itu amat banyak jumlahnya dan tidaklah mungkin kita mampu melaksanakan amalan syariat yang begitu banyak tersebut, kecuali mendapatkan karunia bimbingan dan tuntunan dari Allah Swt. Rasulullah telah memberikan solusinya dengan memerintahkan selalu membasahi lisan kita dengan menyebut nama Allah.

Dengan cara melatih berdzikir kepada Allah kita akan mendapatkan ketenangan, kekhusyu’an dan kesabaran yang berasal dari Nur Ilahi.
Keutamaan Berdzikir Kepada Allah

Apabila benar-benar mengerjakan dzikir menurut cara yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, sedikitnya ada dua puluh keutamaan yang akan dikarunikan kepada yang melakukannya, yaitu (Al Fathul Jadied : syarah At Targhieb Wat Tarhieb):

  1. Mewujudkan tanda baik sangka kepada Allah dengan amal shaleh ini.
  2. Menghasilkan rahmat dan inayat Allah.
  3. Memperoleh sebutan yang baik dari Allah dihadapan hamba-hamba yang pilihan.
  4. Membimbing hati dengan mengingat dan menyebut Allah.
  5. Melepas diri dari azab.
  6. Memelihara diri dari was-was syaitan khannas dan membentengi diri dari ma’syiat.
  7. Mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
  8. Mencapai derajt yang tinggi di sisi Allah.
  9. Memberikan sinaran kepada hati dan menghilangkan kekeruhan jiwa.
  10. Menghasiilkan tegaknya suatu rangka dari iman dan islam.
  11. Menghasilkan kemuliaan dan kehormatan pada hari kiamat.
  12. Melepaskan diri dari rasa sesal.
  13. Memperoleh penjagaan dari para malaikat.
  14. Menyebabkan Allah bertany tentang keadaan orang-orang yang berdzikir itu.
  15. Menyebabkan berbahagianya orang-orang yang duduk beserta orang-orang yang berdzikir, walaupun orang turut duduk itu tidak berbahagia.
  16. Menyebabkan dipandang ahlul ihsan, dipandang orang-orang yang berbahagia dan pengumpul kebajikan.
  17. Menghasilkan ampunan dan keridhaan Allah.
  18. Menyebabkan terlepas dari suatu pinti fasik dan durhaka. Karena orang yang tidak menyebut Allah (tidak berdzikir) dihukum sebagai orang fasik.
  19. Merupakan ukuran untuk mengetahui derajat yang diperoleh di sisi Allah.
  20. Menyebabkan para Nabi dan orang-orang mujahidin (syuhada) menyukai dan mengasihi.

Dengan sebagian manfaat yang tercantum di atas, layaklah jika dzikrullah didudukkan sebagai pintu pembuka jalan kebajikan dan jalan makrifatullah. Keutamaan-keutamaan tersebut bukan sekedar catatan yang menarik bagi kaum muslimin, akan tetapi hal tersebut bisa kita peroleh dan dirasakan dengan sebenar-benarnya, apabila kita serius dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan
amalan-amalan dzikir kepada Allah.

Dalil-dalil yang Menganjurkan Dzikrullah Serta Ancaman Bagi Yang Meninggalkannya

AYAT-AYAT AL-QUR’AN

1. Surat Ali”Imran (190-191)Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda dari orang yang berakal. (3-190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka (QS 3:190-191).

2. Surat An Nisaa’ (103)Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguh-nya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS 4:103).

3. Surat Al Anfaal (45)Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS 8:45).

4. Al Munaafiquun (9)Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 63:9).

5. Al Mujaadilah (19)Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa golongan syetan itulah golongan yang merugi( QS 58:19).

6. Az Zukhruf (36)Barang siapa yang berpaling dari ingat kepada yang maha pemurah, kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (QS 43:36).

7. An Nisa (142)Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas,…mereka bermaksud riya'( dengan shalat) dihadapan manusia,… tidaklah mereka menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali (QS 4:142).

8. Al Baqarah (152)Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmatku) (QS 2:152)

9. Al Baqarah (200)Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan lebih banyak dari itu (QS 2:200).

10. Al Ahzab (35)Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah , Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang benar (QS 33:35).

11. Al Ahzab (41)Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah , dzikir sebanyak-banyak nya (QS 33:41).

12. An Nur (37)Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah , dan (dari) membayar zakat . mereka takut kepada suatu hari yang ( dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS 24:41).

