EKSTASE RASULULLAH SAW

Ekstase adalah puncak kesadaran ruh(ani) manusia di atas kesadaran fisik (otak) dan kesadaran jiwa. Saat seseorang bisa mengalami ekstase, di situlah kebenaran ditampakkan dan kondisi pikiran dan jiwa kita terasa “suwung alias kosong” dan kemudian menerima petunjuk langsung dari-Nya. Lantas, seperti apa sebenarnya ekstase tersebut?

Muhammad SAW selain sebagai utusan Allah, juga sebagai manusia biasa seperti Anda dan saya. Selain sifat-sifatnya yang mulia, tubuh fisiknya juga ringkih seperti kita. Bila sebuah tombak mengenai gigi biasanya gigi itu tanggal atau rompal. Bila kena sabetan pedang, tubuh juga berdarah-darah. Ini manusiawi yang juga dialami oleh nabi penutup tersebut.

Cukup menarik untuk membahas tentang bagaimana kondisi Rasulullah saat dia ekstase. Meskipun pikiran dan jiwa terasa kosong, namun ternyata kesadaran tidak menghilang karena Rasulullah mampu untuk menceriterakan kembali apa yang dialaminya (mirip dengan metode raga sukma). Hal ini berbeda dengan sebagian besar manusia saat kesadaran ruhnya terbangun namun fisiknya tertidur. Walhasil, manusia biasanya jarang mengingat kejadian-kejadian yang dialaminya saat bermimpi. Padahal, mimpi adalah wahana atau sarana kita untuk terkoneksi dengan dunia gaib.

Kesaksian Aisyah RA, isteri Rasulullah: “Aku pernah melihat saat wahyu selesai diturunkan pada hari Senin di musim dingin yang sangat hebat, begitu dinginnya cuaca ternyata beliau malah bercucuran keringat” Itulah keadaan fisik Rasulullah saat ekstase hingga menerima wahyu. Apa yang sebenarnya dialami oleh Rasulullah saat ekstase?

“Yang paling sulit keadaaanya yaitu seperti bunyi lonceng yang gemerincing dan Malaikat datang menyerupai wujud seorang pria dan berbicara padaku (untuk menyampaikan ayat-ayat kitab suci). Aku paham apa yang dikatakannya,” ujar Rasulullah SAW sebagaimana Hadits yang diriwayatkan HR Bukhari, Al Hakim, Baihaqi.

Kejadian sebenarnya tentu saja lebih dahsyat dari pengandaian ini. Namun kita sedikit banyak mendapatkan informasi betapa berat orang yang ekstase dan mengalami kesaksian akan kebenaran tersebut. Tirai selubung ruh dibuka dan kita menyaksikan sebuah KEBENARAN yang dibawa oleh Para Malaikat. Kenapa harus ada Malaikat untuk menyampaikan kebenaran? Menurut saya, malaikat adalah perantara yang memudahkan manusia untuk menerima petunjuk-petunjuk Tuhan.

Berbeda dengan kitab teles (alam semesta) yang juga merupakan petunjuk-petunjuk Tuhan yang bersifat pasif dan tidak langsung, malaikat menyampaikan pertunjuk Tuhan kepada manusia secara langsung sehingga sifatnya aktif. Bila alam semesta ini adalah petunjuk Tuhan, maka hal ini perlu ditafsirkan terlebih dulu oleh akal budi dan hati nurani yang merupakan suara guru sejati manusia. Sementara perintah Tuhan melalui perantara malaikat tidak perlu ditafsirkan oleh akal budi dan hati nurani penerima wahyu tersebut.

