PERJALANAN-PERJALANAN KE DALAM

Hidup segan mati tak mau.

Lelah sudah rasanya mencari tahu dimana kebijaksanaan dan kebenaran itu berada. Timur barat utara selatan sudah aku jelajahi dan ternyata kosong.

Tiada pula orang yang kuanggap paham, ternyata benar-benar paham.

Di ujung rasa putus asa, kulanjutkan sedikit waktu yang tersisa untuk menulis.

Entah,  ada manfaatnya atau tidak.

Tiba di sebuah kawasan yang tiada berpenghuni lagi di penghujung pulau. Ini desa yang jadi saksi kelahiranku dan sudah puluhan tahun silam kutinggalkan. Perlahan kuayunkan kaki  melangkah menuju sebuah surau mungil di tepi telaga. Malam itu terasa begitu suci dan ajaib. Kekuatan apa yang menyuruh kupergi ke sana, aku tidak tahu. Yang aku tahu, sebuah panggilan dari mimpi bahwa aku harus mendekati surau itu.

Bulan di langit tersenyum tipis, sedikit kuning berlatar kehitaman. Suara binatang-binatang malam menjadi musik ringan yang menggema dari segala penjuru penghantar jiwaku yang kosong melompong. Lolongan-lolongan srigala tiba-tiba muncul tidak terduga.. membuat suasana semakin purba dan mencekam.

Tiba di surau, aku menggelar sajadah. Nafas yang iramanya tersengal kuatur ritmis. Kukonsentrasikan pikiran ke keluar masuknya nafas. Hanya kepada nafas. Mulailah kugerakkan dua tangan dan mengucapkan Allahu Akbar…..Allah Maha Besar…. Yang Maha Besar Kekuasaaannya, Yang Maha Besar Kecintaannya, Yang Maha Besar Kekuatannya, Yang Maha Besar Ilmu Pengetahuannya, Yang Maha Besar semuanya tanpa terkecuali…..

Seketika itulah diriku hilang. Diriku sudah tidak lagi memikirkan apakah aku ada atau tidak, masih hidup atau sudah mati, apakah aku masih aku atau menjadi orang lain, dan aku tak ingat juga diri-diri lain… semua tiba-tiba terasa tidak ada. Dan tiba-tiba lahirlah satu kesadaran aneh yang kutulis berikut ini…:

Sukma yang terbang mengangkasa mencari tahu ada apa?….

Kulihat semua gerakan yang ada berhenti total. Bumi menjadi sunyi dan seluruh alam menjadi diam. Tiada punya suara dan gerakan apa-apa lagi. Mesin-mesin kendaraan tidak lagi menderu. Semuanya berada pada tempatnya. Mati total isi bumi ini sepersekian detik waktu di dunia namun yang kualami terasa begitu lama.

Kucoba melihat teman-teman dekat yang kukenal. Ternyata mereka ada di tempatnya masing-masing, mematung kaku tanpa gerak. Ada yang terlihat bergairah namun sayangnya ia diam mematung meski kutahu mereka masih hidup. Entah, hidup di dimensi yang mana… Ada yang terlihat lemas dan lesu dengan memegang segepok uang, matanya masih melotot dan nadinya terlihat mengeras. Bola matanya nyaris keluar. Nyawanya nyaris tercabut dari ubun-ubun. Penuh hasrat untuk memenuhi keinginannya melampaui kebutuhannya.

Ada lagi teman yang sedang berwirid hatinya.. Nah, di tengah alam yang diam dan tertidur, terlihat gerakan cahaya berpendar dari lubuk hatinya. Hati yang dipenuhi cahaya itu memancar hingga menyilaukanku. Setelah kuucapkan Assalamualaikum maka kuteruskan pengembaraanku. Baru beberapa saat melangkah, aku tertegun dengan sebuah pemandangan mencekam.

Seorang pertapa tegap dan tegar duduk disebuah batu di pinggir pantai. Ia sibuk menyatukan diri dengan diri sejatinya. Masih terlihat gambaran-gambaran pikirannya yang semakin samar seperti asap yang menggantang di atas kepala. Wajahnya tenang dan memancarkan aura terang. Aku tidak bisa menilai, apakah dia sudah berada di jalan yang lurus atau bengkok, namun ada bisikan bahwa dia saat ini harus menjalani ujian yang sangat berat untuk menebus dosanya di masa lalu akibat meniadakan Tuhan dalam hatinya. Maka, aku pun berdoa.. Ya Alloh, berilah petunjuk pada dia agar suatu saat kembali ke jalan-MU. Kemudian kulanjutkan perjalanan…

Tiba di sebuah tempat, terlihat seorang pria di depanku sedang mengasuh anaknya yang masih balita. Namun karena alam sudah diam, maka ia pun menjadi patung dengan posisi duduk. Sementara sang anak yang mematung itu terlihat mencari-cari kebahagiaan sendiri dengan bermain batu-batu kerikil. Hati sang pria tersebut terasa merana setelah ditinggal pergi isteri tercintanya. Menggelegak nyaris mengalir namun belum bergerak. Mungkin baru beberapa saat yang lalu berhenti. Kurasakan uap panas saat mendekati keduanya.