13. Al A’Raaf (205)Dan sebutlah (nama) Tuhanmu didalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan tidak mengeraskan suaramu, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (tidak berdzikir) (QS 7:205)

14. Ar Ra’d (28)(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allalh hati menjadi tentaram (QS 13:28).

15. Al Jumu’ah (9)Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk sembahyang pada hari jum’at, maka segeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS 62:9)

HADIST-HADITS RASULULLAH

1. Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulallah Saw. Bersabda : barang siapa yang duduk pada suatu tempat duduk yang dia tidak dzikir (ingat) kepada Allah, dan atau ditempat itu, maka ada atasnya kebencian dari Allah ta’ala. Dan barang siapa bertiduran pada tempat tidur yang ia tidak dzikir kepada Allah ditempat itu, maka ada atasnya kebencian dari Allah, artinya merupakan kekurangan tabiat jelek dan kerugian. (dikeluarkan oleh Abu Dawud)

2. Banyaklah olehmu menyebut Allah disegenap keadaan karena tak ada sesuatu amal yang lebih disukai Allah dan tak ada yang sangat melepaskan hamba dari suatu bencana di dunia dan akhirat dari pada menyebut Allah (HR: At Tabrany )

3. Berfirman Allah Swt. Aku menurut persangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan aku besertanya dimana ia mengingat akan Aku (HR Bukhari-Muslim)

4. Tidaklah duduk sesuatu kaum disuatu majelis lantas mereka menyebut nama Allah di majelis itu melainkan mengelilingi mereka dan rahmat menutupi mereka dan Allah menyebut mereka dihadapan orang-orang yang disisi-Nya ( HR Ibn Syaiban. Tahfudz Dzikirin:12)

5. Tiada berkumpul suatu kaum didalam suatu rumah Allah (masjid) untuk menyebut Allah hendak memperoleh keridhoan-Nya melainkan Allah memberikan ampunan kepada mereka itu. Dan menggantikan keburukan-keburukan mereka dengan berbagai kebaikan (HR Ahmad … At Targhieb 3:63 )

6. Barang siapa tiada banyak menyebut Allalh, maka sesungguhnya terlepas dia dari imannya ( HR. At Tabrany dalam Al Ausath )

7. Bahwasanya Allah berfirman: hai anak Adam, apabila engkau telah menyebut akan Aku, berarti engkau telah mensyukuri akan Aku. Dan apabila engkau telah melupakan akan Aku, berarti engkau telah mengingkari nikmat dan ihsan-Ku ( HR. At Tabrany dalam Al Ausath )

8. Perumpamaan orang yang menyebut tuhannya dengan orang orang yang tidak menyebut tuhannya, adalah umpama orang yang masih hidup dibanding dengan orang mati. ( HR. Bukhary ..At TarghiebWat Tarhieb 3:59)

9. Berkata Abu Hurairah Ra. Bersabda Nabi Muhammad Saw. Telah mendahului “mufarridun “. Mereka (para sahabat) berkata: Apakah Mufarridun itu? Beliau menjawab: orang-orang lelaki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (dikeluarkan oleh Imam Muslim)

10. Telah menyebutkan Abdullah bin Yusr bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata : Sesungguhnya syari’at iman itu sungguh amat banyak bagiku, maka kabarkanlah kepadaku dengan sesuatu yang aku menetapinya. Beliau bersabda : senatiasa lisanmu basah dari dzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala.

Sudah terlalu banyak yang kita mengerti dari perintah-perintah Allah didalam Al Quran dan Al Hadist. Namun apakah akan tetap menjadikan dalil tinggallah dalil, dan kita tetap saja tidak mau berbuat banyak dalam melaksanakan peribadatan kepada Allah. Sampai kapan kita hanya mengumpulkan data-data keislaman yang tidak terhitung banyaknya. Apakah sebenarnya tujuan kita
beragama !? Bukankah kita akan kembali kepada-Nya dengan tidak membawa apa-apa (Pasrah) !?

Terlalu panjang … kalau kita membicarakan persoalan yang tiada habis-habisnya. Apalagi mempersoalkan hal furuiyyah … syariat Islam itu tidak sekedar soal hukum-hukum positif saja, tetapi banyak nilai spiritual yang belum digali dengan benar. Akibatnya kita ketinggalan dengan para Yogi India yang menekuni realitas kejiwaan yang bersifat universal, sehingga para penganutnya bukan saja dari kalangan hindu, akan tetapi sebagian orang Islam dan bangsa Eropa yang beragama Kristen telah menekuninya tanpa harus menjadi Hindu. Dan membawa manfaat baik lahir maupun mental spiritualnya. Mengapa nilai spiritual Islam tidak mampu menembus wilayah bangsa-bangsa lain yang bermanfaat bagi kedamaian manusia, yang diakui menyatakan Rahmatan lil’alamin !? Mengapa kita memandang mereka dengan rasa kebencian dan bermusuhan.? Padahal tidak semua orang kafir harus diperangi (harbi).