Kita sekarang ini sudah enak. Hidup di jaman dimana wahyu yang turun sudah sedemikian lengkap dan praktis karena Kitab Suci yang merupakan petunjuk hidup manusia sudah ada. Tinggal apakah kita mau dan bersedia mengamalkan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya atau tidak. Namun kita juga tidak boleh melupakan bahwa kita diberi akal budi untuk menafsirkan pergelaran alam semesta ini dengan bijaksana. Dengan akal budi kita kontekstualisasikan ajaran-ajaran agama sehingga kita bisa menangkap HAKIKAT KEBENARAN-NYA. Jadi kulitnya/bungkusnya/casingnya boleh berbeda, tapi isinya tetap tidak berubah-ubah dari Nabi Adam hingga saat sekarang.

Jadi ini juga merupakan bentuk WAHYU untuk kita. Yang perlu diperhatikan, meskipun kita diharapkan menggunakan akal budi tapi tetap tidak boleh menghilangkan kemampuan intuitif manusia untuk mendapatkan kebenaran dengan cara langsung mengakses alam gaib karena manusia sudah dari sononya diciptakan memiliki kemampuan supranatural. Bukankah manusia terdiri dari Jasad dan Ruh? Jasad bersifat fisik dan Ruh bersifat metafisik? Ini berbeda dengan jin atau malaikat yang tidak memiliki jasad dan tubuhnya hanya bersifat halus tak terlihat dan tak teraba.

Salah satu kemampuan ruh adalah mendapatkan kebenaran dengan cara ekstase. Ekstase bagi sebagian orang terasa hal yang mudah karena sudah terbiasa untuk olah batin. Namun bagi sebagian orang yang belum pernah mengenal olah batin, ekstase mungkin sebuah keadaan yang mustahil bahkan dianggap mengada-ada. Padahal, bila kita yakin bahwa Rasulullah adalah contoh dan teladan hidup umat muslim maka mau tidak mau kita harus menyimak bagaimana cara beliau untuk mendapatkan pencerahan ruhani melalui ekstase. Sebab dengan ekstase, petunjuk dari Tuhan langsung turun ke diri kita sehingga diri mengalami pencerahan.

Salah satu kesaksian dipaparkan dalam Hadits Shahih Bukhari Muslim. Diriwayatkan Kharijah bin Zaid, Zait Bin Tsabit berkata: “aku duduk di samping nabi Muhammad SAW pada suatu hari sat beliau menerima wahyu. Nabi merasakan KEHENINGAN. Ketika demikian, beliau meletakkan para beliau di atas pahaku. Demi Allah, aku tidak pernah merasakan sesuatu yang lebih berat dari paha Rasulullah. Lalu beliau kembali sadar dan berkata, Tulislah wahai Zait.”

Menurut Zait bin Tsabit, Rasulullah menerima wahyu berupa surat-surat yang jenisnya macam-macam. Bila yang turun tersebut bersifat keras maka beliau mnerimanya dengan susah payah. Apabila yang turun bersifat lembut maka beliau menerimanya dalam keadaan mudah. Hal ini sama dengan kesaksian Ubadah bin Ash Shamit: “bahwa nabi Muhammad SAW saat wahyu diturunkan, beliau merasa susah dan mukanya cemberut”. Ayat-ayat yang “berat” akan memberatkan tubuh Rasulullah, misalnya saat turunnya surat Al Maidah yang tergolong surat yang “berat” maka hampir saja persendian-persendian kaki unta yang dinaiki beliau patah.

Ekstase Rasulullah adalah ekstase yang menghilangnya kesadaran fisik dan hadirnya kesadaran jiwa untuk memasuki kesadaran ruh. Kekasih Allah ini kadang sampai tertidur, namun ruhnya siap menerima kebenaran yang datang kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Aqil: “Jika seseorang bertanya, ketidaksadaran yang terjadi saat Rasulullah menerima wahyu apakah membatalkan wudhu beliau? Maka jawablah tidak, karena beliau SELALU TERJAGA PADA SAAT TIDURNYA. Kedua matanya terpejam tetapi jiwa dan ruhnya terbangun”