Kupeluk sayang si anak piatu. Ia yang nyaris kepanasan kemudian terasa sejuk. Degup dadanya mengatakan bahwa sang ayah sedang gelisah. Duh Gusti, ingin kubawa pulang dan kuasuh penuh perhatian dia.. namun apa daya memang bukan milikku dan dia adalah milik Alloh Sang Maha Pemilik Sejati…

Kutangisi dan kudukai si mungil itu…Ya Rabb… Tuhan Tercintaku.. kenapa kau sisakan duka di anak-anak milik-MU yang mungil tiada berdosa itu?  Kalau Engkau berkenan Ya Alloh, bunuhlah diriku yang penuh lumuran dosa dan zina sekarang ini sebagai ganti agar mereka yang masih putih dan suci itu bisa melanjutkan hidupnya dengan bahagia sejahtera. Nyaris aku kehilangan keseimbangan diri dari sholatku ketika aku merasakan adanya anak ini didekatku.

Inilah yang terakhir, namun juga berupa awal yang mungkin. Sebagaimana bunga yang layu dan gugur. Musim semi tiba dan kemudian hujan datang adalah bahasa alam tiada akhir yang sesungguhnya. Yang ada adalah berproses dan terus berproses. Itu pertanda adanya Gerak dan Aktif dari Yang Satu dan Kekal.

Di tengah diri yang tenggelam dalam sunyi sepi suwung itu… tergetarlah hati oleh suara khotbah dari ujung angkasa… “Inilah Khotbahku” katanya. Tiada terlihat apa-apa sehingga sulit dikenali siapa yang berucap lantang disukmaku. Tiada gerak lagi. Sukmaku siap menerima perintah apapun.

“Yang kau cari soal kebijaksanaan dan kebenaran itu sejatinya tidak ada…. yang kau cari itu mitos dan semuanya palsu!… hidup itu tidak bermakna sehingga tidak berharga untuk dilanjutkan!” katanya dengan keras.

Aku tidak berpikir lagi, yang ada hanya mengamini perintah dan suara itu. Akalku tak mungkin lagi menganalisis kebenaran ini. Benar atau salah di hatiku pun tiba-tiba melenyap pergi dan aku tak mampu meraihnya lagi. Aku masih menantikan sesuatu yang mungkin terjadi.

“Semuanya tersesat dalam hutan nilai-nilai keakuan sendiri, semua terlempar ke jurang hina nestapa, semua kewajibanmu itu sebuah kebodohan, semua makna yang kau rangkai dan kau bangun menjadi kepercayaan itu sia-sia belaka…agama, surga dan nerakamu itu khayalan… Kalau masih yakin bahwa tafsirmu itu benar, maka kupastikan engkau gagal… Bunuhlah dirimu!” katanya tanpa tedeng aling-aling.

Suara itu berlanjut semakin keras dan detail menjelaskan apa maksud yang sesungguhnya: “Bunuhlah semua hasrat dan keinginanmu… bila masih ingin ketemu AKU itu berarti engkau tidak cinta AKU…..apalagi keinginan mencari AKU!. AKU tidak perlu kau cari karena aku tidak dimana-mana dan tidak kemana-mana.. Aku tidak perlu waktu dan tempat untuk berada, jalanmu jalan nyata jalanku jalan rasa…” terangnya.

Suara itu berlanjut: “…Adaku aneh ajaib bercampur unik diluar jangkauan rekaan akalmu.. caraku mencintai atau membenci adalah cara-KU…bahasa-KU tidak sama dengan bahasamu…. Bahkan aku ada atau tidak ada jangan pernah perdulikan AKU… siapa dirimu? Sok tahunya engkau tentang AKU padahal engkau hanyalah sebutir mahluk yang kau katakan sendiri sebagai makhluk paling mulia padahal nyatanya dihadapan-KU, engkau ini tidak begitu…” katanya.

Mendengar suara siapa itu yang begitu keras rasa-rasanya jantung yang tinggal satu dua degup ini pun langsung ingin berhenti untuk selama-lamanya. Linglung dan gila diri ini. Kosong… Suwung… Blank… Zero…. Tiba-tiba aku tersadarkan diri dari sholat dan diriku ternyata mungkin masih ada karena masih kurasakan nafas yang bergerak… meskipun nama pun aku merasa malu memakainya lagi….

Ya,

kini ….

aku tidak punya apa-apa

dan siapa-siapa lagi

aku telah kehilangan segalanya…

Harta, tahta, mereka yang kusayang, agama dan keyakinan…

Bahkan

diriku sendiri

tiada berbentuk lagi….

Remuk!




Mabes Laskar Khodam Sakti

Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura

Solo, Jawa tengah
WA +6285879593262