Mengapa kita tidak melakukan saja pekerjaan yang bermanfaat untuk kesejahteraan ummat manusia dan alam? Mengapa kita tidak menjadikan manusia itu cerdas dan bermental spiritual yang damai? Lihatlah bangsa Jepang, negara yang amat kecil dan disegani lawannya, dikagumi semua Ummat, padahal dia tidak memiliki pasukan penggempur musuh. Kita Ummat yang mengaku
khairun Ummat (Ummat yang terbaik), ternyata dilecehkan dan dihinakan, dijajah, dan tidak dipandang sebagai ummat yang cerdas, bahkan hampir disamakan dengan bangsa primitif, karena menonjolkan sifat kekasaran, dan kekuatan ototnya. Kita mudah marah dan tersinggung, jika dikatakan ummat islam itu terbelakang, yang identik dengan kemiskinan dan kebrutalan.

Kenyataannya kita sering dihambat oleh ummat sendiri. Al islam mahjubun bil Muslim, kreatifitas dan inovasi pemikiran dan kajian ummat, terkadang diserang habis habisan tanpa ikut meneliti terlebih dahulu kebenarannya dengan alasan bid’ah.

Orang yang menekuni bidang pendidikan, filsafat, dan ilmu-ilmu sain dianggap tidak memperjuangkan ummat, padahal mereka adalah orang yang mengisi khasanah keilmuan yang digali dalam literatur Islam yang penuh dengan persoalan-persoalan manusia, alam dan fenomenanya.

Saya mengajak segenap ummat Islam agar kembali kepada jalan suci yang dirintis para pendahulu kita, yang lebih banyak berbuat ketimbang berbicara. Islam berkembang bukan dengan kekerasan, akan tetapi melalui kebudayaan, melalui sains yang digali oleh para Ulama yang mengungkapkan keagungan dan keunikan alam semesta. Ulama-ulama yang sangat intens terhadap ilmu fisika,
matematika, dan kedokteran seperti, Ibnu Sina, Al Jabber, Ibnu Rusydi dll, mempunyai andil mengangkat derajat dan kebesaran Islam pada abad ke tujuh sampai akhir abad kedua belas, … hingga akhirnya terpuruk pada saat ini. Menurut pandangan saya, Jepang , Singapura, Perancis adalah potret negara Islami yang sebenarnya, sebab disanalah dasar-dasar filsafat Islam tertanam menjadi budaya yang tinggi seperti kedisiplinan, ketekunan, kesadaran hukum, kebersihan, wajib belajar, memperhati-kan hak asasi manusia, binatang, dan lingkungan. Hanya satu yang belum … yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

Demikian harapan dan sentuhan rasa yang dalam akan keinginan khasanah keislaman dijalankan melalui gerakan jiwa yang dalam dan bersih. Dan hanya dengan berbuat melalui kesadaran spiritual yang tinggi keinginan itu akan tercapai. Sebab kesadaran adalah modal tertinggi untuk mencapai sesuatu. Bukan dengan emosi dan cemburu terhadap karya orang lain lalu kemudian memusuhinya tanpa jelas perkaranya. Hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang … sehingga melahirkan karya-karya yang bermanfaat dan berperilaku akhlaq yang mulia.

Memasuki Kesadaran Diri (Aku)

Kali ini saya akan mengajak pembaca sekalian menyelami kesadaran diri yang sebenarnya, dan mengenali hakikat ruh yang biasa menyebut dirinya “Aku”. Dan saya tidak akan lagi bicara soal dalil-dalil. Ibaratnya kita melakukan shalat, kita tidak lagi butuh dalil, akan tetapi kita tinggal memasuki keadaan shalat yang sebenarnya. Diskusi kita sudah selesai dalam hal hukum-hukum berdzikir.