Namun, kondisi ekstase Rasulullah tidak mesti seperti itu. Kadangkala beliau sadar sepenuhnya dan tiba-tiba dia merasa pusing dan menempeli kepalanya dengan daun inai (pacar)… Nah, inilah berbagai macam situasi yang bisa saja terjadi pada manusia biasa. Kita juga bisa mendapatkan pencerahan dalam kondisi dan situasi apapun. Semuanya tergantung pada kesiapan jasad fisik, mental emosional, dan tentu saja jenis KEBENARAN APA YANG AKAN DITAMPAKKAN OLEH-NYA. Semoga kita semua selalu diberi kemudahan untuk menafsirkan bahasa-bahasa Tuhan yang kadang teramat simbolik dan susah dipahami ini.

ALLAHUMMA LA SAHLA ILLA MA JA’ALTAHU SAHLAW WA’ANTA TAJ’ALUL HAZNA IDZA SYI’TA SAHLA:  “Ya Allah, tiada kemudahan kecuali apabila Engkau jadikan mudah. Engkaulah yang menjadikan kesulitan, tapi jika engkau kehendaki maka kesulitan itu menjadi mudah”




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262

KHASANAH MISTIK: ILMU KEBAL

Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia. ilmu tersebut banyak digunakan tokoh nasional semasa revolusi. dalam islam, kekebalan masih diragukan keberadaannya.

Peristiwa Mbah Suro tahun 1967 di Nginggil dan peristiwa Lampung adalah dua peristiwa nasional tentang kekebalan. Benarkah ada manusia tak mempan ditembak, dibacok, atau dibakar? Guru kekebalan mensyratkan dikubur hidup-hidup 3 hari untuk menjadi manusia super. Toh ia rontok kalau disabet daun kelor atau digores padi.

Sungguh fantastis. Meski peluru petugas memberondong, para perusuh itu malah maju, dan maju dan sangat dekat. Beberapa orang di antara mereka malahan berteriak, “Ayo, tembak lagi.” sambil menunjukkan peluru yang tak menembusi tubuhnya. Pertempuran berlangsung makin seru dan aneh. Akhirnya, gelap malam melilit kawasan yang rawan itu. Dalam kesunyian, beberapa orang tampak terkapar, tewas. Mereka adalah sebagian dari orang-orang yang kabarnya: tak mempan peluru. Yang lain telah mundur, menyusup ke hutan Gunung Balak. “Kebal”, kata itu kemudian melompat dari mulut ke mulut, penduduk Lampung. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Berapa sebenarnya jumlah korban? Bentrok tentara dengan sekelompok orang — oleh pemerintah disebut “GPK Warsidi” —  memang mengagetkan. Bisa membikin orang tersedak.

Peristiwa itu telah menjadi pembicaraan hangat. Khusus persoalan “kekebalan”, Pangdam Sriwijaya Mayor Jenderal Sunardi berkata, “Ah, kebal apa. Buktinya mereka ditembak, ya, mati.” Pernyataan Pak Mayor Jenderal itu benar. Tetapi masyarakat masih meyakini bahwa Warsidi dan sejumlah anak buahnya memang mempunyai ilmu kebal. Dengar saja penuturan Bambang Saputro, tukang ojek di Way Jepara, Lampung. Ia mengaku menyaksikan dengan “mata kepala” sendiri keanehan tersebut. Dialah orangnya yang mengantar petugas ke sana. Di Talangsari, ia melihat bagaimana Kapten Sutiman, Danramil Way Jepara, menembak langsung orang-orang itu, namun, kata Bambang, “Mereka yang ditembak tidak apa-apa.” Malah kemudian Sutiman yang tewas, terhunjam anak panah.

Suprapto, Kepala SMA Muhammadiyah Sidorejo di Lampung, percaya soal kekebalan dalam kasus GPK Warsidi itu. Ia mendengarkan kisah semacam dari sejumlah saksi mata: bahwa Jamjuri (ini juga anggota GPK Warsidi) tak terlukai peluru. Padahal, Serma. Sudargo telah menembaki Jamjuri hingga peluru habis. Hasilnya hanya luka tak berarti pada kaki Jamjuri, sedang nyawa Sudargo sendiri melayang lantaran dikeroyok. Benarkah ada orang kebal? Dalam sejarah Indonesia, bertaburan kisah kekebalan. Pada perlawanan “Barisan Bambu Runcing” atau “Barisan Muslimin Temanggung” terhadap tentara NICA dan Sekutu, misalnya. Siapa pun yang terlibat pada masa itu pasti mengenal nama Kiai Subkhi.

Seorang kiai yang — menurut K.H. Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Jawa Tengah “selalu berada di depan jika menyerang musuh.” Ketika itu, seruan takbir sahut-menyahut. Rakyat bergelombang-gelombang menyerang Belanda yang bersenjata lengkap, cuma dengan senjata bambu runcing. Tetapi toh mereka maju terus. Termasuk Kiai Subkhi yang menjadi pucuk pasukan. Kendati demikian, kiai asal Parakan, Temanggung, itu selamat.

Menurut Muhaiminan, bukan hanya Kiai Subkhi yang tidak apa-apa. Semua orang yang memegang bambu runcing — seperti Pak Kiai — memang kebal. Tentu saja senjata itu bukan sembarang bambu yang diruncingkan lalu dibawa maju perang. Melainkan bambu runcing yang sudah “diisi” atau istilah lainnya “disepuh”. Yang bertugas menyepuh adalah Kiai R. Sumomihardho, ayah Muhaiminan. Namun, sebelum bambu runcing yang bakal dipakai untuk melawan penjajah itu disepuh, pembawanya harus menghadap tiga kiai lain. Yakni K.H. Abdur Rohman, Kiai Ali, dan K.H. Subkhi. Kiai Abdur Rohman akan memberi nasi manis — nasi yang ditaburi gula putih — pada para prajurit amatiran itu. Ini bukan nasi buat mengenyangkan perut, tapi sebuah asma, yang kadang juga disebut isim. Semacam jimat yang dalam hal ini untuk kekebalan. Kiai Ali memberi asma air wani (wani = berani), yang membikin orang-orang itu menjadi berani dan tak capek-capek. Sedang Kiai Subkhi mengajarkan hafalan doa.

Bismillahi bi aunillah. Allahu ya khafidhu. Allahu Akbar. Masing-masing dibaca tiga kali, lalu menyandang bambu runcingnya. Dengan bimbingan para kiai itu, rakyat bertempur habis-habisan. Ini nampaknya peristiwa sepele. Sebab, tak tercantum dalam buku sejarah — yang memang hampir tak pernah menulis gerakan rakyat. Tetapi banyak tokoh nasional yang telah memanfaatkan jasa para kiai itu: agar memperoleh kekebalan dan keberanian dalam masa revolusi.

Tak kurang dari Jenderal Soedirman, menurut Muhaiminan, pernah datang ke Parakan guna menyepuhkan bambu runcing untuk “Palagan Ambarawa” — pertempuran di Ambarawa. Selain itu, masih ada sederetan nama lain. Misalnya Wongsonegoro (dulu Gubernur Jawa Tengah), Roeslan Abdul Gani, K.H. Wahid Hasyim, Moch. Roem, juga Kasman Singodimedjo. Kiai Muhaiminan, yang menikahi cucu Kiai Subkhi, amat berkesan dengan kekebalan cara Parakan yang banyak menyumbang jasa bagi berdirinya republik ini.

Maka, Pak Kiai pun menamai pesantren yang kini diasuhnya dengan sebutan Pondok Pesantren “Kiai Parak Bambu Runcing.” Cerita kekebalan juga memerciki peristiwa G30SPKI. Dalam kisah ini, bukan para kiai yang jadi peran utama, tapi justru dari kalangan kaum abangan PKI. Mereka yang ditumpas. Seorang yang dulu santri di pesantren daerah Kediri berkisah. Ia sempat menjadi anggota Banser Barisan Serba Guna, yang banyak membantai PKI. Satu saat ia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang-orang PKI yang dijejerkan untuk dieksekusi. “Saya yang mendorong orang-orang itu satu per satu,” paparnya.