Manusia merupakan makhluq yang sempurna … sehingga diangkat sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Biarpun sebagian besar orang tidak mengerti banyak tentang sifat sebenarnya dari diri sendiri. Dalam susunan fisik, mental dan kerohaniannya terdapat sifat yang tertinggi maupun terendah. Didalam tulang-tulang terdapat kehidupan bersifat mineral, badan dan darahnya benar-benar
mengandung bahan mineral. Kehidupan fisik badan manusia mirip dengan kehidupan tanaman. Banyak keinginan /nafsu fisik serta emosi mirip dengan yang dimiliki oleh binatang. kemudian manusia mempunyai seperangkat sifat mental yang menjadi miliknya, dan tidak dimiliki oleh binatang yang bersifat rendah. Selain itu masih ada sifat lebih tinggi yang dimiliki oleh sebagian orang yang
lebih maju kerohaniannya, meskipun masih terdapat daya kemauan yaitu daya sang “Aku”, yang merupakan daya yang diterima (ditiupkan) dari Yang Maha Mutlak.

Benda-benda fisik dan mental tersebut adalah milik manusia, dan bukannya manusia itu sendiri. Sebelum manusia (“Aku”) dapat menguasai atau mengalahkan, dan mengarahkan benda yang menjadi miliknya yaitu alat dan instrumennya terlebih dahulu ia harus menyadari dirinya secara benar. Ia harus dapat membedakan mana yang merupakan Aku dan mana yang merupakan alat atau milik Aku, dapat membedakan mana yang Aku dan mana yang bukan Aku. Inilah tahapan pertama yang harus disadari.

Katakan bahwa Ruh itu adalah dari amar-amar-Ku … Aku adalah ruh yang ditiupkan kedalam tubuh yang terbuat dengan komposisi kosmos yang sempurna setelah diberi bentuk. (QS 15:28-29) … sang aku bersifat abadi – tidak bisa mati -tidak bisa rusak. Ia memiliki kekuasaan, kebijaksanaan dan kenyataan. Tetapi seperti halnya seorang bayi yang kemudian menjadi dewasa, batin manusia tidak menyadari sifat potensial yang tertidur dalam dirinya, dan tidak mengenal dirinya sendiri yang sebenarnya. Bila diri sendiri yang sebenarnya sudah bangun, ia mengenal mana yang disebut Aku dan mana yang bukan Aku sebagai dirinya sendiri atau Aku. Aku inilah yang akan kembali kehadirat asalnya yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun. Sesungguhnya Aku adalah berasal dari Allah dan kepada-Nya-lah Aku kembali….

Orang primitif dan orang beradab jarang menyadari “Aku” nya, rasa keakuan mereka hanya merupakan kesadaran mengenai nafsu badani pemenuhan keinginan, pemuasan kesenangan, memperoleh kenyamanan bagi dirinya. Bagian bawah dari batin naluri merupakan tempat rasa keakuan orang-orang primitif. Bila seorang primitif mengatakan “Aku”, maka yang dimaksud adalah badannya. Badan
ini mempunyai perasaan, keinginan dan nafsu. Tetapi pikiran semacam itu terdapat pula pada banyak orang yang mengaku beradab. Mereka menggunakan daya pikirnya guna memenuhi nafsu dan keinginan fisiknya, padahal mereka sebenarnya hidup dalam tingkat batin naluri. Tentu, setelah orang menjadi lebih beradab maka perasaannya menjadi lebih halus, sedangkan orang primitif mempunyai perasaan kasar. Yang perlu dicatat adalah, pikiran orang beradabpun masih diperbudak oleh keinginan dan nafsu badannya.

Setelah manusia semakin tinggi tingkatannya, mulailah ia mempunyai konsep tentang Aku nya yang lebih tinggi. Ia mulai menggunakan pikirannya dan akalnya, maka ia pindah dari tingkat batin naluri ke tingkat batin mental – ia mulai menggunakan kecerdasannya, ia mulai merasakan bahwa batinnya adalah lebih nyata bagi dirinya dari pada badannya, bahkan kadang ia melupakan badannya
bila sedang terbenam dalam pemikiran secara serius.

Setelah kesadaran orang meningkat – yaitu kesadarannya berpindah dari tingkat mental ke tingkat kerohanian – ia menyadari bahwa “Aku” yang sebenarnya adalah sesuatu yang lebih tinggi dari pada pikiran, perasaan dan badan fisiknya, bahwa semuanya ini dapat digunakan sebagai alat atau instrumennya. Pengetahuan ini bukan merupakan pengertian saja, tetapi merupakan kesadaran yang khas, artinya orang benar-benar merasakan sebagai Aku yang sebenarnya (sebagai bashirah).