Setiap orang PKI yang didorong langsung disambut dengan tebasan pedang algojo. Potongan kepala dan tubuh mereka pun mengotori aliran Sungai Brantas, menggemukkan ikan-ikan di sana. Tiba-tiba para anak muda yang tengah “menumpas” itu menjumpai keganjilan: salah seorang PKI tak mempan dibacok. “Bunyinya trang …, seperti besi yang beradu,” kata santri itu mengenang. Algojo jadi kebingungan. Sesaat kemudian ia meletakkan pedangnya. Lalu menerkam leher korban dan menggiyit tenggorokannya hingga putus. Cerita kekebalan di sekitar peristiwa 1965 terasa semakin hebat lantaran bumbu pengisahannya.

Di Bali, ada yang terpaksa dimintai baik-baik untuk melepaskan nyawanya, karena tak mempan dieksekusi. Memang ajaib. Begitu juga pada eksekusi Mbah Kahar di Pulung, Ponorogo, Jawa Timur. Daerah yang terkenal karena reog serta warok — jagoan setempat. Atau pada mitos Mbah Suro dari Nginggil, desa tepian Bengawan Solo di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Banyak beredar bumbu yang membaurkan antara mimpi, dongeng, dan kenyataan yang konkret. “Mbah Kahar tidak mempan ditembak maupun dipenggal kepalanya,” kata Mislan, yang mengaku menjadi algojo Kahar. Petugas pun bingung. Lalu menyerahkan tugas itu pada Mislan. Sebab, ia juga kebal setelah “bertapa di sebuah gua”. Dengan pedangnya, ia menetak leher Mbah Kahar yang duduk bersila. Dell…, kepala putus, menggelinding sekitar lima meter. Namun, kata Mislan, ajaib. “Pelan-pelan kepala itu menyatu kembali dengan tubuhnya.”

Suasana kacau. Sebab, tak ada lagi orang setempat yang dianggap melebihi “ilmu” Mislan. Algojo itu kemudian mencoba lagi. Begitu kepala korban putus, Mislan membawa kepala itu menyeberangi sungai. Kedengarannya seperti cerita komik. Kalau cerita Mislan benar, Mbah Kahar (juga Mislan) jelas lebih hebat ketimbang Mbah Suro. Tahun 1967, Mbah Suro mencoba membangkitkan PKI. Konon, dukun itu dan pasukannya tak mempan tembakan dan bacokan, asal memakai piandel barang yang diandalkan. Yakni pakaian hitam-hitam, kolor (ikat pinggang Jawa), dan kenthes (pentungan). Setelah geger PKI, ribuan orang berdatangan ke rumah Mbah Suro, mengharap keselamatan. Maka, daerah hutan jati yang kering dan minus itu menjadi semarak. Setiap pendatang pasti membeli tiga piandel, dan minum air dari Gentong Kemiri, agar tak mempan peluru bedil.

Padahal, menurut Mbah Sumi — adik kandung Mbah Suro, semua itu akal-akalan bisnis penduduk setempat. Mbah Suro sebenarnya “hanya dukun biasa”. Kepentingan bisnis dan kepercayaan bercampur baur. Ketika ribuan orang PKI telah dibantai, para pengikut Mbah Suro masih berteriak gagah, “hidup PKI!” Anak-anak, yang berharap agar diberi uang, menjawab, “hidup!” Dengan hanya bersenjatakan kenthes, pasukan hitam-hitam itu berani menghadapi petugas yang menggerebeknya. Pertempuran pecah. Lalu Mbah Suro menyerah. Untuk keperluan eksekusi, dukun itu harus menanggalkan pakaian hitamnya dan mengganti dengan sarung hijau.

Sejenak setelah kematian Mbah Suro, cerita tentang orang kebal pun surut. Namun, rupanya mustahil pupus sama sekali. Pada kenyataannya, kisah kekebalan juga sering menjadi catatan kaki riwayat para tokoh sejarah. Masuk dalam perbincangan, tak soal, apa benar atau sekadar musik pengiring. Tak kurang dari tokoh Teuku Umar, misalnya. Masyarakat Aceh meyakini, tokoh itu tak mungkin ditembus peluru. Begitu kental keyakinan itu. Maka, konon, Belanda sampai merasa perlu membuat peluru emas buat membunuhnya. Eros Djarot juga tak menyingkirkan cerita “peluru emas” itu untuk filmnya, Tjoet Nja’ Dhien. Bung Karno, di mata pengagum fanatiknya, juga kebal. Berulangkali ia menghadapi percobaan pembunuhan, dan… lolos.

Misalnya dalam peristiwa Cikini, atau sewaktu ditembak saat sembahyang Idhul Adha. Lima puluh tahun lagi, siapa tahu cerita di sekitar percobaan pembunuhan itu tumbuh terus, berbunga-bunga. Nama lain yang dianggap memiliki keistimewaan demikian adalah Kahar Muzakar dan Supriadi. Hingga kini, sejumlah penduduk pedesaan Sulawesi Selatan sulit percaya bahwa Kahar sudah lama tewas ditembak. Mereka mengganggap, Kahar masih berkelana entah di hutan sebelah mana. Sedang Supriadi, tokoh pemberontakan Peta di Blitar, bukan hanya dianggap kebal, tapi juga bisa menghilang, raib, tanpa kembali lagi. Manusia Indonesia di masa lalu agaknya sangat akrab dengan soal kekebalan. Di Indragiri Hulu, Riau, Haji Bustami — sebelum bertobat dan menunaikan ibadah haji — mengaku pernah kebal, bisa menundukkan harimau, dan punya tenaga yang mampu untuk mengangkat seekor kerbau. “Ilmu itu saya peroleh dari orang Sakai,” ujarnya.

Sakai adalah suku terasing di Sumatera. Di Kalimantan, suku Dayak sering dibayangkan sebagai orang yang menakutkan. Bukan saja lantaran sumpit beracunnya. Tetapi juga karena ilmu-nya. Masyarakat Kajang yang bermukim di kaki Pulau Sulawesi juga dianggap mempunyai ilmu yang lebih dari sekadar kebal. Di Bali ilmu kekebalan — di sana disebut ilmu kanuragan — juga masih diperdalam. Basisnya tentu saja ajaran Hindu, dengan latihan yoga. Ketika seseorang telah mencapai puncak pemusatan, pengekangan, dan pengaturan pikiran — menurut Anak Agung Putu Suwela, 65 tahun, dari Perkumpulan Raja Yoga Kumala Bhuana, Denpasar — “semua pancaindria akan mati. Tak ada sakit, tak ada panas, tak ada dingin.” Pada tingkat itu, orang luar akan melihat ahli yoga yang demikian ini kebal senjata tajam dan api.

Mencapai tingkat itu tidak gampang. Suwela sendiri baru merasa mantap dengan yoga setelah belajar selama 24 tahun. Ketika seseorang mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebal versi yoga, orang bukan saja tak mempan senjata dan api, juga mampu melihat sesuatu yang bakal terjadi. Plus bisa mengobati orang sakit. Persoalannya adalah, siapa yang tahan bertahun-tahun belajar yoga? Di Bali ada pertunjukan Barong vs Rangda yang diakhiri dengan menikam Rangda bertubi-tubi, dilanjutkan dengan orang mencoba menusukkan keris ke tubuhnya. Namun, dada tak tembus, perut tak sobek. Darah tak mengalir. Lihat juga para penari “Sangyang Jaran” yang kesurupan itu. Bara api pun diinjak-injak dengan kaki telanjang sehingga butir merah memercik-mercik. Sampai sekarang masih bisa dinikmati.