Dalam kajian kali ini, kami coba menunjukkan kepada anda cara mengembangkan atau membangkitkan kesadaran Aku yang fitrah. Ini merupakan amalan pertama yang harus disadari, sebab kita tidak akan bisa melakukan pendekatan kepada Allah kalau tidak menyadari hakekat diri yang hakiki. Seperti tujuan melakukan amalan puasa dibulan ramadhan adalah mencapai fitrah (idul fitri,
kembali kepada fitrah yang mempunyai sifat suci seperti bayi yaitu diri yang sejati atau “Aku”).

Kesadaran `Aku” ini merupakan langkah pertama pada jalan menuju keadaan yang disebut sebagai `penerang”, merupakan realisasi hubungan dengan Yang Maha Agung.

Latihan ini harus dipraktekkan, bukan sekarang saja tetapi diberbagai tahapan perjalanan sampai anda memperoleh penerangan jiwa.

Memasuki Keadaan Dzikir (Patrap Pertama)

Bila mungkin, carilah tempat atau ruangan, yang terbebas dari gangguan, agar batin anda merasa aman dan tenang. Duduklah yang enak agar anda dapat mengendorkan otot-otot dan membebaskan ketegangan syaraf. Lepaskan ketegangan dan biarkan otot-otot menjadi lemas, sampai terasa tenang dan damai meresapi seluruh tubuh. Istirahatkan badan dan pasrahkan seluruh jiwa raga. Atau
lakukanlah dengan posisi berdiri, hal ini dilakukan untuk menghindari mudah terlena dan tertidur …

Kondisi tersebut sangat baik bagi tahap permulaan praktek latihan, tetapi setelah pengalaman hendaknya mampu melakukan pengendoran badan dan menenangkan pikiran dimana pun dan kapanpun anda memerlukannya. Ingat bahwa keadaan dzikir harus berada di bawah penguasaan kemauan yang keras. Didalam melakukan praktek dzikir harus diterapkan pada waktu yang tepat dan atas kemauan sendiri. Sadari bahwa Aku adalah hakiki nya manusia yang tidak pernah tidur – tidak mati – abadi, …selalu sadar tidak pernah mengalami sedih dan takut … Aku sang roh suci (fitrah) yang mampu menembus alam mimpi, alam malakut dan alam uluhiyah…

Sekarang anda memasuki tahapan yang menyebabkan Aku merasa sebagai makhluk mental. Kalau anda memejamkan mata anda akan merasakan dan bisa membedakan mana Aku yang sebenarnya … disitu ada aku yang memperhatikan sensasi badan, seperti misalnya : lapar, haus, sakit, sensasi yang menyenangkan, kesedihan. Anda akan merasakan ternyata bukan aku sebenarnya yang lapar, sakit dan sedih, akan tetapi itu adalah sensasi peralatan atau instrumen yang dimiliki oleh sang Aku. Anda sebenarnya diluar atau diatas semua alat-alat tadi!! Maka dari itu anda harus melepaskan diri anda dari yang bukan hakiki, agar tidak diombang-ambingkan oleh peralatan anda sendiri. Sadari Aku adalah yang menguasai perasaan dan pikiran, jadilah tuan atas diri anda … keluarlah anda seperti anda melepaskan baju, lalu tinggalkan & jangan anda memikirkan semuanya itu. Karena peralatan anda mempunyai batin naluri yang akan bergerak menurut fungsinya. Perhatikan saat anda tidur … Aku anda meninggalkan tubuh anda tanpa harus memikirkan bagaimana nantinya badanku, kenyataanya instrument tubuh bekerja menurut yang dikehendaki oleh nalurinya sendiri.

Sadarkan sang Aku. Hubungkan dengan dzat yang Maha Mutlak …hadirlah dihadapan-Nya sebagaimana kesaksian Aku dialam `Azali…Panggillah …penuh santun ya Allah … ya Allah … tundukkan jiwa anda dengan hormat … dan datanglah kehadirat-Nya dengan terus memanggil ya Allah …ya Allah … timbulkan rasa cinta yang dalam …hadirlah terus dalam dzikir … biarkan sensasi pikiran dan perasaan melayang-layang …Sadarkan dan kembalikan bahwa Aku bukan itu semua … Aku adalah yang menyaksikan semuanya … bersaksilah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat … sampaikan do’a salawat untuk Rasulullah .dan keluarganya. Teruskan Aku melayang menembus semua alam-alam yang menghalangi, biarkan Aku berjalan menuju Yang Maha tak Terhingga …
jangan perdulikan kebisingan diluar diri kita .. teruskan jangan berhenti sampai ada sambutan … hingga dzikir anda akan berubah dengan sendirinya bukan dari rekayasa pikiran … menjadi laa ilaaha illallah atau subhanallah … Kalau sudah mencapai keadaan seperti ini …dzikir anda … akan terbawa saat anda bekerja … menyetir mobil dan mengangkat takbir, saat shalat ataupun wudhu’ …