Bagaimana menjelaskan semua itu? Suwela mengatakan, Barong Keris itu bisa dimainkan oleh siapa pun yang kemudian trance dan dikendalikan orang lain yang berilmu. Serupa ini adalah Kuda Lumping dari daerah sekitar Jawa Tengah dan Cirebor. Atau debus dari daerah Banten dan Minangkabau. Inilah satu sisi lain ilmu kebal: seni. Ilmu kebal juga dikejar oleh para peminat seni bela diri. Hampir semua aliran pencak silat di Indonesia meletakkan ilmu kebal atau tenaga dalam di puncak latihannya. Saat ini, sebagian besar peminat ilmu kebal adalah anggota ABRI. Ini diakui oleh para guru seperti halnya Kiai Salik di Banten atau Zen di Jepara. Mislan malah mengaku ikut menyiapkan satu batalyon marinir yang hendak bertempur di Timor Timur (lihat Bisnis Ilmu Kebal). Kepercayaan pada kekebalan menyebar di berbagai wilayah Indonesia, pada berbagai latar belakang etnis maupun agama. Ada ilmu kebal yang ber-setting sangat Jawa, ada yang sangat Dayak.

Ada yang berwajah Islam, Hindu, atau bahkan ada juga Katolik — misalnya pada anggapan bahwa Slamet Riyadi kebal karena membawa rosario (tasbih). Di Jawa, wesi kuning atau kol buntet adalah nama-nama ajimat yang sangat dicari untuk kekebalan pemiliknya. Sedang pada kalangan hitam, para maling dan perampok, aji poncosuno bumi laku keras seperti halnya aji welut putih yang bermanfaat untuk “menghilang”. Konon, bila seseorang punya poncosuno bumi, kalau dibunuh ia akan hidup lagi pada saat tubuhnya menyentuh tanah. Selain itu, cara kebal yang lebih berbau agama banyak disebut dalam berbagai buku mujarobat yang dijual di kaki-kaki lima.

Yang disebut buku-buku itu, antara lain, sepenggal ayat Quran (Surat An-Naml) yang dituliskan pada kulit kijang, lalu dibungkus dengan kulit lembu, dan dipakai untuk ikat pinggang. Para kiai juga sering memberi berbagai bentuk isim, yang semata berbahasa Arab atau campuran bahasa Jawa. Yang agak jauh dari kesan perdukunan adalah yang dipakai anggota GPK Warsidi. Seorang anggota GPK Warsidi mengungkapkan: mereka memperoleh kekebalan setelah menjalani sejumlah amalan. Di antaranya dengan i’tikaf di masjid selama 40 hari terus-menerus. Pada saat itu mereka hanya boleh makan nasi putih sepiring kecil setiap hari. Juga selalu bersalat tahajud di penghujung malam, serta membaca wirid. Adapun wirid-nya antara lain Surat Yassin ayat 89 Al-Maidah ayat 67, Al-Baqarah ayat 3, dan At-Taubah ayat 2. Dengan itu, menurut mereka, “kami betul-betul mendekatkan diri pada-Nya.”

Bila mereka lulus dari tempaan 40 hari itu, dan tidak memakan barang haram (misalnya dari duit korupsi), “karamah akan datang melindungi kami dari serangan musuh.” Kalaupun toh mati juga, begitu keyakinan mereka, itu “mati syahid”. Tak jelas, apakah ada riwayat Nabi yang dijadikan pegangan untuk soal kekebalan diri. Kalaupun ada, tentu hanyalah hadis yang masih dipertanyakan kesahihan atau keautentikannya. Nabi Muhammad pun luka dan berdarah sewaktu hijrah ke Thaif, ditimpuki batu oleh penduduk setempat. Juga pada Perang Uhud




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262