Suasana dzikir terus membekas dan menyebabkan hati menjadi tenang luar biasa, dzikir bukan lagi sebuah lafadz akan tetapi merupakan suasana ingat dan ihsan. Apabila keadaan dzikir anda sudah terasa menyelimuti hati … pikiran … dan badan anda, frekwensi getaran makin lama makin terasa … dan semakin kuat rasa sambung kepada Allah. Hati anda semakin sensitif … mudah menangis … dan kadang tidak bisa ditahan saat anda membaca Alqu’an dan shalat walaupun anda tidak mengerti artinya.

Sensasi Yang Biasa Muncul Saat Berdzikir

Ketika anda menghadirkan atau menghubungkan diri anda dengan Allah, tiba-tiba muncul rasa haru … merinding …. Badan terasa agak berat dan bergoncang …. seperti ada muatan getaran yang menyelimuti badan …semakin kuat hubungan anda dengan Allah, maka akan semakin kuat getaran yang ditimbulkannya … biarkan getaran itu mengalir …dengan getaran itulah anda tidak lagi
terganggu oleh pikiran dan khayalan yang melayang-layang … Adanya getaran merupakan tanda kesambungan anda dengan Allah … biasanya anda tidak akan kuat menahan tangis yang tiba-tiba muncul ….Kadang anda akan dituntun shalat ..dituntun berdzikir … dituntun bersujud. Biarkan jangan ditolak atau dilawan … pasrahkan saja dengan ikhlas. Anda tidak akan mengalami rasa penat,
capek dan jenuh walaupun itu terjadi berjam-jam lamanya. Sekalipun hal itu anda lakukan pada waktu malam hingga pagi .. tubuh rasanya menjadi segar dan tidak lemas … bahkan terasa lebih rileks dan nyaman.

Semakin anda tekun berkomunikasi kepada Allah semakin halus getaran yang muncul. anda mungkin menjadi heran tatkala anda agak sulit marah, hati anda lebih terkendali tanpa ada penahanan atau pemaksaan. Hati menjadi lunak dan menimbulkan perangai yang sangat lembut. Hati terus menerus berdzikir bukan dari keinginan nafsu… dzikir itu muncul dari rasa Aku yang dalam… tiada
bisa dibendung ….rasanya seperti ditarik oleh rasa kesambungan yang sangat kuat. kondisi seperti itu pikiran menjadi lemah tidak lagi liar seperti semula Nafsu menjadi teredam dan istirahat …yang ada tinggal rasa atau getaran iman yang dalam dan muncul tiada bisa dicegah…

Penegasan Patrap Pertama

Praktekkan patrap pertama ini pada waktu-waktu senggang. Sebagai catatan: sebaiknya dalam melakukan patrap hendaknya anda membersihkan dari hadast besar dan kecil. Kemudian shalat sunnah dua rakaat.

Ambil posisi berdiri seperti hendak shalat menghadap kiblat …
Hubungkan rasa Ingat Anda kepada Allah …
Timbulkan rasa rindu dan cinta kepada Allah …
Hadirkan hati anda dan pasrahkan jiwa raga …
Mohonlah bimbingan kepada-Nya …
Ya Allah Ampuni kami ….
Ya Allah Ajarkan kami dan bimbinglah kami didalam menuju makrifat kepada Engkau
Ya Allah lindungilah kami dari godaan nafsu dan syetan yang terkutuk

Bismillahirrahmanirrahiem……
Asyhadu anlaa ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah
Allahumma shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad

Ya … Allah … Ya Allah …Ya Allah …Ya Allah …..
Ya Allah … Ya Allah …Ya Allah …

(tidak perlu anda menghitung jumlah lafadz yang diucapkan ….)

Hantarlah jiwa Anda dengan nama Allah sampai anda mendapatkan sambutan ….
Apabila anda serius biasanya lebih cepat. Lakukanlah patrap ini setiap hari … walaupun hanya sepuluh menit…Atau bisa
dilakukan sambil berjalan, diatas kendaraan, menjelang tidur sambil berbaring …

Tutuplah patrap dengan bersujud dan berdo’a

Mudah-mudahan anda mendapatkan bimbingan dari Allah Swt…. amin




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262